Actor: Kim Jaejoong (GS), Jung Yunho, Choi Siwon, Cho Kyuhyun, Lee Sungmin(GS), Kwon Boa
untuk keperluan cerita marga disesuaikan...
Story by: Sandra Brown (judul, dan alur cerita yang sama dengan sedikit perubahan untuk disesuaikan dengan setting kehidupan Yunjae)
masitge deuseyo...
ANDA yakin?" Dokter itu mengangguk muram. Seragam operasinya yang berwarna hijau masih bersih. Ia tidak cukup lama berada di ruang operasi, tidak sampai membuatnya keringatan. "Maafkan saya, Nyonya Jung. Penyakitnya sudah menjalar ke mana-mana."
"Tak ada cara untuk menyembuhkannya?"
"Kecuali untuk mengurangi rasa sakitnya, tidak ada." Si dokter menyentuh lengan Nyonya Jung dan melirik pria yang berdiri di samping wanita itu dengan penuh arti. "Ia takkan mampu bertahan lama. Maksimal beberapa minggu."
"Ya, saya paham..." Nyonya Jung menyeka matanya dengan tisu yang basah dan kusut.
Iba hati si dokter melihat wanita itu. Ketika keluarga pasien menjadi histeris saat mendengar kondisi buruk si pasien, ia merasa mampu menenangkan mereka. Namun sikap berani perempuan tersebut, yang penampilannya sangat feminin dan rapuh, ketika menerima kabar tadi membuatnya merasa seperti dokter yang belum berpengalaman dan canggung. "Andai suami Anda memeriksakannya lebih cepat, barangkali..."
Nyonya Jung menyunggingkan senyum getir, kehilangan harapan. "Tetapi ia tidak mau. Sudah saya bujuk dia untuk memeriksakan perutnya yang tidak enak. Ia berkeras itu cuma masalah pencernaan."
"Kita semua tahu Siwon keras kepala," pria yang berdiri di samping Nyonya Jung menyela. Dengan lembut Park Yoochun menggenggamkan jari-jari Jung Jaejoong di lengannya. "Apakah ia boleh menjenguknya?"
"Beberapa jam lagi," sahut si dokter. "Pengaruh obat biusnya baru akan hilang nanti sore. Bagaimana kalau Anda berdua pulang saja dulu dan beristirahat?"
Jaejoong mengangguk. Dibiarkannya Yoochun, pengacara yang juga sahabatnya, menggandengnya menuju lift. Mereka menunggu lift dalam diam. Jaejoong merasa agak bingung, tapi tidak terkejut. Hidupnya tidak pernah berjalan mulus-mulus saja dan tanpa masalah. Mengapa ia begitu berpegang pada harapan bahwa operasi besar Siwon hanya akan membuktikan suaminya itu cuma mengidap usus buntu?
"Kau tak apa-apa, kan?" Yoochun bertanya lembut ketika pintu lift menutup dan mereka aman dari tatapan menyelidik orang-orang di sekeliling mereka.
Nyonya Jung menarik napas panjang. "Sebaik yang mampu dirasakan perempuan yang mengetahui suaminya akan meninggal. Segera."
"Maafkan aku."
Jaejoong menatap Yoochun dan tersenyum. Hati Yoochun luluh. Senyum Jaejoong, yang sering bagai minta maaf untuk kekurangan-kekurangan yang tak kasat mata, mampu menggugah perasaan pria maupun wanita. "Aku kenal siapa dirimu, Yoochun. Tak bisa kuungkapkan dengan kata-kata betapa bahagianya aku punya sahabat seperti dirimu."
Mereka berjalan melintasi lobi rumah sakit yang baru direnovasi. Beberapa karyawan rumah sakit dan pengunjung sekilas melirik Jaejoong, tapi kemudian cepat-cepat membuang pandang. Wajah-wajah yang dipalingkan itu dipenuhi rasa ingin tahu tetapi tetap penuh rasa hormat. Semua orang sudah tahu. Saat warga terpandang di kota sekecil Geumsan sakit berat, beritanya akan tersebar cepat ke seluruh penjuru kota.
Yoochun menemani Jaejoong sampai ke mobil dan membukakan pintu untuknya. Jaejoong masuk ke mobil tapi tidak langsung menghidupkan mesinnya. Ia duduk, pandangan matanya jauh ke depan, tenggelam dalam pikirannya, cemas, sedih. Begitu banyak yang harus diurusnya. Dari mana ia mesti mulai?
"Yunho harus diberitahu."
Nama itu menghunjam tubuh Jaejoong bak pemecah es, dingin, tajam, dan menusuk. Nama tersebut seakan menusuk organ-organ penting dalam tubuhnya. Nama laki-laki itu menggemuruh di dalam benaknya. Perasaan sakit saat mendengar nama itu membuat Jaejoong merasa sekujur tubuhnya seperti lumpuh seketika.
