Yatta! Fic kedua saya dengan fandom yang tidak berubah! Kalo fic yang pertama main boy-nya adalah si perfect butler, Sebastian Michaelis, nah… main boy fic yang kedua ini adalah young master kita yang kawaii, Ciel Phantomhive *ditampar Ciel*

Berhubung saya kurang bisa (baca : gak bisa) bikin summary, kita langsung saja masuk ke cerita!

Warning : typo, gaje, aneh, garing, dan yang selalu ada dalam fic saya, yaitu OOC.

Hope you all like this story ^^


"Kau sedang apa?"

"Baca buku."

"Hem? Buku apa?"

"Cerita kuno."

"Semacam filosofi?"

"Bukan."

"Lalu?"

Dia bangkit dengan tangannya menggebrak meja. "Berisik! Mengganggu saja! Pergi sana!"

"Pergi kemana?"

Dia menepuk dahinya sendiri. "Kemana saja! Asalkan jangan menggangguku!"

"Tapi Sebastian melarangku berkeliaran selama ia mempersiapkan pesta."

"Sudah pergi sana! Bilang saja ini perintahku!"

"Ya sudah." Kulangkahkan kakiku menjauhinya. Sebelum benar-benar pergi, aku menoleh kearahnya. "Dasar Ciel jelek. Kalau tidak mau kuganggu, kau saja yang pergi dari sini, bodoh."

BRAK...

Pintu kututup dengan satu bantingan keras.

"APA KATAMU?! INI MANSIONKU! SEHARUSNYA KAU YANG PERGI! DAN BERHENTILAH MEMBANTING PINTU!"

-oOo-

"Sebastian... Aku lapar...", ujarku sambil menatap lurus si butler berambut hitam legam.

Dia tersenyum kecil. "Tunggu sebentar lagi, ya, Lady. Saya hampir menyelesaikan hiasan-hiasan dinding ini."

"Tapi aku lapar." Kugembungkan kedua pipiku. "Ciel memakan semua cemilan."

"Saya mohon tunggu sebentar, Lady. Nanti akan saya buatkan sandwich kesukaan Anda."

"Benarkah?"

"Tentu saja."

Jadi kuputuskan untuk duduk menunggu pekerjaan Sebastian selesai.

Namaku Sheren Kennedy, putri tunggal seorang pengusaha dari Amerika yang memiliki nama di Inggris, Brian Kennedy. Sifatku jauh sekali dari papa dan mama. Aku ini orangnya egois dan keras kepala.

Diusiaku yang masih muda ini, yaitu 15 tahun, papa menyuruhku tinggal di mansion mewah milik Earl Phantomhive, si menyebalkan Ciel Phantomhive. Sebenarnya kenapa papa menyuruhku tinggal di sini ya? Padahal aku bisa tinggal bersama mereka, kan?

"Mr. Sebastian! Mau ditaruh dimana meja ini?"

Tiba-tiba terdengar suara lelaki yang sangat kukenal. Dia lelaki berambut pirang dengan sikap yang pering. Finnian atau akrab dipanggil Finny. Dia manusia super yang dapat mengangkat benda seberat apapun itu. Hebat!

"Di dekat pilar itu." Sebastian menunjuk satu pilar di dekatku.

"Baiklah."

Finny berjalan mendekatiku dengan kedua tangannya yang mengangkat sebuah meja yang cukup besar. Dari arah berlawanan, muncul Mei Rin, seorang maid berkacamata yang umm... Ceroboh.

"Mr. Sebastian! Aku dapat piring-piring ini." Mei Rin membawa banyak piring dimasing-masing tangannya.

"Kau bisa menaruh di atas meja yang dibawa Finny."

"Ok, Mr. Sebastian." Si maid berjalan perlahan. Tapi entah karena ceroboh atau apa, dia malah tersandung. "Whoa..! Whoaa..!"

BRUK!

Mei Rin terjatuh lalu tubuhnya menabrak Finny. Karena kehilangan keseimbangan, kedua orang itu jatuh. Dan aku baru sadar bahwa... Meja yang dibawa Finny ikut terjatuh dan akan menimpaku!

