Disclaimer :
Bleach by Tite Kubo-sensei
Your Voice by Lenalee Shihouin
Pairing[s] : Ichigo Kurosaki and Rukia Kuchiki
Genre : Romance, Hurt/Comfort
::: Chapter 1 :::
Umbrella
Summary
Sudah setahun lebih sejak kematian Shiba Kaien. Rukia masih menyimpan perasaan cintanya pada Kaien. Dan sejak saat itu, Rukia mentup hatinya rapat-rapat untuk laki-laki lain dan bersumpah tidak akan mencintai lagi. Entah itu artinya setia atau mungkin justru menyiksa dirinya sendiri.
"Kak, aku meninggalkan ponselku di sekolah, aku mengambilnya dulu, ya. Pulang saja duluan!" kata Rukia tiba-tiba memutar balik langkahnya dan lari menuju gedung sekolah yang Rukia dan kakaknya tinggalkan 15 menit yang lalu.
"E-Eh, Rukia!" teriak Hisana.
Rukia tidak mendengarnya, Hisana bingung harus menunggu adiknya dulu atau pulang duluan saja seperti yang dikatakan Rukia tadi.
"Rukia, sebentar lagi hujan turun," gumam Hisana agak cemas kemudian memutuskan untuk melangkah sendirian masuk ke stasiun.
Suara gemuruh di langit, menandakan tidak bersahabatnya cuaca terus menggema dan bersahut-sahutan tiada henti.
.
.
"Ponsel, ponsel, ponsel!" ujar Rukia sambil mengecek ke dalam loker miliknya.
"Ah, dapat!" katanya lagi setelah mendapatkan ponselnya terselip di antara buku pelajaran yang ia tinggal di dalam loker.
Setelah menemukan sesuatu yang ia cari, Rukia melangkahkan kakinya menuju ke luar gedung sekolah dan berharap bisa cepat pulang. Rukia menelusuri koridor seorang diri dengan langkah yang makin dipercepat setelah di otaknya membayangkan hal yang tidak-tidak.
"Aaaah! Hujaaaan!" pekik Rukia setelah baru saja 2 langkah keluar gedung sekolah, dengan langkah kesal rukia segera mundur.
Hujan lebat turun tiba-tiba. Harapannya untuk bisa cepat pulang sirna sudah. Rukia memperhatikan sekitarnya, kemudian menutup matanya dan menghela napas panjang. Tidak ada siapapun di sana.
"Bagaimana aku pulang?" batin Rukia sambil melihat bagaimana lebatnya hujan kali ini.
Rukia menyadarkan dirinya pada tembok di dekatnya. Kadang dia jongkok karena lelah berdiri, hal itu ia ulangi berkali-kali hingga mendapatkan posisi yang lebih nyaman.
"Astaga! Bodohnya aku! Ada ponsel, ya telpon ke rumah saja," kata Rukia mengeluarkan ponsel yang tadi menjadi alasan pertamanya kembali ke sekolah dan kini terjebak.
Sesaat setelah Rukia hendak menekan tombol call, ponselnya langsung mati dan hal itu membuat Rukia kembali mengeluh. Kini dia terduduk di lantai basah yang terkena cipratan air hujan. Pasrah menunggu hujan berhenti. Suara hujan yang lebat tak juga nampakkan ingin berhenti turun membuat Rukia makin dongkol. Sesekali Rukia menundukkan kepalanya. Tanpa melihat turunnya hujan pun dia sudah tahu kalau hujan ini tidak akan berhenti dalam waktu singkat.
"Huwaaaa! Ayo berhentilah!" teriak Rukia walau dia tahu langit tidak akan mendengar perintahnya itu.
Rukia kembali berdiri. Mencoba menyentuh air hujan dengan telapak tangannya yang kecil, bola matanya menatap lurus ke arah gerbang sekolah. Bisa saja dia terobos hujan ini, tapi Rukia tahu apa yang akan terjadi padanya esok hari nanti. Rukia menarik telapak tangannya dari guyuran hujan setelah memastikan hujan ini belum puas turun.