"Jaejoong, kaudengar apa yang kukatakan? Aku bilang—"
"Ya, aku dengar."
"Sebelum masuk ke ruang operasi, Siwon memintaku segera menghubungi Yunho bila hasil pemeriksaan dokter tentang penyakitnya buruk."
Mata yang berwarna asap itu menatap si pengacara. "Siwon memintamu menghubungi Yunho?"
"Ya. Ia dengan tegas meminta aku mengontak Yunho."
"Aneh. Kukira permusuhan di antara mereka takkan pernah terdamaikan."
"Siwon sekarat, Jaejoong. Kurasa ia tahu, begitu masuk rumah sakit ia takkan pernah meninggalkannya. Ia ingin melihat putranya sebelum meninggal."
"Mereka tak pernah berjumpa atau bicara pada satu sama lain selama dua belas tahun, Yoochun. Aku tak bisa memastikan apakah Yunho bersedia datang."
"Yunho pasti datang kalau tahu situasinya seperti mi.
Akankah ia datang ke sini? Oh, Tuhan, apakah laki-laki itu akan datang ke sini? Apakah ia akan bertemu Yunho kembali? Bagaimana perasaannya bila mereka benar-benar bertemu? Bagaimana rupanya sekarang? Peristiwa itu sudah lama berlalu. Dua belas tahun yang lalu. Jari Jaejoong mencengkeram kemudi mobil Lamborghini Murcielago-nya yang empuk. Telapak tangannya basah. Jaejoong merasa sekujur tubuhnya juga basah.
"Jangan terlalu mencemaskannya," ujar Yoochun, yang merasakan keresahan yang menyergap Jaejoong. "Karena kau tidak kenal Yunho, biar aku yang menelepon dan menyampaikan berita ini padanya."
Jaejoong tidak ingin mengoreksi pendapat Yoochun yang mengganggapnya tidak mengenal Yunho. Bahwa mereka saling mengenal dengan baik merupakan rahasia selama dua belas tahun. Ia tidak ingin menyingkap rahasia itu saat ini. Ia malah menumpangkan tangannya di tangan Yoochun yang diletakkan di jendela pintu mobilnya. "Terima kasih untuk semuanya."
Wajah Yoochun bersahaja dan biasa saja, mirip muka anjing jenis basset, panjang dan murung. Pipinya menggelayut seperti tas kulit kosong yang tergantung di kedua sisi rahangnya. Waktu Jaejoong mengelus pipinya, wajah Yoochun merah padam seperti remaja. Ia sudah keriput dan bungkuk, gerakannya lamban, bicaranya lembut dan ramah, tetapi penampilan dan perilakunya itu mengelabui banyak orang. Di balik wajahnya yang biasa itu tersembunyi otak yang cerdik dan jujur. "Aku senang bila bisa menolongmu. Apa lagi yang bisa kubantu?"
Jaejoong menggeleng. Ia lega Yoochun bersedia menelepon Yunho. Mana mungkin ia sanggup melakukan hal itu? "Aku harus memberitahu Sungmin." Bola matanya yang keabu-abuan berkaca-kaca. "Menyampaikan berita seperti ini pada Sungmin bukan hal mudah."
"Kau yang paling mampu melakukannya." Yoochun mengelus tangan Jaejoong lalu melangkah mundur. "Nanti sore kutelepon lagi. Bila perlu, aku bersedia mengantarmu kembali ke rumah sakit."
Jaejoong mengangguk, menyalakan mesin mobil, dan memasukkan gigi. Lalu lintas kota padat ketika ia melaju. Siwon, suaminya, dijadwalkan dioperasi pagi dini hari tadi. Siang begini dunia sedang sibuk-sibuknya. Orang-orang membereskan urusannya sebagaimana biasanya, mereka tidak menyadari dunia Jung Jaejoong untuk kesekian kalinya kembali akan terjungkal.
Pria yang disayanginya, yang semula majikannya, kemudian menjadi suaminya, akan meninggal. Masa depannya, yang selama ini tampaknya aman, kembali akan mengalamai kekacauan. Kematian Siwon tidak hanya akan membuatnya kehilangan seseorang yang begitu berarti dalam hidupnya, tetapi juga kehilangan kehidupan barunya.
Jaejoong mengemudikan mobil melewati Jung-Nongjang. Mereka akan panen raya Ginseng tahun ini. Mandor-mandor pabrik harus segera diberitahu perihal keadaan Siwon. Ia yang harus memberitahukannya, karena selama beberapa bulan ini, sejak kesehatan Siwon tak memungkinkannya menjalankan bisnis, ialah yang melakukan semuanya. Para mandorlah nantinya yang akan meneruskan berita tersebut kepada para karyawan. Dalam waktu singkat, seluruh warga kota akan tahu Jung Siwon sakit berat.
