~ Dunia hitam ~

Summary: Tidak ada yang tahu tentang arti sebenarnya dari sebuah kebenaran hingga hal tersebut terbukti dengan sendirinya. Kuroo berasumsi, begitu pula dengan Kenma. Bagi keduanya, kebenaran memiliki makna yang berbeda. Bahkan apa yang dilihat Bokuto tidak sama dengan apa yang dilihat Akaashi, namun keduanya menganut hal yang sama. Asumsi memecah, mengaburkan kebaikan dan keburukan dan ketika semuanya berakhir, penyesalan tidak berguna terjadi.


Read and Review?

Warning: OOC. OOT. AU. Shounen-ai. HumanKinesis!Chara. Tanda Baca Ancur. EYD Ga Jelas. Dan masih banyak lagi!

Rate: T

Haikyuu © Haruichi Furudate

Dunia hitam -Serangan- © Akasuna Yuri Chan

Don't like, Don't read

Note:

Italic: Flashback ingatan, narasi yang berbeda, isi pikiran.

Bold: Kata yang diberikan nada penekanan.

' ': Kata yang memiliki arti lain.

Dan sangat disarankan untuk membaca fanfic ini seperti tengah membaca manga, atau tengah menonton anime!

Words: 6.1 K

.

Happy Reading!

.

.

Kuroo Tetsurou adalah seorang telekinesis. Itu artinya, ia bisa membuat benda solid bergerak tanpa menyentuhnya. Well, itu hanya pengertian secara singkatnya saja. Karena kau tahu? Kuroo tak suka memperumit masalah. Kuroo hanyalah sebagian kecil dari beberapa orang di dunia ini yang bisa melakukan kinesis. Terdengar keren memang, tapi kemampuan ini sejujurnya menyeramkan. Biasanya orang-orang yang memiliki kemampuan ini hanya bisa menggerakkan benda-benda ringan seperti tisu, kapas, dan daun. Yang terhebat malah cuma bisa memisahkan kuning telur dengan putihnya. Tapi Kuroo berbeda, ia bisa melakukan lebih dari itu. Ia bisa melempar mobil dengan kekuatannya. Ia bisa meremukkan tulang manusia dewasa, dan ia bisa menyembunyikan serta menekan keberadaan orang lain di sekitarnya. Kuroo tak sombong dengan kemampuannya. Malah sebaliknya, ia takut. Ia takut pada kemampuannya yang membuatnya terlihat seperti monster.

"Kuroo, kau lihat tadi? Daichi sampai berteriak 'waaaaa', begitu. Seharusnya kita sering-sering melakukannya!" ucap Bokuto penuh semangat, ia tersenyum lebar karenanya.

Namanya Bokuto Koutarou, sama seperti Kuroo. Ia juga seorang kinesis, Pyrokinesis tepatnya. Tak seperti Kuroo yang bisa menerbangkan dan menggerakkan benda-benda solid, Bokuto hanya bisa membakar. Ia dapat membakar apa pun dengan apinya, termasuk manusia sekali pun. Berbeda dengan Kuroo yang bisa mengendalikan kekuatannya, Bokuto malah sama sekali tak bisa. Ia membakar apapun yang ia sentuh, walau tanpa sengaja sekali pun. Bokuto sadar, kalau dia hanya akan mencelakai umat manusia. Karena itu dulu, dulu sekali, Bokuto pernah berencana untuk bunuh diri.

Kuroo tersenyum sebagai tanggapan, tak seperti biasanya. Kuroo lebih kalem hari ini, membuat alis Bokuto tertekuk.

Tapi tentunya, sekarang pemikiran itu sudah tak ada lagi. Sekarang Bokuto memiliki Kuroo yang dapat menekan kekuatannya, jadi ia tak perlu takut lagi kalau-kalau ia tanpa sengaja menyentuh sesuatu atau mencelakai orang lain.

"Kau deman, Kuroo? Kau lebih pendiam hari ini." tanya Bokuto, sambil menyentuhkan punggung tangannya ke dahi Kuroo.

Dalam seketika, wajah Kuroo yang awalnya biasa-biasa saja kini merona merah dibuatnya. Kuroo kemudian menepis tangan Bokuto dari dahinya.

"Y-Ya, aku baik. Hanya sakit perut saja." tegas Kuroo, meninggalkan Bokuto yang kini terdiam di tempatnya.

'Apa hanya perasaanku saja ya?' pikir Kuroo.

Bahu ditepuk, Kuroo menoleh spontan. "Ya?!"

Bokuto terkekeh, "Aku hanya ingin bilang, kalau kita makan di luar saja hari ini. Aku tak membuat jantungmu copot kan?" Bokuto tersenyum menyebalkan.

Kuroo mendengus, "Untungnya tidak. Kita makan di rumah Daichi dan Sugawara saja, aku sedang tak ingin memasak hari ini."

"Begitu? Boleh saja sih, asal kita tak diusir keluar lagi seperti tadi."

Kuroo terkekeh, kemudian tersenyum percaya diri. "Tentu saja tidak."


Malam ini rumah Sawamura Daichi dan Sugawara Koushi mendadak ramai, seolah-olah mereka baru saja mengadakan pesta besar hari ini. Tapi sebenarnya tidak, ini semua terjadi karena mendadak teman-teman dan kenalan mereka ingin datang berkunjung untuk makan malam bersama. Ya, walau pun dari pada berkunjung. Mereka malah lebih seperti menumpang makan sih. Tapi toh, Sugawara tak masalah. Ia tersenyum lembut malah, mungkin karena jarang-jarang rumah mereka terasa ramai seperti ini. Maklum, beginilah jadinya kalau 'anak-anak' sudah besar. Rumah sepi tanpa adanya keributan.

"Oi, Hinata! Jangan melompat-lompat di lorong rumah!" amuk Daichi.

Namanya Sawamura Daichi, seorang Terrakinesis. Artinya, ia dapat mengendalikan bumi dengan mudah. Daichi adalah pemegang salah satu dari lima elemen terkuat dalam kinesis, enam sebenarnya. Tapi anggaplah yang satu sudah lama menghilang, jadi yang tersisa tinggal lima sekarang. Daichi masuk dalam peringkat kedua, karena yang pertama sudah diambil posisinya oleh Bokuto, sang Pyrokinesis atau elemen api.

"Ekh?! I-Iya, Senpai!" sedangkan yang di amuk, terlihat tengah membungkukkan tubuhnya panik.

Anak bersurai orange itu adalah Hinata Shoyou. Seorang kinesis juga, Aerokinesis tepatnya. Sama seperti Daichi, ia juga seorang pemegang elemen. Tapi sayangnya udara tak termasuk dalam lima elemen terkuat. Walau pun begitu, jangan remehkan kemampuan para elementer disini. Tubuhnya mungkin kecil, tapi kecepatannya tak boleh diremehkan. Ia bisa mengendalikan udara sesuka hatinya, hal favorit yang ia sukai dari kekuatannya adalah terbang. Sudah menjadi impiannya sejak kecil untuk bisa terbang di langit.

Kuroo tertawa, "Kurasa kau terlalu tegas pada si Chibi, Daichi."

Sugawara tertawa maklum, sedangkan Daichi lebih memilih menghela nafas. Ia melirik Kuroo, pandangan matanya terlihat tajam. Kalau saja tatapan bisa membunuh, sudah pasti Kuroo sekarang tinggal nama.

