Order of the Obscurillity/Ch 1

Disclaimer : Kuroshitsuji milik Yana Toboso

Warning : AU, Shounen-ai, OOC (semoga nggak), misstype, cerita ngawur dan banyak ngayal, DLDR

Sebelumnya, untuk judul cerita ini Vee tidak mengambil dari salah satu dari seri Harry Potter, dan maaf kalau mirip. Sebenarnya Vee hanya iseng mencari arti kata dari tertib yang pada dasarnya ide dari cerita ini sendiri. Oleh karena itu Vee minta maaf yang sebesar-besarnya kalau ada pembaca yang tidak suka *Soalnya ada salah satu temen Vee ada yang protes. Sekali lagi, Vee baru sadar kalau judulnya mirip saat temen Vee bicarain Harry Potter bersamaan dengan Vee yang ngetik fic ini. Kebanyakan bicara ya?

Langsung aja kalau begitu. Enjoy!

.

Jas hitam

Tap... tap...

Kemeja putih

Tap... tap...

Sepatu hitam mengkilap

Tap... tap

Dasi hitam

Tap... tap..

Langkah kaki menggema di sepanjang koridor. Dimana koridor itu telah sepi karena bel pelajaran sudah bergema sekitar lima belas menit yang lalu.

Langkah itu milik Ciel Phantomhive. Mata birunya menatap datar ke depan. Hari ini adalah hari pertamanya masuk ke sekolah. Bukan tanpa alasan, walinya (Baca: Tanaka) ingin dia bisa bersosialisasi dengan masuk ke sekolah asrama khusus lelaki yang lebih dikenal dengan nama Obscurillity School. Sebenarnya, tanpa masuk ke sekolah pun dia bisa mengerjakan soal-soal anak kuliah. Memang Tanaka, dia tak ingin anak asuhnya tak bisa bersosialisasi dengan baik karena setiap hari berdiam diri di dalam mansion dan menghabiskan waktunya dengan bermain catur sendiri.

Sendiri.

Miris.

Sesekali Ciel melirik ke arloji perak yang melingkar di pergelangan tangannya. Sial, dia benar-benar terlambat. Memang ini adalah kebiasaannya. Apalagi tanpa jam beker yang biasanya berteriak membangunkannya. Memang dalam hal ini Ciel sendiri yang salah, meninggalkan beker itu di kediamannya. Teman sekamarnya pun telah menghilang saat dia membuka mata. Ciel sempat bertanya-tanya, siapa teman sekamarnya itu? Kenapa dia tak berniat membangunkan Ciel?

Beberapa meter lagi.

Beberapa meter lagi dia sampai. Bahkan pintu kelasnya yang terletak di ujung koridor sudah terlihat.

"My, my, ternyata ada pelanggar ketertiban," sebuah suara membuat langkah Ciel berhenti.

Dia berbalik.

Dihadapannya, berdiri lima orang dengan lencana perak di masing-masing saku jas. Entah kenapa, mereka terlihat seperti petugas kepolisian yang tengah mengepung pencuri.

Diujung kiri, lelaki berambut perak dan bermata ungu sedang menatapnya sambil tersenyum sampai matanya tak terlihat. Di sampingnya, berdiri lelaki berkacamata dan beriris emas. Di samping lelaki berkacamata atau bisa dikatakan ditangah-tangah, ada lelaki yang barusan menghentikan langkah Ciel, rambutnya hitam legam dan iris matanya berwarna merah. Di samping raven, berdiri lelaki berwajah khas China yang tak terlihat iris matanya, yang dikenal Ciel sebagai Lau, teman masa kecilnya, yang ngomong-ngomong wajahnya tak terlalu berubah. Di ujung kanan, lagi-lagi lelaki berkacamata, tapi kali ini memiliki iris kuning kehijauan. Dan dari semua orang yang kini ada di hadapan Ciel, lelaki di ujung kanan yang menatapnya paling tajam.

Pemilik mata biru itu tak mengubah ekspresinya.

"Sebutkan nama dan kelasmu," kata lelaki beriris emas dan berkacamata yang ada di sebelah kiri lelaki berambut raven. Dia mengeluarkan sebuah buku berukuran kecil dan pena. Setelah membalik beberapa lembar, dia membuka tutup pena dan bersiap menulis.