Pernikahan Kim Jaejoong dengan Jung Siwon menjadi peristiwa yang paling hangat digosipkan di seluruh penjuru kota, karena pria yang menikahinya itu tiga puluh tahun lebih tua daripada dirinya. Mereka mengatakan putri keluarga Kim yang melarat berhasil menaikkan status sosial keluarganya, tinggal di Jung mansion, naik mobil Lamborghini Murcielago baru dan mengilap, dan selalu berpakaian bagus. Hebat! Memangnya siapa dia? Seingat mereka, Jaejoong hanyalah gadis berpakaian lusuh yang bekerja di Jung-gongjang sepulang sekolah. Kini setelah menjadi Mrs. Jung, istri orang terkaya di kota, ia berlagak betul!
Sebenarnya, Jaejoong menghindari warga kota karena tidak tahan melihat cara mereka memandang dirinya, pandangan yang dirasanya penuh prasangka, sorot mata penuh tuduhan bahwa ia memakai kekuatan magis untuk membuat Siwon menikahinya setelah bertahun-tahun menduda.
Tak lama lagi orang-orang itu pula yang akan menemuinya untuk menyampaikan penghormatan padanya. Jaejoong memejamkan mata sesaat, tubuhnya gemetar membayangkannya. Hanya ingatan akan Jung mansion yang mampu meringankan kepedihannya. Sampai saat ajal menjemputnya pun, membayangkan rumah itu walau sekilas tetap akan menggetarkan hatinya. Sejak pertama kali Jaejoong melihatnya, ketika masih kecil, mengendap-endap memandangi rumah besar itu dari celah-celah pepohonan, rumah itu sudah menawan hatinya.
Pohon-pohon ek yang rindang tumbuh mengelilingi rumah. Cabang-cabang pohonnya yang kokoh, yang penuh ditumbuhi lumut keabu-abuan keriting yang menjuntai, terjulur mengelilinginya seperti tangan-tangan kuat yang selalu siap memberi perlindungan. Rumah itu terletak di tengah, seperti perempuan yang penuh pesona, yang memakai rok lebar menggelembung. Dinding batanya dicat putih bersih. Pilar bergaya Corinthian tegak menjulang di bagian depan, tiga pilar di setiap sisi pintu depan. Pilar-pilar itulah yang menyangga lantai dua rumah dengan teras yang luas di sekelilingnya. Seperangkat meja-kursi dari rotan yang berwarna putih menghiasi teras. Meja-kursi itu hanya dimasukkan pada musim dingin, pada bulan-bulan yang cuacanya terlalu dingin dan basah. Besi tempa putih, indah seperti renda pakaian dalam perempuan, memagari balkon. Daun jendela berwarna hijau daun mengapit jendela berukuran besar yang mengilap seperti cermin di bawah sinar matahari.
Pada musim panas, serangga-serangga beterbangan dengan riang mengelilingi bunga-bunga yang bermekaran, warna mereka sangat mencolok sehingga menyakitkan mata. Tidak ada tempat di muka bumi ini yang memiliki rerumputan sehijau dan setebal rumput yang tumbuh di sekeliling Jung mansion.
Keheningan menyelimuti rumah bak kabut sihir yang mengelilingi puri dalam dongeng. Sepanjang pengetahuan Jaejoong, rumah itu merupakan perwujudan semua yang didamba orang di dunia ini. Kini dia menjadi penghuni rumah tersebut. Setelah peristiwa pagi tadi, Jaejoong sadar ia hanya menghuni rumah itu untuk sementara waktu.
Jaejoong menghentikan mobil di halaman yang berbatu-batu, yang dibentuk melingkar di depan rumah. Sejenak Jaejoong berusaha menenangkan pikiran dan mengumpulkan seluruh kekuatan, yang mungkin dibutuhkannya beberapa jam lagi. Petang ini takkan menjadi petang yang menyenangkan.
Ruang depan menjadi terasa remang-remang setelah sinar matahari yang membutakan di luar. Jung mansion memang didesain dengan gaya rumah pertanian di zaman Perang. Di bagian tengah ada foyer yang membentang dari pintu depan sampai belakang. Di salah satu sisinya dibangun ruangan perjamuan resmi dan perpustakaan, yang digunakan Siwon sebagai ruang kerja. Di sisi lainnya ada ruang tamu resmi dan tidak resmi, yang dipisahkan dari foyer dengan pintu geser berukuran besar yang menghilang ke dalam dinding. Seingat Jaejoong, pintu itu tidak pernah dipakai. Tangga besar meliuk naik dengan anggun menuju lantai dua, tempat empat kamar tidur.
Udara di dalam rumah sejuk, tempat berlindung dari udara musim panas yang lembap. Jaejoong melepas jas, menyangkutkannya pada gantungan mantel, lalu menarik blus sutra yang lengket di punggungnya yang basah.
"Well? Bagaimana kabarnya?"
