Disclaimer : Inuyasha bukan ane yang punya,,,

Ini pertama kalinya ane mampir di fandom ini,,,,,

Perhatian : ada adegan lemonnya... Jadi yang bocah perggi sana,,,, hush hush hush

.

.

.


Purnama begitu indah. Sinar keperakannya memancar dengan tenang, menghiasi malam yang sarat dengan kesepian itu. Terlalu indah untuk dinodai darah dan tangis.

"Uhuk!" Inuyasha memuntahkan darah. Sekujur tubuhnya terasa nyeri dan sakit. Dia memegangi salah satu anak panah yang menancap di tubuhnya sambil merintih. Dengan pandangan getir dia memandangi perempuan yang sedang membidikkan anak panah di hadapannya itu.

"Sudah ku bilang jangan bergerak!" teriak Kagome. Derai air matanya mengalir deras dari kelopak matanya yang mempesona. Busurnya ditariknya sedemikian kencang. Wajahnya memberengut marah. "Kau mengkhianatiku! Padahal aku sangat mempercayaimu untuk menjaga desa, tapi kau malah mengkianatinya, siluman!"

Inuyasha tersenyum pahit. Rambut hitamnya berantakan. Ia menghela napas berat dan berkata dengan getir. "Kau mengetahui aku ini bukan orang yang suka jujur, Kagome..."

Kagome menggertakkan giginya. "Diam!" Kagome melepaskan anak panah itu. Anak panah itu pun melesat, dan melubangi dada kiri Inuyasha. Panah ke sebelas yang telah bersarang di tubuh Inuyasha. Merobek dagingnya, masuk jauh dan menembus ke pohon.

Kagome memejamkan matanya rapat-rapat. Barangkali terlalu berat baginya untuk menyaksikan anak panah yang dilontarkannya bersarang di dada Inuyasha. Meski sangat benci dan murka dengan lelaki itu, tapi sebagian hatinya masih menambat cinta pada lelaki itu.

Darah segar mengalir deras dari sela-sela anak panah di tubuh Inuyasha. Membasahi dadanya yang telanjang. Pakaiannya sudah sobek-sobek.

Helaan napas Inuyasha pun kian menghilang. Wajahnya mulai memucat. Kelopak matanya pun kian menghitam dan menyayu. Bibirnya mulai terlihat memucat. Bola kaca kecil yang digenggam Inuyasha pun terjatuh ke rumput dan menggelinding.

Kagome menurunkan busur panahnya, menghapus air matanya, kemudian maju menghampiri bola itu. Dia mencoba tidak memandangi pria yang tersangkut di pohon itu. Tapi sekeras apa pun Kagome untuk menolak, pada akhirnya pandangannya pun tergerak ke arah lelaki yang sudah tak berdaya itu. Namun hanya sekilas saja Kagome memandanginya, karna melihat Inuyasha membuat tenggorokan Kagome tercekik.

Manakala perempuan itu sudah sampai di dekat bola empat arwah itu, Inuyasha pun menarik napas, menggerak wajahnya ke arah Kagome, dan berkata dengan lirih. "Ka-go-me..."

Kagome menahan napas. Dengan cepat ditariknya sebuah anak panah dari punggungnya, mengangkat busurnya, dan membidikkan anak panah itu ke arah Inuyasha. Hening beberapa saat, kemudian Inuyasha berbisik dengan suara yang sangat tidak jelas kedengarannya. Kagome tidak bisa mendengarnya, tapi gerakan mulut Inuyasha mudah sekali untuk dipahaminya. Lalu anak panah itu pun meluncur secara tak sengaja dan bersarang di kepala Inuyasha. Lelaki yang sudah berubah menjadi wujud manusianya itu pun menjadi diam, meninggalkan setitik sesal dalam relung hati perempuan itu.

Sambil menangkup kepalanya, Kagome menangis tanpa suara di pembaringannya. Bayangan ingatan tentang tragedi malam itu terus saja menghantui benaknya. Hampir tiga tahun telah berlalu, tapi kejadian itu seakan baru terjadi beberapa waktu yang lalu. Derai air mata Kagome mengalir tiada henti. Cekukan-cekukan berat yang berhamburan dari mulutnya memecah keheningan di kamar itu.

