Just very short oneshot. :-)

Seandainya ada genre sarcasm, mungkin saya bakal milih yang itu.


.

Summary: Yang namanya permohonan dan pemberian maaf itu mahal. Apalagi jika dua-duanya memang tidak benar-benar berniat untuk melakukan.

"...Mawarnya cantik."

Yah, mungkin cukup hanya begini.

.


.

- Roses -

.

Dan orang itu berdiri di samping dirinya dengan sikap pongah.

Sumpah, baru pertama kali Indonesia bertemu manusia (...personifikasi, oke) searogan ini. Setsun-tsun... ha ha, searogan-arogannya Malaysia coretsi adik durhaka tapi imutcoret, masih lebih arogan lagi makhluk Eropa satu ini. Menghampiri (atau begitulah bila dilihat dari kacamata orang ketiga) Indonesia yang ketika itu sedang menyandarkan diri di tembok terdekat; mengamati dari kejauhan apa yang Menlu negara personifikasi si negeri tulip sedang sampaikan.

Menggugah? Hm, tidak juga. Omongannya absurd, sih. Bagi dirinya yang digelari Nona Lemot Sedunia, memahami perkataan Menlu itu perlu pemikiran ekstra yang menambah kerutan di dahi kepala. Jadi wajar saja ia langsung terkejut macam kucing yang bertemu lawannya dan menyingkir beberapa langkah ketika mendapati si kepala tulip menyilangkan kedua tangan di dada dan ikut bersandar di sebelahnya; tampang si bule begitu jemawa. Menatap ke arah yang sama, di tengah meja konferensi sana.

"Bikin kaget saja..."

Suaranya kecil, tapi bisa saja terdengar. Membuat personifikasi Oranje bersyal putih-biru menoleh padanya, masih dengan tampang sedatar papan dampar(1) daging. Untunglah pikirannya masih berusaha memilah-milah dan mengartikan setiap ucapan tersirat yang disampaikan si Menlu asing, jadi ia tak begitu ingin berkomentar pedas soal kelakuan si jabrik.

Ia tidak berminat juga, sebenarnya.

"Apa kabar?"

Ha ha, ia cuma bisa tertawa datar. Tanggapan yang hampir sama keluar darinya untuk si lawan bicara, namun dengan gaya sarkatik yang disamarkan begitu rupa; sehingga terlihat seperti cengiran aneh yang tak punya makna. Salah besar.

"Baik. Bisa dibilang begitu."

Senyumannya sudah teruji ketulusannya, oke? Tidak peduli walau sisi sarkasme juga mengikuti memberi senti berlebih pada satu sisi. Agak susah membedakan senyuman tulus dari hati dengan senyuman palsu penuh polesan warna-warni dari seorang Indonesia, dan tampaknya Nederland gagal dalam bidang membaca sikap manusia... personifikasi negara; secara lebih mendalam lagi.
"Oh."

Obrolan yang kaku. Dan tak ada satupun dari mereka yang berniat untuk memecah es yang sudah kadung membekukan situasi obrolan formalitas ini. Tidak penting.

"Sebenarnya Menlu-mu itu sedang bicara apa, sih? Dari tadi kudengar, sama sekali tidak bisa masuk ke otak..."
Mendengus. "Entahlah. Kau kira kami semua mendukung secara penuh apa yang sedang ia ucapkan itu? Jika kau melihat dan mendengar bagaimana riuhnya teriakan tidak setuju akan keputusan Bot..."
"Aku tidak tertarik mendengar masalah internalmu yang penuh kegalauan, jadi pass."

Topik pembicaraan pun mati untuk kedua kalinya. Sayang sekali.

Tidak perlu waktu cukup lama hingga konferensi berakhir dan acara tumpengan tiba-tiba mengisi setelahnya. Mereka berdua masih memperhatikan, dari kejauhan. Tak ada niat dari masing-masing partid untuk ikut pada kemeriahan. Hanya cukup disini, melipat kedua tangan di belakang punggung mengenai wallpaper dinding yang kasar, mendengarkan dan tidak perlu ikut campur terlalu panjang.

Soalnya melelahkan.

"Perlu waktu berapa tahun untuk mau mengakui hari Proklamasi kemerdekaanku, hm? Lima puluh? Enam? Oh, kau ingin waktu lebih lama lagi?"
Nada beracun menetes-netes dari setiap desis kata, dari setiap kali mulut Indonesia mengatup dan membuka; membanjir dan pekat bagai ekstraksi obat, yang menggantung dan merembes hingga ke bawah kaki yang berawal dari dalam mulutnya. Racun yang hitam- hitam sekali. Dan juga kuat. Yang saking kuatnya, Nederland perlu menundukkan kepala tak bisa membalas berkata, karena... well, ia tidak punya hak.

Kalah telak. Tertohok berat.