"Untuk apa aku menyebutkannya?" balas Ciel datar.

Lelaki berambut perak mendekat dan berhenti satu meter dihadapan Ciel. "Anak baru?" tanyanya sambil mengamati Ciel dari atas sampai bawah.

"Untuk apa aku menjawabnya?" ucap Ciel lagi. *ya ampun Ciel, ngucapin gitu aja nggak mau *abaikan

Lelaki itu mengepalkan tangan. "Kau—"

"Sudahlah Ash, tampaknya dia memang siswa baru," kata lelaki yang tadi bertanya nama dan kelas Ciel. Dia memasukan kembali buku itu ke dalam jasnya.

"Anak baru ternyata," kata lelaki beriris merah.

"Kalau tak ada keperluan, permisi, aku ada kelas," kata Ciel, kemudian melenggang pergi begitu saja.

Langkah Ciel terhenti karena sebuah tangan telah menahannya dan mencengkramnya dengan geram. "Tidak sopan sekali, kau ingin hukuman?" kata si rambut perak sambil tersenyum mengejek.

"Tsk," kata Ciel, bersamaan dengan lepasnya cengkraman tangan si rambut perak.

Ciel menatap lelaki berambut perak itu sejenak, lalu pergi dengan langkah lebar.

Sedangkan lelaki itu mengepalkan tangannya. Lelaki yang lain menatap Ciel dengan tatapan terkejut.

"Tsk. Harusnya aku membersihkan pelanggar ketertiban seperti dia."

"Sepertinya kau terlalu terobsesi dengan yang namanya membersihkan," kata lelaki bermata sipit. "Kau bisa bersihkan halaman sekolah, toilet, koridor, hatimu juga kalau perlu," lanjutnya dengan nada mengejek.

"Lau, kita sepakat tak membicarakan itu," kata lelaki beriris merah di samping Lau.

"Sudahlah Ash," kata lelaki di pojok kanan denggan raut muka datar. "Dia hanya siswa baru."

"Siswa baru yang mungkin akan bergabung dengan kita nanti," kata Ash sambil menyeringai, mata ungunya berkilat-kilat, kemudian melirik ke belakang dengan tatapan misterius. "Sudah saatnya kita kembali berpatroli."

V

Kelas 1-2, Ciel manatap pintu kayu dihadapannya. Tangan mungilnya memegang pegangan pintu dan membukanya. Beberapa pasang mata menatapnya penuh ingin tau saat pintu terbuka sempurna.

Perkenalan berjalan sesuai biasanya. Beberapa anak terlihat heran karena Ciel masuk ke sekolah pada pertangahan semester pertama. Ya, seharusnya mereka tau, Ciel memang tak berniat untuk pergi ke sekolah.

"Ciel, kenapa kau memutuskan pindah ke sekolah saat pertengahan semester?" tanya Alois ( remaja berambut pirang terang dengan warna mata yang mirip seperti Ciel, hanya saja lebih cerah) saat bel istirahat telah berbunyi. Dan disinilah Ciel, terjebak diantara kerumunan yang ingin tau.

Pada awalnya, kerumunan itu hanya ada Alois dan Ciel saja. Tapi semakin membesar saat Alois mulai mengorek-ngorek tentang dirinya.

Ciel yang tak berminat menjawab hanya memandang datar pada Alois.

"Eh, kenapa kau memandangku seperti itu?" tanya Alois dengan raut muka heran. "Kau tertarik padaku? Kau mungkin akan terjerat dengan pesonaku," lanjutnya dengan raut muka senang. Sepertinya ada yang salah dengan orang ini. Ciel mencatat dalam hati agar tak terlalu dekat-dekat dengannya.

"Cih," kata Ciel, kemudian beranjak dan menghilang dibalik pintu kelas. Kerumunan tadi membuatnya muak.

"Dia pergi," kata Finny, salah satu lelaki yang mengerubungi Ciel tadi. "Ini gara-gara kau," sambungnya.

"Tenang, dia pasti kembali," kata Alois Trancy tak mau disalahkan.

