LESS SUGAR, PLEASE!

.

Copyright

©Mayonice08

2014

A Haeyuk Fic

.

Special Request from #takbolehdisebutnamanya#

serta

mbak Desul, si eonnie yang cerewet :*

.

AU, YAOI, OOC

a/n: penuh dengan deskripsi. Karena karakter pemeran utama disini yang irit omong. Xd

.

OST. Fic ini = Goodbye My Love by Ailee

(tak ada sangkut pautnya dengan jalan cerita, tapi lagu itu kuputar selama menulis ini)

.

.

"Selamat pagi, Hyukjae. Senang melihatmu sudah bangun sepagi ini," sapa Sungmin yang nyengir lebar. Begitu antusias melihat Hyukjae yang masih menguap dengan muka bantal berjalan ke arah konter coffee shop tersebut.

Hyukjae yang masih terlihat mengantuk, ia bahkan tak sedikitpun berusaha menyembunyikan kantuknya. Separuh matanya masih terkatup. Ia mendekap notebook berisi kumpulan partitur di dadanya. Lalu, melangkah bak zombie menuju Sungmin.

Sebelah tangannya melambai ke arah Sungmin. "Pagi Hyung, berapa coklat yang kau habiskan, huh? Pagi sekali sudah semangat seperti itu," tuturnya sambil menumpukan tangannya di atas konter.

Tawa kecil Sungmin hinggap di pendengaran Hyukjae. Ia yang masih belum seratus persen sadar, mengabaikannya begitu saja.

"Tanpa coklat, aku sudah ceria ini. Aku kan moring person, tak sepertimu," sahut Sungmin. Ia memandang sahabatnya itu sekali lagi, "Lembur semalam?" tanyanya. Melihat penampakan Hyukjae pagi ini yang terlihat suntuk, masih mengenakan baju yang ia kenakan semalam. Piyama dengan motif bintang yang ia selimuti dengan jaket rajut berwarna meah marron. Mengenakan sendal rumah dengan kaus kaki warna hijau. Itu atribut Hyukjae ketika akan terlelap. Membuatnya bisa memastikan jika Hyukjae tak tidur semalaman.

Hyukjae mengangguk. Mulutnya terbuka ketika ia menguap lebar. Ia bahkan tak berniat menutupnya dengan telapak tangan. "Mocha Latte Hyung," pintanya.

Sebelah alis Sungmin terangkat naik. "Kau yakin? Sepertinya coklat panas dan tidur lebih tepat untukmu," ujar Sungmin.

Kulit Hyukjae memang asli putih, tapi jika melihat warna wajahnya saat ini. Tampak begitu pucat dengan kantung mata di bagian bawah menghitam jelas. Sungmin tak habis pikir ia harus meminum kopi lagi. Bocah ini tak bernat untuk lembur lagi di pagi hari, kan?

"Kopi saja Hyung, aku masih harus menyelesaikan partiturku. Kau tahu belum separuh bagian lagu yang sudah jadi chord-nya. Sedang sore nanti, aku harus menemui Mr. Song menunjukkan perkembangan lagu yang kubuat," keluh Hyukjae.

Sungmin menatapnya iba. Ia tahu Hyukjae meski berisik dan ceria, tapi jika sudah berkaitan dengan tugas kuliahnya, bocah itu sangat peduli dan serius mengerjakannya. Apalagi kini dia sudah menginjak semester empat. Semua tugas semakin menggunung, belum lagi Hyukjae harus menyiapkan lagu untuk tugas akhirnya yang akan ditampilkan pada saat malam pentas karya.

"Ya sudah, duduk sana. Tak ada kopi lagi. Tetap kubuatkan coklat panas dan kau harus tidur! Kau harus tidur satu jam saja tak apa. Dan ini perintah, jadi kau tak boleh mengelak," tandas Sungmin. Ia mengusap kepala Hyukjae pelan. Sebelum mengusir pemuda itu untuk mencari tempat duduk.

Hyukjae sebenarnya ingin protes. Tapi, melihat Sungmin yang menatapnya dengan mata membulat, ia berdecak. Tak bisa protes jika Sungmin sudah berekspresi demikian.

Memeluk partiturnya lagi, Hyukjae menatap Sungmin sebelum berbalik. "Okay Hyung," sahutnya. Segera beranjak dari konter tersebut. Mengingat coffee shop ini sudah mulai dipadati pengunjung, dan di belakang Hyukjae sudah ada dua pemuda yang mengantri untuk memesan kopi.

Langkah kaki Hyukjae terhenti pada meja dengan empat kursi warna-warni. Ia menarik salah satu kursi tersebut. Menaruh partiturnya di atas meja, dan segera duduk di kursi tersebut.

Hyukjae menelungkupkan tangan, ia menggunakan lengannya sebagai bantalan tidur kepalanya. Ia belum berniat tidur, masih menunggu secangkir coklat panasnya datang.

Manik Hyukjae yang setengah terpejam mengintip ke sekitar. Pandangan matanya terhenti pada pemuda yang duduk tak jauh dari meja yang ia duduki. Pemuda itu sepertinya tengah menunggu pesanan kopi-nya juga. Meja yang ia duduki masih bersih tak ada cangkir atau piring sekalipun.

Ada yang menarik perhatian Hyukjae. Sosok pemuda itu tengah menangkup buku cukup tebal, ia membacanya dengan mengenakan kacamata yang tersampir indah di atas hidungnya. Dari arah samping saja ia sudah terlihat menarik. Wajahnya tampan, tampan yang terlihat manis. Kategori tampan yang tidak membosankan. Hyukjae suka kategori itu.

