Fic baruku... :p
moga-moga para pembaca suka!
enjoy!
WARNING: typo, alur cepat, dont like dont read!
CHAPTER 1
Tidak ada yang bisa menemukanku disini.
Begitulah batin bocah lima tahun yang sedang bersembunyi di sudut perpustakaan. Anak laki-laki berambut pirang itu menyeringai lebar dan setelah menemukan posisi duduk yang nyaman, dia duduk bersandar di balik sebuah rak buku. "Hehehe, dengan begini aku yang akan menang!" dia terkekeh sambil mengintip di balik celah buku-buku. Mata birunya yang sewarna dengan warna langit itu bersinar-sinar, penuh akan kejahilan. Dia mulai bersiul pelan sambil melirik ke arah buku-buku yang sudah mulai dipenuhi debu.
Sepertinya ini buku-buku yang tidak dipakai lagi, batinnya. Karena itu buku-buku ini diletakkan di pojok perpustakaan.
Bocah itu membaca judul buku-buku itu satu per satu, namun dia hanya bisa memanyunkan bibir dan mengerutkan kening karena dia sama sekali tidak memahami kanji yang tertera di buku-buku itu.
"Cih, membosankan, dattebayo!" bocah itu mendengus. Namun, matanya langsung melebar ketika dia melihat sebuah buku usang yang tidak berjudul sama sekali. Ketika dia hendak mengambil buku itu, dia merasakan sebuah tepukan di punggungnya. Tubuh bocah itu langsung menegang dan dengan kaku, dia menoleh ke belakang.
"S-Sakura-chan!" dia mendesis, ketakutan.
"Ketemu juga kau, Naruto!" gadis mungil dengan rambut pendek berwarna merah muda itu berkacak pinggang. "Sasuke-kun! Aku menemukannya!" gadis itu memutar tubuhnya dan berbalik ke arah bocah berambut emo yang dengan tenang berdiri di balik rak buku.
"Huh!" bocah itu mendengus. Dia menatap Naruto dengan tatapan mengejek. "Masih mau bermain petak umpet bersama kami? Bagaimana kalau kau gunakan waktu bermain ini untuk berlatih ninjutsu?"
"Uh, diam!" bocah berambut pirang itu berseru. Dia hendak beranjak, namun buku dengan sampul berwarna merah tua itu masih menarik perhatiannya. Dia meraih buku itu dan membersihkan debu yang menempel disana. "Hei, Sakura-chan, ada tidak buku yang tidak mempunyai judul?" bocah itu menyerahkan buku yang ada di tangannya kepada Sakura, gadis bermata emerald dengan rambut pendek berwarna merah muda.
"Buku apa ini?" gumam gadis itu sambil membolak-balikkan halaman buku yang sudah usang itu. "Sepertinya ini sebuah diari yang sudah lama sekali…" gumamnya. Gadis cerdas itu membaca tanggal pertama kali buku ini ditulis. "Diari ini ditulis sebelum monster kyuubi menyerang desa…"
"Wow!" Naruto berseru. "Berarti kita bisa tahu sesuatu tentang masa lalu dari diari itu, kan?" bocah itu langsung duduk di sebelah Sakura. "Ceritakan, dong! Habisnya, aku tidak bisa baca kanji," dia terkekeh. Sasuke, bocah yang sejak tadi terlihat tidak peduli itu mulai duduk di sebelah Naruto. Sepertinya dia juga tertarik akan isi buku itu.
"Oke... aku akan membacakan untuk kalian. Ukh! Tulisan orang ini parah sekali!" Sakura mengeluh, namun dia mulai membaca kalimat pertama. "Musim semi, tanggal 23…"
.
.
.
.
.
"Bloody Habanero!"
Aku menoleh ke arah panggilan itu dan menatap segerombolan teman sekelasku yang memegang tongkat di tangan mereka masing-masing. "Hari ini kami pasti akan mengalahkanmu!" salah satu anak dari gerombolan anak bandel di akademi Konoha itu mengacungkan tongkatnya di depan wajahku. "Kau akan mati hari ini!"