Sedangkan itu, Ciel berjalan kesal tanpa tujuan. Hanya satu yang memenuhi benaknya saat ini, dia muak berada di kelas. Tanpa mengikuti kelas pun dia bisa mengerjakan ulangan. Jadi, tak ada masalah jika dia tak kembali saat bel masuk berbunyi, kan?

Setelah berjalan kurang lebih lima menit, Ciel berhenti. Nampaknya, ini adalah akhir dari perjalannya(?). Dia telah berdiri di ujung koridor, dimana di depannya terlihat batang pohon menjulang. Di belakang pohon itu, tampak tembok kokoh yang berfungsi sebagai pertahanan dan tak mungkin bisa ditembus karena ketinggiannya. Oke, mungkin itu terlalu berlebihan. Di sisi lain, terlihat bunga-bunga yang layu dan kursi taman yang berkarat. Setelah berpikir lagi, tempat ini terlihat seperti... terabaikan.

Ciel berhenti, lalu mengehela nafas. Bagaimana bisa lima menit menit berjalan tanpa arah bisa membuatnya tersesat ke tampat aneh seperti ini. Seingatnya, tampat ini berbeda dari tempat yang lain. Di halaman sekolah, bunga terlihat bermekaran. Bahkan sampai ke ujung koridor kelas pun terawat.

"Tempat ini terlarang untukmu, anak baru."

Suara itu membuat Ciel berbalik. Tanpa menjawab, dia berlalu begitu saja. Dia tak menghiraukan sosok berkacamata yang baru saja menegurnya. Kalau tak salah ingat, lelaki itu salah satu bagian dari petugas patroli yang menegur Ciel tadi pagi.

"Ternyata kau suka sekali kabur," kata orang itu lagi.

Kata 'kabur' membuat Ciel berhenti dan berbalik ke arah orang yang baru ditinggalkannya beberapa detik yang lalu. "Apa maksudmu?" tanya Ciel ketus, dia merasa bersikap ramah tak ada untungnya.

"Kau memang selalu kabur, kan?"

Ciel diam. Sebenarnya, dia tak berniat kabur. Hanya saja membalas perkataan orang dihadapannya sama sekali tak ada untungnya. Ciel, kenapa yang kau pikirkan sedari tadi hanya keuntungan? *abaikan

"Apa orang tuamu selalu mengajarimu begini, kabur dari masalah?" tanyanya tanpa menghiraukan perubahan mimik wajah yang dialami Ciel. Memang perubahan itu tak terlalu terlihat, tapi kalau diperhatikan lagi alis dan bibirnya Ciel sedikit menekuk.

Ciel ingin sekali menendang kaki lelaki di hadapannya ini. Tau apa dia tentang orang tua?

"Kau tau kan ada tulisan 'batas siswa' di persimpangan lorong tadi?"

Lelaki mungil itu mencoba mengingat-ingat, apa benar ada tulisan seperti itu tadi? Tapi apa daya, dia bahkan tak memperhatikan sekeliling saat berjalan. Bodohnya dia.

"Berisik."

"Kau bahkan tak tau sopan santun. Apa orang tuamu—"

"Claude!"

Seruan itu berhasil membuat Claude diam. Sedangkan wajah tanpa ekspresi tetap terpasang di wajah Ciel. Ciel sempat mendengar decihan keluar dari mulut Claude.

"Bukankah masih ada tugas yang harus kau kerjakan?" tanya lelaki bermata merah yang baru datang. "Aku tak tau William pernah menyerahkan jadwal kosong kepadamu dengan predikat yang kau sadang," lanjut Sebastian dengan nada sedikit mengejek.

"Ya," jawab Claude singkat, kemudian berlalu. Ciel berani bertaruh dia melihat Claude menatap tajam ke arahnya sambil berkata 'tunggu saja kau' tanpa suara.

Lelaki itu beralih menatap Ciel. "Jadi, apa yang kau lakukan di sini?" tanyanya langsung ke pokok persoalan.

"Tersesat."

Mungkin ini sudah saatnya Ciel berterus terang tanpa berbelit-belit terlebih dahulu.