Dulu, Hyukjae sempat di dekati oleh salah satu mahasiswa jurusan Manajemen, dia sangat berkharisma dan populer di universitasnya. Yang menjadi daya tariknya adalah mahasiswa ini super tampan, tampan dan bersikap sopan. Harusnya Hyukjae jatuh hati, kan?

Malahan, Hyukjae merasa bosan ketika masa pendekatan, hingga mereka akhirnya memutuskan untuk berteman saja, meski Hyukjae tahu Siwon―nama lelaki itu masih berharap Hyukjae serius berhubungan dengannya dan membawa hubungan pertemanan mereka ketingkat yang lebih jauh lagi. Sayang sekali, Hyukjae tak bisa membohongi hatinya. Hyukjae tak mampu memandang Siwon lebih dari sekedar teman saja.

Kembali ke pemuda yang duduk tak lebih dari lima meter dari Hyukjae. Pemuda itu tengah membalik halaman buku yang ia baca. Ekspresinya terlihat minim, karena beberapa detik terakhir Hyukjae mengamatinya. Tampak sekali jika pemuda itu tipikal pendiam dan cuek. Ia tak sedikitpun menoleh ke arah lain selain buku yang tengah ia baca. Wah, hanya wajahnya saja yang merupakan kategori yang Hyukjae suka. Sepertinya, ia bukan tipikal pemuda yang akan membuat Hyukjae tertarik secara jauh.

"Ini pesananmu." Suara khas milik Kyuhyun mengagetkan Hyukjae. Ia segera mendongak untuk beradu tatap dengan Kyuhyun. Salah satu pelayan yang baru dua minggu ini bekerja di coffee shop ini. Hyukjae tak suka dengan orang ini, dia suka sekali mengerjai Hyukjae. Meski kata Sungmin Kyuhyun itu baik, bahkan tekun dan rajin ketika bekerja, tapi tetap saja jika berhadapan dengan Hyukjae pemuda itu suka sekali menjahilinya.

"Thanks," ujar Hyukjae singkat. Kyuhyun segera beranjak dari meja Hyukjae dan beralih membawa pesanan ke meja sebelah Hyukjae, meja yang diduduki oleh pemuda yang menjadi obyek pengamatan Hyukjae beberapa saat lalu.

Hyukjae melirik sekilas pemuda tersebut. Setelah itu mengambil cangkir coklat panasnya yang tergeletak di meja. Hyukjae tak sedikitpun menunduk untuk memandang cangkirnya. Ia pikir, cepat menghabiskan isi cangkirnya. Cepat-cepat ia bisa tertidur dan bangun lagi untuk melanjutkan membuat chord untuk lagunya.

Pinggiran cangkirnya itu menyentuh mulut Hyukjae. Ia masih melirik ke arah meja di sebelah, ketika pemuda itu tak sengaja juga menoleh ke arahnya. Hyukjae yang kaget, dilanda gugup. Segera menyeruput isi cangkirnya, sambil membuang pandangan kearah lain.

'Tuhan, ternyata ketika menatap wajahnya secara keseluruhan pemuda itu benar-benar tampan,' batin Hyukjae.

Indera pengecapnya segera beraksi ketika cairan pekat hitam masuk ke dalam mulutnya. Lidahnya yang seharusnya berhadapan dengan cairan coklat dengan rasa manis, kini malah diserbu dengan cairan pekat itu.

Bola mata Hyukjae membulat. Mulutnya terasa pahit, pahit dan getir. Rasa kopi yang pekat dan hitam itu menginvansinya. Ini bukan favoritnya.

Bukan, ia sama sekali tak suka dengan rasa ini. Biasanya yang ia rasakan adalah secangkir kopi manis dengan creamer yang banyak dan campuran coklat leleh yang sengaja ia pesan spesial untuknya. Sedangkan yang dirasakan mulutnya sekarang. Ini kopi hitam, dengan sedikit gula. Atau bahkan tanpa gula.

Yuks!

Rasanya menyedihkan dan tak enak. Membuat Hyukjae segera menyemburkannya. "Ya Kyuhyun! Ini kopi hitam, mana coklat panasku. Kau mau meracuniku ya. Rasanya tak enak sekali, ugh," ucap Hyukjae uring-uringan.

Kyuhyun yang tengah mengantar pesanan ke meja pengunjung lain, menatapnya dengan seringaian.

Hyukjae mengusap mulutnya yang masih terasa kopi. Hyukjae mencak-mencak, ingin sekali berlari dan menjambaki rambut Kyuhyun. Beberapa waktu yang lalu, pemuda itu pernah menaruh tiga sendok kopi hitam tambahan di mocha latte nya. Membuat kopinya terasa sangat pahit. Ia masih bisa memaafkan hal itu, karena manisnya coklat leleh menutupi pahitnya kopi yang melebihi takaran.

Tapi, saat ini? Kopi kental hitam bukan hal yang ingin Hyukjae rasakan seumur hidupnya. Ugh! Sungmin yang berdiri di belakang konter, segera menghardik Kyuhyun yang tertawa pelan. Sungmin melayangkan pandangan 'maaf' pada Hyukjae. Lalu segera berbalik untuk membuatkan coklat panas pesanan Hyukjae.

'Bocah itu, awas saja,' batin Hyukjae. Masih uring-uringan. Ia baru saja akan berdiri menghampiri Sungmin, ketika sebuah suara menyita perhatiannya.

"Maaf, itu kopi pesananku," ucap pemuda yang kini berdiri di samping meja Hyukjae. Tanpa ekspresi. Menatap lurus kearah Hyukjae. "Ini coklat panas pesananmu," tunjuknya pada cangkir putih dengan berisi coklat panas.