Pengurus rumah tangga, Boa, yang bekerja di rumah itu sejak mendiang istri Siwon, Kim Kibum, menikah dengan Jung Siwon, berdiri di ambang pintu melengkung yang menuju ruang makan. Sambil berjalan dari dapur yang letaknya berseberangan dengan ruangan itu, ia mengeringkan tangannya yang terampil, kasar, dan besar, sesuai dengan ukuran bagian tubuhnya yang lain, dengan handuk tipis.
Perlahan Jaejoong menghampirinya lalu memeluknya. Lengan pengurus rumah tangga yang gemuk itu balas mendekap tubuh Jaejoong yang ramping. "Buruk?" tanyanya lembut sambil mengelus-elus punggung Jaejoong.
"Yang terburuk. Kanker. Dia takkan pulang ke rumah lagi."
Dada Boa yang besar bergetar karena menahan tangis. Kedua perempuan itu saling menghibur. Boa tidak suka pada Siwon, kendati ia sudah bekerja pada pria itu lebih dari tiga puluh tahun. Kesedihan yang dirasakannya terutama ditujukan pada orang-orang yang ditinggalkan Siwon, termasuk jandanya yang masih muda.
Semula Boa mencurigai dan menolak kedatangan nyonya baru di Jung mansion. Tetapi ketika melihat Jaejoong tidak mengubah tatanan rumah sama sekali, tetap membiarkannya sebagaimana ketika almarhumah Kibum masih hidup, mulailah ia menyukai Jaejoong. Jaejoong kan tidak bisa berbuat apa-apa bahwa ia berasal dari keluarga miskin. Tetapi Boa tidak ingin berprasangka padanya gara-gara asal-muasal keluarganya. Apalagi Jaejoong menunjukkan sikap penuh kasih sayang dan lembut terhadap Jung Sungmin. Itu sudah cukup bagi Boa untuk menganggap Jaejoong punya hati malaikat.
"Boa? Jaejoong? Ada apa?" Keduanya berbalik dan melihat Jung Sungmin berdiri di anak tangga bawah. Dalam usia dua puluh dua tahun, putri Siwon itu kelihatan masih seperti gadis remaja saja. Rambutnya yang pirang dibelah tengah dan tergerai lurus ke bawah. Rambut itu membingkai wajahnya yang lembut. Kulitnya seputih porselen. Matanya besar dan berwarna cokelat, dengan bulu mata yang panjang. Tubuhnya berkembang sejalan perkembangan pikirannya. Jung Sungmin bak kuntum bunga yang belum mekar sepenuhnya. Lekuk tubuh perempuannya mulai tampak, tetapi takkan pernah sempurna. Seperti pikirannya yang berhenti tumbuh, begitu pun tubuhnya. Jung Sungmin takkan pernah berubah seiring berlalunya waktu.
"Operasi Appa sudah selesai? Ia akan pulang hari ini?"
"Selamat pagi, Sungmin," sapa Jaejoong sambil menghampiri anak tirinya, yang lima tahun lebih muda darinya. Digandengnya lengan gadis itu. "Mau menemaniku jalan-jalan di luar? Udara cerah hari ini."
"Mau. Tetapi kenapa Boa menangis?" Boa tampak tengah menyeka mata dengan kain handuk.
"Ia sedih."
"Kenapa?"
Jaejoong menarik tubuh gadis muda itu ke arah pintu depan dan menggandengnya menuju ke teras. "Karena Siwon. Sakitnya parah, Sungmin."
"Aku tahu. Ia selalu mengeluh sakit perut."
"Kata dokter, perutnya tidak bisa disembuhkan lagi."
Mereka berjalan menyusuri rerumputan taman yang terawat rapi.
Dua minggu sekali, setiap musim, didatangkan sekelompok tukang kebun untuk merapikan taman Jung mansion. Sungmin memetik sekuntum bunga daisy dari rumpunnya yang tumbuh di dekat jalan setapak batu yang penuh lumut. "Appa kena kanker?"
Terkadang kecerdasan gadis ini mengejutkan mereka. "Ya, benar," sahut Jaejoong. Ia tidak ingin menutup-nutupi keadaan ayahnya. Itu tindakan yang keji.
"Aku banyak mendengar soal kanker di televisi," katanya sambil menghentikan langkah dan menatap Jaejoong. Kedua perempuan yang hampir sama tinggi itu saling memandang. "Appa bisa meninggal karena kanker."
Jaejoong mengangguk. "Ia memang akan meninggal, Sungmin. Kata dokter, ia bisa meninggal dalam waktu seminggu atau lebih."
Bola mata yang cokelat itu tetap tak berkaca-kaca. Sungmin mendekatkan bunga daisy ke hidungnya dan menciumnya. Kemudian ia menoleh pada Jaejoong lagi. "Ia akan ke surga, kan?"
"Kurasa begitu... Ya, ya, pasti, ke surga."
"Kalau begitu Appa akan bersama Eomma lagi. Sudah lama Eomma berada di sana. Pasti Eomma senang berjumpa dia. Dan aku masih tetap punya kau, Boa, dan Kyuhyun." Ia melirik ke arah kandang kuda. "Dan Yunho. Yunho selalu mengirimiku surat setiap minggu. Katanya ia selalu menyayangi dan merawatku. Apakah Yunho akan melakukannya, Jaejoong?"
