WARNING : Cerita ini diupload ulang dari akun saya di wattpad. Dengan judul yang sama dan nama pena yang sama. Setting cerita di ambil dari movie 2 Be forever yorozuya. Kalau belum menontoannya, saya sarankan untuk menontonnya terlebih dahulu.


Udara penat berikut mendung yang tampak di langit edo tidak dapat mengurungi niatnya saat ini untuk mengunjungi seseorang yang sangat ia rindukan. Ia melangkah dengan penuh kehati-hatian, mengingat banyaknya bandit yang selalu mengganggu ketentraman edo sejak kekacauan itu terjadi.

Semenjak wabah putih itu menyerang.

Sebenarnya ia bisa saja dengan mudahnya melumpuhkan bandit bandit itu, tetapi ia tidak ingin membuang-buang waktu saat ini. Tiap menit dan detik sangatlah berharga. Ia tidak mau menyia-nyiakan waktunya untuk hal yang tidak berguna. Masih ada hal yang lebih penting baginya saat ini. Ia bahkan rela menyumbangkan menit kehidupannya hanya agar bisa bersama lebih lama bersama orang itu. Ya, seandainya ia bisa seperti itu. Andai ia bisa terus berada di sampingnya, ia rela menukarkan apa pun dalam hidupnya agar hasratnya tercapai.

Tetapi itu semua mustahil. Tidak ada lagi celah untuknya dalam mewujudkan keinginannya. Langit seolah mengutuknya untuk tidak bisa terus berada di sisi orang yang dia cintai.

Langkahnya terhenti ketika ia sudah sampai di tempat tujuannya. Ia meneguk ludahnya pelan. Tiba-tiba saja rasa gugup menyerang sekujur tubuhnya. Membuat kerongkongannya kering dan keringat dingin berkucuran di tubuhnya. Ia lalu menutupi separuh wajahnya dengan syal merah yang melingkar di lehernya. Topi caping yang ia kenakan agak diturunkan, ia sengaja melakukannya untuk menutupi wajahnya.

"Oh ."

Dia Sakata Gintoki membuat gerakan mengunci di depan bibirnya saat seorang dokter menemuinya diam-diam. Dokter itu segera mengangguk paham dan membodohi dirinya sendiri karena bisa-bisanya ia menyebut nama pria di hadapannya saat ini. Untunglah hanya ada mereka berdua di sekitar situ.

"Tidak ada orang?" tanya Gintoki.

Dokter itu mengangguk.

"Ia sudah tidur?"

Dokter itu kembali menganggukkan kepalanya.

Gintoki menghela napas lega, perjalannya tidak sia-sia.

Dr. Tanaka.

Dokter yang menemuinya dan bersedia membantunya untuk menemui salah satu pasien di RS itu lalu mengkawalnya menuju salah satu ruangan. Tempat seseorang yang ingin ia temui tengah berbaring di sana.

"Seperti biasa hanya 10 menit saja di dalam."

Sepuluh menit. Waktu yang teramat ringkas. Dalam waktu sesingkat itu, ia tentu tidak bisa menumpahkan seluruh kerinduannya. Bila dibandingkan dengan perjuangannya menuju ke tempat ini, sepuluh menit rasanya tidak adil baginya. Tapi apalagi yang bisa ia lakukan? Ia sadar setelah semua yang terjadi sudah sepantasnya ia berhenti bersikap egois. Seharusnya ia bersyukur karena ia masih diberi waktu untuk menjenguknya. Tuhan masih berbaik hati kepadanya, meskipun pada kenyatannya semua ini terjadi karena kesalahannya.

Karena dirinyalah sosok yang ia rindukan menderita.

Sosok yang ia rindukan, gadis yang dicintainya.

"Aku akan memberitahumu kalau ada yang datang kemari. Meskipun waktu sepuluh menit itu belum habis."

Gintoki mengangguk lemah menyetujui ucapan dokte. Ia juga sadar ia harus bersyukur karena bertemu dengan dokter baik hati yang membantunya untuk bisa menjenguk gadis yang dicintainya secara diam-diam.

Tanpa ragu ia masuk ke dalam ruangan tersebut. Ia sudah mengumpulkan seluruh keberaniannya selama perjalanan kemari. Tidak ada waktu untuk merasa ragu, gugup atau apa pun itu. Ia tidak boleh membuang-buang waktunya.

