Disclaimer: Naruto, Sasuke, Itachi dll are Kishimoto-san's own characters. I really don't take any profit from every fanfiction that I've made.
Genre: Romance, ? XD
Rate: general T, everybody can read this xD
Warn!: gender-bender, FemaleNaruto!, OOC, typo(maybe), alur gajelas, ide mainstrean, kesalahan lain yang tidak di sadari author ^^)v
- My Favorite Goodbye -
By.
Mika Kim
Don't like, Please don't reading!
Enjoy
.
.
.
.
Seperti biasa, pagi ini aku bangun dengan bantuan alarm handphoneku yang memang sengaja ku atur. Ku buka mataku perlahan, hingga yang pertama ku lihat adalah langit-langit kamar yang berwarna putih gading. Rasa hangat matahari pagi menyengat kulitku. Sebelah tanganku berada di atas mata dengan alasan untuk melindungi retina mataku dari cahaya matahari pagi yang terbias dari jendela yang gordennya sudah tersibak. Mungkin Ibu yang membukannya.
"Hah~" aku menghela napas dengan sangat pelan, hampir tak bersuara. Pikiranku kini memutar kilas balik kenangan saat aku pertama kali bertemu dengan wanita itu. Seorang wanita yang sudah menyita perhatianku sebulan terakhir ini. Sudah dua puluh lima tahun sejak ibu melahirkan ku, namun belum pernah ku temui wanita seperti dirinya. Rambut panjangnya yang indah seperti helaian benang emas, kulit yang terlihat halus dengan warna coklat yang mengkilat di bawah sinar matahari, tiga garis halus di kedua pipinya yang membuatnya terlihat sangat manis seperti anak kucing, dan yang paling membuatku terpesona adalah sepasang mata seindah batu safir berwarna biru bak samudera lautan. Mata yang memancarkan kehangatan, cahaya cinta, kasih sayang dan kedamaian. Aku yakin, siapapun yang melihat manik cantik itu, ia pasti berbohong jika mengatakan bahwa samudera dalam mata wanita itu tidak indah.
"Sasuke.." Ah, suara lembut itu adalah suara Ibu ku. Dia pasti berniat memanggilku untuk sarapan. Itulah yang setiap pagi ia lakukan. Memperlakukanku seperti anak kecil, padahal aku sendiri sudah berusia duapuluh lima tahun.
"Hn." Sahutku malas. Wanita yang sudah melahirkan ku itu sudah mengerti jika ku keluarkan dua huruf andalanku itu. Buktinya, ku dengar langkah kakinya menjauh dari pintu kamar. Ku langkahkan kakiku malas ke kamar mandi. Mungkin air dingin bisa membuat pikiranku segar, atau malah makin membuatku memikirkan wanita secerah musim panas yang sedari tadi menjadi figur utama yang menguasai otak ku pagi ini.
"Sasuke, tolong antarkan paket itu ke panti asuhan konoha, ya. Ibu hari ini harus ke rumah kakek, jadi ibu minta tolong ke padamu. Kamu bisa 'kan?" Aku melirik ibu yang kini menatapku dengan tatapan memohon. Ibu adalah salah satu donatur tetap panti asuhan konoha. Jadi tidak heran jika ia sering mengirim paket ke tempat itu. Kali ini ia meminta tolong padaku. Sebenarnya ini bukan pertama kalinya. Ini adalah kali kedua ia memintaku untuk melakukan hal demikian. Dan pertama kali aku menapakan kaki di panti asuhan konoha, disitulah pertama kali aku menemukan matahari hidupku.
"Iya, Bu" sahutku singkat. Jadi, mana mungkin aku menolak jika sekali lagi aku akan melihat wajah manis itu? Ibuku terlihat bahagia. Dalam diam ku santap roti bakar itu sambil membayangkan betapa cantiknya senyuman itu nanti ketika menyambut kedatanganku.
"Namikaze Naruto.." Aku menyebut nama wanita yang bekerja sebagai salah satu pengurus di panti asuhan konoha itu. Aku benar-benar tidak sabar untuk bertemu dengannya.
Ku parkir mobilku di halaman panti. Mengeluarkan paket-paket dalam bagasi, aku sedikit kepayahan. Saat salah satu kardus yang baru saja ingin ku keluarkan terjatuh, aku sedikit berjengit hingga ku lihat sepasang tangan yang terbalut camille cardigan berwarna mocca meraih kardus itu dengan sangat tangkas. Aku mendongak. Ah, mata biru ini? Mata biru yang selalu berhasil menenggelamkanku dalam kedamaiannya. Dan jangan lupakan senyuman manis yang menampilkan gigi-gigi serinya, terlihat begitu menggemaskan.