Oh! Tidak!

"KYAAAA...!"

"Lady Sheren!"

BRAK!

Eh? Lho? Tidak terjadi apa-apa. Kenapa? Apa ya- Ekh! Hii... Mejanya... Kenapa bisa hancur seperti itu? Siapa yang melakukannya?

"Lady Sheren, Anda baik-baik saja?"

Aku menoleh. Sebastian? Sejak kapan dia berdiri di hadapanku? Bukankah tadi dia sedang di atas tangga? Memasang pita-pita disudut dinding atas mansion? Cepat sekali.

Tapi karena kupikir aku sudah selamat, aku jadi tidak ingin pusing-pusing memikirkan hal itu.

"Ya. Aku baik-baik saja." Aku menatap meja yang sudah hancur. "Sebastian, kau yang melakukannya?"

"Emm... Iya. Saya tendang karena itu akan melukai Anda."

"Whoa..! Keren! Terima kasih."

"Ya, Lady."

Keren! Andai saat itu aku tidak menutup kedua mataku! Pasti aku dapat melihat aksi keren Sebastian! Hehe... Aku jadi aneh sendiri. Tapi melihat itu... Kurasa Sebastian itu tipeku.

"Sebastian?", panggilku.

"Ya?"

"Tidak." Aku mencuri pandang padanya. "Aku lapar."

"Baiklah kalau begitu. Ayo, saya akan membuatkan sandwich yang sudah saya janjikan."

"Iya!"

Sebastian berjalan terlebih dulu. Aku lantas mengekor di belakangnya.

"Lady Sheren..! Maafkan kamiii...!"

Aku tersenyum mendengarnya. "Tidak apa-apa. Lain kali lebih hati-hati lagi ya?", ujarku ramah. Kurasa ini pengaruh pesona Sebastian.

-oOo-

Malam ini, pesta meriah diadakan. Banyak orang yang berdatangan. Makanan tersedia dimana-mana. Dekorasi juga menghiasi mansion ini. Tapi... Kira-kira ini pesta untuk apa ya? Aku tidak pernah diberitahu.

Hmm... Oh...! Papa dan mama juga datang! Hehe... Aku mau menghampiri mereka. Sudah berapa lama aku tidak bertemu mereka ya?

"Papa! Mama!", seruku seraya memeluk mereka.

"Wah...! Sheren! Haha... Kau rindu kami ya?", ujar papa sambil mengacak-acak rambutku.

"Tentu saja." Seketika itu juga, wajahku camberut. "Memangnya kenapa kalian menyuruhku tinggal di sini, sih?"

Mama berjongkok. Dia tersenyum. "Papamu yang menyuruh, kan? Tapi.. Mama tahu lho alasannya."

"Beritahu aku."

"Rahasia. Nanti kau akan tahu, kok..."

"Huh! Papa dan mama selalu saja main rahasia denganku!"

Tiba-tiba saja papa menarik tanganku. Dia membawaku mendekati seseorang, sementara mama mengekor di belakang kami. Tapi... Kenapa membawaku ke orang menyebalkan itu?!

"Ciel, baguslah kau merahasiakan ini dari sheren.", ujar papa.

Ciel tersenyum. Dasar! Muka topeng! "Ah... Selamat malam, Mr. Kennedy. Aku senang bekerja sama dengan Anda. Dan tampaknya putri Anda terlihat bingung."

Eh? Apa maksudnya? Rahasia? Kerja sama? Jadi Ciel tahu rahasia papa, yang aku sendiri tidak tahu?! Sebenarnya apa yang mereka rahasiakan?! Firasatku buruk!

"Baiklah, ini." Papa menyodorkan sebuah kotak kepada Ciel. "Aku sudah membelikannya."

"Terima kasih. Sebenarnya Anda tidak perlu repot-repot membelikan benda ini."

"Tidak apa. Aku senang jika putriku senang."

A.. Apanya yang senang?!

Bagaimana aku bisa senang jika mereka merahasikan sesuatu dariku?! Sepertinya rahasia mereka menyangkutpautkan namaku. Aku jadi takut bila hal yang buruk menimpaku.

