Warning : fanfiksi ini disebut fusion. Tokoh Naruto saya masukkan ke dalam setting yang digunakan di Ascendance Trilogy milik Jennifer A. Nielsen. Sesuai namanya—'trilogi' berarti terdiri dari tiga seri: The False Prince, The Runaway King, dan The Shadow Throne. Ketiga serinya udah saya tamatin. (yay)

Ascendance Trilogy mengambil lokasi sebuah dunia fantasi non magis di mana kerajaan Carthya adalah senter dari cerita (terutama di seri ketiga). Avenia adalah negeri tetangga Carthya yang dipimpin oleh Raja yang rakus kekuasaan. Baymar adalah 'ally' Carthya mengingat dulu sekali, Raja dan Ratu Carthya mengikat janji dengan Raja Baymar—penggabungan dua negeri melalui ikatan pernikahan. Tapi, tenang saja. Kisah ala-ala cinta yang dipaksakan itu nggak ada di trilogi ini. Gak ada putri cengeng atau heroine berotot. Gak ada cinta segitiga, segiempat, segilima, segienam, dst. Kecuali jika Anda penyuka slash, maka imajinasi Anda akan menuntun Anda untuk nge-ship siapa aja di sana. Wkwk.

Bagi siapapun yang belum baca triloginya, tidak menjadi masalah. Tetapi, kalau itu masalah bagi Anda, maka bacalah. :p

Saya menjamin plot yang amat twist di novel itu, meski rasanya kurang masuk akal untuk seorang remaja 16 tahun bisa sejenius itu (tokoh utamanya bernama Sage/Jaron). Karakternya tidak sempurna dan nyebelin sebenernya tapi saya suka mulutnya—haha pengen ditabok. XD

Kalau ada yang bingung, itu wajar. Tapi, saya siap—berusaha menjawab dengan kondisi wifi rumah yang mati ini. Which means, I have to answer through cellphone. Hiks.

Sudah cukup rants-nya, masuk ke inti cerita. Yosh!

.

.

.

.

.

.

.

Hoist the color theme : Red (live)

.

.

.

.

.

.

.

'Dasar bodoh! Pergi atau tidak sama sekali!'

'Jangan menyuruhku seolah ada opsi yang lebih baik daripada kabur tanpa membawa hasil, teme!'

'Ho. Kau menyebut dirimu Raja tapi kau sama bodohnya dengan Danzou.'

'Oh yeah. Kau menyebut dirimu Uchiha tapi kau bahkan menyuruhku untuk lari seperti pengecut. Aku punya rencana yang lebih baik daripada itu de—'

'Dengan menawarkan kepalamu pada si botak Danzou? Rencana yang sangat bagus, Ou-sama*.'

'Tsk! Kau tidak mengerti. Sama sekali tidak mengerti. Karena itulah, aku tidak akan meninggalkan Farthenwood tanpa hasil. Apapun itu, kemenangan haruslah milikku dan bukan untuk kedua sisi. Danzou berhak menerima resiko kejahatannya sebab itu adalah takdirnya. Dan, yang semestinya lari sejak awal dari sini adalah kau, Uchiha.'

'Pengorbanan yang imbisil. Sekonyol apapun dirimu, kau tetap Raja mereka. Sedangkan aku masih Uchiha. Tak lebih dari sekadar Uchiha. Dengar, ini adalah perintahku yang terakhir—pergi atau Carthya hancur. Pilihlah, Naruto!'

'Sekalipun memilih, adalah suatu kepastian jika Danzou akan menebas kepalamu terlebih dahulu, Uchiha! Jangan membuat keadaan semakin sulit!'

'Aku tidak peduli! Kau akan hidup demi pelayan yang amat kau benci ini, Uzumaki Naruto!'

Kau harus hidup, Naruto.

Demi Uchiha Sasuke.

.

.

.

.

.

.

.

Naruto © Kishimoto Masashi

Ascendance Trilogy © Jennifer A. Nielsen

.