Sugawara Koushi, seorang vitakinesis. Kemampuannya adalah menyembuhkan luka dan penyakit. Ia bisa menyembuhkan berbagai luka dan penyakit tanpa terkecuali. Terkadang ia membantu beberapa rumah sakit di kota, demi menolong orang-orang.

"Kau, ikut denganku." tegas Daichi, terdapat aura gelap yang mengelilinginya.

Kuroo tersenyum pahit, ia kemudian menepuk bahu Sugawara. "Kalau aku tak kembali sebelum makan malam dimulai, kutitipkan Bokuto padamu."

Suga tertawa, berkata "Tentu," sebelum akhirnya melanjutkan pekerjaannya bersama yang lain.

. . . .

Kuroo mengekor pada Daichi, tak ada percakapan di antara mereka. Hanya keheningan yang membelenggu.

"Kenapa kalian lama sekali? Kami kedinginan di luar sini!" protes Yaku, pemuda dengan tinggi 165 senti itu menggigil kedinginan. Hidungnya bahkan sudah terlihat memerah sekarang.

Morisuke Yaku, seorang cryptokinesis. Artinya, ia bisa membuat tubuhnya menjadi transparan atau menghilang.

Iwaizumi mendengus setuju, kemudian fokusnya tertuju ke Kuroo sekarang. "Kau tak apa, tak ada Bokuto di sisimu?"

Kuroo tersenyum mengejek, "Apa maksudmu, Iwaizumi? Kupikir, itu seharusnya pertanyaan untukmu. Kau meninggalkan Oikawa di dalam, kau tak apa dengan itu?"

Iwaizumi berdecak kesal, pandangannya terlempar entah kemana. "Aku bukan pengasuh si Sampah itu."

Iwaizumi Hajime, seorang Myokinesis. Kinesisnya dapat membuatnya memiliki kekuatan super layaknya superhero dalam komik dan film.

"Kalian sebenarnya mau adu mulut atau 'membahas' sesuatu? Jika adu mulut, maka aku akan pergi dari sini. Mattaku, kenapa malam ini dingin sekali sih?!" kesal Yaku, masih bersilang tangan.

Iwaizumi mengusap rambut belakangnya, wajahnya terlihat terganggu oleh sesuatu. "Bagaimana mengatakannya ya..., itu mungkin karena tamu-tamu tak di undang disana." jari jempolnya terlihat tengah menunjuk kegelapan di belakang tubuhnya.

Ekspresi kedua temannya mengeras, kecuali Kuroo yang masih tersenyum mengejek. Mereka sudah memasang kuda-kuda sejak Iwaizumi menunjuk ke belakang. Sebenarnya tanpa Iwaizumi bilang pun, ketiganya sudah sadar akan atensi lain disana. Tapi mereka menunggu saat yang tepat. Sesuatu terlihat menyala dalam kegelapan, terdapat dua pasang bola mata yang tengah melihat ke arah mereka.

Kuroo berdecih, ia yakin kalau ia sangat mengenal salah satu dari dua pasang mata itu. "Ada angin apa, sampai beberapa teman lama datang berkunjung seperti ini?"

Iwaizumi melesatkan tinjunya, membuat si Target yang berhasil menghindar semakin mundur dari posisi awal mereka.

Iwaizumi memandang tajam kedua sosok tersebut. "Cih, tak kena ya. Tapi maaf saja, kami tak ingat telah mengundang tamu seperti kalian."

"Iwaizumi-san, kalau tak ada Oikawa-san menjadi lambat ya?" pertanyaan bernada datar dari salah satu 'tamu tak diundang' tersebut berhasil membuat urat-urat terlihat di dahi Iwaizumi.

"Ck, aku tak ingin mendengar itu darimu, Sialan!" geram Iwaizumi.

"Hei, Kenma. Kau tak ingin menyapaku? Aku sudah menunggumu sejak tadi sore, tapi kau tetap saja sombong padaku." Kuroo tersenyum, tangannya ia ayunkan. Membuat benda-benda kecil serta tajam di sekitar mereka melayang dan menyerang atensi yang ia panggil 'Kenma' tersebut.

Kenma menghindar dengan gesit, terdapat berbagai macam benda tajam dalam objek yang Kuroo arahkan padanya. Dan kalau kena, sudah pasti ia akan terluka. Atau yang lebih buruk lagi, kematian. Tapi ia tahu satu hal, ia tahu bahwa Kuroo tak akan benar-benar menyerangnya.

"Kuroo..., aku tidak mau bertarung denganmu." Kenma berkata dengan nada datar yang tak dibuat-buat, membuat Kuroo seperti tersadar akan sesuatu. Senyumnya berubah pahit.

"Benarkah? Padahal aku sangat yakin, kalau kau datang untuk itu."

Kenma tak membalas, telapak tangannya ia biarkan terbuka. Membuat gumpalan awan hitam tampak memenuhi telapak tangannya, jangan tanya bagaimana Kuroo dapat melihatnya, anggap saja Kuroo memiliki indra keenam disini. Ia kemudian mengarahkan gumpalan tersebut ke arah Kuroo dengan ayunan lambat, seolah-olah tampak tak berminat melakukannya.

Kuroo berdecih, ia tak cukup hebat kalau soal kelincahan. Tapi terima kasih untuk telekinesis yang ia miliki, ia jadi lebih mudah menutupi kelemahannya itu. Kuroo mengangkat tangannya sebatas dada, ia berhasil membuat perisai untuk melindungi seluruh perkarangan rumah. Walau pun perisai tersebut sangat transparan, tapi nyatanya perisai tersebut memiliki ketahanan yang tak perlu diragukan lagi. Dan well, Kuroo cukup bangga pada kemampuannya kali ini.

"Aku akan menghalangi yang lain untuk datang ke sini, kalian bisa singkirkan mereka tanpaku?"

Kuroo dan Yaku tersenyum penuh percaya diri, sedangkan Iwaizumi terlihat hanya berdecak sambil mengusap belakang kepalanya. "Pergi sana, jangan biarkan si Sampah itu mengangguku selama pertarungan." Daichi tersenyum, sebelum akhirnya berlari masuk.

Akaashi Keiji, pemuda bermata gunmetal blue tersebut tersenyum. Senyuman sinis yang cukup jarang tapi sering terlihat di wajahnya. "Kuroo-san, perisaimu memang kuat untuk menghalau serangan. Tapi..., perisaimu itu, sangat lemah terhadap serangan dari dalam, benar?"

"Kuroo!" Yaku berteriak.

Kuroo tersentak, ia menoleh ke belakang. Melihat es berwujud panah tengah melesat cepat ke arahnya. Kuroo tak bisa bergerak, ia seperti di paku di tempatnya berdiri. Panah es tersebut semakin mendekatinya, Kuroo reflek menutup mata.

'Blaaar!'

Kuroo membuka mata, keringat dingin terlihat menggantung di pelipisnya. Bola mata Kuroo menatap fokus pada punggung seseorang yang cukup ia kenal. Rambut dwi warna itu...

"Bo...kuto..."

Sejenak Bokuto tersenyum lebar ke arahnya, sebelum akhirnya matanya memandang tajam pada Akaashi yang terlihat masih tersenyum.

"Lama tidak bertemu, Akaashi."

"Bokuto-san, doumo. Aku cukup terkejut ketika mengetahui, ternyata Bokuto-san masih hidup."

Bokuto menggeram, "Apa mau-mu datang ke sini, Akaashi?!"

