I Can Wait Forever

Disclaimer : Fairy Tail © Hiro Mashima. I can wait forever © Simple Plan.

Summary : "Ini sidik jariku. Dengan ini, kau bisa mencariku ke seluruh dunia." / Tidak pernah kusangka sebelumnya jika kata-kata konyolmu akan menjadi kenyataan.

Warning : OOC, gaje, abal, typos, etc. This isn't a song fic.


Sebelumnya mau minta maaf kalau ada kesamaan ide atau alur cerita. Saya gak bermaksud untuk memplagiat kok, suer deh ^^v

Don't like, don't read. Hope you enjoy my story^^


LUCY'S POV

7 Juli 2008

Sang mentari tampaknya belum memancarkan sinarnya dengan penuh. Embun-embun masih setia bertengger di atas dedaunan. Burung-burung gereja saling berkicauan menyambut hari baru ini. Sedangkan para manusia terlalu sibuk berlalu lalang melewati keindahan harmonisasi alam yang diciptakan oleh Tuhan ini. Kuhirup nafas sejenak, lalu tersenyum kecil menatap sebuah papan nama besar yang terpampang di atas gedung ini. Fairy Tail High School, sebuah sekolah elite dimana manusia-manusia hebat nan berbakat berkumpul disini. Aku masih tidak dapat mempercayai fakta jika kini aku bersekolah yang telah kuidam-idamku semenjak lama ini. Puas menatap papan nama itu, aku segera menjejakkan kakiku memasuki gedung besar ini.

"Kau masuk kelas berapa?"

"Yeah, kita satu kelas!"

Terdengar jelas hiruk pikuk segerombolan siswa-siswi berseragam abu-abu yang sedang memadati sebuah papan triplek berisi kertas-kertas daftar. Yup, itu adalah papan mading. Hanya dalam waktu sejenak, aku sudah bergabung dengan gerombolan siswa-siswi ini. Dengan teliti, kucari dua buah kata yang bertuliskan Lucy Heartfillia.

"Hey, minna. Kelas 1-1 itu dimana sih?" ternyata suara arogan tersebut berasal dari seorang pria berambut merah muda jabrik yang berada tepat di sebelahku. Kemeja yang berantakan tanpa dilengkapi oleh dasi dan ikat pinggang, sepatu yang berwarna putih, serta tas ransel yang sangat kempis. Jika dibandingkan dengan siswa lain, maka dapat terlihat jelas kalau pria ini adalah bocah berandalan. Sedetik kemudian pria itu pergi entah kemana sambil menggaruk-garuk kepalanya.

Kelas 1-1.

"Perkenalkan, saya Mavis Vermillion. Saya adalah wali kelas kalian. Semoga kalian betah berada di kelas ini," ucapnya.

"Hari ini saya akan menentukan pengurus kelas," kemudian beliau berkeliling untuk melihat siapa yang cocok menjadi pengurus kelas. Setelah puas berkeliling, akhirnya kami diperintahkan untuk memilih siapa yang cocok menjadi ketua kelas diantara empat orang pilhannya. Dari keempat orang pilihannya, ternyata pria arogan yang kutemui tadi pagi menjadi salah satu kandidatnya. Namanya Natsu Dragneel.

"Silahkan kalian memilih, Erza Scarlet, Gray Fullbuster, Mystogan, atau Natsu Dragneel. Tuliskan pilihan kalian di selembar kertas," waktu habis, kertas segera dikumpulkan. Akhirnya Mystogan-lah yang terpilih menjadi ketua kelas, dengan Natsu Dragneel sebagai wakilnya. Hah… aku tidak dapat membayangkan sehancur apa kelas ini jika diatur oleh bocah berandal itu. Terlalu asyik membayangkan hancurnya kelas, tanpa sadar aku melihat terus ke arah Natsu. Natsu yang masih setia berdiri di depan papan tulis itu tiba-tiba menengok kepadaku. Sebuah senyuman lengkap dengan lambaian tangan dilemparkannya kepadaku. Malu. Segera kualihkan wajahku yang sudah merah padam ini.