Tepat saat Gintoki masuk ke dalam ruangan, bau obat-obatan yang pekat tercium dari dalam sana. Perlahan ia menutup pintu di belakangnya. Hanya dengan berdiri di pintu masuk ruangan itu, pandangannya sudah dapat menangkap sosok yang ia rindukan. Terdapat sebuah bangsal di RS yang diletakkan di tengah ruangan dan di atas bangsal itu berbaring seorang gadis. Keadaanya memprihatinkan. Di salah satu punggung tangan gadis itu tertanam selang infus di sana. Di sisi kanan gadis itu terdapat alat pendeteksi jantung.

Bila kau tahu bagaimana kondisi gadis itu sebelum wabah putih datang menyerang. Kau tentu akan terkejut melihat gadis yang dulunya bugar, kuat dan galak itu untuk sekarang ini terbaring lemah tak berdaya di atas bangsal. Tubuhnya sekarang ini tampak kurus, kulitnya pucat. Rambut indah yang dulunya berwarna cokelat terang sekarang berwarna putih. Semua ini terjadi akibat wabah putih itu.

Perlahan Gintoki melangkah mendekat, gadis itu untuk sekarang ini tengah tertidur pulas. Tampak tenang dan damai. Pandangan Gintoki menelusuri wajah yang tengah tertidur itu.

Ah ... bagaimanapun kondisinya untuk saat ini. Seburuk apa pun kondisi gadis itu. Ia akan selalu mengakui, gadis itu cantik ... sangat cantik. Di antara banyaknya wanita cantik yang mengelilinginya dan berusaha menarik hatinya, hanya gadis yang tengah terbaring lemah tak berdaya iniilah yang sanggup membuatnya terpesona.

'Otae,' bisiknya lirih.

Ya, gadis itu adalah Tae Shimura. Gadis cantik dan manis yang bekerja sebagai gadis kabaret di sebuah kafe. Gadis yang kuat dan tegar dalam menjalani kehidupannya yang rumit untuk mengurusi dojo warisan ayahnya. Gadis yang jarang menampakkan sisi lemahnya dan selalu menampakkan senyum untuk menutupi masalahnya. Gadis yang mampu membuatnya terpesona dengan karakternya yang unik. Tidak peduli saat ada wanita yang karakternya lebih menarik dibandingkan Tae Shimura, ataupun lebih cantik. Hatinya hanya terpaut kepada Tae Shimura.

Ingin rasanya ia merengkuh tubuh kurus itu, mendekapnya, menciumnya. Menumpahkan air mata penyesalannya di bahu ringkih gadis itu. Tetapi ia sadar, ia tidak bisa melakukannya. Sekarang ini ia harus cukup merada puas dengan hanya memandangi gadis itu.

"G-gin-san." Suara patah-patah Otae membuat Gintoki menegang.

Tangannya refles menyentuh bibir jendela di belakangnya. berrsiap membukanya dan melompat keluar dari sana kalau kemungkinan buruk itu terjadi. Mata ikan matinya memperhatikan wajah Otae. Sepasang mata gadis itu masih terpejam rapat dengan napas yang mengalun lembut.

Gintoki menghela napas lega. Gadis itu masih tertidur pulas. Terlihat cantik dan damai.

'Ia menyebut namaku,' batin Gintoki. 'Apa ia memimpikanku?'

"J-jangan per-gi ..." Bibir pucat Otae kembali bergerak, menggumamkan kata yang membuat hati Gintoki semakin teriris.

Apa yang dimimpikan Otae hingga gadis itu menggumamkan namanya? Ia melihat jemari kurus Otae bergerak-gerak, meremas lemah tepi selimut yang membungkus tubuh seakan-akan ia berusaha menggapai seseorang dalam mimpinya.

"G-gin ...san." Lagi, gadis itu menyebut namanya. Bibir pucat gadis itu terus bergerak, tapi tidak ada lagi suara yang keluar dari sana.

Kedua mata Gintoki melebar saat ia berhasil menangkap apa yang ingin diucapkan Otae dalam pergerakan bibir gadis itu.

"Aku merindukanmu."