"Hampir enam ribu militer Belanda gugur dalam pertempuran," ―tidak mau kalah, tampaknya. Sampai-sampai mencatut kata-kata Menlu-nya barusan― "banyak yang cacat atau menjadi trauma korban psikologis―"

"Empat puluh ribu rakyatku di daerah Sulawesi mati karena Westerling." Skak. "Dan itu tidak pernah diungkit-ungkit seperti tadi. Bahkan, katanya bukan puluhan ribu, tapi ratusan. Ah, aku juga tidak terlalu tahu; tapi melihat sikap Sulawesi padamu," melirik ke arah kanan dan mendapati seorang gadis muda menatap mereka (dan melotot tajam hingga menguarkan aura hitam pada si pria Belanda), Indonesia tersenyum santai. "Mungkin memang begitu."
"Ah, dan tolong jangan lupakan peristiwa Rawagede, APRA, tentara NICA-mu di―"

"Oke, oke. Aku mengerti. Bisa tolong berhenti menyudutkanku sambil tersenyum? Kau membuatku merinding."

Balasan yang diterima bisa menjadi alasan yang tepat bagi Nederland untuk segera bunuh diri saja. "Kau pantas diperlakukan seperti itu."

...Sial. Bukankah sejak awal dia memang tidak punya kemungkinan untuk menang dalam perdebatan? Malah menantang si wanita di hadapan dalam adu banyak-banyakan korban perang. Aduh, please, bahkan orang buta pun dapat menilai mana yang lebih menderita. Dan, apakah dia lupa sifat bipolar si Zamrud Khatulistiwa? Neurotic darimana, jelas-jelasnya itu bipolar; multipolar, malahan.

'Penyakit' yang mulai diidap Indonesia semenjak perkenalannya yang intens dengan Bapak pertama Republik negerinya itu. Si 'Gemini yang merasa beruntung dengan kemampuannya bermuka dua'. Yang walaupun orang itu sudah tiada; yang namanya warisan sifat takkan mudah hilang begitu saja.

Nederland hanya bisa mengusap wajah dengan kedua belah tangan. Lelah. Rambut yang semula jabrik, layu saat tangannya begitu gatal mengacak-acak tatanan rambut. Menarik sebagian hingga ke depan dahi, membayangi di atas mata. Kantung matanya terlihat, hitam bergelambir. Ya, untuk beberapa malam dia tidak bisa tidur tenang; ada sesuatu terbayang-bayang. Membuat perutnya terasa seperti ditendang.

Rasa bersalah? Menyesal? Ia tidak bisa mengatakan. Itu rahasia baginya, sesuatu yang jika ia ceritakan, maka beban yang sejak sedari lama mengelon manja padanya akan bertambah berkali-kali lipat. Semakin memberatkan. Semakin mengganggu malam-malamnya.

Semakin mimpinya berisi hal-hal tak mengenakkan.

"...Aku menyesal."

Bahkan mata dan kepala itu tidak tertarik hanya untuk sekedar menoleh memberi perhatian. "Menlu Bernard tadi sudah mengatakannya bukan? Kau hanya berputar-putar dengan mengulang mengatakannya lagi padaku."
"Paling tidak, aku ingin mengatakannya sendiri."
Sarkastik memancar. "O ho, begitukah?"
"Indië..."
"Hentikan sebutan itu atau kepalamu tidak akan lagi terpasang pada tempatnya, Landa."

Karena wanita ini penuh dengan rahasia, sifatnya pun tidak terduga. Sisi sarkastiknya langsung berganti dengan sifat mengancam yang terdengar serius– sangat, sangat serius. Nederland boleh saja tidak mengerti cara bagaimana membaca sikap manusia pada lapis kedua hingga ketiga polesan pura-pura, namun tentulah ia bukan seseorang yang teramat bodoh untuk kembali melempar api pada gentong minyak tanah yang muatannya melebihi kapasitas, membeludak keluar dan menguarkan bau serta hawa tak mengenakkan.

Apalagi dalam sosok seorang wanita multipolar seperti Indonesia, bisa-bisa ia hanya sisa tulang ketika bertolak pulang kembali ke Netherlands.

"...Selamat ulang tahun."
"Ini bukan hari ulang tahunku, ini hari dimana diriku sebagai 'Indonesia' terlahir dan diakui dunia internasional secara de facto." Mutiara sewarna bulu burung gereja berkilat-kilat, namun kilatan itu tidak terlihat tenang. Dan masih juga tidak ingin bertemu tatap dengannya. "Ini bukan ulang tahunku."

Godverdomme, Indonesia. Mau sampai kapan kau ingin memblow setiap topik perbincangan sarat nada bersahabat yang ingin Nederland angkat? Kau benar-benar membuat personifikasi tanah Barat itu habis bahan; dan semakin tertekan.

"Vloek," stres? Mungkin. Siapa yang tidak jika niat baik yang dilakukan selalu berakhir sia-sia? "Aku ingin berbaik sikap denganmu, tapi jika kau terus begini..."