7 November 2009

Tak terasa sudah hampir satu setengah tahun aku bersekolah disini. Kini aku sudah menempati bangku kelas 2. Dalam waktu yang tidak singkat ini, aku menarik kata-kataku yang dahulu. Natsu tidak berandalan, dia hanya anak kecil yang salah bergaul. Pada dasarnya Natsu adalah orang yang sangat baik, tapi ruang lingkup pergaulannya membuat dia terlihat seperti berandalan. Dia tidak sepintar Levy, tidak setampan Gray, dan tidak juga sekeren Erza. Tapi ada satu kelebihan yang sangat menonjol dalam dirinya. Bukan dalam bidang olahraga. Kelebihannya adalah sifatnya yang tidak pantang menyerah. Sedangkan sisanya… nol besar.

"Menurut kalian, keajaiban itu benar-benar ada tidak sih?" tanya Levy.

"Aku hanya percaya ramalan kartu tarotku," jawab Cana sembari memamerkan beberapa kartunya.

"Aku baru akan percaya ada keajaiban jika suatu saat nanti Gray memakai bikini ke sekolah, lalu dia menari seperti girlband-girlband di televisi," jawaban konyol Natsu memang tidak pernah berhenti untuk membuat suara tawa kami terdengar dari kerumunan kecil ini. Sementara kami asyik tertawa, sang empunya ejekan malah sibuk bertengkar dengan objek ledekannya.

"Apa kau bilang, mata sipit!"

"Kau tidak dengar? Dasar orang mesum yang tuli!"

Pertengkaran Natsu dan Gray memang tidak akan ada selesainya jika Erza belum terjun langsung untuk meleraikan mereka. Ah, iya. Seiring berjalannya waktu, aku dan Natsu mulai menjadi teman akrab. Berawal dari duduk satu meja, berbincang-bincang kecil, saling melempar ledekan, curhat colongan, sampai akhirnya aku jatuh cinta padanya. Jika dia sedang berada bersama gadis lain, entah kenapa ada perasaan iri yang muncul dari hatiku. Mungkin ini yang dikatakan cemburu. Natsu sendiri entah menyukaiku atau tidak, tapi aku agak yakin kalau dia juga suka padaku. Terlihat dari gerak-gerik serta ucapannya saat kami berinteraksi.

"Lucy, saat pelajaran Matematika nanti, aku pindah ke depan yah? Nanti Mystogan duduk disini," ucap Natsu sembari membenahi tasnya. Aku menatapnya sebentar, kemudian kembali mengalihkan pandanganku.

"Iya," jawabku malas.

"Boleh gak?" sesaat kemudian dia sudah berpindah tempat duduk ke depan, tapi masih menengok padaku. Walaupun pindah ke depan, tapi jarak tempat duduk kami hanya dipisahkan oleh satu meja didepanku saja. Kali ini aku tidak menjawabnya.

"Benar gak? Kalau tidak, aku pindah lagi kesana."

"Tau ah~"

"Ih, Lucy. Benar gak?"

"Gak tahu!" kemudian terdengar suara tawa dari Natsu dan Elfman. Semakin akrab, semakin sering dia meledekku dengan ledekkan konyolnya. Menyebalkan.

"Dia gak mau ditinggalin…" timbrung Elfman yang berada disamping Natsu. Ya, Elfman benar. Dibalik kata "Iya," sebenarnya aku tidak rela dia berpindah tempat dan meninggalkanku disini. Aku paling tidak suka jika dia harus pergi meninggalkanku sendirian.


7 Juli 2010

Jenjang kelas 1 dan 2 sudah kulewati dengan nilai yang memuaskan. Sekolah hanya tinggal beberapa bulan lagi. Aku hanya berharap agar tahun ini aku dapat lulus, lalu melanjutkan ke universitas favoritku. Tapi di sela-sela harapan itu hatiku menjerit, aku tidak ingin cepat-cepat lulus. Aku masih ingin disini bersama Natsu. Tiga tahun terasa begitu cepat, aku belum siap untuk berpisah dengan Natsu karena aku takut tidak bisa bertemu lagi dengannya. Sementara aku sibuk memutar ulang memori-memoriku bersama Natsu, Natsu sedang sibuk mewarnai jari telunjuknya dengan tinta spidol merah. Setelah selesai mewarnainya dengan sangat tebal, lalu dia menempelkan telunjuknya yang merah itu ke bagian seragam olahraganya yang berwarna putih.