"Aku Sebastian Michaelis. Aku bisa menunjukan jalan kalau kau mau," katanya sambil tersenyum. Tangannya terulur ke arah Ciel.

Ragu-ragu, Ciel menerima uluran tangannya. Dia masih ingat, orang ini juga termasuk salah satu kelompok tidak ramah yang menegurnya tadi pagi, dia harus berhati-hati. "Ciel," katanya, sengaja menyembunyikan nama keluarganya.

"Bolos?" tanya Sebastian, mengingat bel berdering dua menit yang lalu.

"Mungkin."

Sebastian menghela nafas, kemudian mengeluarkan buku dari dalam jas hitamnya. "Kalau begitu maaf, aku harus mencatatmu."

Ciel menggerakan tangan seperti berkata 'silahkan saja'. Mungkin Sebastian hanya akan mengurangi poin siswanya. Dia pernah dengar, banyak sekolah yang menerapkan sistem poin untuk mendisiplinkan siswa. Bagi Ciel, kehilangan poin sama artinya dengan semakin dekat dengan kebebasan. Semakin cepat dia keluar dari sekolah ini, semakin baik.

Benar, dia ingin cepat pergi dari sekolah asrama ini. Setidaknya, dia lebih suka berada di kediamannya dan bermain catur sendiri daripada menyia-nyiakan waktu di sekolah ini.

Sebastian mengambil bolpain hitam dari sakunya. "Nama?"

"Kau sudah tau, Michaelis," kata Ciel tanpa memandang ke arah Sebastian.

"Aku tak bisa menulis 'Ciel'," kata Sebastian.

Ciel mengerjap bingung. Dia tak mengerti apa maksud Sebastian. Bukannya nama itu sudah jelas? "C-i-e-l," katanya mengeja.

Helaan nafas kembali terdengar. "Nama keluarga? Atau Ciel adalah nama keluarga? Aku butuh nama lengkapmu agar lebih mudah."

Rona merah menyebar di wajah Ciel. Sekarang dia baru paham apa yang dimaksudkan Sebastian. Oh, betapa bodohnya dia. "Ciel Phantomhive."

Sebastian sedikit terbelalak sebelum menulis sesuatu di bukunya. "Phantomhive?"

"Ya," jawab Ciel tanpa minat. Dia tak suka bila nama keluarganya disebut seperti itu. Kebanyakan orang yang mengungkit-ungkit nama keluarganya biasanya akan berakhir dengan kata-kata simpati penuh kebohongan. Oh ayolah, Ciel sudah bosan mendengarkannya.

Phantomhive, nama yang sudah terkenal di kalangan masyarakat umum karena menempati kategori sebagai bangsawan tingkat atas. Selain itu, tragedi kebakaran lima tahun yang lalu juga menambah catatan tentang Phantomhive.

"Kau—"

"Ya benar," potong Ciel tanpa mendengarkan kelanjutan kalimat yang diucapkan Sebastian. Ia suah bisa menduga apa yang akan dikatakan Sebastian. Perusahaan bla, bla, bla... orang tua bla, bla, bla... tragedi lima tahun lalu bla, bla, bla...

Seperti memahami apa yang dirasakan Ciel, Sebastian tersenyum. "Baiklah, aku mengerti."

"Kau mengerti?" tanya Ciel meremehkan. Dia melipat tangannya di depan dada sambil menatap dengan tatapan mencemooh ke arah Sebastian.

Bukannya jawaban, Ciel hanya mendapatkan senyuman penuh kepalsuan dari Sebastian.

"Berapa poin yang hilang?"

Sebastian memandang Ciel tak mengerti.

"Aku melanggar peraturan, kan?"

"Benar. Kalau begitu, kau harus mendapat hukuman."

"Ya, kurasa kau...tunggu, hukuman?" tanya Ciel. Tadi dia mengira Sebastian akan mengurangi poinnya. Tapi ternyata bukan sistem itu yang diterapkan di sini.

"Ya. Dan kurasa, hukuman ini tak terlalu menyenangkan."

V

Ciel berjalan kembali ke asrama. Pikirannya masih dipenuhi percakapan singkatnya dengan Sebastian beberapa jam yang lalu. Dia bertanya-tanya, kira-kira hukuman apa yang akan diberikan Sebastian kepadanya.