"Tentu saja." Jaejoong mengatupkan bibir, menahan tangis. Akankah Yunho pernah menepati janji? Bahkan terhadap adik perempuannya?
"Tetapi mengapa Yunho tidak mau tinggal bersama kita?" tanya Sungmin.
"Mungkin ia akan segera pulang." Jaejoong tidak ingin memberitahu Sungmin bahwa tidak lama lagi Yunho memang akan tiba di rumah sampai ia melihat sendiri Yunho muncul.
Sungmin jadi tenang. "Kyuhyun menungguku. Kuda betinanya melahirkan semalam. Ayo kita lihat."
Diraihnya tangan Jaejoong, lalu ditariknya menuju kandang kuda. Jaejoong iri melihat kegembiraan Sungmin dan berharap ia pun bisa menerima kematian Siwon dengan pikiran sesederhana putri Siwon itu.
Udara di kandang kuda hangat, berbaur dengan bau kuda, kulit, dan jerami yang tajam. "Kyuhyun," panggil Sungmin riang.
"Di sini," jawab suara bernada rendah.
Cho Kyuhyun bekerja sebagai manajer kandang kuda keluarga Jung. Mengembangbiakkan kuda-kuda keturunan murni termasuk salah satu kesukaan Siwon, tapi ia tidak terlalu memedulikan perawatan kuda. Cho Kyuhyun muncul dari lorong salah satu kandang kuda. Tubuhnya tinggi, dan sangat tegap. Wajahnya persegi dan kasar, tetapi terkadang terpancar ekspresi yang melembutkan kekasarannya. Ia membiarkan rambutnya tumbuh panjang, seperti biasanya sehelai bandana diikatkan di kepalanya, dan topi koboi dari jerami menutupi kepalanya. Celana jinsnya sudah tua dan kumal, sepatu botnya penuh debu, kemejanya penuh bercak keringat. Tetapi ia tersenyum berseri-seri ketika melihat Jung Sungmin berlari mendekatinya. Hanya saja, sorot kepedihan dan keputusasaan tak pernah lenyap dari matanya, kendati bibirnya tersenyum. Wajahnya kelihatan lebih tua daripada usianya, yang baru tiga puluh tujuh tahun.
"Kyuhyun, kami ingin melihat anak kuda itu," kata Jung Sungmin terengah-engah.
"Di sana." Kyuhyun menoleh ke arah kandang kuda yang baru ditinggalkannya.
Sungmin masuk ke kandang kuda. Kyuhyun menatap Jaejoong dengan pandangan bertanya. "Kanker," ujar Jaejoong menjawab pertanyaan Kyuhyun yang tak terucap. "Tinggal menunggu waktu."
Kyuhyun menyumpah pelan sambil memandang perempuan muda yang berlutut di tumpukan jerami, mengelus-elus anak kuda. "Kau sudah memberitahunya?"
"Ya. Ia bisa menerimanya lebih baik daripada kita semua."
Kyuhyun menggangguk dan tersenyum sendu pada Jaejoong. "Ya. Pasti."
"Oh, Kyuhyun. Anak kuda betina ini cantik sekali ya?"
Kyuhyun menepuk bahu Jaejoong dengan penuh kesadaran, kemudian masuk ke dalam kandang. Jaejoong mengikutinya, dan mengawasinya saat pria itu dengan gerakan kaku berlutut di sebelah Sungmin. Perang Vietnam membuat Kyuhyun kehilangan separo kaki kirinya. Ia tidak kentara memakai kaki palsu, kecuali bila ia harus berlutut, seperti saat itu.
"Ia cantik sekali, kan? Dan induknya kelihatan sangat bangga pada anaknya." Kyuhyun mengelus surai kuda betina itu, tetapi matanya tetap tertuju pada Jung Sungmin. Jaejoong terus memerhatikannya, ketika Kyuhyun menjulurkan tangan untuk menjumput jerami yang menempel di rambut Jung Sungmin. Jari-jarinya mengelus pipi Jung Sungmin yang sangat halus. Jung Sungmin menatap Kyuhyun dan mereka saling tersenyum.
Sejenak Jaejoong tertegun menyaksikan kemesraan di antara kedua orang itu. Apakah mereka saling mengasihi? Jaejoong bingung mendapati kenyataan ini. Jaejoong bersikap taktis, ia berniat meninggalkan tempat itu, tetapi Kyuhyun melihatnya. "Nyonya Jung, bila ada yang bisa saya lakukan..." Kyuhyun tak melanjutkan kata-katanya.
"Terima kasih, Kyuhyun. Untuk sementara ini lakukan saja apa yang menjadi tugasmu seperti biasa."