Sakit... Terlalu menyakitkan bagi Kagome bila mengingat malam itu, malam ketika dia menyarangkan anak panahnya pada tengkorak Inuyasha. Apa yang dirasanya saat ini melebihi kebenciannya ketika menyaksikan Inuyasha membunuh nenek Kaede, Kirara, kohaku, dan Shippo, melebihi semua sifat menjengkelkannya, melebihi sakit yang dirasanya ketika melihat Inuyasha menggendong Kikyo.

Setahun belakangan ini semua memori tentang kebersamaan mereka dulu terngiang sangat jelas dan begitu nyata dalam benak Kagome seakan-akan semua kenangan itu telah menyatu dalam jiwanya. Dan mau tak mau hatinya serasa dihempaskan ketika ia harus menerima kenyataan Inuyasha telah tiada.

Barangkali jika semua bisa terulang lagi, dia hanya akan menancapkan sebuah panah saja pada Inuyasha agar sewaktu-waktu dia bisa mencabut panah itu saat ia merindukan orang itu, lalu memaki-makinya sebagaimana pertemuan pertama mereka dahulu. Tetapi manakala bayangan Inuyasha yang bersimbah darah dan kaku tersebut melintasi benaknya, Kagome mencengkram rambutnya sambil menggeleng, berusaha menyangkal kenyataan yang tak bisa diganggu gugat ini. Akhirnya dia kian tenggelam dalam penyesalannya. Mungkin Inuyasha kejam telah membunuh nenek Kaede, melukai orang-orang, dan merebut bola empat arwah itu dari nenek Kaede. Dan sebenci apa pun dia pada Inuyasha, tetap saja tanpa sosok manusia setengah siluman itu di sisinya telah menyingkap segala sepi yang menggerogotinya saat ini.

Dia tak tahan! Disibakkannya selimutnya, bangkit, meraih jaketnya dan beranjak dari kamarnya dengan langkah terburu-buru. Dia berharap, meski kecil kemungkinannya, bahwa sosok itu tidak mati. Pintanya, semoga si setengah siluman itu hanya tersegel saja. Semua kemungkinan negatif yang muncul dalam benaknya, ia sangkal. Pokoknya dia ingin Inuyasha masih hidup, titik!

Ia bergegas masuk dalam sumur waktu dan ke luar darinya. Bunga salju bertebaran dari atas langit, hamparan salju pun menyambut pandangannya yang berkaca-kaca. Dia mulai berlari kencang dengan tersaruk-saruk. Uap-uap napasnya berhembus seperti asap rokok. Disertai napas tersengal-sengal, dia tak peduli pada dingin yang menyengat tubuhnya. Langit kelabu di atas langit tak ubahnya seperti hati Kagome. Kelam dan menyedihkan.

Kagome melewati jalanan utama penghubung desa, menginjak-injak ladang orang yang ditutupi salju, membelah salju dengan kakinya yang mulai ngilu. Tinggal melewati jembatan dan tanjakan saja ia akan sampai pada tempat itu, tempat ia menghujamkan anak panahnya ke jantung Inuyasha.

Lalu, di saat Kagome tak mendapati Inuyasha di pinggiran hutan tersebut, seluruh semangatnya menjadi lumpuh total. Satu-satunya pertanyaan yang terbesit dalam benak Kagome ialah di mana dia? Kemudian pikirannya sekonyong-konyong kembali pada malam naas itu. Pada waktu itu untuk beberapa saat jantungnya seperti kehilangan detaknya. Seluruh otot-ototnya menjadi kaku. Sangat jelas seterang mentari dalam benaknya ketika rambut hitam Inuyasha menjelaskannya. Dan Kagome pun menjatuhkan diri sambil mencengkram kepalanya.

"Tidak tidak tidak!" dia berusaha menyangkal. Tidak seperti itu keinginannya. Dia menginginkan Inuyasha masih hidup. Dia hanya ingin Inuyasha tersegel saja. Pikirannya terasa buntu. Air matanya kian berhamburan dari kelopak mata indahnya. Kenapa harus sekarang sesal itu datang padanya? Dia tidak tahu. Dia sendiri pun tidak mengetahui jawabannya. Dia mengangkat wajahnya lagi, mungkin kali ini dia akan melihat Inuyasha... Tetap saja tidak ada. Hanya ada sebuah pohon mati dan kelopak-kelopak salju yang melayang turun dengan gemulai, bertengger di dahan-dahannya. Inilah yang orang-orang dulu itu sudah peringatkan padanya bahwa nasi, kalo udah jadi bubur, mana dia bisa jadi nasi lagi. Aaaah becandanya jelek.