Papa membalikan tubuhnya. Ia menghadap ke para tamu undangan.

"BAIKLAH, TIDAK PERLU MENUNGGU LAMA-LAMA. LANGSUNG SAJA KITA MULAI ACARANYA!"

A.. Acara apa?!

Aku segera menarik lengan papa. "Papa! Apa maksudmu?! Acara apa yang kau maksud?!"

Lelaki berusia 35 tahun itu menoleh kearahku lantas tersenyum. "Acara pertunanganmu dengan Ciel."

Eh?

Ah?

Pertunanganku... Dengan... Ciel...?

EKH!

"APAAA?!" Aku teriak histeris. "Apa-apaan ini?! Kalian menyembunyikan ini dariku dan baru mengatakannya sekarang?! Aku menolak pertunangan ini! Aku tidak mau bertunangan dengan Ciel! Itu musibah!"

"Lho? Kenapa? Kupikir kau menyukai Ciel makanya aku merahasiakan ini. Ini surprise untukmu."

"Papa tidak mengerti! Aku sama sekali tidak menyukai Ciel!" Nafasku terengah. "Jika tahu ini akan terjadi , lebih baik aku kabur!"

"Sheren..."

"Batalkan acara ini, papa! Aku mau pulang!"

Saat aku menatap papa, tanpa sengaja aku melihat seberkas rasa kecewa dan rasa bersalah dimatanya. Pria itu menundukkan kepalanya.

"Maafkan papa, Sheren. Aku memang tidak mengerti kau. Aku seenaknya saja menjodohkanmu dengan Ciel tanpa mengerti perasaanmu. Aku... Gagal menjadi seorang ayah untukmu."

Ah... Papa...

Aduh! Bagaimana ini? Aku sudah membuat papa merasa bersalah. Aku... Tidak bermaksud membentaknya, di depan orang-orang pula. Tapi... Aku hilang kendali. Aku marah karena diperlakukan seperti ini. Bukankah ini bisa dibicarakan baik-baik? Tidak harus merahasiakannya, kan?

Sumpah! Ini benar-benar salahku! Kalau dipikir-pikir, papa sudah sangat baik padaku. Kenapa aku malah bersikap demikian? Aku... Bodoh...

"Papa..." Aku meraih tangannya. "Maaf, aku tidak bermaksud membentak papa dan menyalahkan tindakanmu. Tapi yang papa lakukan salah. Bukankan kita bisa bicarakan mengenai hal ini sebelumnya, kan? Tidak perlu membuat surprise yang percuma."

"Tetap saja papa salah. Papa telah mengecewakanmu, membuatmu marah, dan merahasiakan sesuatu yang tidak kau sukai. Ini salah papa."

Ah... Sekarang bagaimana? Jika aku menolak lagi, aku akan benar-benar membuat papa merasa bersalah. Aku tidak mau hal itu terjadi.

"Baiklah, papa, aku mau menerima pertunangan ini, demi papa."

"Tidak perlu dipaksakan jika kau tidak menyukai Ciel."

"Tidak apa. Mungkin suatu saat aku akan..." Ucapanku terhenti. Aku tidak mau mengatakan hal ini! Tapi... "Aku akan menyukai Ciel."

"Sungguh?"

"Err... Sungguh."

Senyum papa merekah kembali. "Baiklah. Papa dan mama menyayangi Sheren."

"Aku juga menyayangi kalian."

Ahh... Kuharap apa yang kulakukan ini tidak menimbulkan suatu kejadian yang fatal. Aku hanya ingin papa senang dan aku juga ingin hidupku bahagia tentunya. Tapi tidak bersama Ciel. Tuhan... Semoga aku dan Ciel bukan jodoh, semoga kami cepat dipisahkan.

-oOo-

Aku menyendiri di balkon, meninggalkan keramaian pesta. Mataku menatap langit malam. Langit sangat tenang. Ingin sekali aku berada di sana untuk beberapa waktu lamanya.

Sekali lagi aku menghela nafas. Kutatap cincin pertunangan yang dibelikan papa. Sebenarnya cincin ini indah, tapi kenapa harus menjadi cincin pertunanganku dengan Ciel? Menyebalkan.