Seketika, Hyukjae merasa. Ingin mengorek tanah, membuat lubang besar untuknya dan bersembunyi di dalam lubang itu.

.

.

Mereka bertemu lagi. Dua hari setelah insiden di coffee shop, Tuhan menakdirkan mereka untuk bertemu kembali. Ternyata, pemuda itu merupakan teman sejurusan Siwon. Sungmin mengatakan jika pemuda itu belakangan ini rajin menghampiri coffee shop tempat ia bekerja. Dari yang Sungmin ceritakan, ia pernah betemu dengannya bersama Siwon dan teman sejurusannya berkumpul di coffee shop itu.

Hyukjae kala itu, baru saja akan menghampiri Siwon ke gedung fakultas ekonomi. Meminta lelaki jangkung itu untuk mengantarkannya ke flat Junsu. Junsu merupakan sahabat karibnya sejak kecil, namun mereka terpisah ketika Hyukjae memutuskan kuliah di Universitas Negeri Seoul, sedang Junsu berkuliah di Universitas swasta, meski sama-sama berada di satu kota yaitu Seoul.

Hyukjae tahu, Siwon masih mengharap lebih. Tapi sekali lagi, Hyukjae tak mungkin memberikan harapan pada Siwon, jika hatinya saja tak pernah ada untuk lelaki itu. Sebagai balasan atas kebaikannya, Hyukjae menuruti segala permintaan Siwon atau lebih tepatnya penawaran Siwon terhadapnya, mengantarkannya kuliah, mengantarkannya pulang ke rumah, menemani Hyukjae belanja, bahkan seringkali membelikan Hyukjae setumpuk pakaian. Siwon selalu saja bersikap super baik kepadanya. Memperlakukan Hyukjae dengan lembut dan perhatian.

Tak ayal, tak ada satupun orang di luar lingkar pertemanan mereka yang percaya jika Hyukjae dan Siwon bukanlah sepasang kekasih. Di mata mereka, gerak-gerik keduanya seolah menunjukkan hubungan yang lebih dari sekedar teman. Awalnya Hyukjae ambil pusing tentang hal itu, meluruskan hubungan mereka yang memang hanya sebatas teman. Tapi, saat orang lain seolah tak percaya perkataan dari mulutmu sendiri, Hyukjae letih, membiarkan mereka menerka-nerka. Toh, takkan membuat dampak buruk bagi keduanya. Siwon juga tak pernah mengeluh disangka pacarnya, well bukankah itu keinginan Siwon sendiri, coba saja hati Hyukjae terpaut untuk lelaki itu. Segalanya akan lebih mudah.

Selama ini, Siwon-lah yang mengantarnya pergi kemanapun. Meski terdengar seolah Hyukjae memanfaatkan Siwon, namun mengingat Siwon sendiri yang mengajukan diri untuk menjadi supir pribadi Hyukjae dan mengatasnamakan pertemanan mereka sebagai alasan.

Apalagi mengingat Hyukjae tak memiliki mobil, untuk membiayai hidupnya di Seoul saja ia masih bergantung pada kiriman tiap bulan dari orang tuanya. Jadi, ia tak berniat untuk membeli mobil sendiri. Sebuah mobil bukan hanya bisa dinaiki, tapi butuh uang lebih untuk merawatnya.

Langkah kaki Hyukjae menyusuri koridor gedung fakultas ekonomi. Berlari kecil ketika melihat Siwon sudah tak jauh dari hadapannya, Hyukjae tak memandang ke arah sekitarnya. Ia melangkah lebar. Sampai tubuhnya menubruk orang lain yang tiba-tiba keluar dari salah satu pintu ruangan.

Hyukjae limbung. Tubuhnya terhuyung jatuh ke arah lantai. Ini bukan dunia sinetron, jadi tidak ada adegan tubuhnya ditangkap dalam pelukan seseorang. Ia mengaduh pelan. Memegangi pantatnya yang terasa linu.

Kepala Hyukjae mendongak. Memandang pada sosok pemuda tak jauh tinggi darinya, tengah berdiri menatapnya. Pupil Hyukjae melakukan perbesaran ketika menyadari siapa pemuda tersebut.

"Kau," desisnya pelan.

Itu pemuda yang ia temui dua hari lalu. Pemuda sama dengan wajah tampan dan rambut yang ditata rapi, tapi tak meninggalkan kesan nerd. Masih dengan kacamata yang mematut wajah tampannya.

Pemuda dihadapan Hyukjae hanya diam tak berekspresi. Mengulurkan tangannya untuk membantu Hyukjae berdiri saja tidak. Hanya memandang Hyukjae dengan alis berkerut.

"Lain kali, lihat ke sekeliling kalau berjalan,"ucapnya. Sebelum berlalu lagi, melanjutkan langkah.

Meninggalkan suara derap sepatunya yang bergesekkan dengan lantai. Meninggalkan Hyukjae yang masih terduduk dengan wajah tak bisa didefinisikan ekspresinya. Meninggalkan Hyukjae menggigit bibir bawahnya menahan diri untuk berteriak. Menahan diri untuk tidak uring-uringan.

"Hyuk-ah, kau tak apa?" Suara lembut penuh kasih yang diucapkan Siwon membantu Hyukjae untuk mengontrol emosinya. Dengan bantuan temannya itu, Hyukjae berdiri kembali. Memasang senyum simpul pada Siwon yang menghawatirkannya. Ia mengalihkan perhatian Siwon, mengajaknya berbicara tentang hal lain.