Arlojinya menunjukan pukul enam sore. Artinya, sebentar lagi kafetaria akan dipenuhi manusia yang kelaparan.

Ciel sendiri baru saja kembali dari ruang praktek memasak. Bisa ditebak sendiri kenapa dia keluar terakhir. Benar sekali, dia tak bisa melaksanakan praktek dengan baik. Bagi Ciel, dia tak perlu belajar memasak karena sudah ada koki yang memasak untuknya. Jadi, dia tak bisa mengenali sebagian besar bahan masakan yang berjejer rapi di meja prakteknya.

Menyedihkan.

Lebih buruknya, Ciel menumpahkan hasil sup uji coba pertamanya ke apron yang dikenakan sang pengajar. Bayangkan itu, sup kental menjijikan buatan Ciel, yang baru matang. Hasilnya, dia harus pulang dua jam lebih lama dari seharusnya untuk memenuhi tuntutan sang guru. Hari pertamamu sungguh menyebalkan, Ciel.

Kini dia telah berdiri di kamar nomor seratus empat puluh delapan. Pintu putih itu terbuka saat Ciel baru saja menyentuhkan tangannya di kenop pintu.

'Kebetulan sekali,' batin Ciel.

Dan yang didengarnya adalah...

"Ah Ciel, kau sudah kembali. Senangnya, ayo masuk. Aku baru saja akan keluar untuk mencarimu."

... sambutan nyaring dari seorang Alois Trancy, orang yang ingin dihindarinya.

Karena tarikan Alois yang lebih kuat atau karena tubuh Ciel yang terlampau kecil, Alois dengan mudahnya menarik Ciel ke dalam.

Kamar itu tak berubah saat pertama kali melihatnya. Catnya tetap berwarna biru laut, dua tempat tidur bertingkat menempel di dinding, dua meja belajar yang bersebelahan (dimana yang satunya terlihat berantakan), televisi yang ukurannya tak terlalu besar, dan sofa panjang berwarna coklat. Untuk keseluruhan hanya keberadaan Alois yang berubah. Asrama di sini memang di desain untuk memenuhi kebutuhan siswa. Sehingga fasilitas yang disediakan cukup memadai, tentu dengan harga yang tak murah.

Alois duduk di sofa. Sedangkan Ciel masih mematung di tempatnya setelah sesaat yang lalu menutup pintu di belakangnya. "Kau pulang telat sekali," kata Alois.

"Bukan urusanmu."

Ciel melepas sepatunya, kemudian meletakan sepatu hitam itu di rak.

Alois menekuk bibirnya, tapi sesaat kemudian ekspresi wajahnya berubah menjadi kebalikannya,. "Tak usah dipikirkan, kelas memasak memang menyebalkan kok," kata Alois lagi.

Demi apapun, Ciel rela mengorbankan apapun yang dimilikinya supaya Alois bisa pergi dari kehidupannya, jiwanya sekalipun. Sebelumnya, dia tak tau kalau Alois sekamar dengannya. Yang dia tahu, teman sekamarnya tak cukup pintar mengatur barang hingga mejanya sangat berantakan. Tapi sungguh, sepertinya nasib memang tak berpihak pada Ciel.

"Aku lelah. Jangan berisik," kata Ciel, kemudian merebahkan diri di tempat tidur bagian bawah tanpa berganti baju ataupun mandi.

Alois mengikutinya dan berdiri di samping tempat tidur. "Kau tak makan dulu? Kalau telat kafetaria tutup loh," katanya.

Tak ada respon dari Ciel, sepertinya dia benar-benar kelelahan. Bahkan dia belum sempat berganti baju. Alois menyentuhkan ujung jarinya ke pipi Ciel dan menusuk-nusuknya dengan pelan, berharap Ciel merespon.

Lagi-lagi tak ada respon.

"Sepertinya dia memang tidur," gumam Alois dengan nada lemas sambil berjalan ke arah pintu lalu memakai sepatunya.

V

"... matikan lampu dan selamat malam."

Sayup-sayup Ciel mendengar suara dari pengeras suara yang terletak di sudut kamar. Dia mengerjapkan matanya. Tapi sekelilingnya gelap gulita. Ah ya, dia ingat. Dia tertidur setelah mengikuti kelas memasak.