Kagome terisak pilu seorang diri di tempat itu dengan sepi yang semakin menggerogoti hatinya. Deru angin bergemuruh seakan sedang menangis. Menggoyang helaian mahkota hitam Kagome dengan lembut. Tak lama berselang, Kagome pun ambruk tak sadarkan diri.

"Jangan di sini Mi-Miroku... Nanti Kago―ungh... Ungh..."

Sango yang tengah dikerjai liang senggamanya oleh Miroku, harus menahan diri untuk tidak mengerang keras-keras. Sebab ada Kagome yang sedang berbaring dua meter di depannya. Tubuhnya condong ke depan dengan ke dua tangan menyangga tubuhnya, sementara kimono kelabunya tersingkap sampai ke pinggangnya. Pantatnya yang mulus bak batu pualam bergoyang-goyang. Dia menengok ke belakang, menyaksikan tangan Miroku begitu nakalnya mengocok liang senggamanya.

Ketika 'itu'nya tersenggol jari-jari tangan nakal Miroku, dia hampir memekik, tapi segera diangkatnya tangan kirinya, lalu menggigitnya. "Ngh!"

Miroku tampak tenang-tenang saja, dengan segelas teh yang dipegangnya. Tanpa ada rasa khawatir Kagome akan bangun dari pingsannya, dengan lihai pergelangan tangannya menampar-nampar belahan pantat Sango.

"Uuuhh..." Sango mengeluarkan jari-jari tangannya dari mulutnya, mendarat lagi di lantai. Dia menundukkan kepalanya, memandang langsung ke arah selangkangannya yang becek sebentar, kemudian mendongak dengan pandangan menyayu dan bibir terbuka. Persis seperti cara katak duduk. "Ah!"

Slurp

Miroku menghabiskan tehnya dengan cepat, kemudian meletakkan cangkir itu di dekatnya. Dia beringsut mendekati Sango, merangkul erat pinggang Sango, dan mulai mengocok dengan liar.

"Ah ah ah!" dan begitulah Sango sudah tak peduli lagi pada Kagome yang berbaring. Erangannya terlepas begitu saja tanpa kontrol. Dalam remangnya cahaya lilin yang menerangi kamar itu, wajah Sango kelihatan seksi. Sengatan-sengatan nikmat menjalar-jalar ke ubun-ubun dan menyengat urat-urat sarafnya. Matanya semakin terpejam dan bibirnya yang merah delima mulai maju mengerucut. Bagai melayang-layang, dia seperti orang yang mabuk.

"Nnghh... Ngghh... Cepat... Tuntaskan..." napasnya tersengal-sengal. Dia mengangkat sebelah tangannya dan mencengkram lengan Miroku. Kenikmatan tiada tara itu semakin memuncak. Sango mengatup rapat mulutnya. Tarikan napasnya memanjang dan kian kuat. "Mmmmhhhh..." sambil mendesah tertahan tubuhnya terguncang-guncang. Liang senggamanya berdecak kian keras. Barangkali Miroku juga sudah tak sabaran melihat Sango mencapai puncaknya.

"Ayo sayang, merintihlah," kata Miroku dengan semangat bercampur peluh.

"Aaaahh... Aaaahh... Mmmhhh... Uuhhh..." Sango mendesah. Pipinya kian memerah. Kontras sekali dengan wajah pucatnya. Keringat-keringatnya bercucuran. Helai-helai rambutnya melekat di kulit wajahnya. Tiba-tiba semua sengatan-sengatan itu bertumpuk pada satu titik di selangkangannya yang mulai berkedut-kedut. Wajahnya merengut tegang.

