Lemon

By: Ietsuna G. Ventisette

G27

Cast: Giotto (Ieyasu Sawada); Tsunayoshi Sawada

Rated: T

Genre: Angst, Drama, Family, Hurt/Comfort, Romance

Katekyo Hitman Reborn!

©Akira AmanoAmano


[!]

OOC

Yaoi

•••


Sepuluh tahun telah mereka lewati. Ieyasu dan Tsunayoshi. Dua bersaudara yang hidup dalam satu atap. Keduanya berselisih tiga tahun. Ieyasu yang putra sulung memiliki rambut pirang seperti sang ayah dan ia memiliki mata berwarna jingga yang cemerlang. Sedangkan Tsuna, putra bungsu, memiliki rambut cokelat seperti sang ibu dan memiliki mata yang sama dengan sang ayah.

Ieyasu menjadi kakak yang sangat melindungi adiknya. Ia tahu segala hal tentang Tsuna. Karena itulah Tsuna menganggap Ieyasu sebagai kakaknya yang paling sempurna. Untuk beberapa hal mereka sangatlah bertolak belakang. Ieyasu dengan segala kehebatannya, sedangkan Tsuna dengan segala kecerobohannya.

"Nii-san, tunggu!" pekik Tsuna. Ia yang baru menginjak kelas tiga SMP ini memakai sepatunya dengan tergesa-gesa. Sedangkan mulutnya tengah menahan roti sarapannya agar tidak jatuh dan berlari ke luar pintu.

"Tsunayoshi, aku tidak akan meninggalkanmu." Ieyasu sedang menikmati potongan roti terakhirnya. Sebenarnya ia ada piket kelas, karena itulah Ieyasu berangkat lebih pagi di hari pertamanya. Sekarang Ieyasu duduk di kelas tiga SMA.

Tsuna menelan rotinya cepat dan menatap kakaknya. "Kalau aku tidak memanggil Nii-san, Nii-san pasti akan meninggalkanku," gerutunya.

"Hari ini aku mendapat tugas piket, Tsunayoshi. Dan arah sekolah kita juga berbeda," kata Ieyasu tenang.

"Tapi aku ingin pergi bersama dan pulang bersama juga dengan Nii-san," kata Tsuna beralasan.

Giotto menatap Tsuna sejenak. "Kau suka sekali mengekor padaku, Tsunayoshi." Tanpa ragu ia mengacak surai cokelat itu dengan gemas.

Tsuna tersenyum kecil dengan perlakuan sang kakak. "Aku tak mau jauh darimu."

"Aku tahu." Ieyasu tertawa kecil. Ia menepuk pelan kepala Tsuna. "Kita pergi."

"Baik!" Tsuna tersenyum senang. Pagi yang sangat menyenangkan. Berjalan kaki bersama sang kakak menuju sekolah sangat ia sukai.

Setiap pulang sekolah pun, keduanya saling menunggu. Jika Tsuna pulang telat, Ieyasu yang menunggunya tepat di depan gerbang sekolah sang adik. Sedang jika Ieyasu yang telat, Tsuna akan ke sekolah kakaknya dan menunggu di depan gerbang sekolah juga.

Dua saudara ini memang terlihat manis. Mereka akur satu sama lain. Jarang mereka terlibat dalam pertengkaran. Mungkin karena kakaknya yang pengertian dan adiknya yang tak terlalu menuntut pada sang kakak.

Ieyasu adalah penyelamat bagi Tsuna. Kakaknya selalu siap sedia. Seperti... Seperti apa ya... Yang penting, sejak memasuki TK, ia tak pernah mau jauh dari Ieyasu. Tsuna pernah di-bully, dan Ieyasu menyelamatkannya. Di mata Tsuna, kakaknya sudah seperti pahlawan. Pernah ia mencoba untuk menjadi lebih kuat, namun hasilnya ia malah membuat Ieyasu lebih mengkhawatirkannya.