"Alois..." kata Ciel mencoba mencari sosok manusia menyebalkan yang berstatus menjadi teman sekamarnya.

"Ah.. Ciel, kau bangun," jawab Alois berbisik.

"Kenapa kau berbisik?" tanya Ciel yang tanpa sadar ikut berbisik.

Terdengar suara Alois menuruni tangga tempat tidurnya. "Jam malam, kau tak boleh berisik. Harus tidur."

Jam malam? Ah ya, benar sekali. Ciel ingat kalau Tanaka pernah menjelaskan tentang jam malam ini. Saat jam sebelas malam, semua harus tidur. Kalau tidak, hukuman akan menantimu. Sebenarnya bukan masalah bagi Ciel. Tapi mengingat dia yang telah mendapat jatah hukuman dari Sebastian, Ciel berpikir lagi. Hukuman bertumpuk memang tak enak.

"Sebaiknya kambali tidur," kata Ciel pada dirinya sendiri.

"Kau benar. Hukuman berat kalau kau melanggarnya," jawab Alois yang kembali meraba-raba tangga tempat tidurnya.

Tak berapa lama, terdengar suara nafas teratur yang menandakan Alois sudah terlelap.

Ciel memandagi ruangan yang gelap dengan pandangan datar sampai terdengar bunyi ganjil.

Itu adalah perut Ciel. Dia lapar. Well, dari tadi dia memang menahan rasa lapar itu. Dia belum sempat makan apa-apa sejak tadi. Terakhir kali, dia memakan roti yang dibelinya di kafetaria saat dia membolos. Sejak saat itu, Ciel hanya meminum air mineral.

Dengan berat hati, Ciel merangkak kembali ke tempat tidurnya.

Beberapa jam sesudahnya, rasa lapar itu semakin menjadi-jadi. Ciel yang sedari tadi tak dapat memejamkan matanya hanya bisa memegangi perutnya. Dia berpikir mana yang harus dipilih, dihukum karena melanggar jam malam atau mati kelaparan.

Dan Ciel memilih opsi pertama.

Disinilah dia, berjalan ke kafetaria sambil mengendap-endap. Berusaha tak menimbulkan suara. Dia sengaja hanya mengenakan kaus kaki agar langkahnya tidak menggema. Sampai di tempat yang dituju, Ciel hanya bisa mematung. Kafetaria tutup. Sekarang, kata-kata Alois bergema di telinganya.

"Kau tak makan dulu? Kalau telat kafetaria tutup loh."

Sebenarnya siapa yang bodoh di sini?

Ciel mengepalkan tangan ketika dirasakannya seseorang mencengkram tangannya dan menutup mulutnya, lalu menariknya ke balik koridor.

Terdengar gema di koridor kafetaria. Diam-diam Ciel merasa lega dirinya telah bersembunyi meskipun dengan cara dipaksa.

Sosok yang membekap Ciel melepaskan tangannya ketika petugas patroli telah pergi.

Belum sempat Ciel memprotes sosok itu telah berbicara lebih dulu, "untuk apa kau ada di sini, jam malam telah lama lewat. Kau bodoh atau apa?" kata sosok itu sambil berbisik.

Suara itu dikenali Ciel sebagai suara Claude.

Tanpa menjawab, Ciel menunjuk-nunjuk perutnya. Tak ada gunanya dia menyembunyikan apa alasannya ada di sini, malah itu mungkin membuat hukumannya bertambah berat kalau dia berbohong.

Claude memicingkan mata. Apa yang harus dilakukannya? Memberi Ciel hukuman? Rasanya tidak. Claude tak bisa menyalahkan Ciel yang kelaparan di tegah malam. Bahkan Claude sempat berkeliaran saat tengah malam dulu. Satu hal yang Claude tau, berkeliaran di tangan malam membawa dampak buruk baginya sekarang.

Karena bingung, dia menarik tangan Ciel.

"Oi.. kau mau membawaku ke mana? Kalau untuk hukuman bisa ditunda besok? Aku kelaparan dan tak bisa berjalan normal di sini."