Akaashi tertawa, ia memain-mainkan kristal es di tangannya. "Hanya menyapa, mungkin. Bokuto-san..., aku sangat merindukanmu..."

Bokuto berdecak kesal, dalam sekejap saja tubuhnya sudah terbalut oleh api. Kuroo mendadak panik begitu melihat Bokuto berlari untuk menembus perisai buatannya.

"Bokuto!" Kuroo berteriak.

Iwaizumi tiba-tiba saja muncul di hadapan Bokuto, wajahnya terlihat tersenyum kecut. "Menyingkirlah Iwaizumi!" teriak Bokuto, begitu jarak mereka tersisa satu meter.

Iwaizumi tak menyingkir, ia malah menyiapkan tinju kanannya. "Berpikirlah sebelum bertindak, Bodoh!"

'Buak'

Bokuto terpental ke belakang, menabrak bangunan tempat Daichi dan Sugawara bernaung selama ini. Dapat terdengar suara debaman keras ketika punggung Bokuto menyentuh dinding dari bangunan tersebut.

Bokuto meringis , begitu pula denga Iwaizumi. Ia mungkin seorang Myokinesis, tetapi tubuhnya tetap saja tubuh manusia yang dapat terluka juga. Ditambah bukannya menyingkir dari hadapan Bokuto yang terbakar hebat, Iwaizumi malah memilih untuk menghentikannya dengan cara meninjunya. Bukankah itu gila namanya? Untuk di saat seperti ini, Iwaizumi benar-benar merasa bersyukur Oikawa tak ada di sisinya. Coba saja bayangkan, bagaimana berisiknya si Sampah-julukan sayang dari Iwaizumi- itu ketika melihat Iwa-chan-nya terluka seperti ini.

Akaashi bertopang dagu, ekspresinya datar, bingung dan kecewa menyatu menjadi satu. "Itu hal tergila yang bisa kau lakukan, Iwaizumi-san. Seharusnya kau biarkan saja Bokuto-san menghancurkan perisai itu agar kita bisa 'bermain' sedikit."

Iwaizumi berdecak, rasa sakit di tangannya juga sudah menggila sejak tadi. Ia berharap ada Suga disini untuk mengobatinya sekarang juga. Tiba-tiba saja Daichi muncul dengan Sugawara bersamanya. Setengah berteriak melihat kekacauan yang diakibatkan oleh Iwaizumi dan Bokuto.

Suga menghampiri Iwaizumi, wajahnya terlihat cemas sekarang. "Bagaimana bisa kau terluka seperti ini, Iwaizumi?"

Iwaizumi hanya meringgis, begitu tangan kanannya dipegang oleh Suga. Tampak cahaya hijau lembut menyinari luka bakar di tangannya. "Salahkan si Burung hantu itu, dia lepas kendali tadi."

Suga hanya tersenyum simpul, mulai mengerti penyebab luka bakar di tangan kanan Iwaizumi. "Sudah selesai, tapi kusarankan agar kau tak bermain api lagi, Iwaizumi."

Alis Iwaizumi terangkat sebelah sebagai respon, Suga tertawa sesaat sebelum ekspresinya mengeras melihat musuh mereka.

Pandangan mata Suga menajam, berusaha melihat sosok musuh mereka dalam hitamnya kegelapan. "Siapa mereka, Iwaizumi?"

Iwaizumi mendecih, malas melihat sosok yang dimaksud. "Para pengkhianat, Akaashi dan Kenma, kenalan Kuroo."

Mata Suga membulat tak percaya, "Akaashi? Kau bercanda, kan?!"

"Apa aku terlihat bercanda di matamu?"

Mengabaikan Iwaizumi dan Suga, kini dapat dilihat kalau Akaashi tiada bosan melemparkan es berbagai bentuk ke arah perisai pelindung buatan Kuroo. Kuroo jatuh berlutut, ia merasa sudah pada batasnya sekarang. Kalau dalam pertarungan, Kuroo bukanlah tipe penyerang walau serangannya cukup ampuh. Ia tipe bertahan yang dapat diandalkan. Karena itu staminanya sangat berbeda dengan Iwaizumi dan Bokuto, ditambah ia juga harus bertahan dan menyerangan secara bersamaan. Belum lagi ia harus meminimalkan kerusakan serta keselamatan warga sipil, itu benar-benar menguras tenaga bung!

Senyuman Akaashi semakin melebar, begitu perisai andalan Kuroo mulai terlihat retak disana-sini. Tinggal sekali serang dengan tekanan penuh, dan perisai menyebalkan itu akan hancur. Tiba-tiba saja Akaashi menjadi sangat bersemangat dalam melakukan kegiatannya.

"Hentikan, tugas kita sudah selesai disini." Akaashi melirik kesal sang Rekan yang sejak tadi berdiam diri, ia benar-benar merasa kesal sekarang. Sebuah bola berduri raksasa yang terbuat dari es sudah siap di atas telapak tangan, tinggal dilemparkan saja dan tamatlah riwayat perisai pelindung buatan Kuroo.

"Kau tak dengar aku? Mereka menyuruh kita kembali." kali ini Kenma memberikan penekanan penuh pada setiap kata dalam kalimatnya.

Akaashi menggigit bibir bawahnya, tak suka. Perasaannya kesal sekarang, bola itu pun sengaja dilemparkan pada perisai Kuroo. Membuat perisai tranparan berdiameter 10-15 meter itu hancur tak tersisa bak serpihan kaca.

Yaku dan Daichi berteriak begitu melihat Kuroo ambruk, hampir semuanya menghampiri Kuroo walau masih ada beberapa yang bersikap waspada dengan musuh di depan mata. Kenma hanya melihat dalam diam ketika sosok Kuroo ambruk ke tanah. Ekspresinya masih saja datar, walau pandangan matanya sudah tak dapat diartikan lagi.

"Kau menyesal? Telah membuatnya seperti itu." Akaashi tersenyum tipis, matanya ikut melirik sosok yang menjadi perhatian Kenma sejak tadi.

"...Tak terlalu..." dan setelahnya yang dapat dilihat hanyalah pemandangan kabut hitam menyelimuti mereka berdua sebelum akhirnya hilang terbawa angin.

.

.

.

.

Ini cerita sebelum semua kejadian tadi terjadi. Mimpi ini selalu menghantui Bokuto dalam menghabisi malamnya, persis seperti sebuah dosa. Berulang kali Bokuto memohon dan berdoa, meminta supaya mimpi ini terhapuskan dalam hidupnya. Namun semuanya terasa sia-sia, dan malam ini pun. Mimpi ini kembali mengunjunginya, menghiasi bunga tidurnya.

"Bokuto-san, kalau sesuatu yang kau percaya menghilang. Maka, apa yang akan kau lakukan?"

"Aku tidak tahu, sejak awal aku memang tak memiliki apa pun untuk kupercayai. Jadi aku tak tahu jawabannya. Tapi kenapa kau tiba-tiba bertanya tentang hal ini, Akaashi?"

"Ah, tidak. Bukan sesuatu yang penting, hanya bertanya."

. . . .

Bokuto terengah-engah, penampilannya terlihat buruk. "Hah... hah... ke-kenapa... Akaashi... KENAPA KAU MELAKUKAN SEMUA INI?!"