"Ekhem!" Aku berdehem, setidaknya untuk membuat imageku terlihat sedikit lebih keren. Ia masih tersenyum, matanya sampai menyipit. Ya Tuhan, bagaimana bisa kau ciptakan mahluk seindah Namikaze Naruto?
"Sepertinya kau sedikit kepayahan, Sasuke-san? Apa kau tidak keberatan jika aku memberi sedikit bantuan?" Suara indahnya bagaikan alunan musik yang sangat merdu di telingaku. Ia begitu baik, ia menawarkan bantuan. Namun bukan itu yang ku syukuri, melainkan karna bisa melihatnya hari ini.
"Tentu." Jawabku singkat. Ia terlihat senang karena aku tidak memberi penolakan.
Kami berdua pun berjalan masuk ke panti dengan beberapa kardus -paket dari ibu- yang kami bawa. Ia berjalan di depan ku. Mataku tak pernah lepas dari rambut pirangnya yang terlihat berkilau, aku sangat suka ketika ia membiarkan rambutnya terurai menutupi punggung kecilnya. Sungguh, dia lebih indah di banding bidadari yang selalu di ceritakan oleh kakak ku.
"Ah, seperti biasa, Mikoto-san mengirim paket yang begitu banyak" Ujarnya sambil meletakan paket yang ia bawa di atas meja. Aku ikut meletakan paket itu, namun tidak di atas meja. Melainkan di atas lantai dekat meja itu sendiri.
"Ibu tidak bisa kesini, jadi ia menyuruhku untuk membawanya" tanpa di tanya, kalimat itu keluar begitu saja dari mulutku. Ia terlihat mengangguk paham.
"Sasuke-san memangnya kau tidak bekerja?" Tanyanya dengan suara yang begitu menggemaskan. Ia sedikit memiringkan kepalanya, sungguh dia terlihat sangat lucu. Tapi rasa gemasku ku sembunyikan dengan baik dibalik topeng uchiha yang selalu di banggakan oleh keluargaku, lagipula aku ingin terlihat keren di mata gadis ini, semoga saja.
"Sasuke saja.."
Ha?
Kulihat wajahnya mengernyit bingung. Damn! Kenapa wajah wanita ini benar-benar imut? Demi tuhan, aku gatal ingin mencubit pipi tembemnya.
"Tolong panggil Sasuke saja, tidak usah memakai -san." Menjawab kebingungannya, aku mengulang kata-kataku dengan lebih jelas. Ya, memang tadinya itu terdengar ambigu. Wajar jika ia sampai kebingungan. "Hari ini aku cuti" sambungku, memberi jawaban atas pertanyaannya di awal. Jujur saja, hanya itu yang bisa ku jadikan alasan. Cuti? Of course not. Lebih tepatnya aku membolos dari pekerjaan. Biarkan saja, lagi pula ada Itachi, kakak sulungku yang bisa mengurus kantor untuk hari ini. Jika pun ia akan melontarkan kemurkaannya, aku akan menjadikan Ibu sebagai tameng. Bukankah ia yang menyuruhku kesini? Alasan yang sangat sempurna.
Wanita ini terlihat mengangguk. Aku mengedarkan pandanganku. Aku baru sadar suasana di panti terlihat sedikit.. Sepi?
"Ano.." Ia menoleh. Rambutnya yang halus terlihat bergoyang. "Iya?" Sahutnya dengan senyuman yang begitu mengagumkan.
"Kenapa sepi sekali disini?" Tidak salah kan jika aku bertanya? Maksudku, bukan kah panti asuhan itu di penuhi dengan anak kecil ingusan yang berlari kesana kemari? Dan kemana pengurus panti yang lain? Kenapa dari tadi hanya wanita ini yang menampakan diri? Bukannya terlalu percaya diri, tapi ibuku bilang hampir semua pengurus -minus Naruto- sering menanyakan tentang diriku. Jadi, bukankah kehadiranku disini adalah suatu keberuntungan bagi mereka?
"Oh, semua orang sedang ke balai kota. Disana ada acara pentas yang khusus di adakan oleh panti" jawabnya sambil berjalan menuju sebuah ruangan. Aku mengikutinya dari belakang. Hei, bukannya aku sedang menjadi penguntit, tapi siapa lagi yang harus ku ikuti selama berada disini kalau bukan dia?
"Lalu, kau tidak ikut?" Ia membuka sebuah ruangan. Aku melontarkan pertanyaan seraya mengikuti wanita ini masuk. Mataku langsung tertuju pada seorang anak yang terbaring di tempat tidur. Hm, sepertinya kini aku mengerti.
