Out of the Blue
==.==
DISCLAIMER chara NARUTO milik Masashi Kishimoto
DISCLAIMER STORY : SATU - SATUNYA MILIK SAYA.
Spica Zoe
Cover Art : CharaKauffmann
Warning : Affair, OOC, NTR, Sakura Centric,
a/n : FIC INI ADALAH ORIGINAL STORY YANG PERNAH SAYA
PUBLISH di FACEBOOK TERTANGGAL 22 JUNI 2012
(penjelasan ada di Biography SAYA)
/
\
/
\
Terkadang, kita harus cepat menyadari bahwa keadaan tidak selamanya berputar seperti apa yang kita harapkan. Tetapi, yang sebenarnya terjadi malah, kita lebih suka menyalahkan diri sendiri dan mengeluh saat semua hal yang tidak kita harapkan berputar dalam kehidupan. Dan saat kita salah melangkah karena menyalahkan diri sendiri terlebih dahulu, bisakah waktu diputar kembali?
Sudah sejak tadi wanita itu berdiri disana. Dinginnya pagi, bahkan rintik tetesan embun atau mungkin hujan tak lagi dia pedulikan. Matanya menembus jauh apa yang terlihat didepannya. Namun pikirannya tenggelam berusaha mengarungi hal – hal yang tak terbatas dalam kehidupannya. Sampai pada saat dia merasakan ada satu sentuhan cukup hangat dari dekapan seseorang pada tubuhnya, baru dia kembali kedalam kesadarannya semula.
"kebiasanmu terlalu buruk, meninggalkanku sendiri dipagi hari itu bukanlah sikap seorang wanita, Sakura-san" pemuda itu mendekap erat Sakura dari belakang. Sakura tersenyum hambar. Dan pemuda itu tak melihatnya. Dituntunnya wajahnya menggapai harumnya leher Sakura, menikmatinya, terkadang mengecupnya ringan hingga Sakura mendesah kecil karenanya. Sakura mengangkat tangannya meraih dekapan tangan pemuda itu diperutnya. Tangan yang cukup hangat, dan besar, tangan yang sudah cukup sering mendekapnya, tangan yang berbulu khas tangan seorang pria, begitu jantan.
"aku hanya tidak tega membangunkanmu" Sakura memutar tubuhnya, dibiarkannya tangan itu masih melingkar di perutnya hingga kini beralih mendekap melingkar di pinggangnya. Ditatapnya wajah pemuda itu penuh damai, pemuda yang sebenarnya lebih mudah darinya beberapa tahun. Pemuda yang sebenarnya tahu jika dia adalah istri dari seorang pengusaha cukup ternama di Jepang. Tapi pemuda itu tetap tidak peduli. Dia rela menjadi seorang kekasih meskipun dari seorang istri sekalipun.
"kau sedang memikirkan sesuatu?" pemuda itu bermana Kiba, menatap sang wanita penuh damba. Didekatkannya jarak antara wajah mereka berdua. Harum wanita itu, adalah sesuatu yang paling dia suka. Sedang Sakura hanya merespon dengan segaris senyum yang sama sekali tak membuatnya senang. Namun, mencoba untuk paham, pemuda bernama Kiba itu pun tak begitu ingin mempermasalahkannya.
"hari ini, Sarada-chan ulang tahun kan?" setelah ucapannya lepas dari bibirnya, Kiba mendaratkan satu kecupan singkat pada bibir sang terkasih. Sakura membalasnya cukup hangat. Niat Kiba memang hanya memberi kecupan singkat salam pagi, namun karena balasan yang Sakura hadirkan cukup hangat sambil mendekap erat tubuhnya, Kiba tak bisa mengabaikannya begitu saja. Dibiarkannya bibirnya menguasai manisnya bibir sang wanita, hingga akhirnya lidah merekapun saling membalas penuh gairah. Kiba menggerakkan tangannya, menarik Sakura lebih menempel dengan tubuhnya, hingga Sakura sadar jika pemuda ini sedang memasuki tahap awal dalam gairah seksnya. Cukup jelas dari tonjolan yang kini semakin mendesak yang dirasa wanita itu dari bawah sana.
Hari ini, Sarada ulang tahun, adalah alasan yang cukup baik untuk segera melarikan diri. Sakura melepas lumatan panjang antara mereka. Jika dibiarkan berlama – lama dia tahu mungkin akan memakan waktu lebih lama bagi mereka untuk segera berpisah. Dan Sakura tidak mau itu.