Akaashi, pemuda itu terlihat jauh lebih buruk dari Bokuto. Tubuhnya bermandikan darah, dengan wajah yang juga tak luput dari noda merah. Tetapi ada yang janggal disini, walau pun berpenampilan mengerikan seperti itu. Entah kenapa Akaashi masih bisa tersenyum lebar. Bokuto takut, ia takut pada Akaashi yang seperti ini. Sosok di hadapannya bukanlah Akaashi Keiji yang ia kenal. Jelas bukan, Bokuto tak pernah kenal dengan makhluk haus darah seperti itu. Mahkluk yang dengan mudahnya membunuh seluruh penduduk desa tempat mereka tinggal, bukanlah Akaashi yang ia kenal.

Bokuto tak mengenalnya, ia sungguh tak mengenalnya. Akaashi yang ia kenal, tak akan memutuskan kepala para pria dewasa dengan mudahnya. Akaashi yang ia kenal, tak akan mencabut jantung para wanita sambil tertawa kesenangan. Akaashi yang ia kenal, tak akan terlihat bahagia saat merobek daging dan tulang anak-anak seperti sudah biasa melakukannya.

Ini pasti mimpi, ya, pasti, semoga saja.

"Bokuto-san, kupikir kau sudah kabur dariku. Ah, bodohnya aku, tentu saja Bokuto-san tak akan meninggalkanku. Benar kan, Bokuto-san?"

Bokuto menepis tangan Akaashi yang kotor oleh warna merah. Wajahnya memucat, dengan sepasang bola mata emas melototi Akaashi penuh irama ketakutan.

Senyum Akaashi menghilang, "Bokuto-san?"

Bokuto tersentak, panggilan tersebut seperti air panas yang menyirami luka di hatinya -sakit.

Ekspresi Akaashi terlihat kecewa, matanya memandang datar Bokuto yang terlihat sangat ketakutan padanya. Tidak, bukan padanya, tapi apa yang ia lakukan. Bokuto takut pada apa yang sudah dilakukannya. Tapi itu wajar, bukan? Ia pun mungkin akan ketakutan jika melihat Bokuto melakukan apa yang ia lakukan.

"Bokuto-san, apakah kau masih suka padaku?"

'...Tidak...'

"Kenapa kau terlihat sangat ketakutan padaku?"

'...Kumohon hentikan...'

Akaashi kini berubah wujud, sosoknya terlihat menyeramkan dengan wujud monster hitam bermata merah. "Padahal aku sangat men-"

'Tidaaak!'

. . . .

"Bokuto!" Kuroo membentak, wajahnya masih terlihat pucat sejak pertarungan tadi. Berulang kali mengguncangkan tubuh Bokuto, sambil memanggil-manggil namanya sampai hilang kesabaran sudah menjadi jadwal kegiatannya setiap malam.

Bokuto terbangun dari tidurnya, tubuhnya basah oleh keringat. Matanya berulang kali berkedip, berusaha menyamankan korneanya dengan pencahayaan seadaanya. "...Kuroo..." Bokuto reflek memeluk Kuroo dengan erat, seolah-olah pemuda bermahkota hitam itu akan menghilang kalau ia melepas pelukannya barang sedetik saja.

"Bokuto?" Kuroo berbisik, setengah menghela nafas sebelum akhirnya lebih memilih mengelus punggung Bokuto. Ini selalu terjadi setiap kali Bokuto tertidur dan Kuroo tak berada di sisinya.

Tubuh Bokuto bergetar, pertanda kalau pemuda yang selalu terlihat ceria dengan tingkah kekanakan itu tengah ketakutan. Kuroo membalas pelukan itu, matanya memandang langit-langit kamar mereka.

"Kau bermimpi buruk lagi?" Bokuto menganggukkan kepalanya, Kuroo kembali menghela nafas. "Itu hanya mimpi, tak ada yang perlu ditakutkan. Sekarang aku disini bersamamu jadi jangan takut lagi, oke?"

Bokuto menatap wajah Kuroo lekat, wajah yang selalu menampilkan seringaian menyebalkan kini terlihat buruk. Wajah itu pucat dengan gurat lelah dan cemas yang berlebihan –bahkan area matanya mulai menghitam seperti panda.

"Kau belum tidur?"

Kuroo menggeleng, "Aku tak akan bisa tidur selama mereka masih berkeliaran di luar sana. Kau pasti lelah kan? Tidurlah lagi, kali ini aku akan terus bersamamu sampai pagi."

"Kau juga butuh tidur, Kuroo!"

Kuroo berdecih, stres akibat kelelahan mulai berefek sekarang. "Jangan pikirkan aku, aku bisa tidur besok. Kumohon tidurlah, Bokuto."

Bokuto terdiam, terlihat ingin menolak sebelum akhirnya bungkam. Pada akhirnya ia hanya bisa menurut saja, ketika Kuroo mulai menyelimutinya dan bersandar di sisi tempat tidur. Tangan mereka bertautan, Kuroo terlihat tak ingin melepaskan genggaman mereka begitu pula dengan Bokuto.

. . . .

Kuroo terdiam, pikirannya kini menyelam ke dalam lautan ingatannya.

"Kenapa kau tak melawan mereka, Kuroo?"

Kuroo memperhatikan sosok dirinya di masa lalu. Sosok yang menurutnya masih sangat lemah sekaligus polos.

Kuroo kecil tersenyum, tangannya masih sibuk memutar sebuah bola. "Karena aku tak ingin menyakiti orang lain, tentunya."

"Walau pun mereka menyakitimu?" sepasang pupil berbentuk vertikal memperhatikannya dengan seksama, sudah lupa dengan kegiatan awal.

Kuroo kecil masih tersenyum, namun gurat senyumannya terlihat berbeda dengan yang pertama. Senyumannya terlihat memancarkan sedikit kesedihan. "Walau pun aku tersakiti sekali pun."

Kozume Kenma, bocah berumur enam tahun itu terlihat kesal. Kenma bangkit, membuat tubuhnya terlihat lebih besar dari tubuh Kuroo yang tengah duduk di rerumputan. "Kalau kau seperti itu terus, bagaimana kau bisa melindungi dirimu sendiri?! Kalau kau tak ingin melawan, maka aku yang akan melawan mereka untukmu!"

Mata coklat terang Kuroo membulat, ia lantas tersenyum. "Kalau kau memutuskan begitu, maka aku memiliki alasan untuk melawan."

Kenma memandang tak mengerti, Kuroo tersenyum lembut. "Aku akan melawan, jika itu untuk melindungimu."

Kenma bersemu, "Bodoh, seharusnya kau melawan untuk dirimu sendiri! Tapi bagaimana jadinya, jika aku malah menjadi seperti mereka?"

Kuroo terdiam, terlihat tengah memikirkan jawaban yang tepat untuk pertanyaan tersebut. "Kalau begitu, aku akan bertarung denganmu sampai kau akhirnya tersadar kembali Kenma!"

Kenma terdiam, matanya terus menatap sosok Kuroo yang masih tersenyum ke arahnya. "Begitu..., kalau begitu aku juga, tak akan ragu bertarung dengan Kuroo nanti." Kenma tersenyum, hanya senyuman tipis yang sudah cukup untuk membuat Kuroo bahagia sekarang. Ah, ia ingin pertemanan indah ini tetap berlangsung selamanya... semoga.

. . . .

Kemudian ingatan Kuroo terlihat maju ke beberapa tahun ke depan. Kuroo memperhatikan dirinya yang terlihat 'buruk'. Wajahnya datar, sedatar wajah 'sosok' Kenma yang bukan lagi Kenma baginya.