"Aku tidak bisa meninggalkan Inojin-kun sendirian dalam keadaan sakit, makanya aku tetap berada disini" aku hanya bergumam pelan sebagi jawaban. Mataku sibuk memperhatikan wanita seindah bunga matahari itu dengan telaten memeriksa kondisi si anak yang sedang sakit. Tangannya dengan lihai memeriksa suhu badan si anak, mengganti air kompresnya, dan membelai sayang kepala kuning si anak yang kalau tidak salah di panggil Inojin oleh wanita cantik ini. Sekilas, anak itu terlihat mirip dengan Namikaze Naruto. Tunggu, apa ini anaknya? Heh? Jujur saja, aku belum siap untuk patah hati.
"Mama.."
What?
Anak itu mengigau. Dan, mama? Hanya Naruto yang ada di sampingnya saat ini. Aku mendekat. Tentu saja aku ingin tahu reaksi wanita ini. Aku mengintip dari ekor mata, ku lihat ekspresi Naruto berubah jadi sendu. Tangannya meremas jemari kecil anak itu.
"Ia, sayang?"
Deg!
Aku sepertinya mendengar suara retakan. Dan ku yakin suara itu berasal dari dalam dadaku. Kenapa rasanya sakit sekali? Ya tuhan, maafkan lah aku yang telah jatuh cinta pada seorang wanita yang sudah memiliki anak. Aku meringsut mundur. Haruskah ku buang jauh perasaanku ini? Percuma juga kan aku tetap menyimpannya, dia sudah punya anak. Dan pasti juga sudah punya suami. Aku mendesah pelan. Ku dudukkan diriku di kursi yang tak jauh dari tempat wanita itu sedang memanjakan anaknya dengan berjuta kasih sayang. Sungguh, aku juga ingin anakku memiliki Ibu seperti si Namikaze ini.
"Mama.. Kenapa pergi tinggalkan Inojin?"
Anak itu kembali mengigau. Apa-apaan itu, mama mu sedang disampingmu, bodoh. Bangun dan lihatlah, dia sedang menatapmu cemas.
"Papa, mama! Kalian jahat.. Hiks"
Ha? Jahat katanya? Aku membeo dalam hati. Ah, mungkin karena Papa atau suami Naruto terlalu gila pekerjaan hingga tidak terlalu mempedulikan kedua mahluk pirang ini.
"Inojin.." Suara indah Naruto serasa menyayat hati. Aku bahkan sampai menahan napas ketika suara sendu itu memanggil nama anaknya?
"Papa dan mamamu tidak jahat, mereka sayang sama Inojin. Mereka hanya cepat di panggil Tuhan, karena mereka baik. Orang baik akan cepat ke surga."
Apa?
Papa dan Mamanya sudah ke surga? Jadi, Naruto bukan mamanya Inojin? Heh, entah kenapa aku merasa sedikit lega. Namun, sedikit merasa bersalah juga karena aku malah bersyukur bukan wanita ini yang menjadi mamanya si cilik pirang. Ku lihat anak itu sudah berhenti terisak dan kini terlihat lebih tenang. Dengan hati-hati, Naruto menarik selimut anak itu hingga sebatas dada. Aku hanya diam memperhatikan, entah kenapa aku mengingat saat ibuku melakukan hal yang sama seperti ini ketika aku deman belasan tahun yang lalu. Dadaku menghangat.
Wanita itu lalu berjalan menghampiriku, namun matanya masih setia menatap si pirang cilik yang sudah tertidur. Aku bisa mendengar suara helaan napas darinya.
"Aku akan ke dapur untuk memasak bubur untuk Inojin-kun" ia melangkah keluar dari kamar. Aku tentu saja mengikutinya tanpa banyak berkomentar, ya karena aku memang pada dasarnya tidak terlalu suka bicara.
Aku memperhatikan wanita yang sedang sibuk mencuci beras. Rambut pirangnya ia gelung longgar, menyisakan beberapa helai membingkai wajahnya, sangat cantik. Aku ingin ikut membantu, tapi aku menunggu ia meminta tolong kepadaku. Jadi kesannya, dia bergantung 'kan. Bukankah lelaki suka jika wanita yang ia taksir bergantung kepadanya? Oh ayolah, aku memang pendiam. Tapi setidaknya aku tidak munafik untuk menyangkali bahwa aku berharap nona Namikaze ini meminta tolong padaku.
"Sasuke, bisa tolong potongkan wortel dan kentang itu?" Ah, finally. Harapanku menjadi kenyataan. Jangankan memotong wortel atau kentang, memotong setiap pohon di hutan pun akan ku lakukan untukmu, darling.