"Kenapa tidak bergabung dengan yang lain?"

Aku menoleh hanya untuk membuang muka. "Tidak perlu. Aku ingin sendirian. Lebih baik kau pergi."

"Aku mengerti perasaanmu. Kau terpaksa melakukan ini, kan?"

"Tentu saja! Begini ya, kuakui kau memang perfect secara physical. Kau manis, rupawan, dan tampan, tapi aku tidak menyukaimu."

Ciel terkekeh pelan. "Jujur sekali."

"Heh! Kumohon jangan membanggakan dirimu yang menyebalkan. Menjijikan."

"Omong-omong... Terima kasih atas pujiannya."

"Siapa yang memujimu? Dasar bodoh. Hehe..."

"Jangan mengataiku bodoh. Aku tidak suka dengan ejekan itu."

"Tidak apa. Anggap saja itu panggilan sayangku padamu. Ahahaha..."

"Aku tidak butuh. Aku juga tidak mau menanggapi serius pertunangan kita. Ini hanya main-main."

"Aku pun berpikir begitu." Aku menghela nafas. "Kita buat perjanjian. Di depan orang tuaku, kita harus bersikap layaknya sepasang tunangan. Jadi jangan anggap aku baik padamu jika kita di dekat orang tuaku. Aku sama sekali tidak menyukaimu. Ingat itu."

"Baik, baik, aku mengerti." Ciel sedikit terkekeh. "Tapi jangan salahkan aku jika aku menolongmu suatu saat, itu mungkin sudah jadi kewajibanku."

"Terserah."

-oOo-

"Sebastian... Boneka teddy-ku rusak. Bisa tolong jahitkan?"

"Hem? Tentu."

Kuberikan bonekaku pada lelaki bersurai hitam itu. Sebastian lalu mengambil peralatan menjahit. Dia mulai memperbaiki teddy.

Ya ampun... Sudah baik, berkharisma pula! Sangat sempurna! Berbeda sekali dengan bocah menyebalkan yang satu itu!

Aku memerhatikan tangan Sebastian yang lincah menari-nari dengan jarum dan benang.

"Sebastian, boleh aku bertanya?"

"Boleh. Apa itu?"

"Apa... Kau tertarik de- Maksudku... Misalnya ada seorang gadis kecil yang kesusahan, kau lantas menolongnya. Lama kelamaan, gadis itu tertarik padamu. Apa respon yang akan kau berikan?"

"Eh? Tertarik dalam arti seperti apa?"

"Umm... Menyukaimu. Semacam itulah."

"Hmm... Respon yang saya berikan mungkin menganggapnya sebagai adik perempuan yang manis. Dia masih anak-anak, bukan?"

"Eh? Hanya adik perempuan? Lalu bagaimana jika gadis kecil itu merubah dirinya agar terlihat dewasa?"

"Haha... Lady, gadis kecil tetaplah gadis kecil."

Huh! Kenapa dia jadi menyebalkan?! Aku memang anak kecil, tapi aku seorang perempuan! Sebastian, walau berumur sangat jauh dariku, tapi dia seorang laki-laki! Ingat itu!

"Apa Sebastian mempunyai seseorang yang kau sukai?"

"Seseorang yang saya sukai?" Bola mata Sebastian bergerak kesudut rongga mata kirinya. "Hmm... Saya rasa tidak."

Hahh... Syukurlah... Ekh! Tapi, itu pun pasti berlaku untukku! Bagaimana caraku untuk menarik perhatiaan Sebastian?!

"Nah... Lady Sheren, boneka Anda sudah sehat kem-"

BRAK!

"CIEELLLL~~~~~!"

Ugh?! Su.. Suara siapa ini?!

Dari kejauhan aku melihat seseorang berjalan mendekati kami. Dia orang berambut pirang dengan jas merah. Lalu di belakangnya ada seseorang yang lebih tinggi dengan berpakaian ala butler. Dan... Uh... Seorang perempuan, dia cantik.