"Kau benar-benar sudah memutuskannya? Kau yakin dengan pilihanmu itu, Kenma?"

Kuroo masih ingat kejadian itu, saat-saat ia juga berubah menjadi sosok 'lain' dalam hidupnya.

Kenma menghela nafas, tubuhnya terlihat masih diselimuti oleh awan atau apalah itu berwarna hitam. Kenma mengulurkan tangannya, tatapan serta ekspresinya masih saja datar seperti biasanya.

"Kuroo... ikutlah denganku, kita tak diterima di tempat ini. Jika kita tetap di tempat ini, kau akan terus terluka. Dan aku tak ingin kau terluka seperti itu lagi, kumohon Kuroo, ikutlah denganku."

Ekspresi Kuroo mengeras, ia menepis tangan Kenma yang terulur padanya. Tubuhnya berbalik, berniat meninggalkan tempat tersebut tapi terhenti. "Maafkan aku, Kenma. Sepertinya aku salah menilaimu, kau ingat perkataanku saat kita masih kecil? Akan kulakukan apa yang kukatakan dulu, karena itu, masih ada waktu untukmu kembali sebelum apa yang kita ucapkan saat dulu itu benar-benar terwujud. Kembalilah, Kenma..., kumohon..."

Kenma berbalik, memutuskan kontak pada punggung Kuroo yang selalu dilihatnya ketika kecil dulu. "Maafkan aku, Kuroo. Permintaanmu itu terlalu sulit untukku kabulkan. Tapi sepertinya semuanya sudah jelas disini, suatu hari di masa depan. Ketika kita bertemu lagi, kuharap tak ada sedikit pun keraguan untukmu bertarung denganku."

Kuroo tersenyum kecut, "Setidaknya, aku sedikit bangga sekarang. Bangga karena mengetahui bahwa,bocah cengeng yang selalu kulindungi dulu sudah tumbuh menjadi pria dewasa."

Itu adalah perkataan terakhirnya, sebelum akhirnya mereka benar-benar berpisah.

. . . .

Kemudian ingatannya maju ke beberapa bulan ke depan. Saat itu musim dingin, salju dimana-mana dengan suhu minus derajat pembeku hati. Entah mengapa, Kuroo merasa suasananya saat itu sangat tepat dengan keadaannya saat itu.

Kuroo memandang kosong jalanan yang cukup ia hafal tapi juga terasa asing di saat bersamaan. Sejak 'saat' itu, Kuroo memutuskan pindah ke sebuah kota besar namun asing untuknya. Tujuannya? Untuk menghilangkan ingatan tentang masa kecil mereka tentunya. Kuroo terus melangkah, fokusnya mulai kembali begitu menyadari langkahnya mulai menuju ke tempat favoritnya di kota ini. Tempat itu tak semewah mall zaman sekarang, tapi tak sejadul pedesaan zaman dulu. Hanya sebuah tebing, lengkap dengan sebuah jurang plus sungai kecil di bawahnya.

Tempat yang cukup hangat untuk cuaca sedingin kutub utara. Acap kali Kuroo tengah bersedih atau bergundah gulana, tempat inilah yang sering ia tuju untuk menenangkan hatinya.

Mata Kuroo membulat sempurna, pandangannya kini tengah fokus pada seorang Pemuda berambut dwiwarna yang tak dikenalnya. Tapi bukan itu masalahnya, melainkan ia fokus karena sosok itu terlihat mau bunuh diri. Ah, tidak, bukan terlihat. Tapi memang ingin tepatnya. Kuroo mendadak panik, begitu melihat pemuda yang tengah menangis seperti baru saja diputusi oleh pacarnya itu berjalan menuju tebing tanpa pembatas. Kuroo berteriak, tetapi Pemuda itu justru membentaknya.

"Menjauhlah dariku!"

"Hei, kita bisa bicarakan hal ini baik-baik. Tak perlu seperti ini!" Kuroo mendekat, tetapi Pemuda itu malah semakin menjauh dari Kuroo.

"Kumohon menjauhlah, kau akan terbakar nanti!"

Kuroo berdecak, "Dengar, aku tak tahu siapa Kau atau mengapa alasanmu mau bunuh diri. Tapi tempat ini adalah tempat favoritku di kota ini, dan aku tak mau melihat arwah penasaran setiap kali aku ke sini! Terutama yang merepotkan sepertimu."

Pemuda itu masih sesenguhan, "Itu kejam! Aku janji tidak akan merepotkanmu setelah mati, sungguh!"

Kuroo mendekat dengan hati-hati, dirinya tetap berbicara untuk mengalihkan perhatian sang Lawan bicara. "Kau ini gila atau apa, hah?! Kalau Kau mati, Kau malah semakin merepotkanku tahu ngga?!"

"Itu perkataan yang kejam! Sebenarnya kau berniat untuk menolongku atau tidak sih?!"

Pandangan mata Kuroo menajam, "Oke, oke, maafkan aku. Tentu saja aku ingin menolongmu, tapi bagaimana dengan keluargamu? Apakah Kau pikir, mereka akan senang dengan apa yang Kau lakukan ini?"

Pemuda itu menggeleng lemah, "Aku ini sudah sendiri sejak kecil, aku tak memiliki orang tua apalagi keluarga. Jadi kumohon, tolong biarkan aku bunuh diri dengan tenang."

"Itu malah jadi masalah buatku!" Kuroo mendadak berlari ke arah Pemuda itu, membuat si Pemuda terkejut dan akhirnya terpleset jatuh. Kelopak matanya terpejam erat sebagai reflek.

'Grep!'

Si Pemuda membuka kembali kelopak matanya, begitu merasakan sebuah tangan hangat menggenggam erat pergelangan tangannya. "A-Apa yang kau lakukan? Kau akan terbakar!"

Kuroo berusaha menariknya dengan sekuat tenaga, "Apa aku terlihat terbakar di matamu?! Dari pada mikirin itu, lebih baik Kau tolong dirimu sendiri!"

"Kumohon lepaskan aku, kau juga akan terjatuh nanti." pinta pemuda itu setengah memohon.

Kuroo masih bersikeras, tangannya semakin mengeratkan genggamannya agar tubuh pemuda itu tak terjatuh dari tebing. "Hei, apa Kau benar-benar ingin mati?"

Pemuda itu terdiam, "Kalau kau sungguh ingin mati, maka..."

Pemuda itu terpelongo, tak mengerti maksud Kuroo. Kuroo mendadak ikut terjatuh, membuat Pemuda itu melotot tak percaya. "Kau gila ya?! Kenapa kau ikut bunuh diri denganku!"

"Kenapa? Bukankah lebih bagus mati berdua dari pada sendirian, kan?" Pemuda itu terdiam, merasa terharu karena masih ada orang yang mau peduli padanya.

"Bodoh, apa kau pikir aku akan mengatakan itu? Bermimpi saja sana!" teriak Kuroo, sambil menarik Pemuda itu ke dalam dekapannya. Tangannya yang tersisa terangkat tinggi di atas kepala –posisi mereka ketika terjatuh kepala di bawah, kelopak matanya tertutup. Berulang kali ia bergumam "Bayangkan tranpolin, bayangkan tranpolin," seperti tengah merapalkan mantra.

. . . .