Ew, apa yang ku pikirkan? Untung saja mulutku tidak sejalan dengan hatiku, aku bahkan tidak bisa membayangkan diriku jika mengeluarkan gombalan seperti yang innerku tadi katakan. Mau di taruh di mana harga diriku sebagai si keren Uchiha?
Terlalu sunyi. Kami berdua diam dengan tugas masing-masing. Naruto sibuk mengaduk bubur, sedangkan aku masih sibuk memotong-motong sayuran. Tunggu, bukankah kami terlihat seperti pasangan yang sedang memasak bersama? Astaga, rasanya benar-benar luar biasa.
"Sudah selesai memotongnya?"
Eh?
Aku menoleh sambil mengerjap beberapa kali.
"Jangan memotong sayuran sambil melamun, Sasuke. Bisa-bisa jarimu yang akan kau potong!"
Tanpa ku sadari, pisau yang ku pegang sudah berpindah tangan. Ia dengan lihai memotong wortel sampai aku sendiri tidak sadar bahuku dengan bahunya kini bersentuhan akibat terlalu larut memperhatikan tangannya yang lincah. Dia tidak merasa terganggu sama sekali. Baguslah, aku menyukai kedekatan ini.
"Ku kira anak kecil yang tadi itu anakmu."
Tangannya berhenti memotong sayuran. Dengan gerakan pelan ia menoleh dan mendongak menatapku. Matanya mengerjap lucu, membuat bola mata safir birunya terlihat sangat indah. Detik berikutnya ia tergelak sambil memegangi perutnya. Hell, tawa cantik macam apa itu? Aku mendelik, akhirnya ia berhenti tertawa. Sebentar ia berdehem untuk menormalkan napasnya yang terasa tersenggal akibat tertawa.
"Ne, apa aku ini terlihat seperti Ibu-ibu?" Tanyanya. Matanya menatap lurus ke arah mataku, seperti tidak ada rasa canggung sama sekali. Aku mengangkat bahu.
"Kau terlihat sangat telaten merawatnya. Dan, tadi dia memanggilmu mama" jawabku asal. Dia tertawa sebentar hingga akhirnya tatapannya berubah jadi sendu.
"Dia adalah anak dari sahabatku, Ino dan Sai." Ia terlihat menarik napas. Seperti enggan untuk melanjutkan kata-katanya. "Mereka meninggal sebulan yang lalu karena kecelakaan, bersyukur Inojin-kun selamat. Sayangnya, Inojin-kun sudah tidak memiliki siapa-siapa, makanya ia di bawa ke panti ini" pundak wanita ini bergetar. Apa ia sedang berusaha menahan tangis?
Ku beranikan diriku untuk merangkulnya. Mengusap bahunya sekedar untuk menyalurkan kekuatan. Aku tidak tahu hubungan seperti apa yang pernah ia miliki dengan orang tua Inojin, namun ku yakin pasti mereka sangat dekat. Ia tampak nyaman dengan usapanku di bahunya. Syukurlah, dia tidak menolak dan menuduhku modus.
"Akhir-akhir ini Inojin sering sakit, mungkin karena masih syok akibat kecelakaan itu dan kematian orang tuanya." Akhirnya air mata wanita ini tumpah. Ia terisak, terdengar sangat menyakitkan.
"Inojin masih terlalu kecil. Beban ini terlalu berat untuk ia pikul"
Ah. Aku tidak ingat sejak kapan wanita ini berada di pelukanku. Aku bahkan mengusap punggungnya yang bergetar.
"Jangan menyalahkan takdir." Hanya kalimat sok dewasa itu yang bisa keluar dari mulutku. Aku terlalu terpaku pada aroma shamponya yang berbau jeruk, menyegarkan. Ia sesegukan di dadaku. Meremas kemeja ku, seakan mengeluarkan seluruh sakitnya di remasan itu.
Beberapa menit berlalu, akhirnya ia melepaskan pelukannya. Aku mengusap air mata yang merusak keindahan wajahnya. Pipinya terasa sangat lembut dan kenyal. Aku bahkan gatal ingin menggigit pipi itu. Ia masih sesegukan. Aku menyingkirkan beberapa helai rambutnya yang menempel di pipi dan menyelipkannya di telinga wanita itu. Oh oh, apa-apan semburat merah yang muncul di pipinya itu? Persetan. Aku sudah tidak bisa menahan diri. Kedua tanganku sudah bertengger di kedua pipinya. Ia menatapku dengan wajah yang merona, cantik. Ku dekatkan wajahku, menipiskan jarak dengan wajahnya hingga bisa ku rasakan hembusan napasnya yang menyeruak bercampur dengan O2 yang ku hirup. Wajah kami semakin dekat. Namikaze ini juga tidak terlihat menolak atau menghindar, ia bahkan menutup kedua matanya. Demi apapun, ini adalah wajah tercantik yang pernah ku lihat selain wajah Ibuku. Ku tempelkan bibirku dengan bibirnya. Hell, benarkah bibir wanita ini terbuat dari daging? Kenapa bisa selembut ini?