Oh Ciel, sepertinya otakmu juga mulai tidak normal.

"Jangan berisik." Claude melepaskan cengkraman tangannya. "Ikuti saja aku."

Ciel tak bersuara lagi. Dia mengikuti langkah lebar Claude yang semakin lama semakin cepat. Oh ayolah, apa Claude tak sadar kalau kaki Ciel tak sepanjang kakinya? Mugnkin itu karena semua teman-teman Cleude bertubuh tinggi.

Mereka melewati kelas-kelas, keluar dari area sekolah, dan masuk ke asrama yang ada di sampingnya. Claude tau kalau membawa Ciel ke asramanya melanggar peraturan, tapi toh sudah terlanjur.

"Tunggu di sini," kata Claude saat mereka berhenti di depan kamar bernomor tiga puluh dua. Dia menghilang di balik pintu, kemudian keluar dengan roti yang cukup besar di tangan kanannya.

Dia melemparkan roti itu ke arah Ciel yang seketika menangkapnya. "Kembali ke asramamu dan makan itu."

Tanpa berterima kasih, Ciel pergi begitu saja. Itu membuat Claude sedikit terkejut. Dalam hati dia bergumam dan mengingat-ingat, 'tak ada gunanya menolong anak bernama Ciel Phantomhive.'

V

Ciel berhasil sampai ke kamarnya dengan selamat, meskipun sempat beberapa kali hampir berpapasan dengan petugas patroli. Ternyata tak memakai sepatu membuatnya mudah menyelinap.

Tujuan pertamanya adalah memakan roti yang baru saja diberikan oleh Claude. Dalam beberapa menit saja, roti itu telah berpindah ke perut Ciel.

Baru kali ini Ciel merasakan rasa puas setelah menyantap roti. Segera setelah itu, remaja berambut kelabu itu terlelap setelah merebahkan diri di tempat tidur.

V

"Ciel!"

Sesuatu terjatuh.

"Aaa..."

Sesuatu itu berteriak.

"Ciel, kau tak apa?"

Sesuatu itu adalah Ciel Phantomhive. Suara Alois telah membuatnya terjatuh dari alam mimpi. Sekarang, lihat saja keadaannya, tubuh yang masih berbungkus selimut, terduduk di atas lantai, raut muka marah, dan tangan yang mengepal.

Mati kau Alois.

"Cepat kau mandi, nanti kau telat, aku ada roti di atas meja kalau kau lapar," kata Alois tak menyadari atau pura-pura tak menyadari tatapan marah yang Ciel arahkan padanya. Dengan begitu santainya dia menyambar tas dan keluar dari kamar.

Ciel menatap jam sekilas, kemudian berlari ke kamar mandi.

Celaka, sepertinya dia akan telat lagi.

Akhirnya, Ciel sampai ke kelas dengan selamat. Beberapa menit lagi bel akan segera berbunyi. Dia tak ingin memperoleh hukuman lagi. Hukuman dari Sebastian saja baru sore nanti dia jalani, mana mungkin dia menambah hukuman lagi. Celakalah para Order of the Obscurillity yang bisa dengan seenaknya memberikan hukuman pada siswa yang melanggar peraturan. Lebih celaka lagi, Ciel telah menjadi salah satu dari pelanggar itu.

"Ciel, apa yang terjadi denganmu kemarin?" tanya Finny saat Ciel baru saja menyentuh meja miliknya. Roti dari Alois masih digenggamnya, meskipun sudah tandas tiga per empat.

"Tak ada yang menarik," jawab Ciel. Dia kembali mengunyah roti sampai habis, kemudian memasukan bungkusnya ke dalam loker.

"Lalu-lalu, kenapa aku tak melihatmu saat makan malam?" tanyanya lagi.

Ugh.. kenapa lelaki berkepala oranye ini terus bertanya padanya?

Belum sempat Ciel menjawab, kelas yang semula seperti pasar berubah hening. Ciel mengalihkan pandang ke depan kelas, diamana seorang lelaki berambut coklat karamel untuk bagian atas dan hitam pada bagian bawah berdiri sambil mengamati sekeliling kelas. Lencana keperakan khas Order of the Obscurillity menempel di saku jasnya. Kalau diperhatikan lebih teliti, lelaki di depan kelas itu memiliki mata yang sama dengan salah satu anggota OfO yang pernah menegur Ciel kemarin. Dia juga memakai kacamata yang sama, hanya saja ini terlihat lebih modern.