Mengalungkan lengannya pada lengan kokoh Siwon, menarik pemuda itu menuju parkiran tempat mobilnya berada. Mengajaknya segera mengantarnya menuju flat Junsu.

Selama di perjalanan, ada satu hal yang mengganjal. Di otak Hyukjae, wajah pemuda itu masih tinggal. Berulang-ulang muncul, tak lenyap sedetik pun.

.

.

Berulang kali, ia mengusap telapak tangannya. Namun, hawa dingin yang menggelitik kulit ketika angin musim gugur berhembus. Membuat Hyukjae menggigil sebentar. Ia menarik long sleeve warna hijau muda yang ia kenakan. Membuat lengan kaus tersebut semakin menutupi punggung tangannya.

Hyukjae menggerutu pelan, menyesal lupa mengenakan sweater ataupun jaket yang cukup tebal. Harusnya musim gugur datang beberapa minggu lagi, namun tak sesuai perkiraan. Kini suhu di kota Seoul sudah mulai menurun, pertanda musim tengah berganti.

Malam ini, Hyukjae berniat untuk lembur. Lembur sama dengan menyesap bercangkir-cangkir kopi yang pasti bukan kopi hitam. Menahannya untuk terlelap. Namun, ketika Hyukjae membuka laci dapurnya. Persediaan kopinya habis, beserta persediaan snack dan makanan lain. Padahal, Hyukjae seringkali dilanda lapar tengah malam. Ia membutuhkan camilan minimal keripik kentang atau biskuit coklat.

Ketika menatap jarum jam dinding yang tergantung di dinding ruang tamu flat mungilnya. Jam menunjuk pukul sepuluh lebih dua puluh sembilan. Hyukjae merutuki dirinya, karena pukul segitu coffee shop langganannya sudah tutup.

Mau tak mau, Hyukjae memilih untuk keluar dari flat, berjalan kaki malam-malam sendiri dengan sendal rumahnya. Menuju mini market yang berada tak jauh dari bangungan flat-nya.

Lampu minimarket yang warna-warni itu sudah terlihat beberapa meter tak jauh dari posisi Hyukjae. Ia segera mempercepat langkahnya. Menarik pintu minimarket yang meninggalkan suara bel berdenting.

Pegawai kasir mini market yang merupakan seorang ibu setengah baya menyapanya dengan senyuman. Hyukjae sedikit membungkukkan badannya sambil membalas senyum ibu tersebut.

Langkah kaki Hyukjae bergerak menuju rak kopi yang berada di barisan rak nomor dua. Mini market ini tampak sepi, hanya ada dua orang pengunjung lain sepenglihatan Hyukjae.

Ia mengambil keranjang plastik untuk menaruh barang belanjaannya. Segera berdiri di depan rak minuman. Tak jauh darinya, seorang pemuda juga berdiri di barisan rak yang sama. Dari potongan rambutnya, Hyukjae agak curiga.

Mengedikkan bahu, Hyukjae cuek dan memilih berkonsentrasi untuk belanja makanannya. Ia mengambil beberapa kotak merk kopi favoritnya. Menaruhnya di keranjang plastik yang ia bawa. Hyukjae menelusuri rak tersebut, puas memilih kopi dan minuman lain.

Ketika Hyukjae berbalik, pemuda yang tadi ia lihat berada tengah berpindah tempat berdiri di depan rak makanan kering. Menarik ujung long sleeve-nya,Hyukjae segera melangkah ke arah rak yang sama.

Dari sudut matanya, Hyukjae melirik kearah lelaki itu. Ia agak curiga jika pemuda itu merupakan pemuda yang dua kali ia temui di dalam hidupnya saat ini. Mengingat dari postur bahkan potongan rambutnya juga sama. Kalau mereka benar akan bertemu lagi, bolehkah Hyukjae menyebutnya takdir? Karena beberapa hari setelah insiden pertemuan kedua dengan pemuda itu, wajahnya masih tetap bersemayam di otak Hyukjae.

Ketika Hyukjae memandangnya lagi, kali ini melirik saja tidak cukup. Karena tak bisa ia pastikan dengan lirikan dari sudut mata. Hyukjae dibuat kaget, tepat ia menoleh, pemuda itu juga ikut menoleh.

Rasanya Hyukjae ingin tertawa. Kecurigaannya ternyata benar. Pemuda yang sama, yang ia temui untuk kali ketiga di dalam hidupnya.

Malam ini, pemuda itu mengenakan kaus bergaris yang ia lapisi dengan jaket warna coklat tua dengan lengan yang ia gulung sampai ke siku, kakinya ia balut dengan celana jins belel. Ada yang berbeda malam ini, kacamata yang biasanya bertengger di hidung mancungnya, malam ini absent. Membuat Hyukjae lebih leluasa menelusuri manik bertahtakan hazel yang masih menatapnya.

Kikuk. Sebelah tangan Hyukjae terangkat, refleks. Hyukjae nyaris melambaikan tangannya untuk mengucapkan kata 'hai'. Namun, segera ia tahan dengan berpura-pura menggaruk belakang kepalanya.

Pemuda itu menaikkan sebelah alisnya masih menatap Hyukjae. Ia tak sedikitpun berniat memandang kerah lain. Membuat Hyukjae ingin mengubur diri di dalam lubang sekali lagi. Karena pemuda yang sama pula.

Menggerutu tak jelas, Hyukjae merutuki dirinya sendiri. Ia bukan tipikal orang yang mudah kikuk di hadapan orang lain. Biasanya ia adalah tipikal orang yang gampang berbaur. Tapi, dengan orang ini. Hyukjae merasa, entahlah. Ada yang berbeda. Membuat ia tak leluasa bertingkah.