"Aaaaaakhhhhh..." dia menjerit puas keras-keras. Tangan Miroku dijepitnya sebegitu kuat dengan ke dua pahanya. Pantatnya membusung menantang. Dalam satu sengatan tinggi, otot-ototnya menegang. Bibirnya bergetar dengan hebat. Puncak tiada tara pun diraihnya dengan sukses. "Ungh... Unghh..." lenguhan-lenguhan kecil mengiringi tubuhnya yang perlahan lunglai ditopang Miroku.

"Engghhh..." Kagome melenguh. Dia membuka matanya dengan lemah.

"Hei, lihat. Dia sudah bangun."

"Bisakah kau tidak menggangguku." Sango kayaknya masih loyo gara-gara habis dibuat kelabakan tadi. Kagomenya nanti saja. Persendiannya masih lemas.

"Di mana aku?" tanya Kagome dengan lirih. Miroku mendekati Kagome. Sekilas lelaki itu hampir saja mau menggrepe-grepe Kagome, tapi dia segera mengingat Sango, jadi dia mengurungkan niatnya. Yeah, padahal Kagome punya tubuh yang molek.

"Istirahat saja dulu. Ku buatkan teh hangat." suruh Miroku sambil bangkit dan memperhatikan Sango. "Sayang, jangan tiduran terus. Kagomenya sudah bangun."

Sango merengut. "Ya ya, buat teh sana. Dasar mesum."

Sepertinya Kagome tak menanggapi pertengkaran kecil ke dua orang itu. Matanya yang sembab seakan merenung. Wajahnya kelihatan murung semurung cuaca di luar sana, pucat dan hampa seperti mayat. Lalu. Air matanya meleleh dengan pelan.

"Kau baik-baik saja 'kan?"

Kagome meliriknya. Baru menyadari bahwa Miroku masih di sana. Dia mengangguk tak ada semangat.

"Kau bisa membicarakannya dengan kami." usul Miroku.

Dengan cepat Kagome berbalik memunggungi Miroku, lalu menggelengkan kepala. "A-aku tidak apa-apa," tolaknya dengan suara getir.

"A―"

"Miroku," Sango menyela Miroku. Barangkali dia menangkap nada getir Kagome. "buatkan teh untuk Kagome. Setelah itu tinggalkan kami berdua." Sango bangkit dan membenahi pakaiannya.

Miroku mengangkat bahu. "Sesukamu sajalah," dia melenggang pergi sampai langkah kakinya hilang. Untuk beberapa saat kecanggungan melanda mereka. Malam dingin, suara angin menderu-deru di luar.

"Jadi," Sango angkat bicara. "ada apa kau kemari? Biar ku tebak. Merindukan Inuyasha?" samar-samar dalam balutan cahaya lilin tubuh Kagome terguncang-guncang.

Sango mengerutkan kening. Dia berpikir. "Aku tidak mengerti," kata Sango. "dia sudah membunuh nenek Kaede, membunuh Shippo, lalu kucingku, adikku, dan mencuri bola empat arwah. Ku rasa itu pantas menjadi alasan untuk membunuh bedebah itu. Lalu kenapa merindukannya? Menyesal? Percayalah Kagome apa yang kau lakukan itu sudah benar. Jadi tidak perlu merasa bersalah." Sango berhenti. Matanya memancarkan kebencian yang amat sangat jika mengingat kejadian itu. Tangisan Kagome semakin keras.

"A-aku ti-tidak tahu...," Kagome menggelengkan kepala lagi. "a-aku ti-tidak tahu-hiks hiks... S-setahun belakangan ini kejadian itu terus m-menghantuiku, menyiksaku de-engan wajah pria memuakkan itu..." Kagome berhenti bicara. Sango menghela napas. Beberapa waktu lamanya mereka tak bicara sampai Miroku datang membawa nampan berisi minum teh, kemudian duduk dengan tenang di dekat Sango.

"Minumlah ini. Tenangkan dulu pikiranmu. Lalu kita bahas..."

Sango akan mengatakan sesuatu, tetapi Miroku segera memegang tangannya. Mereka hanya diam, mungkin menunggu agar Kagome untuk membicarakan hal ini. Namun suara tangis gadis itu belum jua mereda.

Miroku dan Sango bertukar pandangan. Dalam bahasa isyarat mereka berkomunikasi. Saling memelototi barangkali tidak saling mengerti isyiarat-isyiarat yang mereka ke luarkan. Tak lama berselang, Kagome pun akhirnya bangkit. Matanya sembab karna banyak menangis.