Tap.. Tap.. Tap..
Suara langkah kaki seseorang. Rukia membalikkan tubuhnya, menengok ke dalam gedung sekolah dengan ragu-ragu. Kadang suara itu hilang begitu saja, tapi saat Rukia membalikkan badannya lagi suaraku itu makin jelas terdengar dan kedengarannya makin mendekat. Rukia memejamkan matanya, dipegangnya erat-erat ponsel di genggamannya. Kini dia benar-benar tidak berani lagi menoleh ke belakang. Pikirannya sudah mengarah ke cerita horor yang diciptakan teman sekelasnya, menumpuk jadi satu dan membuat Rukia makin takut membuka matanya.
"Hei," ujar seseorang sambil menepuk pundak Rukia yang gemetaran.
"KYAAAA! TIDAAAAK!" teriak Rukia diikuti teriakan orang tersebut "AAARGH!"
"TI-TIDAK! JANGAN MAKAN AKU, AKU TIDAK ENAK, COBA LIHAT BADANKU KURUS BEGINI!" teriak Rukia, bicara tidak karuan tanpa melihat sosok di hadapannya sekarang.
"Ha-HAH? Oii! Buka matamu!" perintah laki-laki itu. Rukia menggeleng.
Suara orang itu sangat asing di telingnya hingga membuat Rukia takut membuka matanya walau satu inci pun. Rukia takut bila dia membuka matanya yang dia lihat justru yang sesuatu yang bisa membuatnya tak sadarkan diri.
"Ada apa denganmu?" tanya laki-laki itu lagi.
"Ma-manusia?" ujar Rukia sedikit membuka kelopak matanya, membiarkan bola mata berwarna violetnya itu melihat objek di depannya.
Rukia masih menunduk, kini yang dia lihat hanyalah lantai yang lumayan basah. Perlahan dibawanya bola matanya itu naik ke atas. Sepasang kaki? Rukia menahan tatapannya pada sepasang kaki tersebut dan tidak berani menatap makin ke atas.
"Kau punya kepala'kan?" pertanyaan konyol keluar dari mulut Rukia.
"TENTU SAJA!"
"Bagian mukamu lengkap?" tanya Rukia lagi, takut yang dijumpainya hantu bermuka rata.
"Kau punya hidung, mulut, dan dua pasang–" kalimat Rukia terhenti saat laki-laki itu mendongkkan wajah Rukia ke atas. Rukia langsung menutup matanya karena laki-laki itu tidak menjawab pertanyaan konyolnya.
"Mata? Aku punya hidung, mulut, dan dua pasang mata," ujarnya. Suaranya terdengar begitu dekat.
Perlahan Rukia membuka kelopak matanya walau agak ragu. Pandangannya agak kabur, ternyata dia sedikit mengeluarkan air mata tadi. Dengan pelan pandangan Rukia membaik, mulai jelas. Yang pertama kali ia lihat adalah rambut orange mencolok. Rukia kemudian menurunkan pandangannya ke bawah, menuju wajah si rambut orange. Tapi matanya terbelalak melihat wajah yang sekarang ia lihat. Wajah yang sangat mirip dengan seseorang yang ia rindukan setahun belakangan ini, Shiba Kaien.
"Aku bukan hantu'kan?" tanyanya pada Rukia kemudian melepaskan tangannya dari wajah Rukia.
Arah bola mata Rukia lurus menatap wajah laki-laki itu. Dia tidak menjawab pertanyaan sosok yang ada di hadapannya ini.
"Ka-Kai..en?" ucapnya pelan masih menatap wajah itu.
"Hah? Oi, aku tanya kenapa kau masih ada di sini?" tanya orang itu lagi.
Rukia tetap diam bak patung .
"Ooii, Kuchiki?" tanyanya melambaikan telapak tanganya di depan mata Rukia memastikan Rukia masih sadar.