"Baik, Nyonya Jung." Kyuhyun tahu, Jaejoonglah yang menolongnya bisa menjadi karyawan Siwon. Wanita itu masih karyawan Siwon ketika Cho Kyuhyun melamar pekerjaan sebagai manajer kandang kuda, dengan memanfaatkan air muka penuh kegetiran sebagai senjatanya di hadapan Siwon. Rambutnya diekor kuda sampai punggung, rompinya yang terbuat dari bahan denim dipenuhi lencana perdamaian dan tambalan slogan antiperang dan anti-Amerika. Dengan air mukanya yang masam dan tampak suka berkelahi, Kyuhyun menantang Siwon untuk berani memberikan pekerjaan, kesempatan padanya, sementara banyak orang lain yang menolak.
Jaejoong tahu akal muslihat Kyuhyun dan bisa menebak bagaimana karakter pria itu yang sebenarnya. Ia orang yang putus asa. Jaejoong otomatis merasa dekat dengannya. Jaejoong tahu bagaimana sakitnya hidup dengan predikat tertentu, tahu bagaimana rasanya bila orang menilai diri kita dari penampilan dan latar belakang kehidupan yang tidak bisa kita tolak. Karena veteran perang itu mengatakan pernah bekerja di peternakan kuda di California sebelum perang, Jaejoong membujuk Siwon agar bersedia mempekerjakannya.
Siwon tak pernah menyesali keputusannya menerima Kyuhyun. Kyuhyun memotong pendek rambutnya dan mengubah penampilannya, seakan hendak mengatakan tak perlu lagi ia memamerkan simbol-simbol pemberontakannya. Ia bekerja giat, sepenuh hati, dan membuktikan kemahirannya dalam merawat kuda-kuda keturunan murni. Pria itu hanya butuh dukungan untuk memantapkan rasa percaya dirinya.
Jaejoong merenungkan semua itu ketika kembali ke rumah. Kyuhyun dan Sungmin saling mencintai. Ia menggeleng, tersenyum, saat memasuki serambi. Telepon berdering, secara otomatis ia mengangkatnya sebelum Boa. "Halo?"
"Jaejoong, ini Yoochun."
"Ya?"
"Aku sudah bicara dengan Yunho. Ia akan datang secepatnya, mungkin malam ini.
Banyak hal yang harus diselesaikan petang itu, banyak orang yang harus diberitahu. Siwon tidak punya sanak saudara kecuali putra dan putrinya, karena itu masalah kerabat tak perlu dipikirkan. Tetapi penduduk kota, juga warga Seoul, ingin tahu penyakit Siwon. Jaejoong berbagi tugas dengan Yoochun untuk menghubungi mereka lewat telepon.
"Boa, sebaiknya segera siapkan kamar Yunho. Dia akan datang malam ini."
Mendengar berita itu, pengurus rumah tangga tersebut tampak seperti ingin menangis. "Puji Tuhan, Puji Tuhan. Aku sudah lama berdoa agar anakku yang satu itu mau pulang. Ibunya yang di surga pasti menari-nari hari ini. Pasti ia senang sekali. Yang dibutuhkan kamar itu hanya seprai baru. Aku selalu membersihkannya, kalau-kalau suatu hari ia kembali menempatinya. Tuhan, Tuhan, aku ingin sekali segera berjumpa dengannya."
Jaejoong berusaha tidak memikirkan saat ketika ia harus berjumpa anak kesayangan itu, berbicara dengannya. Ia menyibukkan diri dengan setumpuk tugas yang harus diselesaikannya.
Ia juga tidak memikirkan kematian Siwon yang semakin dekat. Itu akan dipikirkannya nanti, saat ia sendirian. Tidak juga waktu ia berkunjung ke rumah sakit petang hari itu dan duduk di samping ranjang suaminya, ia tidak membiarkan benaknya dipenuhi pikiran Siwon takkan pernah meninggalkan tempat itu, Suaminya masih di bawah pengaruh obat bius, tetapi Jaejoong merasa tangannya ditekan pelan waktu ia menggenggam tangan Siwon dan meremasnya sebelum pamit.
Saat makan malam, ia memberitahu Jung Sungmin tentang kabar kepulangan Yunho. Gadis itu melompat dari kursi, menyambar tangan Boa, dan menari-nari mengelilingi ruangan. "Ia memang berjanji suatu hari akan pulang, bukan, Boa? Sekarang Yunho pulang. Aku ingin memberitahu Kyuhyun." Sungmin langsung lari keluar lewat pintu belakang menuju kandang kuda, ke tempat tinggal Kyuhyun.
"Gadis itu akan mempermalukan dirinya sendiri bila ia tidak membiarkan pemuda itu sendirian."
Jaejoong tersenyum penuh arti. "Aku tidak berpendapat begitu." Boa menengadah dan menaikkan alis karena penasaran, tetapi Jaejoong tidak meneruskan kata-katanya. Ia mengambil gelas es teh lalu berjalan ke teras depan. Waktu duduk di kursi goyang bercat putih, ia menyandarkan kepala pada bantalan kursi bersarung kain kembang-kembang dan memejamkan mata.