.

.

.

.

.

.

Fraud

[kb. 1 penipuan. 2 Inf: seorang penipu/gadungan. 3 kecurangan. 4 penggelapan]

by Leon

a Naruto fanfiction. Dedicated to Sabaku no Ghee's Hoist the Color Challenge

ONE

[I am your buttler]

Perang akan tersulut selama masih ada setan yang meniup hati manusia dengan rayuan ketamakan.

Tidak sejalan dengan cara berpikir Naruto, ia terpaksa menurunkan prajurit untuk memukul mundur kekejaman Danzou—Raja Avenia yang buta akan kata pengampunan. Rencana semula hanyalah memberi Avenia peluang negosiasi. Tetapi, mereka menampik dan menculik pemimpin tertingggi Carthya. Bahkan, memenjarakan, menyiksa, dan membuatnya bertekuk lutut. Sayang, Danzou tidak mengenal Naruto sebaik ia mengenal Namikaze Minato. Bocah pembawa masalah itu akan terus membawa katastrofi. Bencana bagi kaum pemuja bisikan setan.

Tidak hingga orang yang dahulu dianggap berkhianat menampilkan pertunjukan yang telah disimpannya sejak dulu. Bertindak sebagai abu-abu mengantarkan Obito Uchiha pada kemerdekaan negeri yang dahulu ditelantarkannya.

Oleh-oleh dari pesta kembang api untuk menyambut Danzou bukanlah hal yang ingin dilihat Kakashi sekembalinya ia dari Danau Falstan. Ia melihat wajah sang Raja dipenuhi warna merah menyala. Darah siapa, sepertinya Kakashi bisa menebak. Naruto tersungkur jatuh dari kudanya begitu pintu gerbang Carthya terbuka lebar.

"Panggilkan dokter dan perawat kerajaan! Luka Naruto harus ditutup dan dibersihkan!"

Keributan tak bisa ditampik. Telinga Naruto mendengung keras seperti suara sayap ratusan lebah pekerja. Ada pula yang kini terasa menumbuk-numbuk kepalanya dengan hantaman setingkat inferno.

Samar-samar, ia mencuridengar banyak nada yang berkumpul menjadi satu, yakni suara Kakashi. Ia yakin pria ubanan itu sedang kerepotan mengawasi dan mengurusi dua hal sekaligus. Mengamankan tembok kerajaan dari sebuah bilik yang jauh dari titik pengamatan lebar dan menjaga tubuh Rajanya yang terkulai lemas. Entah sudah berapa lamanya pemuda ini terlelap. Banyak mimpi yang dilaluinya tapi ia terlalu sibuk hanya untuk mengingat kembali mimpi-mimpi apa yang bergerak mundur ke belakang.

Ketika ia mencoba membuka mata untuk pertama kalinya, yang dapat ditangkapnya adalah warna hitam pekat.

"Kakashi, apakah aku terbangun di tengah malam? Kau membiarkan lilin-lilin itu mati?"

Dua detik kemudian, Kakashi berjalan mundur. Berteriak kesetanan.

Raja mereka tak lagi melihat.

.

.

.

Pagi yang cerah, seperti yang tertebak melalui indera penciuman Naruto. Aroma roti gandum bersama segelas susu diletakkan tepat di samping ranjangnya. Seorang pelayan menuntun tangan sang Raja menyubit satu per satu potongan roti croissant kesukaannya untuk ditelan. Naruto melepas tangan si pelayan yang gemetar hebat. Menyuruhnya untuk duduk saja. Kakashi berada dalam posisi terjaga dengan lengan terlipat erat di dada. Pedangnya ikut siap siaga.

"Aku tahu kau pasti ada di sana, Kakashi."

"Ya. Aku selalu di sini, Rajaku."

Naruto spontan tak bisa menahan gelak tawanya. Rasa-rasanya Kakashi baru mendengar kekehan Naruto lagi. Terakhir ia mendengarnya sesaat sebelum Raja muda itu meninggalkan Carthya dengan kudanya, Kurama.