Eh?! Huaa...! Dia perempuan dewasa! Sebastian! Jangan lihat perempuan itu! Nanti kau jatuh cinta! Lagipula siapa mereka?!

"Mana Ciel?", tanya orang berambut pirang itu.

Sebastian membungkuk, tanda memberi salam. "Tuan muda Alois, selamat datang."

"Mana Ciel?!"

"Young master sedang sibuk. Jika berkenan, silakan tunggu hingga pekerjaannya selesai."

"Apa?! Tidak bisa begitu! Aku datang jauh-jauh untuk bertemu denganny-" Orang berambut pirang yang ternyata seorang lelaki itu menghentikan ucapannya. Dia menatapku. "Siapa kau? Aku tidak pernah melihatmu."

Itukah pertanyaan yang ia lontarkan kepada seorang Lady? Tidak sopan!

"Namaku Sheren Kennedy. Putri tunggal pengusahawan ternama, Brian Kennedy.", ujarku seraya menaruh tangan kananku di depan dada.

"Oh... Kau berperan sebagai apa di mansion ini?"

"Peran? Hmm... Tamu sekaligus Lady, juga... Yah... Aku benci mengakui ini, tapi... Aku juga berperan sebagai tunangan Ciel."

"Eh? Ciel punya tunangan?"

"Err... Kurasa. Aku sebenarnya enggan memiliki status itu. Dia menyebalkan."

"Oh..." Lelaki pirang di hadapanku menoleh ke belakang. "Hannah, pergi dan temukan Ciel."

"Baik."

Ehh...?! Seenaknya saja datang ke sini dan mencari masalah! Memangnya mereka siapa, sih?!

Maid berambut perak itu berjalan pergi. Tapi aku akan menghentikannya! Jadi aku berlari kearahnya dan menarik tangan si maid.

"Ihh...! Jangan seenaknya masuk! Pergi sana!", bentakku pada maid.

Dia diam, tak menanggapi ucapanku. Maid itu hanya tetap berjalan seraya berusaha melepaskan tangannya dari cengramanku.

'Aduh... Dia robot atau apa, sih?! Sulit sekali menghentikannya!'

Aku menoleh, menatap lelaki berambut pirang. "Hei..! Kau! Suruh maidmu ini pergi! Dan juga kalian! Pergi!"

Sialnya lelaki itu malah membuang muka. "Tidak mau! Aku mencari Ciel, tahu!"

"Ih..! Benar-benar!" Cih! Tidak ada pilihan lain! Aku harus mengusir orang-orang ini! Terutama si wanita maid! "Ciel sedang sibuk! Tidak bisa diganggu! Cepat pergi sana! Atau aku akan melempar kalian satu-satu dengan vas bunga!"

"Hee.. Coba saja kalau berani."

ARGH...! Aku frustasi!

"Ada apa ini ribut-ribut?"

Tiba-tiba terdengar suara yang sangat familiar. Seketika itu juga, semua yang ada di ruang utama menoleh kesumber suara.

Lelaki berambut pirang nan menyebalkan itu tersenyum lebar. Dia berlari menghampiri Ciel yang tengah berjalan mendekati kami.

"Cieelll~~~"

Ciel mengangkat sebelah alisnya. "Alois? Sedang apa kau di sini?"

"Aku ingin mengundangmu ke mansionku, besok pukul 9 a.m."

"Mansionmu?"

"Yap! Mau, kan?"

"Akan kupertimbangkan."

"Hnn... Ayolah..."

"Baik, baik."

"Yeeaaayyyy!" Si lelaki pirang membalikan tubuhnya. Ia berjalan menuju pintu utama. "Baiklah, sampai jumpa di sana, Ciel."

Haahhh... Akhirnya mereka pergi juga... Dasar kutu!

-oOo-

"Ayo, Sebastian, kita berangkat."

"Yes, my lord."

Eh..?! Sebastian juga ikut ke mansion si pirang?! Tidak boleh!

"Tunggu!" Aku berlari mendekati kedua lelaki itu. "Sebastian tidak boleh ikut denganmu, Ciel! Dia harus tetap tinggal!"

"Kenapa?"

"Err.. Ya... Karena... Karena tidak ada yang membuatkanku makanan jika aku lapar."