•••

"Nii-san, boleh aku menanyakan sesuatu?" kata Tsuna tiba-tiba.

Ieyasu menoleh, "Apa itu?"

"Nii-san sudah punya orang yang... disukai?" tanya Tsuna pelan. Ia ragu. Kenapa ia bisa menanyakan hal seperti itu pada kakaknya?

Ieyasu terkesiap. Pertanyaan Tsuna terlalu tiba-tiba. "Kau sendiri?" Ia malah balik bertanya. Ia tak tahu mengapa.

"Eh?" Tsuna terkejut. "A-aku..." Tsuna bingung untuk menjawabnya. Orang yang ia sukai...

Ieyasu mendengus pelan. "Jangan terlalu menempel padaku, makanya kau tak punya pacar," gumamnya.

"Eeeh!? Itu tidak ada hubungannya!" bantah Tsuna. Entah kenapa ia tak menyukai perkataan sang kakak. Ia cemberut.

Ia menghela napas. "Kalau begitu cepat kerjakan PR-mu," kata Ieyasu bernada perintah.

"Iya, iya," sahut Tsuna malas. Ia menghela napas berat. PR-nya banyak sekali. Beruntung sang kakak mau membantunya.

Terkadang Ieyasu selalu mengatakan sesuatu yang dingin pada adiknya. Ia tak ingin adiknya itu terlalu manja padanya. Kemudian untuk Tsuna sendiri, ia tak ingin kakaknya itu menjauh meskipun mereka akan terpisah pada akhirnya. Tsuna tahu apa yang ia inginkan.

•••

"Nii-san." Tsuna menepuk-nepuk pipi Ieyasu yang masih tertidur nyenyak. "Nii-san bangun." Ia menghela napas. Apa semalam sangat melelahkan? "Nii-san." Ia menatap fokus wajah kakaknya. Kemudian, perlahan ia mendekatkan wajahnya hingga berjarak cukup dekat. "Nii-san..."

Bibir Ieyasu yang terbuka itu mengundang Tsuna. "Tukang tidur," gerutu Tsuna. Ia tersenyum kecil. Ia menempelkan bibirnya pada bibir sang kakak hingga Ieyasu membuka matanya.

Tsuna tersenyum pada sang kakak yang masih belum bergerak. "Ohayou, Nii-san." Ia tertawa kecil. "Putri tidur."

Ieyasu bangun dan duduk di sisi kasurnya. Ia menguap kecil seraya menggaruk kepalanya. "Hari ini kan libur," desahnya. Semalam, ia bekerja keras untuk menyelesaikan dua tugas sekaligus.

"Tapi hari ini Nii-san janji akan mengajakku jalan-jalan," protes Tsuna. "Ayolah..." Tsuna merajuk. Ia menarik-narik tangan Ieyasu agar segera mandi dan mereka pergi.

"Iya, tunggu sebentar," kata Ieyasu agak malas. Ia akhirnya berdiri dan sempat-sempatnya ia mencubit keras pipi Tsuna.

"Nii-san!" protes Tsuna.

"Buat sarapan," perintah Ieyasu.

Tsuna cemberut. "Aku tahu!" teriaknya. Ia segera keluar dan menutup pintu dengan tak sabaran.

Selain suka mengacak rambutnya, Ieyasu juga suka sekali mencubit pipinya. Itu kan sakit... Tapi asal kakaknya itu tak jahil padanya, itu cukup.

Membuat sarapan sudah menjadi tugas Tsuna. Masakannya sudah tak diragukan lagi. Sedang Ieyasu bertugas mengurus keuangan. Setiap bulan, mereka selalu mendapat kiriman uang dari orangtua mereka yang ada di luar negeri. Keduaya hidup mandiri.

•••

"Nii-san, apa impianmu?" Tsuna menggenggam tangan sang kakak dan menatapnya lurus.

"Lulus, lalu... Aku belum memikirkannya lagi," sahut Ieyasu seadanya.