Salah tingkah, Hyukjae pura-pura mengambil ponselnya dari saku celananya. Tangan Hyukjae merogoh saku celana piyama yang ia kenakan. Kosong menyambut tangannya yang masih sibuk merogoh.

Ia berganti merogoh saku yang lain. Sampai ia menyadari satu hal. Dua saku celana piyamanya kosong tak berisi, kecuali kunci flat-nya. Dilanda panik yang tiba-tiba mengerjap otaknya, Hyukjae tanpa sengaja menjatuhkan keranjang plastik yang berisi belanjaan yang ia pilih tadi.

Saku piyama kosong berarti ponsel dan dompetnya tertinggal. Tanpa kedua benda tersebut, ia tak bisa membayar belanjaannya. Itu berarti ia harus pulang mengambil dompet terlebih dahulu, atau kalau tidak mengembalikan barang-barang yang ia pilih dan tak jadi belanja.

Ugh, ia membutuhkan kopi. Sangat butuh kopi jika ia harus lembur tugas malam ini. Ia masih bersyukur tugas yang ia kerjakan kali ini bukan melanjutkan partitur lagu di kelas Mr. Song. Melainkan tugas membuat makalah dan laporan lain. Namun, tetap saja tugas adalah tugas harus Hyukjae kerjakan semaksimal mungkin. Tak ada opsi lain deh, selain pulang mengambil dompet dan datang kesini lagi.

Hyukjae merundukan tubuh. Mengambil keranjang plastiknya yang tadi sempat terjatuh. Namun, sesuatu hal unik terjadi. Pemuda dingin berwajah tampan yang pertemuan terakhir menabraknya itu, ikut merunduk dan membantunya memungut barang-barang yang sempat terlempar dari keranjang plastiknya.

Hal ini membuat Hyukjae bertanya-tanya di dalam hatinya. Tapi, ia memilih untuk diam saja dan memunguti barang-barang tersebut dengan cepat. Semakin cepat semakin baik, agar ia segera cepat pulang untuk mengambil dompet.

"Terima kasih," ucapnya sambil tersenyum tipis ketika keduanya kembali berdiri tegak.

Pemuda itu mengangguk pelan, sebelum Hyukjae melangkah kembali menuju rak kopi dan minuman sebelumnya. Ia mengambil satu persatu barang dalam keranjangnya. Menaruhnya kembali pada rak di depannya.

Dengan wajah sedih, Hyukjae memandang kotak kopi yang seharusnya ia beli saat ini. Menaruh kotak kopi tersebut ke tempat sebelumnya. Mungkin, jika ia tidak ceroboh ataupun lupa membawa dompet. Saat ini, Hyukjae sudah berjalan pulang dengan membawa tas belanjaan.

"Kenapa?"

"Huh?" Hyukjae mendongakkan kepala, berhenti bergerak. Ketika pertanyaan itu terlontar kearahnya.

"Itu, kenapa kau kembalikan semua?" tanyanya lagi. Pemuda yang tadi membantunya. Ia bingung harus menyebut pemuda itu siapa. Hyukjae tak tahu namanya, ia baru bertemu dnegannya pun ketiga kalinya saat ini.

Mr. black coffee?

Agak cocok, mengingat pertemuan awal mereka berawal saat Kyuhyun dengan kejahilannya menukar pesanan mereka. Menukar coklat panas yang manis di lidah itu dengan kopi hitam pekat yang terasa getir dan khas tumbukan kopi.

Kembali lagi ke pertanyaan yang dilontarkan pemuda itu. Hyukjae merasa semakin ingin merutuki diirnya sendiri. Karena setiap bertemu dengan pemuda itu hal aneh menghampirinya.

"Ehm, dompetku tertinggal," aku Hyukjae. Menarik ujung long sleeve yang ia kenakan tanpa sadar.

Mr. black coffee menaikan sebelah alisnya, ini seperti gaya khas darinya. Cara dia berekspresi mungkin. Tapi, Hyukjae suka melihatnya. Ketika alisnya terangkat sebelah, dahinya berkerut. Membuat wajah dingin tanpa ekspresinya sedikit berwarna, meski dengan ekspresi serius sih.

Tangan itu menarik bungkus kotak kopi yang baru akan ia taruh kembali ke rak, sebelum pemuda itu datang. Mengambilnya dan menjatuhkannya ke dalam keranjang platiknya. Ia kemudian mengambil barang-barang yang ada di keranjang Hyukjae dan memindahkannya pada keranjang yang ia bawa.

Keranjang plastik belajaannya memang tak sepenuh keranjang milik Hyukjae, hanya berisi beberapa permen karet dan makanan kecil.

"Kau mau belanja apa lagi?" tanya pemuda itu. Berjalan ke arah makanan ringan. Hyukjae yang bingung, segera melangkah, lalu membuntutinya dari belakang.

Ketika Hyukjae tak kunjung menjawab, masih bingung dengan situasi saat ini. Pemuda itu beralih memandang beberapa snack yang berjajar rapi di rak. Ia mengambil snack tersebut secara acak. Menaruhnya di keranjang yang ia bawa sampai terisi penuh.

Ia tak berucap sepatah katapun setelahnya. Hyukjae yang masih seperti orang linglung, membuntutinya ketika ia berjalan ke meja kasir. Penjaga kasir itu tersenyum ramah kepada mereka.

Mr. Black coffee meletakkan keranjang yang ia bawa di atas meja kasir. Membiarkan penjaga kasir segera bertugas untuk menghitung barang belanjaannya.