"Bard ada di dapur."

"Maksudmu aku harus memakan masakan yang hangus itu?!"

"Ya."

Menyebalkan! "Ciel! Kau...! Argh! Selalu saja membuatku marah! Pokoknya Sebastian tidak boleh ikut!"

"Kau kenapa sih?"

"Aku... Tidak apa-apa." Otakku berputar, berusaha mencari solusi. Ah! "Baiklah, aku juga akan ikut denganmu."

"Hah? Tentu saja tidak boleh. Kau hanya akan merepotkanku."

"Tidak. Aku akan jadi anak manis di sana."

"Tetap tidak boleh."

"Aku janji, tidak akan merepotkanmu."

"Tidak, Sheren."

"Ayolah, Ciel." Aku tersenyum jahil. Jari telunjukku menyentuh pipi Ciel. "Oh... Atau jangan-jangan kau takut temanmu itu jatuh hati padaku, ya, makanya kau melarangku ikut."

"Bi.. Bicara apa kau?! Aku tidak mungkin cemburu!"

"Bohong."

"Ugh! Ba.. Baik-baik! Kau boleh ikut!"

Hah! Rencanaku berhasil! Dengan begini, aku dapat mengawasi Sebastian. Dan juga mengawasi si wanita maid itu agar tidak mendekati Sebastian.

-oOo-

Pintu besar berwarna coklat tua dengan motif elegan terbuka perlahan setelah dikutuk beberapa kali. Saat pintu terbuka sempurna, tampaklah seorang pria yang kemarin datang bersama si pirang.

"Selamat datang, tuan muda Ciel. Tuan muda Alois sudah menunggu kedatangan Anda. Silakan masuk."

Kami bertiga masuk. Di dalam mansion ini dipenuhi dengan warna merah dan benda-benda berwarna emas. Glamour sekali.

"Ah... Cieelll~~~"

Suara ini... Pasti si lelaki berambut pirang, yang sifatnya tak jauh berbeda dari Ciel. Sama-sama keras kepala dan menyebalkan. Benarlah dugaanku saat orang itu berlari ringan kearah kami.

Lelaki pirang itu meraih kedua tangan Ciel. "Lama sekali kau. Aku sudah menunggumu, tahu."

"Untuk apa kau mengundangku ke sini?", tanya Ciel seraya melepaskan tangannya dari genggaman si pirang.

"Hmm... Untuk apa ya? Aku juga bingung." Si empunya suara menarik Ciel dan menyuruhnya duduk di kursi yang menghadap kemeja makan. "Bagaimana jika kita makan?"

"Aku tidak lapar."

"Ayolah... Ini jamuan dariku, lho..."

"Tapi ak-"

"Jangan menolak."

Hei! Aku dicampakan?! Aku seorang Lady! Dasar tidak punya sopan santun! Kenapa jadi Ciel first?! Seharusnya lady first!

"Ehem..! Kurasa ada yang melupakan sesuatu.", ujarku seketus mungkin.

Kedua lelaki tidak tahu diri itu menoleh kearahku.

Si pirang lalu menoleh pada Ciel. "Apa ada yang mengundangnya?"

"Tidak ada.", jawab Ciel.

"Kenapa dia bisa di sini?"

"Dia ingin ikut."

"Oh... Tamu tidak diundang. Itu tidak sopan."

"Ya."

Ugh..! Percakapan macam apa itu?! Apa mereka berusaha memancing amarahku?! Benar-benar tidak tahu diri! Akan kuhabisi mereka sekaligus!

Dengan langkah berat aku mendekati mereka. "Apa yang baru saja kalian katakan, hah?!"

"Kami baru saja membicarakan ketidaksopananmu."

"Apa?! Justru kalianlah yang tidak sopan! Memperlakukan Lady dengan begitu menyebalkan!"

"Ah.. Ciel, tunanganmu itu berisik sekali."

Ciel menyilangkan kedua tangannya. "Aku bahkan tidak mau menganggapnya sebagai tunanganku."

Argh! Darahku benar-benar bergejolak!