Kuroo mengapit dagu, "Begitu, jadi kau kehilangan orang yang sangat berarti untukmu ya? Yah..., sama denganku sih, atau mungkin sedikit berbeda? Ah, aku tak tahu." Kuroo tersenyum simpul, senyum yang kurang pas untuk perasaannya sebenarnya.

Pemuda itu menyerumput tehnya dengan tenang, "Ah, ya, bagaimana bisa kau tak terbakar oleh apiku tadi? Rumah ini juga, kenapa bisa tak terbakar? Apa kau bisa melakukan sihir atau semacamnya?"

Kuroo masih tersenyum, "Oh, kalo soal itu mungkin karena aku memiliki kemampuan untuk melindungi diriku sendiri. Rumah ini juga, aku melapisinya dengan pelindung agar tak terbakar. Karena berdasarkan informasi yang kudapat darimu, sepertinya kau memiliki kemampuan spesial untuk membakar seseorang atau sesuatu ya?"

Pemuda itu hanya mangut-mangut, sebelum akhirnya tersenyum ramah ke arah Kuroo. "Hei, kita belum berkenalan kan? Namaku Bokuto, Bokuto Koutarou. Dan namamu adalah?"

Kuroo terdiam sejenak, matanya berkedip beberapa kali. "Um... salam kenal, namaku Kuroo Tetsurou, kau bisa panggil aku Kuroo."

Bokuto masih tersenyum, "Kuroo-kun, ne? Apa kau juga pengguna kinesis? Tipe kinesis apa yang kau miliki?"

"Ah, Kuroo saja juga sudah cukup. Aku pengguna telekinesis, aku bisa menggerakkan benda padat dan membuat pelindung yang cukup kuat. Ya, pelindung yang melapisi rumah ini contohnya."

"Wow, sepertinya kau memiliki kemampuan yang cukup keren ya. Tak seperti milikku, hanya bisa membakar. Eh, Kuroo. Kau baik-baik saja?"

Kuroo berkedip, tak mengerti. "Apa maksudmu?"

Tubuh Bokuto bergerak mendekat, tangannya bergerak menyentuh bibir atas Kuroo. "Hidungmu berdarah, lihat?"

Kuroo menyentuh hidungnya, berusaha memastikan. "Oh, kau benar. Mungkin ini akibat aku terlalu sering menggunakan kinesisku dalam jumlah yang besar, kali ya? Sudah kuduga, aku seharusnya hanya menyelimutimu dengan perisai pelindung." Kuroo bergumam panjang lebar.

"Kuroo," Kuroo menoleh, menatap Bokuto dengan mata malasnya. "Aku baik-baik saja, memang selalu begini jika aku menggunakan kinesisku secara berlebihan. Oh, ya, Bokuto, kau bilang kalau kau ingin mati karena tak ingin melukai orang lain dengan kemampuanmu itu kan?"

Bokuto mengangguk polos, sebagai jawaban. Kuroo kembali melanjutkan, "Bagaimana kalau aku saja yang membatasi kemampuanmu itu?"

"Maksudmu?"

Kuroo menghela nafas, "Sebenarnya aku selalu berpikir, untuk apa aku hidup selama ini. Aku juga berprinsip untuk hidup selama ada orang yang membutuhkanku di dunia ini. Jadi ketika melihatmu, entah kenapa aku merasa kalau tujuanku hidup adalah untuk bertemu denganmu seperti ini. Ah, sebenarnya aku hanya ingin bertanya. Apakah kau mau hidup bersamaku?"

Bokuto awalnya terdiam, sebelum akhirnya sebuah senyuman lebar tersungging di wajahnya yang tergolong tampan. "Ini terasa seperti acara lamaran ya?" wajah Kuroo memerah seketika, sebelum akhirnya ia gelagapan menghadapi pelukan maut dari seseorang yang baru saja ia 'lamar'.

"Bo-Bokuto, lepaskan aku!" Kuroo meronta, Bokuto tersenyum dengan sedikit blush on di pipi. "Kalau begitu, Kuroo harus janji satu hal padaku."

"Apa?"

"Berjanjilah kau akan selalu berada di sisiku selamanya." Bokuto mengeratkan pelukannya pada Kuroo, membuat Kuroo terdiam sebelum akhirnya membalas pelukan hangat Bokuto.

"Aku tak bisa berjanji untuk selalu berada di sisimu," Kuroo berbisik, pelukan mereka hampir melonggar. "Tapi aku bisa berjanji akan selalu bersamamu, kapan pun dan dimana pun aku berada."

Itu hanya sebuah janji kecil di antara mereka, janji yang bisa dikatakan sebagai benang merah pengikat takdir. Ketika Kuroo sudah berjanji, ia akan selalu menepatinya. Walau sesulit apapun janji itu...

"Kalau begitu, itu sudah cukup untukku." Bokuto ikut berbisik, pelukan semakin mengerat di antara mereka. Rasa hangat dan bahagia bercampur menjadi satu, menjadi perpaduan rasa manis yang enak sekaligus nikmat dipandang.

"Tapi kau juga harus berjanji sesuatu padaku," Kuroo melepaskan pelukan mereka secara paksa, membuat Bokuto bertanya-tanya janji seperti apakah yang diinginkan oleh Kuroo.

"Berjanjilah kau tak akan melakukan hal konyol semacam bunuh diri lagi, mengerti?!" Bokuto tertawa, lalu kembali memeluk Kuroo erat. Terlalu erat sampai tanpa sengaja bibirnya menyentuh pipi Kuroo.

.

.

.

.

*Keesokan harinya*

Mereka terdiam cukup lama, ini pertama kalinya keheningan meraja di antara mereka. Bokuto menelan ludahnya susah payah, menatap Kuroo yang terlihat masih fokus pada pedang samurai di tangan –tangannya bergerak monoton mengusap pedang tersebut.

"Ku-Kuroo!"

Kuroo menghentikan gerakan tangannya, tetap bersikukuh fokus pada benda mati tersebut. Bokuto keringat dingin, ia lebih merasa tercekik oleh keheningan ketimbang dicekik sungguhan.

"...Apa kau... sungguh... ingin melakukannya? Ma-Maksudku, membunuh Kozume-kun atau sesuatu yang seperti itu..., mungkin."

Kuroo tak sedikit pun menoleh padanya, tapi ia tahu bahwa ekspresi Kuroo sedang sangat serius sekarang. Bokuto ingin menelan mentah-mentah apa yang sudah ia ucapkan, perasaannya tak enak sekarang. Bokuto merasa bersalah sudah menanyakan hal sesensitif itu pada Kuroo. Bokuto meruntuki kebodohannya.

Kuroo menghela nafas, pandangannya masih tertuju pada benda panjang yang sengaja ia pegang vertikal. Benda tersebut sangat bersinar dan mengkilap. Sangat cocok untuk dijadikan cermin sementara. Melalui pedang tersebut, tatapan mata mereka terhubung. Kuroo melihat Bokuto, dan begitu juga dengan Bokuto.

"Bukan aku yang akan membunuhnya, Bokuto."

"Eh?! Lalu?"

"Tapi kau, kinesisnya lemah terhadap cahaya. Kinesis apimu yang terkuat di antara kita sekarang. Di antara kita semua, hanya kita berdualah yang cocok untuk melawannya. Dan aku bisa saja melawannya, tapi itu tentunya sama saja dengan bunuh diri. Kinesisnya mungkin merupakan kelemahanku, tapi setidaknya aku sudah bisa mengimbanginya sekarang. Walau pun begitu, itu tak berarti aku bisa menang dalam pertarungan melawannya. Paling beruntung, kami berdua sama-sama mati terbunuh oleh satu sama lain atau sejenisnya. Aku bisa menerima hal tersebut, tapi bagaimana denganmu? Tanpaku, kau sama saja dengan mati."