"Bagaimana dengan Avenia?"

"Penyerahan diri total. Akta perjanjian perang telah disepakati."

"Obito?"

Kakashi menggigit bibir sebelum melanjutkan, seperti enggan menjawab. "Telah dikubur dengan layak sesuai perintahmu."

Potongan roti terakhir sukses ditelannya. Naruto tersenyum ke arah yang diperkikarannya si pelayan menunggu hingga sang Raja menyelesaikan sarapan paginya. Begitu si pelayan pergi, kaki-kaki Naruto melayap keluar dari persembunyiannya di bawah selimut. Sudah saatnya merasakan decit kayu lantai istana. Kakashi buru-buru maju sebelum ada keputusan imbisil yang diambil oleh Naruto.

"Belum saatnya, Naruto. Belum saatnya. Kembalilah ke ranjangmu. Apa yang kau inginkan?" tutur Kakashi lembut, tetapi justru membuat Naruto semakin mengerutkan keningnya dan berbuat beringas. Seperti biasa. Kesal, Naruto menarik paksa perban yang menutupi pengelihatannya. Fakta pertama, ia memang tak bisa melihat. Ia berusaha mengamati apa yang masih bisa dilihatnya—cahaya-cahaya kuning dan putih. Kebutaan semi permanen, sesuai diagnosa dokter kerajaan. "Dalam satu minggu, kau akan melihat kembali."

"Oh yeah? Siapa yang berani menjamin, heh?"

Kakashi memijit keningnya. Naruto mulai patuh dan duduk di tepi ranjangnya, melipat lengan. "Kau mau apa?"

"Tidak ada, Kakashi. Aku hanya ingin berjalan-jalan dan tidak diawasi olehmu seperti bayi. Lagipula, kau punya kewajiban di istana dan aku bukanlah prioritas kewajibanmu itu." tuntut Naruto dengan nada mendikte.

Hah. "Lalu, kau mau apa?" tanyanya ulang. Menekuk kedua lututnya dan menghadap tepat ke arah Naruto. Ia bisa melihat kulit lengan pemuda itu yang terekspos. Ada bekas tanda kepemilikan para bajak laut di sana. Ia membuang nafas lagi. Bingung.

"Lakukan tugasmu untuk Carthya. Jangan awasi aku lagi. Berikan aku pelayan jika kau memaksa aku harus diawasi."

"Kau punya banyak pelayan. Kau mau yang mana?"

"Siapa saja. Yang penting ia tahu apa yang kuinginkan tanpa harus kusuruh. Pelayan sepertimu tapi jauh lebih—permisif."

Baru kali ini rasanya Kakashi tidak bisa menolerir keegoisan Naruto. Sekonyol-konyolnya bocah itu, ternyata ada permintaan lain yang jauh lebih meletihkan.

"Laki-laki atau perempuan?" Kakashi menambahi.

Naruto menelengkan kepalanya ke satu sisi, berdehem panjang. "Siapa saja, aku tidak peduli."

"Baiklah." Ia menegakkan posisinya. Berdiri tegak sembari memandangi sosok Raja yang terduduk di tepi ranjangnya. Jemari Kakashi menyeka poni-poni pirang yang menutupi wajah Naruto. "Tunggulah hingga petang. Akan kubawakan nanny untukmu. Tapi, kau kularang keluar dari kamarmu sebelum aku kembali. Ada yang lain?"

"Nikmati kemerdekaan Carthya. Jangan lupa kunjungi makam Obito. Aku tahu kau cukup terluka, Kakashi. Kau membutuhkan waktu err mengobrol banyak dengannya."