"Ini sidik jariku. Dengan ini, kau bisa mencariku ke seluruh dunia," ucap Natsu sambil memperlihatkan sidik jarinya pada kaus olahraganya. Yup, salah satu ucapan konyol baru saja dilontarkan.

"Ih, kurang kerjaan!" balasku dengan nada meremehkan. Apa gunanya sidik jari? Memangnya kau akan lenyap dari muka bumi ini, lalu saat polisi menemukan sebuah sidik jari dan setelah mengidentifikasinya, ternyata itu milikmu? Konyol!

"Ih, serius... Masa kau tidak percaya? Sidik jari kita kan berbeda satu sama lain," yah, Natsu. Aku tahu sidik jari semua orang berbeda, tapi perkataanmu barusan benar-benar konyol dan kurang kerjaan.

"Iya, percaya. Tapi tetap saja itu kurang kerjaan," mendengar jawaban kejamku, Natsu terdiam sebentar sembari memperhatikan sidik jarinya. Sesaat kemudian dia berbalik ke belakang untuk membuktikan perbedaan sidik jarinya dengan sidik jari Gray, sayangnya aku tetap tidak perduli. Oh, yah. Aku lupa memberitahu kalian kalau kini aku dan Natsu sudah resmi berpacaran, walaupun aku yang harus terpaksa menembaknya. Wanita menembak pria? Memang terdengar aneh dan memalukan. Tapi demi cinta, gengsi kulupakan.


7 Maret 2011

"Nanti kau akan mengambil kuliah apa?" saat kau akan lulus SMA, kau akan semakin sering mendengar pertanyaan ini. Orang tua, guru, teman, atau bahkan tetangga, semuanya pasti menanyakan ini. Jujur, aku sendiri sempat stress saat ditanyakan soal ini. Salah-salah mengambil jurusan, masa depanku bisa hancur lebur begitu saja. Dan setelah dipikirkan matang-matang, akhirnya aku menemukan sebuah jurusan yang tepat.

"Manajemen bisnis. Aku ingin menjadi seorang businesswoman yang sukses," wajahku berseri membayangkan kehidupanku di lima sampai tujuh tahun mendatang.

"Kalau Natsu-san?" untung Levy bertanya. Terlalu sibuk memikirkan kuliah, aku sampai melupakan kuliah apa yang diambil Natsu.

"Aku tidak kuliah," jawabnya enteng. Aku dan Levy hanya dapat membelalakkan mata di hadapannya. Aku tahu dia memang sudah malas sekolah, tapi seharusnya dia memikirkan bagaimana masa depannya nanti. Apa dia berpikir akan mendapatkan pekerjaan yang layak dengan hanya lulus SMA dan tanpa melanjutkan kuliah sama sekali? Pada zaman sekarang dimana teknologi semakin maju dan lowongan pekerjaan semakin sempit, tentu jawabannya adalah 'tidak'.

"Aku akan mengikuti sekolah militer. Aku ingin menjadi anggota kemiliteran seperti kakekku. Menyelamatkan dan melindungi negara yang bukan hanya terdiri dari satu orang merupakan pekerjaan yang sangat keren," tangannya terkepal dan matanya berbinar-binar. Yah, dengan modal keahliannya dalam bertarung dan juga rasa tidak takut mati yang sangat tinggi, Natsu memang cocok dengan pekerjaan ini. Tapi apa dia tidak memikirkanku? Bukankah saat mengikuti sekolah militer, kau tidak boleh menemui sanak saudara? Lalu saat sudah lulus nanti, bukankah kau akan lebih sering berada di markas militer? Bagaimana kalau kau mati saat perang? Bagaimana kalau aku merindukanmu?