"Mati?" aku menggeram. Entah mengapa, kata-kata 'mati' itu mengundang emosiku. "Jangan bercanda, dattebane! Kau kira kau siapa? Ayo maju kalau berani!" aku langsung menghitung jumlah anak yang akan menyerangku.
Satu… dua…
"Kage bunshin no jutsu!" aku membentuk segel dan dalam sekejap, aku langsung melihat enam gadis berambut merah darah panjang yang berdiri di depanku. "Nah, sekarang baru pertandingan ini adil, dattebane!" aku mendengus puas dan sebelum aku beserta enam bunshin-ku hendak menyerang mereka, tujuh teman sekelasku itu sudah kabur, meninggalkan tongkat mereka.
"Pengecut!" aku menjerit. "Huh! Mengecewakan! Lelaki jaman sekarang memang pengecut!" sambil mendengus, aku membentuk segel dan keenam bunshin-ku langsung lenyap dengan bunyi 'poof'. Aku mulai berjalan di lorong akademi, hendak menuju ke taman bermain.
"Hii, K-Kushina!"
Aku menoleh dan mengerutkan kening ketika melihat sekumpulan anak perempuan yang menyingkir ketakutan ketika aku melewati mereka.
Kenapa sih?
Aku mengerutkan kening dan menggigit bibir. Amarah mulai memuncak di dalam hatiku. Aku tidak mengerti kenapa mereka semua menjauhiku. Aku tidak berbuat apa-apa pada mereka, kan? Sebenarnya, aku tahu kenapa mereka menjauhiku. Mereka menjauhiku bukan hanya karena aku berhasil membantai anak-anak cowok terbandel di akademi. Semua anak-anak disini menjauhiku karena aku bukanlah warga Konoha.
Aku hanyalah anak yang dipungut Konoha karena aku kehilangan semuanya.
Aku meneguk ludah, mencoba untuk menghilangkan rasa sakit yang tiba-tiba muncul di tenggorokanku ini.
Aku tidak boleh menangis.
Hanya cewek lemah yang akan menangis.
Mataku tertuju pada ayunan kosong di taman bermain akademi. Aku langsung duduk di kursi ayunan ini dan mulai mengawasi anak-anak yang sibuk berlari kesana-kemari, bermain bersama teman-teman mereka.
Aku hanya menatap mereka dengan tatapan kosong. JIka desaku tidak runtuh, mungkin sekarang aku juga bisa bermain dengan riang bersama teman-temanku. Aku memejamkan mata, membayangkan taman yang dipenuhi pepohonan. Aku ingat, aku sering sekali memanjat pohon itu dan memetik buah disana. Aku akan melemparkan buah itu kepada teman-temanku dan kami akan menikmati buah itu bersama. Di dekat taman itu ada kebun bunga yang subur. Saiko-chan dan Hitoko-chan pasti akan membuatkan mahkota bunga untukku, meski pun aku selalu menolaknya. Setelah puas bermain di daratan, kami semua akan melompat ke danau dan berenang bersama ikan-ikan disana. Fuji, temanku yang paling hebat menangkap ikan, selalu berhasil membuat perut kami kenyang dengan ikan-ikan tangkapannya.
Saiko, Hitoko, Fuji…
Mereka semua sudah meninggalkanku.
Uzushiogakure sekarang hanyalah sejarah.
Rumahku telah hilang.
Tempatku berlindung telah musnah.
Tiba-tiba, jantungku berdetak kencang, membuat dadaku terasa pedih. Aku menekan dadaku, mencoba untuk menenangkan debaran yang menjadi-jadi ini, namun debaran ini malah semakin menjadi-jadi.
Kenapa hanya aku yang hidup?
Pertanyaan ini selalu terngiang-ngiang di kepalaku.
Kenapa hanya aku yang selamat?
Kenapa?
"Hei,"
Aku tersentak dan semua lamunanku tadi langsung lenyap karena suara itu.
"Kau baik-baik saja?" tanya salah satu anak dari kelasku. Aku menatap wajahnya. Rambutnya pirang, acak-acakkan. Matanya yang biru jernih itu menatapku dengan tatapan ingin tahu.