Inilah saat yang paling disukainya ketika menghuni Jung mansion, waktu hari menjelang malam, ketika sinar lampu di dalam rumah menyelinap ke luar dari celah-celah jendela, yang kelihatan seperti kemilau permata. Bayang-bayang memanjang dan berwarna-warni, saling menyatu sehingga tak ada sudut atau bentuk yang jelas.
Warna langitnya sangat khas, gradasi ungu yang cantik. Pepohonan menjulang di latar depannya. Kodok mengorek di sungai. Suara jangkerik menggema di udara tak berangin dan lembap dengan nada tinggi melengking. Tanah di delta itu menyebarkan bau yang subur. Setiap kuntum bunga menghamburkan harum yang unik dan memabukkan.
Setelah lama beristirahat, Jaejoong membuka mata. Ketika itulah ia melihat pria tersebut.
Ia berdiri tak bergerak di bawah dahan pohon ek yang menjulur. Jantung Jaejoong seperti berhenti berdetak dan pandangannya kabur. Ia tidak tahu apakah sosok pria itu sungguhan atau hanya ilusi. Kepalanya pening, dicengkeramnya gelas es teh erat-erat supaya tidak lolos dari cengkeraman jemarinya yang kaku dan dingin.
Pria tersebut bergerak menjauh dari dahan pohon dengan gerakan seperti harimau dan dalam diam, makin lama makin dekat sampai akhirnya ia tiba di anak tangga batu yang menuju teras.
Ia hanya salah satu dari banyak bayangan yang ada, tetapi siluet maskulinnya jelas terlihat ketika ia berdiri dengan kaki terbuka lebar. Secara fisik, waktu tampaknya bermurah hati padanya. Ia tidak lebih kurus daripada saat pertama kali Jaejoong berjumpa dengannya. Kegelapan malam menyembunyikan wajah pria itu dari pandangan Jaejoong, tetapi Jaejoong dapat melihat kilatan giginya yang putih ketika ia mulai tersenyum.
Senyumnya ramah, sebagaimana juga nada bicaranya.
"Well, kalau tak salah, kau Kim Jaejoong." Ia meletakkan sebelah kakinya yang mengenakan sepatu bot di anak tangga dan membungkukkan badan, satu tangan bertopang di lutut. Ia menatap Jaejoong, sinar lampu dari pintu utama menerpa wajahnya. Dada Jaejoong terasa sesak oleh perasaan sakit... dan cinta. "Ya, tapi sekarang sudah menjadi Jung, bukan?"
Wajah itu! Wajah yang selalu muncul dalam mimpi-mimpi dan khayalannya. Wajah tetap paling memesona yang pernah dilihatnya. Tampan ketika berusia dua puluhan, dan makin tampan dalam usia tiga puluhan. Rambut hitam, yang bagai menggambarkan keliaran jiwanya dengan helai-helainya yang tak bisa dikendalikan. Sorot matanya, yang memikat Jaejoong sejak pertama kali melihatnya, menggugah perasaannya lagi. Orang yang tidak punya imajinasi akan menyebutnya cokelat muda. Padahal warnanya keemasan, seperti warna madu murni, liquor paling mahal, seperti batu ratna cempaka berkilau.
Terakhir kali ia berjumpa pria itu, mata tersebut penuh gairah. Besok... Besok, sayangku. Di sini. Di tempat kita ini. Oh, Tuhan, Jaejoong, cium aku lagi. Kemudian: Besok, besok. Hanya saja ia tidak muncul keesokan harinya, dan selamanya.
"Lucu," komentarnya dengan nada yang membuat Jaejoong berpikir sebaliknya, "kita menyandang nama keluarga yang sama."
Tak ada tanggapan untuk yang satu itu. Ingin rasanya Jaejoong berteriak bahwa mereka bisa memakai nama keluarga yang sama beberapa tahun yang lalu andai pria itu bukan penipu, andai ia tidak mengkhianatinya. Ada beberapa hal yang lebih baik tidak diungkapkan. "Aku tidak melihat mobilmu."
"Aku terbang, mendarat, dan berjalan kaki kesini.
Landasan pacu kira-kira satu setengah kilo-meter jauhnya. "Oh. Mengapa?"
"Mungkin karena ingin tahu bagaimana sambutan yang akan kuterima."
"Ini kan rumahmu, Yunho."
Ia memaki. "Yeah, tentu rumahku."
Jaejoong membasahi bibir dengan lidah dan berharap punya keberanian untuk tetap menghadapinya. Ia takut kakinya tak mampu menopang tubuhnya. "Kau tidak menanyakan kabar ayahmu."
"Yoochun sudah memberitahu aku."
"Kalau begitu kau tahu ia sekarat."