Aku mencoba mengubah skala ciuman ini. Ciuman yang awalnya hanya saling menyatukan bibir, kini berubah jadi lumatan-lumatan yang begitu menggairahkan dan tentu saja itu karena aku yang mendominasi. Well, Naruto memang bukan seorang Good kisser, tapi dia bisa belajar dengan cepat. Ia masih menutup mata, entah malu atau ia terlalu menikmati ciuman ini aku tidak peduli yang jelas, mulai detik ini aku tidak akan pernah melepaskan wanita bernama Namikaze Naruto. Ku tuntun tangannya untuk melingkar di leherku, dan tanganku pun ku lingkarkan di pinggangnya. Ciuman ini benar-benar memabukkan. Tidak, bibir Naruto yang memang kualitas terbaik. Apa tidak apa-apa jika ku pakai lidahku sekarang? Aku bertanya-tanya dalam hati. Takutnya Naruto akan terkejut dan menganggap diriku lelaki mesum, meskipun mungkin hal itu sudah terlambat mengingat diriku kini sudah mengecap rasa manis dari mulut si pirang. Ah, persetan. Aku menjilat-jilat bibir indah itu, dan demi keriput aniki, suara lenguhan Naruto adalah lagu terbaik yang pernah ku dengar.
"Mmph" lenguhan itu kembali terdengar ketika lidahku sudah mengajak lidahnya untuk berdansa. Remasan tangannya pada rambutku menandakan bahwa Naruto memang menyukai ciuman ini. Aku semakin bersemangat, hingga ku absen semua gigi kecilnya dan menukar salivaku dengan salivanya yang manis. Gawat, ini benar-benar gawat. Aku tidak bisa berhenti.
"Tadaimaaaaaaa"
"Kami pulang!"
Eh?
Suara riuh apa itu? Sial. Dengan berat hati aku melepaskan tautan bibirku dengan bibir Naruto. Wanita itu menyeka saliva yang menetes di sudut bibirnya dengan punggung tangan. Wajahnya memerah, dan napasnya tersenggal. Seksi sekali.
"Naluuu-chaaan"
Aku menoleh, suara cempreng itu ternyata milik seorang anak perempuan dengan pakaian baletnya sedang berlari sambil melompat-lompat seperti kelinci ke arah Naruto.
"Shion-chan, kau sudah pulang?"
Aku tersenyum tipis melihat betapa cepat wanita ini merubah sikap malu-malunya menjadi ceria di hadapan anak kecil. Anak kecil itu mengangguk, lalu matanya yang berwarna ungu melirik kepadaku. Aku menaikkan alis, balas menatapnya?
"Naluuu-chan? Ciapa olang ini? Apa ini pacal naluu-chan?"
Bukan, bukan. Dia bukan pacarku teriakku dalam hati. Tapi dia adalah calon istriku, calon ibu dari anak-anakku, calon nyonya uchiha. Namun semua itu tersendat di bibirnya yang terkatup rapat. Ku lirik si pirang itu jadi gelagapan. Jemarinya menggaruk pipinya yang mungkin tidak gatal sama sekali. Bingung menjawab pertanyaan si ballerina kecil ini.
"A-ah, Shion-chan, mana yang lain? bagaimana pentas kalian?"
Well, si pirangku ini sepertinya sedang berusaha mengalihkan pembicaraan. Si ballerina kecil itu mengerjap lucu, ia lalu tersenyum bahagia sambil membentang kedua tangannya lebar.
"Meleka cemua ada di luang tengah. Naluu-chan lugiii, pentas kami belhacilll"
Bocah itu kegirangan. Naruto sampai tertawa lucu akibat tingkah polosnya.
"Ino-kun mana? Aku ingin mencelitakan bahwa tadi ada beluang yang becaaaal cekalii"
"Inojin-kun ada di kamar, shion-chan kesana saja"
Aku hanya bisa diam melihat interaksi kedua manusia ini. Bocah ballerina itu lalu mengangguk dan melompat-lompat menuju kamar Inojin, Naruto sampai terkekeh melihatnya, dan aku menikmati setiap senyuman yang di tampilkan oleh wanita ini. Ia lalu bangkit dan berjalan mematikan kompor. Mataku masih mengikutinya.
