Kuroko no Basuke doesn't belong me. I just own the plot and don't take any profits.

.

.

.

Suara desiran ombak dan pantulan cahaya yang menerpa wajah kekasihnya membuat pria berkulit cokelat itu diam. Ia terpana dengan keindahan yang memukaunya. Entah bagaimana, setan yang tiba-tiba datang mengacaukan pikiran jernihnya. Di sampingnya, kekasih pirangnya terlihat begitu memukau. Wajah cantiknya terlihat bersinar dan semua keindahannya bertambah tatkala ia tersenyum sambil menikmati suanana malam yang dingin, sepi dan desiran ombak yang menggulung pantai, saling berkejaran.

Kekasihnya begitu cantik.

Ia seperti dewi yang baru saja turun dari kahyangan hanya untuk menggoda dirinya. Meski kata dewi kurang tepat, karena kekasihnya bukanlah seorang wanita, melainkan seorang pria sama seperti dirinya.

"Kau dengar suara ombak itu, Aominecchi?" kekasih pirangnya bertanya, masih menutup; menyembunyikan warna indah iris matanya.

Mendengar sang belahan hati itu berbicara dari bibir tipisnya membuat Aomine ingin melupat bibir pria itu seperti biasanya. Namun sekali lagi, ia mencoba menahan hasratnya, ia tak ingin kekasihnya berpikir jika ia hanya menginginkan tubuhnya saja, namun hati seorang Aomine benar-benar telah dimilikinya.

Aomine jatuh cinta padanya.

Aomine benar-benar mabuk dibuat olehnya.

"Mengapa kau diam saja Aominecchi?" manik cokelat keemasan sang pirang terbuka dengan perlahan, membuat sinar bulan memantul dan semakin membuatnya menawan malam ini. "Kau tidak tidur di sini, kan?" sang pria blonde menoleh, menemukan sang kekasih dengan tatapan sendu, menatap dirinya.

"Kau tidak sedang bersedih karena aku, kan, Aominecchi?"

"Kise ..."

"Ya, Aominecchi?"

"Sebut namaku."

"Aominecchi ..."

"Sebut namaku, Kise ..."

"Aominecchi ..."

"Terima kasih."

Tidak ada kecupan yang mendarat di bibir tipis sang model, yang ada hanya pelukan hangat yang diberikan oleh sang polisi muda yang sedang dilanda kesedihan.

Tidak perlu mencium Kise, sang model yang sedang naik daun itu, bisa memeluknya saja sudah cukup membuat kegundahan yang sedang melanda dirinya sedikit terobati. Setidaknya, ketika Aomine memeluk Kise, ia bisa merasakan jika Kise benar-benar hadir di dalam kehidupannya, meskipun itu semua hanyalah kepalsuan semata.

Mungkin Aomine bisa memeluknya, tapi siapa yang tahu jikalau hati sang pirang dipeluk dan miliki oleh siapa. Memikirkannya membuatnya terluka.

"Aku milikmu, Aominecchi, jadi jangan kau tahan," sang malaikat berbisik.

Andai saja kebohonganmu itu memang benar adanya, Kise.

"Aku milikmu, Aominecchi. Malam ini aku milikmu."

Malam ini? Lalu bagaimana dengan malam-malam sebelumnya dan selanjutnya. Milik siapa kau, Kise? Dengan siapa kau berpelukan, berciuman, dan memadu kasih?

Aomine ingin marah, namun ia tak sanggup untuk berkata.

Kau mau tahu mengapa?

Semua itu karena dirinya.

Semua itu salahnya.

Semua itu dosa yang harus ditanggungnya.

Karena semua itu berawal dari masa lalu.

Masa lalu yang ia ingin ubah jikalau ia punya kesempatan untuk kembali.

.

.

.

Aomine pikir cinta itu tidak pernah ada. Sejak remaja ia hanya percaya jika orang memadu kasih hanyalah sebatas mereka membutuhkan satu sama lain. Jika kebutuhanmu sudah terpenuhi, dan kau merasa bosan, kau bisa pergi sesuka hatimu. Peduli dengan perasaan orang lain. Yang ia tahu hanya ia merasa bosan, dan ia tak cukup tahan hanya bertahan dengan satu orang.