Kakashi tak menampik Naruto adalah pemuda yang keunikannya melebihi kosmo. Beberapa saat ia membulatkan mata, tapi ketenangan di ekspresinya tampak kembali. Di penghujung pintu, pria itu mengangguk tanpa berbisik. Hanya meninggalkan suara derit pintu. Dari satu minggu penjagaan penuh tanpa terlelap, ia akhirnya diberi hak untuk merasakan kehangatan ranjangnya sendiri. Tapi, ada hal yang perlu dilakukannya sebelum tertidur ataupun menyeleksi pelayan Carthya. Yakni, menyusuri bangunan milik seorang regen yang dihuni oleh pemuda bermata gelap.

.

.

.

"Tik tok. Tik tok."

Bunyi detik dari jam dinding adalah bias melodi yang dapat dinikmatinya dalam sepi.

"Tik tok. Tik tok. Tik tok."

Bibirnya turut mengikuti bagaimana bunyi jam berdenting.

"Urgh—"

Ia bangkit. Terduduk di atas ranjangnya. Menekuk wajah.

"Kakashi! Kau lama!"

Pekikannya sukses mengusir ngengat malam serta binatang nokturnal lainnya. Ia membiarkan jendela dalam biliknya terbuka lebar, tetapi tujuannya bukan untuk kabur (seperti hobinya). Ada langkan panjang yang memudahkannya meniti dinding hingga mencapai dasar halaman istana. Tirai-tirai terkadang bersuara seperti sayap kupu-kupu bila angin meniup sayup. Kulitnya yang mulai memucat akibat keseringan berbaring dalam kamar terasa gatal—ia ingin cepat-cepat keluar dari biliknya dan menikmati cahaya matahari Carthya. Seusai perang, banyak topic aktivitas yang sudah dibuatnya. Salah satunya adalah mengunjungi Teluk Tarblade.

Naruto menggaruk lengan di mana tato ai itu tergambar. Ada beberapa saat ia harus menahan nyeri ketika plat besi milik bajak laut menemus epidermis kulitnya. Akan mengingatkannya pada hari di mana ia berhasil menundukkan kebenciannya.

Di antara sesi berkhayal, Naruto menemukan pintu biliknya berderit pelan. Seseorang baru saja masuk.

"Kakashi, kaukah itu?"

Tak ada jawaban. Langkah-langkah kecil mengawali kecurigaan Naruto, tetapi ia tidak menampik sebuah tangan di pundaknya. Suara mangkuk dan kotak obat yang diletakkan di atas meja samping ranjang membuatnya berpikir dua kali.

"Pelayan pilihan Kakashi, eh? Siapa namamu?"

Masih tak ada jawaban. Ide bagus untuk merengut.

"Yah, terserahlah. Kalau kau bisu juga tidak mengapa. Aku tidak peduli." Ia semakin melipat muka. Jemari asing si pelayan menempel di pakaian Naruto. Waktunya berganti pakaian. "Aku bisa mengganti bajuku sendiri tapi dengan kondisi kebutaan semi permanenku ini, kuhargai bantuanmu. Kecuali kalau kudengar kau berusaha menahan tawa."

Denting metal-metal menjadi satu-satunya jawaban. Naruto memiringkan kepala, berpikir. Namun, ia cukup yakin siapapun yang dipilih Kakashi sebagai pelayannya ini adalah orang yang benar-benar paham letak serta posisi luka yang tersebar tak merata di kulit si Raja. Ia tak ragu ketika memutar tubuh Naruto. Walau ia sempat bergidik akibat hembusan udara malam yang menggelitik tulang belakangnya. Ia bertahan dan membiarkan jemari lentik pelayan bisu itu meletakkan salep-salep antiseptik di setiap bagian tubuh yang dirasakannya sakit. Naruto tak bisa menahan diri untuk tidak bertanya. Sudah menjadi sifat alaminya.

Dirasakannya si pelayan bergerak tepat di sampingnya. Kulit pinggang Naruto terekspos penuh.