"Sepertinya aku harus pulang sekarang." Aku berujar, dan itu menarik perhatian Naruto. Ia terlihat tidak senang. Ah, jackpot, aku terkekeh. Apron yang ia gunakan pun di lepas dan merapikan rambutnya.
"Aku akan mengantarmu sampai di depan." Ujarnya malu-malu, ia sudah melangkah lebih dulu. Aku tersenyum mengekorinya di belakang. Mataku benar-benar tidak bisa berpaling dari sosok wanita pirang ini.
Ia benar-benar mengantarku sampai di tempat dimana aku memarkir mobil. Aku berdiri di hadapannya, ia terlihat tidak mau menatapku secara langsung. Mungkin masih malu dengan kejadian di dapur tadi, hehe.
Tanganku terulur untuk merapikan ponynya yang terlihat lepek akibat keringat. Lagi-lagi wajahnya merona, sangat cantik.
"Kau sangat cantik" bisik ku. Wajahnya semakin memerah. Saat ia memalingkan wajahnya, aku menahan dagunya agar tetap menatapku. Mata birunya terlihat sangat berkilau, benar-benar tidak pernah membuatku bosan.
"Apa kau sibuk hari minggu ini?" Tanyaku sambil mengusap pipinya dengan pelan. Ia terlihat sedang berpikir, lalu menggeleng.
"Tidak. Memangnya kenapa?" Suaranya terdengar sangat pelan. Dia masih merasa malu ternyata. Dan itu membuatku semakin ingin menggodanya.
Ku dekatkan lagi wajahku dengan wajahnya, dan ku curi satu kecupan di bibir tipisnya yang sempurna. Mata birunya membulat, tapi tidak marah sama sekali. Ia menatapku seperti tidak percaya.
"Aku ingin mengajakmu berkencan"
Dan hanya anggukan malu-malu yang ku dapat. Ku kecup bibirnya sekali lagi, dan kali ini ia tersenyum. Aku masuk kedalam mobil dengan sedikit berat hati. Ku nyalakan mesin mobilku, dan melaju meninggalkan panti asuhan konoha. Bisa ku lihat melalui spion mobil, sang dewi matahariku masih berdiri melambaikan tangannya. Ah, aku pasti akan gila karena merindukannya. Hari minggu masih tiga hari lagi. Semoga saja ibu menyuruhku membawa paket lagi. Namikaze Naruto, kenapa aku bisa sangat mencintaimu?
xxxxxxxxx
Hari ini adalah hari sabtu, besok adalah hari yang ku tunggu-tunggu. Tapi demi apapun, aku sudah sangat merindukan Naruto hingga rasanya kepalaku akan pecah. Dua hari ini, ibuku benar-benar menyebalkan. Saat aku sedang tidak ingin di perintah olehnya, dia menyuruhku. Tapi di saat aku benar-benar ingin di perintah olehnya, dia sama sekali tidak menyuruhku. Apa-apaan dia itu? Tidakkah ia mengerti kalau anak bungsunya yang tampan ini sedang merindukan mataharinya seperti orang gila? Bahkan di kantor aku benar-benar tidak bersemangat melihat karyawanku. Di tambah aniki yang suka sekali memamerkan kemesraan dengan pacarnya, si rubah yang bernama Kyuubi, wanita jejadian yang merangkap jabatan sebagai sekertaris aniki.
"Grrr.. Tunggu saja sampai ku bawa Naruto ke rumah, kau pasti akan menganga dengan air liur yang menetes, karena calon istriku jauh lebih cantik dari rubahmu itu, aniki!" Geramku sambil meremas pulpen. Aku berteriak frustasi, kenapa bisa aku sebodoh ini? Aku bahkan lupa meminta nomor ponsel atau alamat emailnya? Dua hari tanpa kabar, tanpa melihat senyumannya, tanpa mendengar suaranya? Ya tuhan, aku benar-benar bisa gila.
Tapi tidak apa-apa, besok aku akan melepaskan segala kerinduanku padanya. Ya, besok adalah hari berkencan dengan matahari cantikku, aku hanya perlu bersabar. Sisa satu hari lagi.
Well, hari ini benar-benar ku habiskan untuk meyakinkan diri bahwa esok akan segera tiba.
Keesokan harinya...