Dan semua orang yang mengenal dirinya dengan baik pasti akan menyerah dengan sifatnya itu. Namun tidak dengan pria itu. Pria yang berhasil mencuri hatinya setelah ia menghancurkan hatinya dan sungguh ajaib bisa berhasil menarik ulur hatinya. Ia berhasil membuat hatinya kacau hanya dengan mendengar namanya disebut-sebut oleh orang lain.

Pria itu tak lain adalah Kise Ryouta.

Teman lamanya di klub basket dulu.

Aomine masih ingat, Kise dengan polosnya berkata jika ia menyukai dirinya dan berkata ingin menjadi kekasihnya.

Apa kau masih waras, nak? Itu adalah pemikiran pertama yang muncul dalam otak pas-pasannya.

"Kau tau aku siapa, kan, Kise?"

"Aominecchi? Tentu saja~ kau Aomine Daiki, orang yang aku sukai sejak pertama kali aku ikut klub basket."

Bocah ini berkata dengan polosnya. Matanya yang indah itu berbinar-binar. Sesaat, Aomine merasa tersihir.

"Kau tau dengan semua rumor yang beredar disekitarku, kan? Meski itu bukan rumor juga, sih."

"Aku tahu kok."

Lalu?

"Tapi aku sangat menyukai Aominecchi."

"Tapi aku tidak menyukai seorang pria. Aku masih normal asal kau tahu. Aku masih menyukai dada besar. Kau lihat saja dirimu itu. Kau datar dan aku tak suka itu."

"Tapi meski aku tak mempunyai dada yang besar aku bisa memuaskan Aominecchi, kok. Atau Aominechi mau aku operasi payudara?"

Apa-apan bocah yang satu ini! Apa kewarasannya sudah lenyap dari otaknya?

"Aku ingin dada perempuan, bukan dari pria."

"He? Jadi aku harus bagaimana agar bisa menjadi kekasih Aominecchi?"

.

.

.

Aomine terbangun dari mimpinya. Sudah tiga kali dalam seminggu ini ia bermimpi tentang Kise. Tentang bagaimana Kise dengan polosnya ingin menjadi kekasihnya. Ia yang rata bukanlah tipe Aomine, dan ia dengan sifat keras kepalanya masih ngotot ingin menjadi kekasih seorang Aomine Daiki.

Namun semua itu hanya masa lalu.

Di masa sekarang, setelah sepuluh tahun berlalu, tanpa bertanya pun Aomine tahu jawaban apa yang akan diberikan oleh sang kekasih pirangnya.

"Mungkin di masa lalu aku adalah milik Aominecchi, tapi sekarang aku bukan milikmu. Aku milik orang lain. Sekarang matilah dengan rasa cintamu itu."

Terdengar jahat? Bagi orang lain mungkin iya, namun bagi seorang Aomine itu bukanlah kalimat jahat yang bisa menghancurkan hatinya.

Ketidakhadiran Kise di sampingnyalah yang membuatnya hancur. Saat ia tak bisa memeluk pria itu dalam dekapannyalah yang membuatnya tak berdaya.

Sekarang Kise adalah milik Haizaki Shougo, dan ia hanyalah kekasih gelap seorang Kise Ryouta. Kehadirannya dalam hidup Kise hanyalah sebatas angan dalam mimpi-mimpi indah kecilnya.

Tidak ada yang perlu disalahkan. Kise tak salah. Hanya Aomine Daiki yang salah. Ia yang memulai semua kekacauan ini, ia pula yang harus menanggung dosa dan perasaan terluka yang ia torehkan dalam hati sang model.

Dalam gelapnya malam yang hanya ada sinar bulan yang menerangi kamar kecilnya, ia mendekap Kise lebih erat.

"Maafkan aku, Kise," ucapnya lirih.

.

.

.