Hyukjae menatap punggung yang terbalut jaket coklat tua tersebut. Masih bertanya-tanya dalam hati, sebenarnya sedang apa yang terjadi. Dengan cekatan penjaga kasir tersebut selesai melaksanakan tugasnya. Ia menyebutkan nominal uang yang harus dibayarkan. Mr. Black coffee mengeluarkan dompet dari saku jaketnya. Memberikan uang sesaui dengan nominal yang dibayarkan.

Penjaga kasir tersenyum ramah dan setengah membungkuk saat mengulurkan kantong belanjaan yang sudah distaples rapi. Mr. Black coffee mengambil kantong belanjaan tersebut. Ia berbalik menatap Hyukjae yang masih memandangnya bingung. Tanpa berkata, satu lengannya menggamit tangan Hyukjae. Menariknya keluar dari mini market.

"Itu belanjaanmu." Mr. Black coffee mengulurkan kantong belanjaan tersebut pada Hyukjae. Menyusupkannya pada sebelah tangan Hyukjae yang bebas.

"Tapi―"

"Sudah malam, sebaiknya kau segera pulang," potongnya. Melepaskan tangan Hyukjae. Entah mengapa, saat genggaman tangan itu terlepas bersamaan hembusan angin awal musim dingin. Menggelitik syaraf telapak tangan Hyukjae yang hangat berubah menjadi dingin dalam hitungan sepersekian neon detik.

Mr. Black coffee berbalik. Ia melangkah pergi meninggalkan Hyukjae yang masih membatu. Melihat langkah Mr. Black coffee yang tiap detik terasa begitu menjauh. Hyukjae gelagapan. Kantong belanjaan semakin ia genggam erat.

"Kau suka kopi, kan? Bagaimana jika mampir sebantar dan minum kopi denganku? Flat-ku tak jauh dari sini,"ucapnya setengah berteriak. Sedetik kemudian ia mengutuki dirinya sendiri.

Sungguh! Ia tak ingin terdengar seperti pemuda murahan yang menawarkan minum kopi tengah malam kepada pemuda lain. Tapi, mengingat kebaikan Mr. Black coffee yang membayarkan belanjaannya. Hyukjae tak tahu harus apalagi yang ia lakukan, mungkin besok ia akan menemui pemuda itu ke gedung fakultas ekonomi dan membayar uang belanjaan padanya, jika dia menolak ajakan minum kopi bersama Hyukjae malam ini.

Mr. Black coffee berhenti melangkah, ia berbalik masih dengan wajah tampan tanpa ekspresinya. Yang membuat hati Hyukjae ingin mencelos adalah ketika pemuda itu berjalan mendekat, kembali mendekat pada Hyukjae.

"Baiklah," tukasnya singkat.

Di bawah lampu jalanan yang termaram, bisikan angin musim gugur yang berhembus pelan. Bau dedaunan yang mencoklat, sebentar lagi mengering dan berterbangan tertiup angin. Wajah tanpa ekspresi itu, sudut bibirnya terangkat tipis. Membentuk senyum simpul yang tampak kaku.

Jika orang lain berkata, Siwon itu adalah orang paling tampan yang pernah ia lihat. Hyukjae akan mengelak, pemuda dihadapannya ini. Yang berbalut jaket coklat tua, kaus bergaris dan celana jins belel yang terlihat usang. Menjadi pemuda paling tampan yang pernah ia lihat, di dalam hidup Hyukjae.

.

.

Tiga sendok kopi dan satu sendok gula. Tanpa creamer, susu, bubuk coklat ataupun coklat batang yang dibiarkan meleleh saat dicampurkan dengan kopi panas. Cara Mr. Black coffee menikmati kopi kesukaannya. Hyukjae tengah mengaduk kopi yang ia buat untuk pemuda itu. Ia sesekali mengangkat kepala untuk melirik pemuda itu yang tengah duduk di lantai kayu flat-nya.

Hyukjae memang tak memiliki ruang tamu, mengingat ia menyewa flat sederhana yang berisi 3 ruangan. Satu ruang kamar, kamar mandi, dan dapur serta ruang depan yang menyatu. Ruang depan yang berisi rak kayu tempat buku, serta meja kayu kecil yang tergeletak di atas lantai kayu. Seperti rumah sederhana di Korea lain. Tak ada sofa empuk. Ruangan depan merupakan yang paling luas, Hyukjae biasanya menonton TV dan mengerjakan tugas di tempat itu, apalagi dapurnya juga menyatu dengan ruang depan, tak ada pembatas sedikitpun. Hal itu membuat Hyukjae bisa bebas memandangi pemuda itu.

Televisi di ruangan tersebut tengah menyala. Layarnya menampilkan tayangan tak jelas, tayangan khas malam hari. Mengambil nampan kecil, Hyukjae menaruh kopinya dan kopi untuk pemuda itu. Dengan langkah perlahan, Hyukjae berjalan ke arahnya. Mendudukan diri di lantai kayu, tepat di sampingnya.

"Kopimu," ucapnya memecah keheningan.

Pemuda itu mengalihkan pandangannya dari layar televisi. Mengangguk singkat pada Hyukjae dan mengambil cangkir kopinya.

Hyukjae bergerak tak nyaman, karena jujur ia tak suka keheningan seperti saat ini. Ia tak suka ketika ia tak bisa berkicau seperti biasanya. Ia tak suka ketika bibirnya terlalu sibuk ia gigit, karena menahan diri untuk mengoceh tak jelas. Namun, dari semua hal itu. Ia terpatut memandang lelaki yang duduk tak jauh darinya.