Ini dia. Wanita cantik yang kurindukan setengah mati. Dia kini berdiri dengan senyuman yang bahkan mengalahkan kecantikan dewi-dewi yang terkenal di mitologi yunani. Dengan balutan kemeja berwarna putih dan rok soft pink di atas lutut, membuatnya terlihat lebih muda. Sepatu ketsnya terlihat boyish namun manis, dan yang paling ku suka darinya hari ini adalah rambutnya yang di kepang longgar dengan beberapa anak rambut yang membingkai wajahnya. Kami-samaaa! terima kasih karena kau ciptakan mahluk seindah ini.
"Apa kau sudah lama menunggu?" Tanyaku basa-basi, padahal aku tau akau datang lebih awal dari yang kami sepakati. Dan untungnya, wanitaku ini juga berpikir hal yang sama, datang lebih awal. Bolehkah aku GR sekarang, bahwa ia juga tidak sabar untuk kencan denganku?
"Umm.." Ia menggeleng, sangat lucu.
Aku tersenyum, ku buka kan pintu mobilku untuknya mempersilahkannya bak putri untuk masuk kedalam kereta kencana. Ia malu-malu, sangat manis.
"Kita mau kemana?" Ia bertanya saat aku sudah duduk di kursi kemudi. Aku menoleh, ku genggam erat jemarinya yang terasa dingin, mungkin karena gugup. Ku kecup punggung tangannya, sekedar ingin membuatnya tersipu malu, karena jujur aku sangat suka melihat rona merah di kedua pipinya.
"Kita ke taman ria" jawabku seraya menghidupkan mesin mobil. Ia tersenyum bahagia, mungkin sangat senang karena kami akan kencan di taman ria. Bukankah ini terlalu remaja? Persetan, yang penting kami berdua senang. Akhirnya akupun mengendarai mobilku bersama Naruto, sang dewiku menuju tempat kencan kami.
Sesampai di taman ria, bisa ku lihat mata wanita ini berbinar bahagia. Itu membuatku turut merasakan sesuatu yang hangat.
"Ayo! Kita bersenang-senang" ku ulurkan tanganku kepadanya. Dengan senang hati ia menyambutnya dan menggenggam tanganku erat, dan tentu saja ku balas tak kalah erat.
Kami benar-benar menikmati hari ini. Seumur hidup, belum pernah ku rasakan sebahagia ini. Aku yang tidak suka keramaian, tidak suka bicara banyak, tidak suka permainan anak-anak, semuanya ku tanggalkan. Kami berada di tengah kerumunan orang hanya untuk berdesakan masuk ke wahana permainan, meskipun tidak bicara banyak, tapi ketika bersama dengan wanita ini, ku rasakan aku lebih banyak tersenyum. Kadang tingkah konyolnya seperti saat sedang meniru Tuan kelinci, saat memakai nekomimi, dan saat merengek ingin makan kembang gula, itulah yang tanpa sadar membuatku tertawa. Kebahagiaan yang ku rasakan jika bersama wanita ini tidak pernah ku dapatkan dari orang lain. Sungguh, Naruto bagaikan dewi pembawa berjuta tawa didalam kehidupanku yang super flat.
Saat ini, kami sedang duduk di sebuah kedai eskrim. Naruto menikmati es krim rasa coklat, dan aku rasa vanilla. Ia terlihat bersemangat sampai es krim yang ia makan blepotan ke hidung. Benar-benar seperti anak-anak, padahal wanita ini hanya muda satu tahun dariku.
"Sasuke, kau mau coba es krim ku?" Ia menyodorkan es krim coklatnya ke wajahku. Aku menoleh, menolak. Aku tidak suka coklat. Ia terlihat merungut kesal, aku malah menyukai wajahnya yang terlihat beribu kali lipat lebih imut ketika sedang merajuk.
"Ada es krim di wajahmu!" Aku mencoba mengingatkan. Ia merona, berusaha mengelap bekas es krim yang ku maksud namun tidak tepat sasaran.
"Bukan di situ, tapi disini" ujarku sambil menunjuk hidung sendiri. Ia merungut, karena tidak berhasil.
"Bantu aku, Sasuke!" Aduduh, sikap manja apa itu? Mencoba untuk menggodaku ya? Sungutku dalam hati.
Aku pun mengelap bekas es krim di hidungnya dengan ibu jari. Ia tampak terkesima. Tidak ingin membuang kesempatan, ku kecup hidungnya hingga matanya membola. Detik berikutnya rungutan-rungutan manja di keluarkannya sambil memukul ringan bahuku. Aku terkekeh, wanita ini benar-benar ajaib.
Hari sudah semakin sore. Dan tanpa kami berdua sadari, haripun kini berganti malam. Keramaian di taman ria bukannya berkurang, malah bertambah. Aku pun mengajak Naruto ke jembatan dimana di jembatan itu menjadi tempat terbaik untuk menyaksikan kembang api. Sebelum ke jembatan, Naruto meminta untuk di belikan takoyaki. Aku menurut, wanita itu akhirnya mendapatkan apa yang ia inginkan.