Tsuna cemberut. "Kalau itu juga aku sama. Aku akan melanjutkan ke SMA. Nii-san kuliah?"

"Sepertinya begitu," kata Ieyasu seraya memutar bola matanya.

Tsuna mulai tidak sabar. "Nii-san sudah bosan hidup, ya?" tanyanya ketus.

Ia tertawa geli mendengarnya. "Pertanyaanmu aneh, Tsunayoshi." Lagi-lagi... Ia mengacak surai cokelat itu dengan gemas. "Tentu saja akan seperti itu."

Tsuna cemberut. Ia tidak puas dengan jawaban sang kakak.

Setiap sentuhan tangan besar itu membuat Tsuna senang. Ada rasa sayang lain yang menghantui Tsuna. Perasaan yang berlebih pada kakaknya.

"Nii-san..." kata Tsuna lirih.

Ieyasu mengerjap. "Apa?"

"Bu, bukan apa-apa," kata Tsuna terbata. Ia menggeleng keras. "Ayo kita bersenang-senang!" Tsuna menarik tangan kakaknya erat.

"Pelan-pelan, Tsunayoshi..." Ieyasu tersenyum tipis. Ia menyadarinya... Sangat menyadarinya...

Langkah yang selalu beriringan ini akan berbekas pada jalan setapak yang menjadi saksi bisu dari sebuah ketiadaan.

•••

"Tsunayoshi..."

"Nii-san..."

Awalnya aku tak pernah memikirkan hal ini. Apa yang sebenarnya kurasakan... Ketika mata itu menatapku, membuatku ingin selalu menjaga cahaya yang terpancar indah dari sorotan matanya. Tubuh kecil itu membuatku ingin selalu melindunginya. Aku menyukainya... Tapi aku menyesal. Aku menyesali darah yang mengalir dalam tubuhku.

"Aku akan melindungimu..."

•••

"Nii-san..."

"Tsunayoshi..."

Perlakuan lembut dan senyuman hangat adalah sesuatu yang sangat istimewa bagiku. Aku tak pernah menyadari hal ini. Aku hanya menganggapnya sebagai seseorang yang selalu ada untukku. Seiringnya waktu, aku mulai bisa melihatnya. Apa yang selama ini kuinginkan tepat ada di depan mataku. Aku menyukainya... Tapi ikatan ini... Aku tak menginginkannya...

"Teruslah bersamaku..."

•••

"Tsunayoshi?"

Tsuna tak menjawabnya. Ia hanya menyembunyikan wajahnya di balik bantal.

Ieyasu tersenyum tipis. Ia melangkahkan kakinya memasuki kamar Tsuna. Ia mendekati Tsuna dan duduk di tepi kasurnya. "Kenapa kau menangis?"

Tsuna tetap diam seribu bahasa.

"Katakan, Tsunayoshi," kata Ieyasu memelas. Ia mengelus rambut Tsuna perlahan.

Sangat nyaman. Tsuna mengangkat wajahnya dan menatap Ieyasu dengan mata sembab. "Nii-san..." Ia merengkuhnya erat.

Ieyasu terkejut. Ia tak tahu apa pun. Apa yang menyebabkan Tsuna menangis sekalipun. "Aku akan melindungimu," bisiknya. Ia balas merengkuh tubuh kecil adiknya yang rapuh.

"Teruslah bersamaku..." gumam Tsuna. Ia menangis kembali. Bahkan ia pun tak mengerti dengan rasa sakit yang sedang ia rasakan itu.

"Lihat aku, Tsunayoshi," kata Ieyasu lembut.

Tsuna mengangkat wajahnya kembali. Kakaknya tengah menatapnya penuh kehangatan. "Nii-san..." Ia tersenyum dan membelai wajah kakaknya. Setiap lekukan wajahnya sangat berarti.

"Tsunayoshi..." Ieyasu menatap dalam mata Tsuna.