"Kau tidak perlu melakukan hal tidak penting." Oh, jleb. Wuush. Prang. Campuran imaji dada yang tertusuk panah, angin dingin, serta kaca pecah-pecah melahirkan sebuah frasa dalam kepalanya; I don't want to live on this planet anymore. "Karena seharusnya kau bukan melakukan ini padaku, tapi, pada adik-adikku. Kauingat, hm? Bagaimana Jawa yang awalnya begitu percaya padamu kauhancurkan perasaannya begitu saja? Anak satu itu memang gadis yang baik, tapi yang namanya orang asing itu memang susah dipercaya, iya kan?"
"Dan sebaiknya kontennya bisa lebih jelas lagi. Seperti... meminta maaf, misalnya? Bukan sekedar merasa menyesal."

...Kau meminta hal yang mustahil, Indonesia.

"Aku hanya bisa bilang aku– kami semua, merasa menyesal. Aku tidak bisa berkata lebih daripada itu."
"...Begitu." Ada hela napas keluar, walau tindakan itu dilakukan tanpa maksud dan dasar yang menjurus pada suatu hal. "Kalau begitu, pembicaraan kita cukup berakhir sampai disini. Kau tahu hal tak berguna? Ya begitulah perbincangan kita saat ini."

Sarcasm-o-meter naik dan terus naik, hingga Indonesia menyunggingkan senyum yang tidak bisa dibilang wajar; senyuman bernada I-don't-fucking-care dengan pengeras suara di kedua telinga Nederland. Membiarkan personifikasi Gordel van Smaragden― nama cantik yang dia ucapkan penuh afeksi saat zaman kolonial― melenggang meninggalkannya setelah dengan brutal menancapkan lebih dari seribu tusuk kalimat kias menjurus sindiran.

Sungguh menyusahkan.
Dan dia jadi khawatir dengan nasib hadiah yang dia kirimkan untuk nanti malam.

"Pasti dibuang..."

Erangan panjang terdengar.

.


.

Yang namanya permohonan dan pemberian maaf itu mahal. Apalagi jika dua-duanya memang tidak berniat untuk melakukan. Seperti memperbaiki hubungan antara dua anak kecil yang sedang bersitegang; takkan ada ujung pangkal. Sebab dua kepala yang sama-sama keras tidak akan bisa bertemu muara persahabatan yang lebih kondusif, agak mustahil.

"...Mawarnya cantik."

Yah, mungkin cukup hanya begini.

.

.

60th Anniversary of Independence Day
Documented at August 16th, 2005.

.

.

.End.

.

Credit:

Hetalia – Axis Powers © Hidekaz Himaruya

- ariniad -

.


.

[1]: Saya ngga tau kalo di tempat kalian sebutannya apa, tapi di tempat saya, papan buat motong bawang, daging, dan lain sebagainya itu disebut dampar. Dan papan dampar daging itu 'wah' banget keliatannya. Dibuat dari batang pohon utuh (jadi bentuknya bulat) setebal 20-50 cm. ...Gitu pokoknya. Biasa dipake sama penjual daging di pasar... ya?


.

Well, ketemu di Wiki. Mau gimana lagi? Tau, telat. Tapi saya baru bisa pegang laptop hari ini. Tumben yang punya lagi berbaik hati.

Walau udah bilang muak, nyatanya ide ini agak susah untuk ditepis. Bagi reader yang juga membaca 'ForMer UnHos', fic ini sebenarnya kisah yang berkaitan dengan chapter pertama; namun saya keburu benci sangat sama Ned sekarang jadi ceritanya menyimpang sekali dari rencana awal.

Malaysia imut? Dalam taraf menyebalkannya adik cowok sampai terlihat imut; iya. *punya adik lelaki kayak gini. Dan, ampun, kadang-kadang anak itu kyut banget kalo lagi nyebelin, sampe bener-bener minta dipelintir kepalanya*

Jangan sekali-sekali melupakan sejarah. Jangan pula memutarbalikkannya. Sama seperti kisah Jugun Ianfu dan Agresi Militer. Semua bermakna. Semua punya arti. Walau telah menjadi benda lusuh yang perlu digali dan diperhatikan secara seksama dulu barulah bersinar begitu terangnya.

Dan JASLUTEGAR: JAngan Sekali-sekali meLUpakan idenTitas kita sEbaGai bangsa besAR. Karena disaat kita sedang merasa tak percaya diri dan pesimis, yang lain akan berlari secepat kuda meninggalkan kita di belakang. :-)

.

Makasih udah bersedia dan repot-repot membaca. ^^

Selamat Hari Raya Idul Fitri. (maaf, telat) Mohon maaf lahir dan batin~ Berikan angpao pada diriku dengan komen dan kripik, da? Gaya menulis saya sering berubah-ubah sih~ #radabipolarjuga

(Sumber materi: Wikipedia, Pengakuan tanggal kemerdekaan Indonesia oleh Belanda)

-Shin

.

Samarinda, 21 Agustus 2012

*Diedit pada tanggal 22 Agustus 2012