"Di sana ada luka melintang yang sangat panjang. Kau lihat, 'kan? Bekas cambukan mantan regen yang namanya sudah kubersihkan itu. Satu-satunya orang yang tidak bisa kupahami. Aku tidak tahu kalau Ayahku menjadikannya agen ganda." Ada nada penyesalan di balik kata-kata Naruto. Sejenak, ia menyimak detik dalam jam biliknya. Terlalu sunyi, bahkan desau angin tidak terdengar jelas. "Bagaimana aku bisa mengetahui namamu? Bagaimana aku tahu kau ada di sana kalau aku tidak bisa memanggilmu?"

Masih berupa kebisuan. Desahan letih Naruto turut mengakhiri sesi mengganti perban itu. Ia tampak lebih baik sekarang. Anehnya, ada sentuhan asing tapi terasa nyaman di kulit lengan bawah sebelah dalam. Seseorang sedang meraba tepi tato bajak laut yang disematkan Gaara padanya. Meski dulu ia sempat bersiteru dengan Gaara menyoal perebutan takhta dan sebagainya akibat konfrotasi Obito, keinginannya yang melebihi amukan dewa Zeus berujung pada penunjukan pemuda bersurai merah itu sebagai panglima perang Carthya. Keduanya terikat oleh sumpah bajak laut. Terlihat dari tato ai yang dilingkari ular laut.

"Oh itu. Tolong kau rahasiakan, ok? Hanya aku, Gaara, Sakura dan Kakashi yang tahu. Para regen akan mati kejang begitu ia tahu aku sudah bergabung dengan para bajak laut. Haha." Jemari si pelayan menarik ujung lengan pjyama Naruto. Ada sepi yang mencubit kulit bekas sentuhan tadi. Ia melanjutkan.

"Kalau begitu, mari buat kesepakatan. Kau wajib datang kemari tepat di pukul enam. Urusan mengganti baju, asalkan kau sediakan pakaian bersih di malam sebelumnya, aku yakin bisa memakainya sendiri. Kau hanya perlu menyiapkan makanan pagi, siang serta malam. Aku tidak perlu dininabobokkan—aku bukan bayi dan kau tidak bisa bicara. Lalu, membersihkan badan. Yah, yang ini rasanya aku butuh bantuanmu. Selain dari itu, kau bisa kembali ke kamarmu sendiri. Kau mengerti?"

Selimut yang ditarik lembut di pangkuan Naruto turut mengingatkannya untuk kembali bersandar. Si pelayan menutup kotak obatnya, lalu membuat suara langkah yang teramat pelan. Untuk ukuran pelayan bisu yang sekaligus tuli, hal itu akan sulit. Kecuali, jika fakta bahwa ia berbohong merupakan alasan kuat. Naruto membuang jauh-jauh kecurigaannya dan membalik badan. Memeluk selimutnya erat. Pintu yang ditutup membuka gerbang mimpi sang Raja.

.

.

.

Keesokan paginya, tepat saat sekor pipit bertengger di kusen jendela yang dibiarkan terbuka sejak semalam bernyanyi riang, sepiring waffle aroma madu dengan segelas susu diletakkan di meja samping ranjang Naruto. Ia yakin pagi yang sedikit terik berarti pukul enam lewat beberapa menit. Sebentar, ia mendengus lalu meraba-raba sebelum sebuah tangan membetulkan posisi Naruto untuk duduk di tepi ranjangnya kembali. Si pelayan sudah hadir bahkan ketika si burung pipit tiba di sana. Naruto berusaha menyembunyikan senyumnya.

Ia menggigit waffle dari tangannya. Menolak garpu dan sendok si pelayan. "Kau tahu. Kakashi sepertinya lupa memberitahumu kalau aku lebih menyukai saus jeruk dibanding madu. Tetapi, tidak masalah. Apapun akan terasa enak bagiku."

Ia mulai berceloteh. Membunuh rasa bosannya. Menyomot satu per satu potongan waffle -nya.