"Sekolah militer itu lumayan lama. Bahkan setelah lulus nanti, mungkin aku tidak dapat sering-sering pulang ke rumah. Jadi, kemungkinan kita akan jarang bertemu, Lucy," itu bukan kemungkinan lagi, tapi sudah pasti, Natsu. Aku benar-benar tidak rela jika kau harus sekolah militer karena pekerjaannya sangat berbahaya. Lagipula, bukankah jurusan kuliah sangatlah banyak? Kenapa tidak mengambil jurusan yang sama sepertiku saja? Tidakkah kau tahu aku mengkhawatirkanmu? Tapi aku tidak boleh egois. Aku tidak pantas menentukan masa depannya. Aku hanya pacarnya, bukan orang tuanya.

"Seandainya aku kembalinya lama, kau harus berjanji untuk tetap menungguku, yah, Lucy?" sebuah senyuman terukir di wajah polosnya, mengundangku untuk balas memberikan senyuman kepadanya.

"Tentu saja, baka!" dan kini sebuah janji manis telah diikrarkan.


7 Desember 2016

Aku telah menamatkan kuliahku, begitu juga dengan Natsu. Kini Natsu sudah resmi menjadi anggota militer, sedangkan aku menjadi seorang wanita karier yang dengan setia menunggu kekasihnya pulang. Selama menjadi anggota militer, Natsu hanya diperbolehkan cuti selama dua sampai tiga minggu dalam setahun dan tentunya Natsu juga diliburkan pada hari raya. Dan tepat pada hari ini, Natsu kembali. Walau hanya diberi waktu dua minggu, tapi itu sudah cukup untuk menggantikan penantianku selama ini. Bahagia, itulah yang kami rasakan.

"Lima kali sudah aku menepati janji. Aku setia bukan?" Natsu tersenyum sambil melayangkan sebuah cubittan mesra dipipiku.

"Iya, Lucy-sama. Kau memang wanita yang paling setia," lalu dia terdiam sejenak, "Selama aku disana, kau tidak macam-macam kan?" tanyanya serius. Senyumku berubah menjadi datar, tinjuan pun kulayangkan perutnya.

"Tentu saja tidak!" setiap tahun aku selalu menunggu kepulangannya dan setiap tahun juga dia selalu menanyakan hal ini. Bodoh, mana mungkin aku berpaling darinya? Dan akibat dari kecurigaannya itu, kini dia sedang meringkuk kesakitan sambil memegangi perutnya. Akting. Tinjuanku mana mungkin sekeras itu.

"Oh, yah, Lucy. Selama dua minggu ini, aku ingin melakukan banyak kegiatan dan mengunjungi banyak tempat bersamamu. Kau mau kan menemaniku?"

"Tentu saja aku mau. Kalau aku tidak mau, untuk apa aku menunggumu selama hampir satu tahun? Baka!" dia langsung tertawa kecil sambil mengusap kepalaku.

"Baiklah. Kalau begitu, aku akan menjemputmu besok pagi," ok, sepertinya dua minggu kedepan akan menjadi hari-hari yang sangat melelahkan, mengingat Natsu tidak bisa diam di satu tempat. Walau melelahkan, tapi ini dua minggu ini tetap akan menjadi salah satu kenangan berharga kami.

Dua minggu kemudian.

Dua minggu sudah kami habiskan dengan berbagai kegiatan, mulai dari mengunjungi sanak saudara, reuni dengan teman sekolah, mencoba berbagai kuliner, mengunjungi sebuah toko baju pengantin, dan konyolnya, bahkan dia memberikan kaus olahraga bergambar sidik jarinya yang waktu itu kepadaku. Sedihnya, hari ini Natsu harus kembali ke markas militer. Entah kenapa, kali ini aku sangat berat sekali untuk melepaskannya.

"Lucy, aku lupa memberitahumu soal ini. Dua bulan yang akan datang, aku akan mengikuti perang di jalur Gaza. Doakan aku agar selamat, yah!" nada bicaranya terdengar sangat enteng, seakan dia sudah tahu kalau dia akan memenangkan peperangan ini. Raut cemas terpampang di wajahku.