"I-iya?"
"Kau ketakutan sekali ya? Ini untukmu!" kata orang itu menyodorkan sebuah payung pada Rukia.
"Eh, bagaimana denganmu?" tanya Rukia kaget dengan refleks mengembalikan payung tersebut pada pemiiliknya.
"Tidak apa. Aku tidak gampang sakit kok," katanya tersenyum.
Rukia masih bisa belum bisa terlalu merespon pertanyaan si rambut orange di hadapannya ini.
"Kalau tetap di sini, ada kemungkinan kau malah benar-benar melihat –apa yang harusnya tak kau lihat- lho," goda laki-laki itu.
Mengerti maksud omongan itu, Rukia langsung membuka payungnya dengan tergesa-gesa, membuat laki-laki itu tertawa.
"Aku duluan!" katanya langsung berlari dan menjadikan tasnya sebagai pelindung kepala.
"E-eh, tunggu!"
Sosok itu seolah lenyap ditelan hujan yang lebat. Rukia kembali mematung.
"Dia tahu namaku? Jangan-jangan dia benar-benar Kaien?"
Hati Rukia berharap itu benar. Tapi logikanya Kaien sudah tiada, tidak mungkin dia kembali lagi.
"Kalau tetap di sini, ada kemungkinan kau malah benar-benar melihat –apa yang harusnya tak kau lihat- lho."
Kalimat itu kembali terngiang di telinga Rukia, membuatnya tersentak dan buru-buru meninggalkan sekolah dengan perasaan campur-aduk.
'Akankah kita bertemu lagi?'
Harapan itu muncul di benak Rukia, walau dia berusaha menyangkal kalau laki-laki tadi bukanlah Kaien yang selama ini ia cintai, tapi entah kenapa pertanyaan itu seolah meminta jawaban.
.
.
"Aku pulang," ucap Rukia setelah melepaskan sepatunya yang basah.
"Ru-Rukia! Syukurlah kau sudah pulang. Aku sangat mengkhawatirkanmu!" kata Hisana tergopoh-gopoh mendatangi Rukia.
"Selamat datang," Byakuya, kakak iparnya telat menjawab.
"Kau tidak apa-apa? Aku menelpon ke ponselmu berkali-kali tapi tidak bisa," ujar Hisana menampakkan ekspresi super cemas.
"Bukan berkali-kali, tapi puluhan kali," kata Byakuya menghela napas melihat Hisana.
"Eeeeh? Benarkah?" tanya Hisana dengan tampang polosnya.
Byakuya tidak merespon.
"Maaf, baterai ponselku habis," kata Rukia tersenyum, mengatakan dengan tampang 'aku baik-baik saja' pada Hisana.
"Asal kau baik-baik saja," kata Byakuya beranjak ke ruang keluarga.
"Sebenarnya dia lebih mengkhawatirkanmu daripada aku, Rukia," Hisana berbisik takut orang yang dibicarakan mendengar.
"Hisana! Kemarilah!" ujar Byakuya secara tidak langsung memberi perintah Hisana untuk menemaninya.
"E-Eh, iya, tunggu sebentar," kata Hisana kemudian beranjak menuju ruang keluarga tempat Byakuya berada.
Rukia masih memegang payung yang diberikan laki-laki mirip Kaien tadi padanya. Membangkitkan ingatannya beberapa saat yang lalu.
"Kak, apa di sekolah ada seseorang yang mirip dengan.." Rukia mencoba menanyakannya pada Hisana. Mungkin saja Hisana tahu karena dia adalah seorang guru, walau hanya guru kesehatan.
"Mirip dengan..?" tanya Hisana penasaran pada kalimat selanjutnya.
"…. Kaien?" sambung Rukia ragu.
Hisana menghentikan gerakannya membuka pintu ruang keluarga.
"Ma-maksudku, tidak sepenuhnya mirip. Rambutnya berwarna orange, tidak hitam sih, lalu.."