"Semalam aku bermimpi hal aneh. Tapi bukan mimpi yang asing, sepertinya. Pernah berulang entah kapan. Kurasa, mungkin beberapa tahun sebelum aku kembali ke Carthya untuk merebut takhtaku dari para regen pengkhianat." Matanya yang buta melipir ke samping. Jika wajahnya membentuk garis lurus dengan wajah si pelayan, ia memilih untuk melipat ekspresinya kemudian. "Banyak yang mati. Aku melihat mayat-mayat mereka. Penuh darah. Kutukan setan yang dengki padaku, mungkin."

Tepat di potongan waffle terakhir, Naruto melupakan sisa saus madu yang berkumpul di tengah-tengah potongannya. Menyisakan beberapa tetes terakhir di sudut bibirnya. Sontak, ujung ibu jari si pelayan mendekat. Membuat Naruto merasakan sensasi elektris di sekujur tubuhnya. Mengusapnya lembut di sana.

Ia sempat mencoba mundur. Kedua alisnya bertemu tapi bukan marah. "Kau… perempuan?" Konklusi yang berdasar atas sentuhan si pelayan yang lembut dan jauh dari kata kasar. Sejauh yang diketahuinya, pelayan lelaki memiliki kapabilitas dalam mampu mencederai orang meski berupa sentuhan saja. Tak ada jawaban dari bibir si pelayan. "Hmm, kurasa aku harus mandi sekarang. Ya. Aku tahu bau badanku sudah menyerupai ekor sigung. Kakashi selalu cerewet tentang urusan mandi."

Si pelayan menuntun Naruto mencapai pintu kamar mandi yang luasnya tidak nyaris seperempat luasnya kamar Naruto sebagai Raja Carthya. Tetapi, masih ada sekat-sekat yang akan sulit ditentukannya mengingat kebutaan adalah penghalang pertama untuknya melangkah stabil. Lengan si pelayan meliuk di lengan Naruto dan bertengger di bahu sebelah, membimbingnya masuk ke dalam bath up yang sudah terisi air hangat. Ia segera beredam dengan kondisi air setinggi lehernya. Mengistirahatkan kedua tungkai yang pernah dipatahkan Gaara. Rasa tertusuk-tusuk nyaman cukup ampuh membuatnya rileks.

"Kapan aku terakhir mandi ya? Setiap Kakashi memaksaku mandi, aku selalu sembunyi di bawah selimut seperti bayi. Haha. Tapi, aku perlu membasuh tubuhku sekarang. Aku tidak mau merusak hidungmu yang kutahu sangat peka dengan berbagai bau."

Inventaris para pelayan istana ialah tangan dan hidungnya. Untuk mencuci dan memasak. Naruto tahu itu.

"Kalau kau tidak keberatan dan kalau kau mau, kau bisa menutup mata; aku perlu bantuanmu menggosok punggungku. Mungkin banyak luka tidak menyenangkan di sana, tetapi berhati-hatilah."

Sesuai instruksi Naruto, pelayan bisu itu menyeret langkahnya. Duduk dengan lutut sebagai penahan beban tubuhnya. Membiarkan Naruto maju sedikit untuk memberi celah agar tangan si pelayan bebas mengakses punggungnya. Dan benar saja. Walau tak menerima sedikitpun kekagetan dari bibir pelayannya, Naruto menyadari perbedaan tekanan di jari si penggosok dengan elusan lembutnya beberapa saat lalu. Bahkan, ia merasakan perih yang berbeda dari sentuhan pelayannya ini. Ungkapan prihatin yang bercampuraduk.

"Maaf kalau membuatmu mual. Tetapi, terima kasih pada Obito, Danzou dan beberapa orang lainnya yang sudah tidak terhitung lagi jumlahnya, aku selalu mendapatkan oleh-oleh sebelum pulang dalam keadaan pingsan atau sakit. Cukup berharga dan setimpal dengan apa yang kuraih sekarang. Ayahku mengajariku sewaktu aku masih terlalu kecil untuk mengingat silsilah keluargaku sendiri. Kemerdekaan memiliki nominal yang abadi, tidak terhitung angka besarannya. Kemungkinan bisa nyawa—lebih dari ratusan ribu nyawa. Benar sih tapi tidak seluruhnya. Karena aku aneh dan berbeda, aku justru berkata hal yang sebaliknya. Maka dari itu, aku mencoba menjadi kuat seorang diri."