Cangkir kopi berwarna putih itu tengah ia genggam. Jemarinya mengangkat cangkir kopi ke dekat mulutnya. Tanpa meniup kopi tersebut, ia meneguk kopinya pelan. Ekspresinya tak berubah. Ujung hidungnya mengerut saat menyesap kopinya.

"Enak?" tanya Hyukjae kelepasan. Ia ingin menangkup mulutnya yang tak bisa terkontrol. Sudah dua kali ia melakukan ini dalam satu malam.

"Iya," jawab pemuda itu singkat menyeruput isi cangkir kopinya lagi. Ia menoleh pada Hyukjae yang mengenggam cangkir kopinya tanpa ada niatan untuk meminumnya. "Kau tak minum?"

Hyukjae terkaget sesaat, "Ehm, iya," jawabnya kikuk. Mengangkat cangkirnya dan menikmati racikan kopinya. Emang, tak seenak racikan para barista di coffee shop. Namun, Hyukjae puas dengan racikan kopinya sendiri.

"Donghae," tukas pemuda itu.

"Huh?" Hyukjae menatapnya bingung.

"Namaku,"sahutnya singkat.

Mulut Hyukjae membulat ber-oh ria, sambil menahan senyum yang ingin mengembang di bibirnya. "Hyukjae, namaku," tuturnya.

Kali ini, tanpa menahan diri untuk menyembunyikan senyuman, Hyukjae menelengkan kepalanya sambil memandang manik Donghae yang teduh. Manik hazel dengan pinggiran iris yang kelam, tak secoklat dan secerah milik Hyukjae. Nyaris mendekati hitam jika kau tak memperhatikan warnanya dengan seksama.

Manik itu menitik padanya. Memandangnya dengan tatapan teduh, meski wajahnya tanpa ekspresi. Benar kata orang, mata adalah jendela hati, sedingin apapun seseorang. Lewat mata kau bisa membacanya.

Sudut bibir Hyukjae tertarik. Membentuk bulan sabit terbalik. Lalu, deretan gigi rapinya tampak, menampilkan gusi merah mudanya dalam senyuman khas milik Hyukjae. Suara televisi yang menyala masih memenuhi ruangan, namun terasa begitu hening ketika Hyukjae menyelam ke dalam sorot mata itu.

"Senang bertemu denganmu," tambah Hyukjae. Tak menghentikan adu pandang diantara mereka. Dalam hati, ia benar-benar senang takdir mempertemukan mereka.

.

.

"Hyuk-ah, ayo dimakan." Siwon berkata sekali lagi, mengingatkan Hyukjae yang masih sibuk dengan partiturnya. Pemuda bersurai coklat itu mengangguk saja, tanpa mendongakkan wajah ataupun bersuara mengatakan iya.

Hyukjae terlalu fokus dengan partitur lagunya. Ia masih merasakan ada yang janggal dan kurang dengan lagu yang ia buat. Hal itu membuatnya tak bisa memikirkan hal lain, kecuali seseorang penyuka kopi yang semalam bertamu ke flat-nya. Mengingat itu, hidung Hyukjae mengerut. Ia menggeleng tak jelas. Menarik perhatian Siwon yang duduk di sampingnya.

"Hyuk," sekali lagi namanya dilafalkan. Hyukjae mau tak mau mendongak. Menatap Siwon yang memandaginya dalam.

"Makan, sweetie," ucap Siwon. Telinga Hyukjae sudah kebal setiap mendengarkan Siwon memanggilnya dengan panggilan sayang layaknya dear, love, sweetie dan panggilan manis yang lain. Jujur, saat pertama ia merasa risih, namun ketika ia menatap wajah Siwon yang memandangnya seolah ia adalah matahari versi dunia Siwon, Hyukjae takluk. Toh ia sudah memperingatkan berkali-kali pada pemuda tampan itu, jika Hyukjae tak bisa membalas perasaannya. Hubungan mereka tetap sebatas teman.

"Thanks Siwon-ah," jawab Hyukjae. Memamerkan senyum manisnya pada Siwon sebelum meraup sandwich isi tuna yang dibelikan oleh Siwon. Pemuda itu mengaduk gelas minumnya sambil memandangi Hyukjae menghabiskan makanannya.

Sudut bibir Siwon tertarik, mengulas senyum tampan yang memikat. Setiap ia tersenyum, matanya berbinar. Membuat garis wajahnya yang sudah tampan lebih terlihat charming. Hanya saja, senyuman itu tak pernah mampu menggetarkan hatinya. Merayap menuju hati Hyukjae.

Hyukjae tersentak sesaat, kala pikirannya berkelana memikirkan senyuman hangat yang dilemparkan Siwon. Senyuman itu membuatnya bertanya-tanya, apa senyuman Mr. Black Coffee akan sehangat itu? Setampan senyuman Siwon kah? Atau jauh lebih tampan? Apa jika ia tersenyum, Hyukjae mampu merasakan getar aneh seperti saat malam kemarin?

Andai ia bisa melihatnya, meski sekali. Hyukjae dalam lubuk hati berharap. Ia bisa melihatnya.

.

.

"Kau!" seru Hyukjae pertama kali bersuara. Bola matanya membulat indah saat pandangannya menangkap Mr. Black Coffee yang tengah berdiri di hadapannya. Ia bersyukur memilih berjalan melewati koridor yang menghubungkan fakultas ekonomi dengan fakultas hukum. Padahal ia tadi hanya iseng berjalan untuk kembali ke gedung fakultasnya, setelah bertemu dengan Siwon di kafetaria kampus.