Miroku menelengkan kepalanya. "Okeh," pancingnya.

"Aku sudah agak baikan..." kata Kagome seraya mengusap-usap matanya.

"Tidak. Itu sama sekali tidak baikan. Kita selesaikan saja ini sekarang," kata Miroku menolak untuk menutup masalah ini. "sekarang... Ceritakan padaku semuanya. Maksudku sedetail-detailnya,"

"Aku sudah menceritakannya padamu." kata Sango.

"Oh iya. Biar ku ingat-ingat. Pertama, Shippo datang padamu, sayang, dalam keadaan terluka parah. Benar 'kan?" Sango mengangguk. "lalu Shippo mengatakan kalau nenek Kaede dibunuh dan bola empat arwah dicuri oleh Inuyasha. Kemudian kau mengejarnya sampai ke desa yang sudah porak-poranda dan bertemu dengan Kagome yang sama bingungnya denganmu?"

"Kami menanyai para penduduk." Sango memotong. "mereka berkata kalau selama tiga hari sebelum insiden itu, Inuyasha selama tiga hari berturut-turut mendatangi nenek Kaede untuk meminta bola empat arwah itu. Dan selama itu juga mereka selalu bertengkar lantaran nenek Kaede bersikeras tidak mau memberikan bola itu..."

Kagome memandangi dua orang itu secara bergantian. Topik ini membuka lagi semua memory itu.

"...kami melacaknya dengan bantuan Koga. Lalu kami bertemu dengannya di hutan. Dia menyerang kami tiba-tiba, berhasil melukai kami bertiga dan bedebah itu telah membunuh Kirara dan adikku." kilatan kemarahan Sango terpancar jelas dari wajah dan suaranya.

Pikiran Kagome kembali teringat kejadian pada sore itu. Ya, ketika dia terluka sayatan pedang Tessaiga Inuyasha di lengannya. Lelaki itu berdiri di hadapan mereka sambil mengacungkan Tessaiga miliknya dan menginjak mayat Kirara, kemudian mengutarakan keinginannya untuk menjadi siluman seutuhnya, agar ia bisa melindungi desa, dan tak perlu berpayah-payah lagi ketika berubah wujud jadi manusia, lalu ingin menikahi Kagome. Alih-alih senang dengan keinginan Inuyasha, Kagome malah muak mendengarnya. Akan tetapi, Kagome malah kehilangan kesadaran setelah itu. Berulang kali mengejarnya, tetapi pada akhirnya mereka harus kalah lagi dan lebih banyak lagi yang jadi korban Inuyasha, termasuk adiknya Sango.

"...entahlah apa yang telah terjadi padanya malam itu ketika kami mengejarnya, malah membawa kami ke hutan dekat desa. Kami menemukannya di pinggiran hutan dan telah berubah menjadi wujud manusianya. Dan kami berhasil melumpuhkannya dengan mudah."

Kagome menggigit bibirnya sambil meringis.

"Adakah dia melakukan pembelaan sebelum kalian membunuhnya?" tanya Miroku. Sango hendak membuka mulutnya, tapi Kagome mendahului.

"Tidak...," potong Kagome dengan murung. "dia tak menyangkalnya..."

"Lalu kau memanahnya, berulang kali, dan yang terakhir benar-benar membunuhnya, 'kan?" tanya Miroku tenang. Kagome mengangguk ringan.

Sango menggertakkan giginya. "Malam itu aku benar-benar puas menyaksikan para penduduk melempari mayat bedebah itu dengan batu!"

Miroku menghela napas sambil memegang pundak Sango. "Jadi apa lagi yang perlu disesali, Kagome?"

Kagome menggelengkan kepala. "Hanya ada satu pertanyaan yang ingin ku tanyakan."

"Apa?" Sango bertanya.

"Ke mana mayat Inuyasha?"

"Aku tidak tahu. Keesokan paginya mayatnya menghilang. Entah mungkin dibuang oleh penduduk atau dibakar."

Bersambung :v :v :v


AN : Ceritanya kepanjangan. Jadi ane potong jadi dua... kapan-kapan up lagi...