"Asal tahu saja, Ciel, aku juga tidak mau bertunangan denganmu! Jika bukan karena papa, aku pasti akan menolakmu mentah-mentah! Kau orang paling menyebalkan yang pernah kutemui!" Pandanganku beralih pada si pirang. "Kau juga orang yang paling menyebalkan!"

"Buat dia diam, Ciel."

"Dia sulit dihentikan jika sudah marah."

Beraninya! Aku tidak akan memaafkan mereka! Terutama Ciel! Aku bersumpah akan membalas perlakuannya itu! Lihat saja! Akan kubalas!

"Kyaaa...!"

Eh?

Mataku membulat lebar.

Aaaa... Apa itu? Sejak... Kapan? Bagaimana itu bisa terjadi? Itu... Sulit dimengerti...

Dari tempatku berada, aku melihat Sebastian merangkul wanita berambut perak, si maid.

"Nona, Anda baik-baik saja?", tanya Sebastian.

"A.. Aku baik-baik saja."

"Lain kali berhati-hatilah."

"I.. Iya. Terima kasih karena telah menolongku."

Kenapa? Kenapa aku harus melihat kejadian itu? Si maid... Tersandung dan hampir jatuh lalu Sebastian menyelamatkannya? Itu... Itu...

Tanpa pikir panjang, aku segera membalikan tubuhku dan mulai beranjak pergi. Kakiku berlari secepat yang mereka mampu, meninggalkan mansion.

Setelah memastikan situasi aman, aku menghentikan lariku. Aku bingung. Aku tidak tahu arah jalan. Di sini hanya ada hutan, hutan, dan hutan. Kurasa aku terlalu shock sehingga tidak memerhatikan arahku pergi. Aku tersesat.

"Ba.. Bagaimana ini...? Apa aku akan berada di sini selamanya?"

Menyadari keadaanku yang kacau, aku hanya bisa menangis sejadi-jadinya. Aku... Mempunyai dua alasan kenapa aku menangis. Yang pertama, melihat Sebastian menolong maid itu. Dan yang kedua, aku tidak tahu arah kembali.

Aku takut...

-oOo-

Berkali-kali aku mengelilingi hutan ini, tapi hasilnya nihil. Aku tak dapat menemukan jalan keluar. Jalur yang kulalui, sama persis dengan jalur yang kulalui beberapa waktu yang lalu.

Aku memandang langit.

Hari sudah mulai gelap. Tidak ada penerangan. Udara semakin dingin. Aku sendirian. Tidak ada siapapun. Sudah 9 jam aku berada di sini. Tidak ada satupun yang mencariku. Apa mereka tidak mempedulikanku?

Aku takut.. Aku ingin pulang...

Karena lelah, aku memutuskan untuk beristirahat. Aku duduk bersandar pada sebuah pohon. Kulepaskan semua rasa lelahku.

Mataku kembali menatap langit bertabur bintang. Di sana terang. Tapi mengapa di sini gelap? Itu kan membuatku takut. Bagaimana jika ada hantu? Atau hewan buas? Mengerikan!

Lagi-lagi air mata keluar dari kedua mataku. Aku tak dapat membendungnya lagi.

'Aku ingin pulang. Sebastian, tolong aku...'

"Sheren! Akhirnya ketemu juga!"

Ekh!

Aku mencari sumber suara itu berasal. Senyumku merekah kala melihat siapa yang datang. Syukurlah...

Aku berdiri lalu berlari menghampiri dua orang yang datang. Sesampainya di dekat mereka. Aku menangis lebih keras. Aku bersyukur karena mereka menemukanku!

"Ciel! Syukurlah.. Kau datang! Aku.. Takut!", ujarku sesengukan.

Ciel menepuk-nepuk bahuku. "Sudahlah.. Tidak apa-apa."

"Tapi..." Aku menghapus air mataku. "Kenapa kau lama sekali?!"

"Kupikir kau sudah pulang. Jadi aku santai. Tapi, saat kutanya Mey Rin, katanya kau belum kembali. Lalu aku memiliki kesimpulan bahwa kau marah padaku dan melarikan diri."

"Eh?"

Marah pada Ciel?