Hyukjae memang belakangan ini sering memikirkan pemuda tersebut. Bahkan baru beberapa detik lalu, angannya masih berisikan wajah pemuda itu. Tapi, ia tak menyangka jika bisa bertemu dengan pemuda itu secepat ini.

Hyukjae buru-buru mengangguk. Senyuman muncul di wajahnya. "Donghae-ssi. Senang bertemu lagi," ucap Hyukjae ramah.

Donghae memang tak membalas ucapannya. Pemuda itu mengangguk sopan. Berbeda seratus delapan puluh derajat dengan pertemuan mereka yang kedua kali.

"Ah iya, uangmu yang kemarin untuk membayar belanjaanku. Belum sempat ku kembalikan, kan? Syukurlah kita bertemu lagi. Sebentar kuambilkan dompetku, dan kukembalikan," Hyukjae mengoceh lagi. Hal ini berbeda dengan dia di malam itu. Hyukjae yang lidahnya bak terlilit tali, begitu diam ketika mereka berbagi kopi di flat milik Hyukjae.

"Tak usah. Lagipula kau sudah membuatkan kopi untukku," sahut Donghae. Pemuda ini berbicara dengan menatap Hyukjae. Tak sedikitpun mengalihkan pandangan.

"Jangan begitu, aku merasa tidak enak. Kopi yang kubuat tak sebanding dengan uang yang kau bayarkan untuk belanjaanku," tukas Hyukjae. Ia meraih dompet yang ada di dalam tasnya. Jantung Hyukjae yang berderu cepat, membuat Hyukjae bingung dalam menemukan dompetnya. Padahal ia ingat jelas, dompet itu ada di saku tasnya. Tapi entah kenapa tangannya tak segera menemukan dompet coklat itu.

Sebuah tepukan mendarat di bahu Hyukjae. Hyukjae segera mendongak. Menghentikan gerakannya.

"Hyukjae-ssi, tidak usah. Kau tak perlu menggantinya," jelas Donghae. Telapak tangannya masih menentuh bahu Hyukjae.

"Ehm, tetap saja. Aku merasa tak enak hati," cicit Hyukjae sambil merengutkan bibirnya.

Donghae menatapnya teduh. Hyukjae terpesona ketika tatapan itu membuat pipinya menghangat. "Kubilang tak usah, jangan merasa seperti itu," ucap pemuda itu.

"Bagaimana kalau kutraktir makan siang sebagai gantinya?"

Entah mendapat ide darimana Hyukjae segera meluncurkan tawaran itu. Ia tak sempat untuk menutup mulutnya, kala ia berucap kembali. "Kali ini aku memaksa, tak ada penolakan, kay?"

Rasanya Hyukjae benar-benar ingin mengubur dirinya hidup-hidup. Ia bahkan baru beberapa menit lalu makan siang bersama Siwon. Lalu, sekarang ia dengan mudahnya menawarkan diri untuk makan siang bersama Donghae. Duh, ia malu. Kenapa dirinya bisa seaneh ini tiap ebrhadapan dengan lelaki itu.

"Aku ada kelas sekarang sampai nanti sore," tutur Donghae.

"Huh?" Hyukjae bingung.

"Jam 4 sore aku baru keluar kelas, tak apa?" lanjut Donghae lagi.

"Maksudnya?" tanya Hyukjae bingung.

"Kalau makan siang, aku tak bisa. Sebentar lagi aku masuk kelas. Bagaimana kalau nanti sore, setelah kuliahku selesai," jelas Donghae.

Senyum merambat. Cepat. Di wajah Hyukjae. "Oh begitu. Iya, iya. Tak apa-apa. Nanti sore, nanti malam, besok, lusa juga tak apa-apa," ucapnya cepat.

"Okay," kata Donghae singkat. Ia melirik Rolex yang bertengger di pergelangan tangannya. "Aku duluan ya, kelasku sudah dimulai."

Hyukjae mengangguk berulang-ulang. Ia menggigit bibirnya untuk menaham senyum bodohnya semakin melebar. "Iya."

Donghae mengangguk pelan. Pemuda itu kemudian melangkah menjauhi Hyukjae. Memandang punggung itu, Hyukjae mengerjapkan kelopak matanya. Raut senang tak dipungkuri tampak di wajahnya.

Ia baru saja akan meninggalkan koridor itu. Ketika satu hal menyeruak di pikirannya. Sore nanti. Dia dan Donghae. Makan sore(?) bersama. Ah. Makan sore? Apakah itu termasuk hitungan kencan?

Kencan?

Ya Tuhan. Otaknya sudah mulai mengacau.

Hyukjae tak sabar untuk bertemu Donghae nanti. Ia tak sabar untuk menunggu kelas Donghae selesai. Tak sabar.

Tersadar, Hyukjae baru ingat. Mereka belum menentukan tempat bertemu. Ya Tuhan, mengapa Hyukjae bodoh sekali? Bisa melupakan hal penting itu.

Ketika Donghae berjalan belum jauh dari Hyukjae. Hyukjae segera berteriak, memanggil nama pemuda tersebut. Pada panggilan kedua, pemuda tersebut menoleh. Menatap Hyukjae dengan pandangan bertanya.

"Donghae-ssi!"

"Iya?"

"Donghae-ssi. Kutunggu di depan gerbang kampus," serunya. Dibalas oleh anggukan Donghae.

Well, makan sore kali ini. Semoga bisa membuat Hyukjae mampu melihat senyum di wajah pemuda tersebut. Semoga saja.

.

.

TBC

Ini adalah Threeshoot pertama sekaligus fanfic yang kupost kembali di FFN. Semoga kalian senang membacanya. Untuk lanjutannya, akan di post dalam waktu dekat.

Komen?