Ia menelengkan kepala, satu sisi disandarkan pada dinding berubin marmer. Tangannya bermain-main dengan kecipak air dalam bath up-nya.

"Intinya adalah pengorbanan. Ya."

"Sekalipun Danzou menolak konfrontasiku dengan menyuruhnya untuk menarik semua prajurit Avenia dari perbatasan Carthya lalu dibayar dengan kedatanganku seorang diri di hadapannya, aku tetap tidak akan menyerahkan Carthya. Tidak akan."

Naruto memilih diam. Memejamkan mata santai. Kain penggosok di punggungnya digantikan oleh jemari-jemari yang menyentuh setiap luka melintang dan membujur. Naruto bersenandung, membunyikan melodi lagu perang kebangsaan Carthya. Jika dicermati baik-baik, sebagian besar menyanyikan kesedihan.

Jemari si pelayan sontak berhenti di tengkuk Naruto. Ia menarik kembali tangannya ke tempat yang semestinya. Naruto membuka kelopak manik birunya.

"Untuk membayar pengorbananku, diperlukan pengorbanan lainnya. Di kediaman Obito, tempat aku disekap dan dipenjara, aku mengenal seorang pelayan yang ditugaskan Obito untuk mengurusi luka-lukaku. Ia pandai berdebat, sepertiku. Karena itu, aku sangat membencinya. Ia selalu jenius dalam membuatku tunduk pada perintahnya, termasuk lari dari penjara berbau busuk itu dengan kunci yang entah diperolehnya dari mana. Aku menampik penawarannya dengan berkata Carthya membutuhkanku—tidak—Danzou membutuhkan leherku agar Carthya terbebas. Aku tahu itu cuma iming-iming Danzou untuk menyelesaikan perang ini dengan jalan berdamai. Pria tua itu tidak pernah mengenal kata perdamaian dalam kamusnya. Jadi, apapun keputusannya, aku hanya ingin Carthya merdeka.

Naruto menegakkan punggungnya lalu menoleh ke samping. Tepat ke arah wajah si pelayan. Mengulum senyum pahit.

"Pada akhirnya, eksekusi itu tetap berlangsung. Tetapi, Obito menyerahkan belati miliknya padaku yang dikamfulasenya melalui tinjunya di perutku. Aku bebas dan para bajak laut Gaara menyerang Danzou. Hanya—si pelayan bodoh itu mati. Atau itu yang bisa kuasumsikan. Danzou sudah melenyapkannya mungkin. Jauh sebelum eksekusiku dilangsungkan. Oh ya, pelayan keras kepala dan minim ekspresi itu memiliki nama. Uchiha Sasuke.

"Aku mungkin tidak kehilangan Carthya, tetapi lebih daripada itu. Sekarang, aku berharap bisa melihatnya. Haha."

Ditutupnya konversasi itu selepas rasa hangat dalam kubangan air bath up menghilang perlahan demi perlahan. Ia kembali merendam diri hingga yang terlihat hanya ujung hidungnya saja.

"Pergilah. Aku ingin sendirian. Letakkan bajuku di samping bath up. Aku bisa memakainya tanpa bantuanmu."

Naruto mendengar gemeretuk gigi dan geraman kecil. Namun, dibiarkannya berlalu. Mungkin ia terlalu jauh menyelami emosinya hingga berkhayal hal-hal yang tidak mungkin. Berikutnya, kulit-kulitnya seakan tak lagi bisa membedakan rasa kebas dan dingin. Entah berapa jam lamanya ia bertahan dalam air seperti seekor angsa yang kehilangan sepasang sayapnya.

Lidahnya mengecap rasa asin yang jatuh dari kedua manik biru cemerlang.

.

.

.

to be continued

Thx for reading =)

Glossary:

*) Ou-sama : Raja