Tatapan itu... Tsuna memejamkan matanya. Begitu pula dengan Ieyasu. Mereka saling memberikan sebuah ciuman dalam artian berbeda. Tidak seperti yang selama ini mereka lakukan.

•••

Kenyataan akan selalu menjawab sebuah angan-angan.

"Nii-san..."

"Tsunayoshi..."

"Kenapa? Kenapa harus seperti ini? Aku tak mau..."

"Dengarkan aku, Tsunayoshi."

"Tidak... Aku tidak mau!"

"Mengertilah, Tsunayoshi..."

"Tidak! A-aku... Aku menyukaimu, Nii-san..."

"Aku tahu itu."

"Lalu kenapa?"

"Aku tidak bisa."

"Kenapa tidak bisa?"

"Kita berdua adalah keluarga. Kita hanya akan menjadi keluarga untuk selamanya dan tidak akan pernah berubah."

"Aku tidak mau!"

"Bukankah kita akan tetap bertemu?"

"Aku tak menginginkan hal itu... Aku, aku ingin bersamamu, Nii-san..."

"Tsunayoshi..."

"Aku mohon..."

"Maaf..."

"A, aku..."

"Di dalam keluarga tidak ada mantan kakak ataupun mantan adik. Tali darah kita pun takkan pernah terputus."

"Nii-san..."

"Aku menyayangimu, Tsunayoshi."

"Aku juga, Nii-san..."

Hati Ieyasu bergemuruh. Semua rasa ia rasakan. Tetapi ia tutup rapat demi Tsuna. Ia pun tahu dan bisa mengerti. Mereka berdua menderita. Tetapi setidaknya ia bisa memberi Tsuna janji manis yang akan selalu membuatnya tersenyum.

"Tsunayoshi, suatu hari kita akan terpisah. Kita akan menjalani hidup masing-masing. Tapi satu hal yang tak boleh kau lupakan." Giotto menatap lekat kedua bola mata Tsuna.

"Apa itu?" Tsuna balas menatap tatapan Ieyasu.

"Di mana pun kau berada, aku akan selalu mengingatmu. Meskipun... Hatiku ini telah ada yang memiliki." Tatapan Ieyasu hampir goyah. Tetapi ia masih bisa bertahan.

"Nii-san... Nii-san... Nii-san... Aku sangat menyukaimu... Aku sangat mencintaimu... Aku sangat menyayangimu..." Tsuna tak sekuat Ieyasu. Ia goyah. Air matanya mengalir tak terbendung.

"Terima kasih, Tsunayoshi."

Manis memang. Tetapi Ieyasu pun merasa bersalah di sisi lain. Ia merasa dirinya jahat. Ia sangat jahat pada orang yang ia sayangi.

Tanpa Ieyasu mengatakannya pun, Tsuna pasti tahu apa yang dirasakan oleh kakaknya itu. Sama seperti apa yang ia rasakan sendiri.

Apa yang mereka katakan benar. Tak mengapa menderita, asal orang yang kita sayangi bisa bahagia dan selalu tersenyum pada kita.

Keduanya tak bisa saling memiliki satu sama lain. Hanya bisa menahannya dalam-dalam dalam sebuah angan-angan yang kapan saja bisa hancur.

Perih memang saat kenyataan telah menunjukkan jalan keduanya yang berlainan. Rasa pedih yang terus menjalari relung hati takkan terobati semudah luka luar.

Hari itu, dalam rasa sakit yang terus menggerogoti sukma, air mata menjadi jalan termudah untuk mengatakan segala hal apa yang mereka rasakan. Kenangan ini akan terkunci rapat hingga ajal menjemput.

"Nii-san, jika kita dilahirkan kembali, aku ingin menjadi milikmu..."

"Aku juga. Aku akan melindungimu sebagai pemilik hatimu."

Ternyata kita tidak bisa bersatu.

•••

•Fin•


Thanks for reading minna-san!

Ciao!

[Ietsuna G. Ventisette]