"Ya. Dan ia ingin bertemu aku. Rupanya keajaiban tak pernah lenyap."
Komentarnya yang menyakitkan itu membuat Jaejoong bangkit dari duduk tanpa berpikir dua kali. "Ia sakit keras, Yunho. Bukan seperti yang kaukenal dulu."
"Andai masih tersisa satu tarikan napas dalam tubuhnya pun, ia persis seperti aku mengingatnya."
"Aku tak mau berdebat denganmu tentang hal itu."
"Aku bukan berdebat."
"Dan aku takkan membiarkan kau mengecewakannya, Sungmin dan Boa. Mereka ingin bertemu denganmu."
"Kau tidak akan membiarkan? Astaga, astaga. Kau betul-betul menganggap dirimu nyonya rumah Jung mansion, ya?"
"Tolonglah, Yunho. Beberapa minggu ke depan segalanya akan cukup sulit tanpa..."
"Aku tahu, aku tahu." Tarikan napas panjangnya terdengar sampai ke tempat Jaejoong berdiri tegang di teras, tangannya mengepal erat. Ia meletakkan gelas es teh di pagar teras karena takut menjatuhkannya. "Aku juga tidak sabar hendak bertemu mereka," katanya dan melirik ke arah kandang kuda. "Aku lihat Sungmin keluar dari rumah itu beberapa saat yang lalu, tetapi aku tidak ingin muncul tiba-tiba dalam gelap dan mengejutkannya. Aku mengingatnya sebagai gadis kecil. Tak kusangka ia sudah dewasa sekarang."
Ingatan akan Sungmin dan Kyuhyun yang berlutut di tumpukan jerami di kandang kuda, jari-jari Kyuhyun mengelus pipi Sungmin, melintas di benak Jaejoong. Ia tidak tahu apa pendapat Yunho bila tahu hubungan asmara adik perempuannya itu. Ia jadi resah menerka-nerka. "Ia perempuan dewasa sekarang, Yunho."
Jaejoong merasakan tatapan mata Yunho pada dirinya, menelusuri, menganalisis, menilai. Tubuhnya seperti dilumuri Anggur yang menyentuh setiap inci. "Dan kau," katanya lembut. "Kau juga perempuan dewasa sekarang, bukan, Jaejoong? Perempuan dewasa."
Jaejoong sama sekali tidak berubah. Kecantikan gadis lima belas tahun yang dikenalnya kini mendewasa. Ia berharap bertemu Jaejoong yang gendut, kumal, kusut, berambut kusam, dan berpaha besar. Ternyata ia masih ramping, dengan pinggang yang seolah akan patah bila ditiup angin. Dadanya berisi dan lembut, namun tetap tegak, bulat, dan mengundang. Sialan! Seberapa sering ayahnya menyentuhnya?
Ia menaiki anak tangga perlahan-lahan, seperti pemangsa yang kelaparan tetapi hendak menyiksa korban sebelum melahapnya. Mata musangnya, berkilat dalam kegelapan, nanar menatap Jaejoong. Senyum lebar di bibir hatinya menyiratkan pemahaman yang licik, seakan pria itu tahu apa yang ada dalam benak Jaejoong yang ingin dilupakannya, bagaimana bibir pria itu menyentuh bibirnya, lehernya, dadanya.
Jaejoong berbalik. "Aku panggilkan Boa. Mungkin ia..."
Tangan Yunho menyambar pinggang Jaejoong, membuat langkahnya terhenti. Ia memaksa Jaejoong menghadap ke arahnya "Tunggu sebentar," katanya tenang. "Setelah dua belas tahun, tidakkah kau merasa kita bisa saling menyapa dengan lebih akrab?"
Tangannya yang bebas menyentuh tengkuk Jaejoong dan mendorong wajah wanita itu ke wajahnya. "Ingat, kita sekarang keluarga," bisik-nya dengan nada mengejek. Kemudian bibirnya mencium bibir Jaejoong, kasar dan penuh kemarahan. Diciuminya bibir Jaejoong dengan liar, seakan hendak menghukumnya karena malam-malam ketika ia memikirkan Jaejoong, Jaejoongnya yang polos, yang berbagi tempat tidur, tubuhnya, dengan ayahnya.
Jaejoong menyarangkan tinju ke dada pria itu. Terdengar suara mengerang keras. Lututnya lemas. Ia berusaha memberontak. Ia memberontak lebih keras. Karena ia ingin memeluk laki-laki itu, mendekapnya erat, merasakan kembali getaran yang pernah dirasakannya ketika berada dalam pelukannya.
Tetapi ini bukanlah pelukan, ini penghinaan. Ia bergulat sekuat tenaga untuk membebaskan bibirnya.
Ketika ia berhasil melepaskan diri, Yunho memasukkan tangan ke saku celana jinsnya dan tersenyum mengejek penuh kemenangan melihat ekspresi marah dan bibir merah Jaejoong. "Salam, Mom," dengusnya.
otte? Komen ne..