Di jembatan, banyak sekali orang yang berniat sama dengan kami, yaitu menyaksikan kembang api. Aku mengajak Naruto untuk duduk di sisi jembatan yang sedikit lebih rendah. Sembari menunggu kembang api, wanita yang ada di sampingku terlihat begitu menikmati takoyakinya. Aku hanya tersenyum melihat pipinya menggembung karena penuh takoyaki.
"Sasuke, aaaaa" ia menyodorkan satu takoyaki bulat ke depan mulutku. Tidak ingin membuatnya kesal, aku membuka mulut membiarkan takoyaki itu masuk. Ia tampak senang. Saking senangnya, ia sampai tersedak dan terbatuk hingga wajahnya memerah.
"Hati-hati, dobe!" Sungutku sambil menyodorkan air mineral. Dia menatapku dengan sebal.
Apa? Apa aku berbuat kesalahan?
"Kau mengataiku dobe" ia mempoutkan bibirnya, sangat lucu. oh, jadi itu yang membuat moodnya berubah. Aku hanya terkekeh. Ku cubit hidung kecilnya hingga ia meringis.
"Kau adalah dobe paling cantik di dunia ini" persetan jika sekarang aku tidak Uchiha. Lagipula, gombalanku hanya untuk Naruto seorang. Alhasil, wajahnya memerah malu-malu. Berhasil, dia sudah tidak merajuk lagi.
Akhirnya yang di tunggu-tunggu pun tiba. Kembang api mulai meletup-letup di atas langit. Ku lirik Naruto yang menatap dengan tatapan mata yang begitu menakjubkan. Aku hanya tersenyum. Ku rasakan bahuku berat, kepala pirang adalah yang pertama kulihat. Ia memejamkan mata, terlihat lelah.
Mungkin ini saatnya untuk mengklaim wanita ini, agar ia tidak pergi dariku.
"Naruto.." Panggilku pelan. Ku rasakan kepalanya sedikit bergerak, ia mendongak kepadaku.
"Hm?" Matanya menatapku, menanti apa yang ingin ku katakan.
"Mungkin ini terdengar kekanakan.." Aku menjeda kalimatku. Dia terlihat tidak sabar menanti kelanjutan dari perkataanku.
"Tapi kau harus tahu, aku tidak main-main.." Aku menarik napas, entah kenapa aku merasa sedikit gugup. Kepala Naruto sudah tidak berada di bahuku lagi, kini ia duduk tegap menghadap ke arahku. Menatapku dengan mata birunya yang indah. Ku balas menatapnya. Ku raih kedua tangannya dan menggenggamnya erat.
"Aku sangat mencintaimu, Naruto. Mau kah kau menjadi kekasihku, teman sehidup sematiku?" Ujarku. Aku tahu ini terlalu alay, layaknya remaja labil yang baru mengenal cinta. Namun aku bersungguh-sungguh. Wanita di depan ku ini tersenyum. Matanya berkaca-kaca. Ia mengangguk, senyumku terkembang.
"Tentu, Sasuke. Aku juga mencintaimu!" Bahagianya. Rasanya seperti seluruh kehidupanku di berkahi oleh Tuhan. Ku peluk wanita itu erat. Seakan sudah tidak ada hari esok, kuingin terus merasakan hangat tubuhnya. Tangan kecilnya menyatu, memerangkap punggungku.
"Jaa.. Naruto, Kau mau kan datang ke rumahku untuk ku perkenalkan dengan keluargaku?"
.
.
.
.
Bersambung :D
Hellooooo~ aww, aku suka yang romens-romens begini XD
Jadi ga tega ya misahin mereka /eh (?)
Ini hanya fanfic Twoshoot/?/ yah manteman, jadi chapter selanjutnya udah END XD
Maklum, takutnya terbengkalai kalo panjang hoho. Mau di oneshoot tapi terlalu panjang, yodah di bagi dua aja.
Judulnya: My favorite Goodbye, judul yang sama dengan Novelnya Kaka Nuril Basri, mungkin ada yang pernah baca? Hoho, tapi ceritanya beda jauh yakkk~
Oia, Ini pake Vantage pointnya Sasuke yah~ moga ga ngecewain XD
Kalo nanya kenapa pake Vantage pointnya karakter, itu karena daku pengen sesuatu yang beda :"""
Hope you like it, nah :*
/pelukatu-atu/
See ya~ mmuach!
Mkim