"I-Itu perkataan yang kejam!" rengek Bokuto, air mata tampak menggantung manja di sudut matanya.

"Aku tak ingin, kau menggila dan membunuh semua teman-teman kita, Bokuto. Tidak, selama musuh kita masih hidup di dunia ini. Aku terima apabila, aku harus menghancurkan 'hati'ku berulang kali demi tujuan kita. Tapi aku tak akan terima, apabila kau membunuh 'hati'mu untuk yang kedua kalinya, Bokuto."

Bokuto terdiam, ia mengerti maksud dari setiap perkataan Kuroo padanya. Bokuto berbeda dengan Kuroo, ia tak sekuat itu hingga bisa membunuh manusia. Jangankan manusia, ia bahkan tak tega melihat seekor kucing sekarat di depan matanya walau hanya sedetik saja.

Kuroo bangkit, menepuk bahu Bokuto dan berkata. "Yang perlu kau lakukan hanya satu, Bokuto. Bertarunglah dengan Kenma, kau tak perlu membunuhnya. Cukup berikan aku waktu untuk mengalahkan Akaashi, dan datang untuk 'menyapa' Kenma. Dibandingkan kita, kuyakin mereka memiliki pasukan yang jauh lebih banyak dari anggota kita. Mereka pasti akan membuat kita berpencar untuk mengalahkan kita. Jika aku mati setelah mengalahkan dua atau tiga orang, maka keselamatan anggota tim akan sedikit terjamin."

Bokuto lagi-lagi terdiam, kali ini bibirnya kelu untuk berbicara. "K-Kau akan... pergi? Meninggalkanku?"

Kuroo terdiam mendengar pertanyaan bernada serak tersebut, ia merasa 'sedikit' sedih sekarang. Ia lanjut berkata dengan senyuman sebelum akhirnya menghilang memasuki lorong rumah mereka. "Anggap saja, ini 'misi' bunuh diri untukku."

Bokuto tak sanggup berkata-kata, kakinya terlalu lemas mendengar pernyataan yang Kuroo lontarkan padanya beberapa detik lalu.

. . . .

"Daichi, kau sudah yakin dengan keputusanmu ini?"

Daichi menoleh, terdapat sedikit gurat kecemasan di wajahnya yang tampan. Ia memijit pangkal hidungnya frustasi, "Ya, aku sangat yakin. Jika mereka seberani itu menyerang kita ketika kita sedang berkumpul, maka sudah di pastikan akan ada sesuatu yang terjadi nanti. Dan aku tak berniat melihat 'sesuatu' itu benar-benar terjadi tentunya."

"Tetapi apa yang kira-kira mereka rencanakan sebenarnya? Dalam satu abad ini, kebetulan para pengguna kinesis terlahir secara bersamaan. Kebanyakan dari kita hanya terpaut satu atau dua tahun, bahkan. Apakah karena dendam? Tapi kenapa? Bukankah masyarakat sudah tak membully pengguna kinesis, sejak terciptanya undang-undang perlindungan terhadap pengguna kinesis?"

Daichi terdiam sejenak, lebih memilih menyerumput vanilla tea favoritnya by Suga. Pikirannya yang ruwet, bisa sedikit lurus sekarang. "Apapun alasan mereka, aku merasa kalau rencana mereka akan memakan cukup banyak korban. Karena itu, kau juga harus selalu siap dengan kemampuanmu, Suga. Dan untuk selanjutnya, aku mohon bantuanmu."

Suga tersenyum lembut, berkata "Tentu," sebelum akhirnya menghilang di balik pintu kamar mereka –kamar Daichi tepatnya.

. . . .

"Iwa-chan, apakah kita benar-benar harus melakukan ini? Maksudku, siapa pun yang mati nantinya, itu bukan urusan kita kan? Toh, bukan kita yang membunuh mereka. Kenapa kita harus repot-repot bertarungan dengan kelompok tak jelas seperti 'Mereka'?"

Oikawa Tooru namanya, seorang pemuda tampan yang juga seorang tychokinesis. Itu artinya, ia dapat mengendalikan mental dan mengubah bidang stokastik yang mempengaruhi kemungkinan suatu peristiwa atau lainnya sehingga menghasilkan nasib baik dan buruk pada seseorang atau bahkan dirinya sendiri. Umurnya sama dengan Iwaizumi, dan ia tinggal bersama Iwaizumi sekarang.

Iwaizumi mendengus, lantas memandang tajam sosok Oikawa yang kini tengah tengkurap di tempat tidurnya bak seorang putri duyung.

"Kita tak benar-benar harus melawan Mereka, Daichi memberikan kita pilihan untuk bertarung atau tidak. Tapi kupikir akan sangat merepotkan kalau membiarkan Mereka berbuat sesuka hatinya, jadi aku lebih memilih untuk bertarung melawan Mereka sekarang sebelum akhirnya Mereka menjadi masalah besar untuk kita nantinya."

"Oh~, Iwa-chan saja. Aku tidak ikutan, terlalu malas menghadapi Ushiwaka sialan itu soalnya." Oikawa merespon ogah-ogahan, tak memiliki minat sama sekali dengan penjelasan Iwaizumi tadi.

"Kalau begitu, kau sama saja membiarkanku mati nanti."

"Eh?"

"Seperti yang sudah kuceritakan sebelumnya, saat itu Akaashi mengataiku lambat kalau tak ada kau disisiku. Aku cukup yakin, Bokuto tak akan ikut bertarung bersama kami. Sedangkan Kuroo, mungkin dia lebih memilih untuk bertarung melawan Kenma dari pada menemaniku bertarung melawan Akaashi. Itu artinya, kesempatan aku mati di tangan Akaashi jauh lebih besar ketimbang saat kita bersama."

"Hueeee, Iwa-chan jangan berpikir begitu! Jangan tinggalkan aku sendirian, Iwa-chan! Nanti siapa yang akan menemaniku bobok, selain Iwa-chan~?!" Oikawa menangis sejadi-jadinya, Iwaizumi tak ingat sejak kapan Oikawa sudah bangkit dan menubruknya kuat seperti ini.

Iwaizumi meringgis, begitu merasakan punggungnya menabrak sudut meja belajarnya. Ia merasa akan memiliki penyakit encok sekarang, walau usianya masih muda. Ia menghela nafas, ingin marah tapi keburu ditahan sebelum akhirnya kinesisnya memakan korban patah tulang yang baru saja sembuh dari patah tulangnya. Pelakunya? Siapa lagi kalau bukan Iwa-chan a.k.a Iwaizumi Hajime.

Oikawa masih sesenguhan di dada bidang Iwaizumi, membuat si empunya dada mengelus punggung Oikawa lembut -berusaha menenangkan.

.

.

.

.

"Kau merindukan Kuroo-san, Kenma?"

Kenma tak menjawab, masih fokus pada sebuah liontin berbandul black crystal. Ia menghela nafas sejenak, fokusnya kini teralih pada sosok Akaashi yang termakan kegelapan. "Kau sendiri bagaimana? Kau bertemu dengan Bokuto juga, setelah sekian lama..." Kenma berkata dengan aura tak berminat, membuat Akaashi mendadak menghela nafas.