"Maaf ya, gara-gara aku, kau jadi berada di sini sendirian. Aku tidak akan mengulanginya lagi."

Eh? Aku tidak marah pada Ciel. Aku melarikan diri karena kesal melihat kejadian itu. Aku malah sudah lupa tentang pembicaraan Ciel dengan temannya.

Ciel... Apa dia mengkhawatirkanku? Akan kutanyakan!

"Saat kau tahu aku belum kembali, kau langsung mencariku?"

"Ya."

"Apa kau mengkhawatirkanku?"

"Err... I.. Iya, aku khawatir. Ta.. Tapi jangan salah sangka! Aku mengkhawatirkanmu karena jika kau hilang, apa yang harus kukatakan pada orang tuamu!"

Oh... Begitu...

Aku tersenyum. "Terima kasih."

"Eh.. Ah.. A.. Ayo kita pulang."

"Ya!"

Sebastian.. Kenapa kau tak mengucapkan sepatah katapun? Padahal aku berharap kau yang menemukanku. Kenapa harus Ciel yang mengkhawatirkanku? Kenapa bukan kau?

-oOo-

"Sheren! Jangan mengangguku! Pergi sana!"

Yah... Muncul lagi sikap menyebalkannya. Padahal dia sudah berjanji untuk tidak membuatku marah. Tapi lihat sekarang. Tak ada ubahnya.

Tanganku mengetuk-ngetuk buku tebal yang tengah dibaca Ciel. "Apa serunya membaca buku tua?"

"Tidak ada urusannya denganmu!"

"Hmm... Benar juga." Kujentikan ibu jari dan jari tengahku. "Oh ya, aku ingin memberitahu, ada seseorang yang mencarimu."

"Siapa?"

"Aku tidak tahu. Pokoknya dia berambut pirang dan ber-"

"Pasti Alois. Bilang saja aku sedang sibuk."

"Oh... Jadi yang bernama Alois itu ada dua ya? Laki-laki dan perempuan. Mereka kembar?"

Ciel menghentikan baca bukunya. "Eh? Maksudmu?"

"Yang kemarin mengundangmu ke mansionnya, bernama Alois, kan?"

"Iya. Lalu?"

"Nah... Sekarang perempuan."

"Perempuan bagaimana maksudmu?"

"Dia berambut double ponytails dengan mata berwarna hijau. Dan oh! Pakaian yang terlihat manis."

"Be.. Benarkah?! Kau pasti berbohong, kan?!"

"Untuk apa aku bohong? Memang siapa dia? Alois versi perempuan?"

Tatapan Ciel terlihat horror. "Dia...-"

"CIEELLL~~~!"

BRAK!

Pintu ruang kerja Ciel terbuka dengan kerasnya. Di ambang pintu berdiri seorang gadis yang tadi kuceritakan pada Ciel.

Ciel berdiri dari tempat duduknya. "Li.. Lizzy?!"

Gadis pirang itu berlari menghampiri Ciel lalu memeluknya. "Ciel! Aku rindu!"

"Ke.. Kenapa kau ada di sini?!"

"Memangnya kenapa?" Si gadis cemberut.

"Kedatanganmu sangat tiba-tiba."

"Bukankah aku memang seperti ini?"

"Tapi kan-"

"Ah ya, tadi kita tidak sempat berkenalan ya?", ujar si gadis kepadaku. "Namaku Elizabeth Midford. Panggil saja Lizzy."

Aku sedikit tersenyum. "Aku Sheren Kennedy."

"Oh... Hehe... Teman baru Ciel ya? Kalau aku tunangannya."

Eh?

Tunangan? Gadis ini tunangan Ciel?

-To Be Continue-


Gimana? Gaje, kan? Yah… walaupun udah dikomen sama temen karena fic-nya kepanjangan, namun apa daya, beginilah saya. Tapi akan saya usahakan, lain kali gak terlalu panjang fic-nya.

Author sibuk banget sama tugas sekolah yang makin lama makin numpuk. Tapi semoga saja semua tugas itu cepat selesai dan fic ini tak terbengkalaikan *halah*

Well then, review please?