Dia anak berwajah seperti cewek yang mau menjadi hokage nanti. Siapa namanya? Aku lupa…
"T-tentu saja, dattebane!" aku langsung berteriak. "Kenapa kau bertanya seperti itu?" tanyaku dengan suara bergetar. Aku tersentak ketika mendengar nada suaraku sendiri. Kenapa suaraku bergetar dan lemah begini?
"Habisnya…" cowok itu mengulurkan tangannya. Aku terkejut dan hendak menyingkir darinya, namun entah mengapa, aku hanya bisa terpaku ketika tangannya menyentuh wajahku. "Habisnya, kau… menangis," gumamnya sambil mengusap wajahku, menghapus tetesan air mata yang mengalir tanpa kusadari. "Kau kesakitan?" tanyanya lagi, kali ini dengan nada cemas.
Aku tidak tahu harus menjawab apa. Aku menatap matanya yang bewarna biru langit. Dia… adalah orang pertama yang menanyakan keadaanku di Konohagakure ini. Dia orang pertama yang bertanya apakah aku baik-baik saja. Air mataku hendak mengalir lagi, namun aku menahan tangisanku. Aku tidak pernah menangis di depan orang lain.
"Bukan urusanmu!" aku menepis tangannya. "Jangan dekati aku! Kau bukan temanku!" aku langsung melompat pergi dari ayunan itu. Aku menggigit bibir lagi. Aku tidak boleh berteman dengan anak Konoha. Mereka semua adalah musuhku. Aku tidak peduli kalau aku harus sendiri. Sejak kematian semua orang yang berharga bagiku, aku sudah menutup hatiku rapat-rapat. Tidak akan ada orang yang mau menganggapku sebagai teman disini. Begitu juga dengan anak pirang itu. Setelah kubentak tadi, dia pasti menjauhiku. Dia akan menjadi seperti anak-anak lainnya yang langsung akan menyebarkan cerita yang bukan-bukan tentangku. Dia akan membenciku dan menganggapku sebagai musuh.
Aku tersenyum pahit. Baguslah, aku memang tidak berniat berteman dengan siapa pun.
Sebelum berjalan keluar dari akademi, aku menoleh sekali lagi ke arah ayunan itu. Anak berambut pirang itu masih berdiri disana. Dia menatapku sesaat dan mulai membuka mulutnya.
Apa yang akan dia katakan?
Akankah dia menjerit 'bloody habanero' seperti anak-anak lainnya?
"Namaku Minato Namikaze!" serunya, membuat mataku terbelalak. Dia memperkenalkan dirinya? "Sampai jumpa besok, Uzumaki-san! Jangan lupa minum obat ya!" dia berseru sambil melambaikan tangan.
Mataku terbelalak, tidak mempercayai apa yang baru saja kudengar. Dia… mengingat namaku? Selain itu, dia tidak membenciku? Meski pun aku dengan kasar menepis tangannya tadi?
"B-bodoh!" aku balas menjerit. "Aku sudah bilang kalau ini bukan urusanmu!" setelah menjeritkan kalimat itu, aku langsung berlari keluar dari akademi.
Wajahku panas. Entah karena marah atau karena cuaca panas yang membakar wajahku. Aku berhenti berlari dan bersandar di tembok jalanan sambil menarik nafas dalam-dalam, mencoba untuk mengembalikan irama nafasku.
Wajah cowok berambut pirang itu tiba-tiba muncul di benakku, membuat wajahku bertambah panas. Wajahku memanas bukan karena marah. Bukan karena terbakar matahari juga. Aku menyentuh dadaku yang berdetak kencang.
Perasaan apa ini? Sudah lama sekali sejak aku merasakan perasaan ini.
Aku merasa semangat?
Aku merasa… senang?
Minato Namikaze.
Dia adalah orang pertama yang namanya kuingat sejak aku pindah ke Konoha.
TBC
moga2 para pembaca puas ya sama fic satu ini...
mohon maaf kalau ada yg kurang berkenan... :p
mind to review? :)