"Satu-satunya hal yang membuatku senang adalah karena bertemu dengan Iwaizumi-san tadi."

Kenma memandang bosan pada senyuman tipis Akaashi, "Kau berbohong."

"Aku tak akan membantah untuk itu. Tapi aku selalu penasaran, kenapa kau masih menyimpan kristal 'kosong' itu?"

"Mulai sekarang, kristal ini akan menjagamu di saat aku tak berada di sisimu. Ini peninggalan dari Ibuku, tapi aku yakin kau bisa menjaganya. Ibuku bilang, kalung kristal itu mengandung kekuatan yang dapat menjagamu."

"Dan kau percaya pada kebohongan tersebut?"

"Apa maksudmu dengan kebohongan? Ibuku tak pernah berbohong!"

"...Hanya ingin menjaganya saja..."

Akaashi terdiam, "Asal itu tidak membunuhmu, terserah kau mau melakukan apa."

Akaashi beranjak pergi, tapi langkahnya terhenti setelah mendengar balasan dari Kenma. "Kuroo tak akan membunuhku."

Akaashi menoleh, menatap Kenma melalui ekor matanya. "Kenapa kau bisa seyakin itu?"

"Entahlah, aku hanya percaya akan hal itu. Walau pun kami sudah berjanji akan saling bunuh ketika bertemu nanti, tapi aku tak merasakan tanda-tanda kalau Kuroo akan membunuhku. Lagi pula, Kuroo tak sebodoh itu. Dia bukanlah orang yang akan mengambil resiko besar untuk mencapai tujuannya. Tebakan dariku, dia akan bertarung denganmu. Dan aku akan bertarung dengan Bokuto."

Akaashi membuang pandangan ke sembarangan arah, "Bokuto-san tak akan ikut dengan mereka, dia terlalu pengecut untuk itu."

Kenma meliriknya, "Terkadang seorang pria akan menjadi pemberani, apabila memiliki seseorang untuk dilindunginya. Itu yang Kuroo katakan padaku, saat kami masih kecil."

"Ya, mau Bokuto-san ikut atau tidak. Tugas kita hanya satu, yaitu membunuh semua serangga penganggu yang masuk nantinya." setelah mengatakan hal tersebut, Akaashi melangkah pergi.

Kenma tak berkata apa pun, ia membiarkan Akaashi pergi begitu saja. Ingatannya kini mengelana ke beberapa jam yang lalu. Seketika wajah dan senyuman pahit Kuroo terlihat kembali di benaknya. Kelopak mata terpejam, berharap dapat lebih jelas melihat wajah itu.

"...Itu akan menjagamu..."

Senyuman ceria penuh kepolosan terlihat, Kenma mendecih. Ia lantas bangkit dari tempatnya, menuju suatu tempat yang sudah ia hafal betul jalannya.

"...Ibuku bunuh diri, Kenma..."

Kali ini sebuah wajah sarat akan kesedihan terlihat, tak ada senyuman yang biasa terlihat di wajahnya. Kode kunci dimasukkan, membuat pintu besi berbahan metal terbuka dengan sendirinya.

"Orang-orang bilang, kalau Ibuku seorang pelacur. Aku tak terkejut dengan itu, karena aku sendiri tak memiliki 'Ayah'."

Lengkungan senyum berbeda makna terbayang, Kenma melempar tubuhnya ke sebuah single bed minimalis.

"Sesaat sebelum Ia gantung diri, Ia berkata kalau sebenarnya Ia tak menginginkan seorang anak sepertiku," terdapat jeda panjang dalam kalimatnya.

"Ia menyesal telah melahirkanku sebagai darah dagingnya. Ia juga bilang, kalau memilikiku sebagai anaknya saja sudah membawa sial dan ditambah dengan 'keanehan' yang kumiliki ini. Kau tak bisa bayangkan, bagaimana wajahnya yang biasanya terlihat 'lembut' menjadi sangat marah dan takut ketika melihatku saat itu."

Kenma menutup mata, semakin lama ingatannya semakin membanjiri benaknya.

"Jadi, kau ingin bilang kalau alasan Ibumu mati itu karena kau?"

Tatapannya masih tak berubah, begitu juga dengan senyumnya.

"Aku hanya ingin berkata, aku sudah kehilangan hal yang sangat penting bagiku. Dan sekarang, aku juga sudah menemukan 'hal' penting lainnya. Jadi aku tak ingin kehilangan hal itu lagi."

"Dasar bodoh, bagaimana pun juga kalung ini tetap saja 'kosong'." Kenma mengumpat. Sekarang ia menyesal telah menggali ingatan yang seharusnya ia kubur dalam-dalam.

"Tapi aku tak menyesal, karena aku yakin, kalau Ibuku tak serius mengatakan hal itu padaku. Ibu sengaja mengatakan hal tersebut, agar aku membencinya, agar aku tak berakhir sama sepertinya. Tapi sayangnya, rencananya itu gagal."

"Kau benar-benar menyayangi Ibumu, huh? Kuroo...," bisik Kenma pada kekosongan.

.

.

.

.

TBC

.

.

A/N:

Hei, hei, hei, apa kabar minna?! Sehat kan? Duh, ada yg kangen sama aku gak? ^v^ /gak/ *mojok*

Kali ini muncul lagi dengan fic gaje berchapter, dengan ini lengkaplah sudah 10 fic yg harus kuselesaikan. *kembali mojok*
Fanfic ini sebenarnya diketik khusus, niatnya sih gak ngeyaoi dulu. Tapi ya namanya fujo, jadi ga bisa nahan getaran alam bawah sadar(?).

Well, flashback ingatan itu hanya pemanis dan pembantu agar konflik antar karakter semakin kerasa. Ah, ya, pasti ada beberapa kata yang membingungkan kalian ketika membacanya kan? Duh, untuk yg itu bisa kalian tanyakan padaku di kolom review. Sebenarnya kalau kalian menyimak lebih dalam lagi setiap scene di fic ini, kalian akan menemukan "kunci" untuk menjawab pertanyaan itu.
Ah, tapi kalau masih tetap tak mengerti dan ingin bertanya, dipersilakan kok hehe xD
Bagi yg punya akun akan segera kubalas, bagi yg ga punya akan kubalas dichap 2 nanti ^^
Aku akan dengan senang hati menjawab pertanyaan kalian ^^

Oya, untuk chap ini nama kinesis Kenma ama Akaashi masih dirahasiakan. Tapi tentunya udah ketahuan kan, kinesis mereka apa hehe. xD
Nama antek" Kenma ama Akaashi juga masih dirahasiakan, mungkin di chap 2 nanti baru ketahuan hehe xD
Untuk kinesis Oikawa, intinya Oikawa bisa melihat keberuntungan dan kesialan seseorang. Ketika dia menggunakan kemampuannya, matanya akan berubah warna jadi merah. /jangan spoiler hei/

Maaf kalau fanficnya kepanjangan, kritik dan saran yg membangun sangat diterima. Oh, ya, kalau ada yg ingin kalian sampaikan atau ada uneg" ketika membaca ini, silakan ungkapkan saja di kolom review. Uneg" kalian akan menjadi penghibur buatku saat mengerjakan chap 2 nanti ^^

Yah, karna tak ada lagi yg ingin kusampaikan. Sampai jumpa chapter depan! ^^ *ngilang*