"Rukia!" kata Hisana dengan nada seolah menyadarkan apa yang dikatakan adiknya.
"A-aku hanya bertanya, kak," kata Rukia lirih.
"Tidak ada. Tidak ada siswa di sekolah kita yang mirip dengannya," kata Hisana dengan senyum yang terlihat jelas dipaksakan.
"O-oh, ya sudah. Anggap saja aku tidak pernah bertanya," kata Rukia makin erat memegang payung di genggamannya.
Hisana tidak menyahut, dia masih dalam posisi tadi. Rukia menaiki tangga menuju kamarnya. Langkahnya agak berat, ia menyesal telah bertanya pada kakaknya. Dia baru sadar satu pertanyaan itu akan membuat kakaknya makin mengkhawatirkan keadaannya. Baru setengah jalan Rukia menaiki tangga tersebut, dia kembali berucap," hari ini, aku lelah kak. Tidak usah membangunkanku untuk makan malam, ya."
Hisana tidak menyahut. Tapi Rukia tahu Hisana mendengarnya. Sementara itu Hisana masih menata perasaannya.
"Dia.. Rukia masih mengingatnya," kata Hisana lirih.
Byakuya yang sejak tadi mau tidak mau mendengar pembicaraan kakak-beradik ini beranjak mendekati Hisana yang masih berdiri di ambang pintu.
"Rukia bahkan berhalusinasi melihat Kaien," kata Hisana lagi kini diiringi deraian air mata.
Byakuya mengusap kepala Hisana, kemudian menghapus air mata lama kemudian tangisan Hisana makin menjadi. Dengan lembut Byakuya memeluk istrinya dan menenangkannya tanpa satu kalimatpun terucap dari bibirnya, hanya belaian lembut yang bisa ia berikan saat itu.
.
.
Sementara itu di kamar Rukia.
"Kaien, aku bertemu dengan orang yang sangat mirip denganmu," kata Rukia memandangi foto Kaien bersamanya yang diambil saat merayakan ulang tahun Kaien.
Entah berapa menit Rukia terus menatap foto kenangannya bersama Kaien itu. Tanpa melepas pandangannya dari foto tersebut Rukia menggenggam erat sebuah cincin yang dijadikannya hiasan pada kalung yang ia kenakan.
Benda yang penuh kenangan. Sangat berarti baginya. Rukia memperhatikan cincin itu setelah meletakkan foto yang telah ia letakkan kembali pada tempatnya. Di sisi dalamnya terukir namanya dan nama Kaien.
Ya, itu mestinya jadi cincin tunangan Rukia dan Kaien. Andai hingga sekarang Kaien masih ada, Rukia selalu berpikir dia akan menjadi wanita paling beruntung di dunia karena bisa bersama Kaien. Tapi dia tahu harapannnya itu tidak mungkin lagi terwujud. Rukia kembali memasang cincin itu pada kalungnya. Bola matanya beralih pada payung yang ia bawa tadi.
"Ya, dia bukan Kaien. Besok aku akan mengembalikan payungnya dan tidak akan bertemu dengannya lagi," batin Rukia.
Kalimat itu mantap terucap di batinnya. Setelah mengeringkan rambutnya, Rukia merebahkan dirinya di kasur motif chappy miliknya. Mengistirahatkan tubuhnya yang sangat lelah, kemudian mematikan lampu kamarnya untuk bersiap memejamkan mata mala mini.
"Oyasumi, Kaien.. Sutekina yume o mininattene."
Kegelapan menyelimuti kamar Rukia, hanya cahaya redup bulan yang sedikit terbias ke dalam kamarnya melalui celah kecil jendela. Mengantarkan lembutnya mimpi indah yang tengah dinikmati si pemilik kamar.
.
.
TBC
Ini fic udah lama banget saiaa bikin, tapi ga saiaa publish-publish.
Soalnya saiaa kurang pede pada fic ini, jelek sih -_-
Tapi entah kenapa jadi pengen publish, ya sudahlah.
Review?^^