Kalau ada yang tak tau tentang Order of the Obscurillity, itu adalah sebuah siswa terpilih yang bertugas sebagai pengawas, biasanya disingkat dengan OfO. Mengawasi siswa membolos, memberi hukuman, dan mendapatkan hak-hak istimewa. Mau tau kenapa Ciel sudah tau tentang mereka? Jawabannya adalah, dia sempat membaca artikel yang 'tak terlalu panjang' tentang Order of the Obscurillity yang tertempel di mading. Hampir memenuhi satu papan.

"Siapa dia?" tanya Ciel pada sosok oranye di sampingnya.

"Ronald Knox. Salah satu anggota Order termuda. Dia masih kelas satu," kata Finny setengah berbisik. *apa author tak memberitahu kalau OfO biasa disebut dengan Order saja?

"Alois Trancy, Claude, halaman sekolah, sekarang..." Ronald Knox membacakan satu persatu nama, "... Ciel Phantomhive, Sebastian, halaman belakang, sekarang. Itu saja," kata Ronald mengakhiri pidato singkatnya.

Finny menatap Ciel tak percaya. "Pelanggaran apa yang kau buat?" tanyanya dengan raut muka khawatir.

"Bolos," jawab Ciel sekenanya.

"Kau... k-kau... S-sebastian..."

Ciel menaikan alisnya, penasaran.

"S-sebastian, di...d-dia..."

Tatapan Ciel mulai berubah menjadi tajam.

Akhirnya Finny dapat berkata dengan lancar, "Sebastian orang yang sadis. Hukumannya yang paling ingin dihindari setiap siswa selain William. Kau harus hati-hati," bisiknya.

"Tenang saja, aku sudah terbiasa dengan hukuman," kata Ciel datar sembari meninggalkan kelas.

Saat di koridor, Ciel menggerutu. Bukankah seharusnya hukumannya dilakukan sore ini? Meskipun sebenarnya Ciel lega. Setidaknya, nanti sore dia bebas karena hukuman Sebastian dilaksanakan sekarang.

Dia telah sampai di halaman belakang. Tapi tak nampak Sebastian dimanapun. Bagaimana bisa orang yang memanggilnya belum datang. Sebenarnya yang memanggilnya adalah Ronald Knox, tapi atas perintah Sebastian, kan?

"Michaelis," kata Ciel mencoba memanggilnya.

"My, my, tak kusangka kau akan datang."

Ciel berbalik dan mendapati Sebastian berjalan ke arahnya dengan pelan. Ciel memutar bola matanya. "Kau membuang waktuku," kata Ciel.

Sebastian tertawa. "Bukannya kau malah senang bisa keluar dari kelas?"

Tepat.

'Bagaimana dia bisa tahu?'

"Tentu aku bisa tau."

Ciel menatap Sebastian horor.

'Apa dia membaca pikiranku?'

"Pikiranmu mudah sekali ditebak." Sebastian berjongkok dan menyentuh rumput. "Hukuman dimulai."

Sebastian berdiri dan menghampiri Ciel. Dia membisikan sesuatu di telinga Ciel. Entah apa yang dibisikan Sebastian, tapi yang pasti itu membuat Ciel membulatkan matanya yang sedari awal sudah bulat.

"APA?!" teriak Ciel.

TBC

.

Ini pertama kalinya Vee menulis fanfic Kuroshitsuji. Kalau ada kekurangan, kasih tau Vee ya.. oke.. ?

Oh iya, untuk sekedar catatan, Obscurillity School itu hanya karangan Vee, hohoho *menirukan tawa Tanaka...

Kayaknya readers udah tau hukuman yang diterima Ciel. Kalau menurut Vee sudah jelas kok hukuman apa yang diberikan Sebastian pada Ciel. Silahkan menebak sendiri *kabur

.

Terima kasih sudah membaca :D... Dimohon kritik dan sarannya... ^^