"Tidak bisakah kau digantikan oleh orang lain? Aku takut kau kenapa-napa. Bagaimana kalau kau tertembak?" kemudian dia memegang kedua pundakku.

"Tenang, aku tidak akan mati semudah itu. Lagipula, apa kau lupa kalau aku juga mengikuti perang pada tahun kemarin?"

"T-tapi… aku takut. Ba-bagaimana ka-kalau kau tidak kembali lagi ke sisiku? Aku belum siap kehilanganmu," hidungku kembang kempis menahan gejolak emosi, kedua bola mataku mulai panas. Tanpa dikomando, setetes bulir kristal meluncur bebas dari bola mataku.

"Aku berjanji, aku pasti akan kembali dengan selamat. Karena itu kau harus doakan aku," ucapnya sembari menyeka air mataku. Janjinya membuatku sedikit merasa tenang.

"Seandainya aku kembalinya lama, kau harus berjanji untuk tetap menungguku, yah, Lucy?" kalimat itu kembali dilontarkan. Aku segera menjawabnya dengan sebuah anggukkan mantap. Kulemparkan sebuah senyuman manis kepadanya.

"Ya, aku akan menunggumu sampai kapanpun."


7 Juni 2017

Sudah tiga bulan perang berlangsung, dan sudah tiga bulan pula Natsu belum kembali. Cemas dan takut. Hanya itu yang kurasakan selama tiga bulan terakhir ini. Entah bagaimana keadaaannya saat ini, tapi aku hanya dapat berdoa agar Tuhan memberinya keselamatan. Dan akhirnya usai sudah penantianku ketika kumendengar berita di televisi yang mengatakan jika seluruh tentara Jepang akan tiba di bandara pada hari ini. Dengan segenap asa, aku pagi-pagi sekali sudah pergi kesana. Aku berharap dia dapat kembali dengan raga yang utuh. Enam jam sudah kumenunggu sampai tanpa sadar aku terlelap dalam alam bawah sadarku.

"Lucy… Lucy…" kudengar suara seorang pria. Tangan besarnya menepuk-nepuk pundakku pelan. Aku berharap itu adalah Natsu, pria arogan nan bodoh yang sedang kutunggu. Perlahan kubuka kedua mataku.

"Elfman…?" Elfman juga merupakan salah satu tentara yang mengikuti perang di Gaza bersama Natsu. Aku segera memedarkan pandanganku ke sekeliling. Banyak sekali tentara yang sudah berkumpul dengan keluarganya. Tapi sayangnya tidak semua dari mereka pulang dengan selamat. Elfman sendiri terluka dengan parah. Kakinya pincang dan banyak perban di tubuhnya.

"Mana Natsu? Apa dia terluka? Dia kembali dengan selamat kan? Atau jangan-jangan kalian sedang mengerjaiku?"

"Maaf, membangunkanmu. Aku ingin memberikanmu ini," tanpa menjawab pertanyaanku, Elfman memberikan secarik kertas.

Sesuai dengan janjiku, aku tidak terluka sedikitpun. Karena itu, kau harus menepati janjimu juga. Tunggulah aku sampai aku benar-benar kembali. Ja nee, Lucy.

"L-lalu mana Natsu? A-apa maksudnya ini? Jangan bercanda, Elfman!" kedua bola mataku kembali mengeluarkan bulir-bulir kristal bening.

"Dia tertembak meriam…"

~TBC~


Author's note:

Hello² minna-san ٩(•̮̮̃-̃)۶ I'm back. Sedikit curcol, saat Natsu menjiplak sidik jarinya dan berkata seperti di fic, itu based on my true story loh, someone said to me seriously. Dan saya dengan teganya menjawab "Kurang kerjaan!" Tega banget yah saya? Seperti kata pepatah, tiada gading yang tak retak. Jadi harap maklum kalau saya ada salah² kata m(_ _)m Sekali lagi hontou ni gomenasai kalau fic-nya ancur m(_ _)m Btw, saya sarankan untuk mendengarkan lagu Simple Plan-I can wait forever (-̮̮̃•)۶

Mind to RnR m(_ _)m