'Aku mencintaimu.'

Tanpa berpikir untuk kedua kalinya, Gintoki merengkuh tubuh gadis itu ke dalam pelukannya. Mendekapnya erat, mendorong lembut kepala gadis itu untuk bersandar di dada bidangnya. Saat ini Gintoki tidak peduli dengan apa pun. Ia bahkan tidak sadar kalau tindakannya ini bisa membuat gadis yang berada dalam pelukannya bisa terbangun dalam mimpi indah. Beberapa tetes air mata mengalir turun di pipinya. Rasa rindu yang membuncah serta perasaan bersalah yang menghantuinya membuat hatinya semakin sakit. Gintoki menghirup napas panjang, memejamkan kedua matanya. Berusaha menahan air mata yang mampu membanjiri kedua pipinya untuk saat ini.

'Maafkan aku,' bisiknya dalam hati.

'Maafkan aku.'

Ia mencium puncak kepala gadis itu. Tersenyum pedih melihat rambut yang dulu berwarna cokelat indah kini memutih. Entah untuk keberapa kalinya hatinya menggumamkan kalimat yang sama. Permintaan maafnya yang ia sadari berapa kali pun ia mengatakannya semua itu tidak akan dapat mengembalikan Tae Shimura yang dulu.

Tidak akan ada lagi Tae Shimura yang ceria, galak. tegar dan kuat. Tidak akan ada lagi gadis yang dijuluki gorila betina. Sekarang gadis itu hanyalah gadis penyakitan yang terbaring lemah.

Ini semua salahnya.

Terkutuklah Sakata Gintoki yang membuat gadis yang dicintainya menderita. Ia telah membuat gadis itu terhubung dengan benang hitam takdir hidupnya. Benang hitam kehidupannya yang terkutuk. Yang terhubung dengan masa lalu. Takdir hidupnya yang gelap.

Seandainya ia bisa memutar waktu, ia tentu akan menghindari Otae. Ia akan pergi dari kehidupan gadis itu, agar gadis yang dicintainya tidak mengalami semua ini.

Gintoki tertegun saat ia merasakan basah di dadanya di mana ia menyandarkan kepala Otae. Ia meneguk ludahnya hati-hati saat ia sadar.

Otae menangis.

Apakah gadis ini terbangun dalam tidurnya?

Perlahan Gintoki melepas rengkuhannya. Dan ia mendapati kedua mata gadis itu masih terpejam rapat, napasnya bergerak teratur.

'Gin-san ..." Bibir pucat itu kembali menyebut namanya.

Dan tubuh Gintoki membeku ketika kelopak mata gadis itu perlahan terbuka. Menampakkan iris mata berwarna cokelat yang kini memudar. Pandangan mereka bertemu.

Gintoki tahu, selain melemahkan fisik korban. Wabah putih juga melemahkan daya pandang korban. Kejam memang kalau ia merasa diuntungkan dengan salah satu dampak wabah putih yang mengenai Otae saat ini. Tetapi ia sangat berharap semoga Otae tidak menyadari sosoknya.

"K-kau siapa?"

Gadis itu bertanya lirih. Gintoki diam tidak menjawab. Akan lebih gawat kalau gadis itu mendengar suaranya. Perlahan ia membaringkan tubuh ringkih itu kembali.

"S-shin ... chan? Apa kau ... Shin-chan?" tanya gadis itu.

Gintoki menggigit bagian dalam bibirnya. Rasanya sakit sekali ketika sosok yang kau cintai tidak mengenalmu sama sekali. Saat itu malam hari, hanya di waktu malamlah Gintoki memberanikan dirinya untuk menjenguk Otae. Lampu utama ruangan itu dimatikan, digantikan dengan lampu tidur. Sebenarnya kondisi mata Otae belum begitu parah. Hanya saja akibat pencahayaan yang tidak begitu memadai pandangannya menjadi sangat buram untuk saat ini.

"S-shin-chan ... Padahal kau b-baru saja datang kemari." Gadis itu kembali berbicara.

Tangan kanannya terulur, berusaha menggapai Gintoki yang duduk di dekatnya. Ketika jemari dari tangan itu hampir menyentuh pipi Gintoki, tangan itu jatuh terkulai lemah. Gintoki segera menangkap tangan kurus gadis itu, menangkupnya erat dengan kedua tangannya. Lalu menuntun tangan kurus Otae menuju pipinya.

Kedua sudut bibir pucat Otae yang tampak kering tertarik ke atas, membentuk sebuah lengkungan senyum yang tampak indah. Kedua manik gadis itu terus menatapnya. Melihat semua itu membuat Gintoki tidak dapat menahan dirinya untuk tidak tersenyum.

Gadis ini selalu sanggup menghipnotis dirinya.

"Maafkan aku." Lagi-lagi ia menggumamkan kata maaf.

"Kau ... Gin-san?"

Pria itu tersentak mendengar pertanyaan Otae kali ini. Karena terlalu larut dalam perasaannya ia bahkan tidak sadar kalau ia menggumamkan kata itu. Membuat Otae dapat mendengar suaranya.

"Gin-san ... gin-san."

Ia menggigit bagian dalam bibirnya dengan kencang melihat air mata yang mengalir deras membasahi pipi Otae, Tangan kiri gadis itu yang tadi terkulai lemah kini ikut terangkat ke atas berusaha menggapai wajah pria itu.

Seharusnya ini semua tidak terjadi. Seharusnya ia pergi dari tempat ini sekarang juga. Meninggalkan Otae sendirian. Mengabaikan kata-kata gadis itu yang terus menyebut namanya. Tetapi ia tidak bisa melakukannya.

Ia tidak sanggup meninggalkan gadis ini.

Ia meraih tangan kiri Otae, meletakkan tangan kiri gadis itu di sisi pipinya yang lain. Sekarang gadis ringkih gadis ini menangkup kedua pipinya dengan lembut.

"Gin- san ... Sudah kuduga dari awal. A-aku tahu k-kalau kau yang tadi m-memelukku."

Jemari kurus itu membelai pipi Gintoki.

"M-meskipun pan-danganku kabur. A-aku tetap akan m-mengenalimu."

Rasa perih menyerang kedua mata Gintoki saat mendengar ucapan Otae yang terbata-bata. Benar. Sejak dulu Otae memang seperti ini. Gadis ini selalu dapat mengenalinya. Dirinya tanpa dapat dicegah mengingat masa lalu. Dulu saat semua orang menyerangnya akibat Gintoki palsu atau Kintok berikan kepadanya, Otae termasuk yang pertama kali menyadari kepalsuan Gintoki. Dan gadis ini tanpa ragu membantunya bersama Kagura dan Shinpachi.

"K-kau kemana saja b-baka. A-aku merindukanmu," ujar gadis itu. Suaranya bertambah lirih dan terbata. Air mata yang mengalir semakin deras.

Gintoki tersenyum sedih melihat pergerakan Otae yang berusaha untuk mengambil posisi duduk. Gadis itu tampak ingin memeluknya. Gintoki tidak tinggal diam, ia lalu membantu Otae untuk duduk, punggung gadis itu bersandar di kepala bangsal.

Otae tersenyum lemah. Ia terus menangkup kedua pipi Gintoki. Mengusap lembut kulit wajah pria yang ia rindukan.

"Aku takut ... kalau ini hanyalah ... mimpi," ucap Otae di sela-sela tangisnya.

Gintoki menggeleng lemah. Ia menyeka air mata gadis itu. Memeluk tubuh kurus Otae setelah mendaratkan kecupan ringkas di pipi pucat gadis itu. Kemudian secara diam-diam ia menyuntikka obat bius kepada Otae.

'Maaf ... kau harus menganggap semua ini hanyalah mimpi.'

TBC


Author note :

Huah ... akhirnya tercapai juga nulis di fanfic. Biasanya saya nulis di ff wattpad. Tapi waktu lihat asupan GinTae sepi banget baik di wattpad atau di sini saya akhirnya memutuskan untuk mermaikan pair ini. Sedih deh ... Padahal mereka ini manis banget ... Tapi kok jarang yang sadar ya. Apalagi di movie dua ini hint mereka kerasa banget di sini. Posisi Otae di sini benar-benar ditunjukkan kalau ia yang paling dekat dengan Yorozuya dan bisa menjadi penyatu Yorozuya :,)

Cukup cuap-cuapnya semoga suka.