"Sa-sarada ulang tahun" Sakura berusaha mengatur nafasnya. Ditatapnya wajah Kiba yang sudah memerah, diangkatnya tangannya untuk menghusap bibir pemuda itu yang basah karena pagutannya. Dia tersenyum simpul. "..jadi, biarkan aku pergi" lanjutnya dengan kecupan singkat di pipi Kiba, hingga dia akhirnya melangkah menjauh dari pemuda itu. Menghilang dari pandangannya.
Sakura masuk kedalam mobilnya. Disandarkannya tubuhnya lemah disana sebelum dia memutuskan untuk menghidupkan mesinnya. Kecupan Kiba dibibirnya masih begitu jelas terasa. Jika saja Kiba tak mengingatkan fakta tentang ulang tahun Sarada, mungkin Sakura akan terjebak lebih lama lagi dengan gairah pemuda itu disana. Sakura membuang nafas lelah, diedarkannya pandangannya kesegala sisi ruang mobilnya, mencari rokok yang seharusnya selalu ada menemaninya disana. Diraihnya kotak rokok di sisi kanannya, memasukkan sebatang rokok anggun untuk terselip diantara bibirnya dan menyalakannya. Hambusan pertama, membuatnya begitu nyaman. Sakura menghidupkan mesin mobilnya dan bergerak melaju meninggalkan apertemen sang kekasih gelapnya.
Mengemudi menuju rumah. Sakura selalu benci keadaan ini. Jika orang bisa katakan bahwa rumah adalah tempat untuk pulang, bagi Sakura rumah adalah tempat yang paling ingin dijauhinya. Meskipun kenyataannya dia sudah bersuami. Meski kenyataannya ada keluarga kecil yang menunggunya disana. Tapi bagi Sakura, rumah hanyalah neraka dunia yang sangat ingin dijauhinya.
Sampai didepan perkarangan rumah, Sakura berhenti sebentar sampai beberapa pengawal membukakan pintu gerbang itu padanya. Kehidupan penuh dengan kekayaan materi yang melimpah, apakah tak pernah disyukurinya hingga dia merasa sama sekali tidak suka dengan rumahnya sendiri?
Sakura melangkahkan kakinya menyusuri setiap ruang besar yang tersusun menjadi bagian – bagian rumahnya. Setibanya di ruang makan, Sakura menghentikan langkahnya kala menatap sesosok pria yang kini tengah membaca surat kabar disana tidak menyadari keberadaannya sampai Sakura yang lebih dulu bicara.
"kau tidak berangkat?" Sakura menarik kursi dan mendudukkan tubuhnya disamping pria itu, suaminya. Itachi menurunkan surat kabarnya dan memandang Sakura yang sudah duduk disampingnya.
"kau baru bangun?" serunya meraih secangkir teh yang memang miliknya. Dikecapnya rasa teh itu dan meletakkannya kembali ke tempatnya, Sakura hanya diam.
"pagi ini aku tidak terlalu sibuk, santai saja" pria itu kembali menaikkan surat kabar dan kembali menikmati setiap paduan kata yang kelihatannya jauh lebih menarik perhatiannya dari pada kehadiran istrinya sendiri. Hampa. Satu kata itulah yang selalu menyerang batin Sakura. "aku kedalam dulu" Sakura melangkah meninggalkan suaminya sebelum akhirnya pertanyaan Itachi membuatnya sedikit tertekan.
"hari ini Sarada ulang tahun, temani dia mencarikan hadiah. Jika tidak, dia akan menuntutku lebih banyak-"
"aku mau tidur" Sakura menarik pandangannya dari sang suami. Dia tidak begitu suka diperintah, sangat tidak suka.
"bertanggungjawablah sedikit padanya Sakura, kau ibunya" Itachi kini mengabaikan minatnya pada surat kabar dan meletakkannya diatas meja. Memandang Sakura yang sama sekali tidak berniat untuk membalas tatapannya. Sakura hanya bergeming dalam beberapa saat. Sampai akhirnya dia memutuskan untuk tetap menutup mulutnya dan melangkah meninggalkan Itachi dalam diam, Itachi hanya mengelah nafasnya pasrah.
"aku baru pulang, Itachi.." Sakura menghentikan langkahnya saat keberadaannya sudah cukup jauh dari sang suami. Dilangkah pertamanya menaiki anak tangga, dia hanya diam dalam tundukkannya. "aku baru pulang, kenapa kau tak mau menanyakannya?" lanjutnya sambil mengangkat kepalanya jengah. Dia lelah, sangat lelah karena terlalu banyak kesesakkan yang bersarang didalam dadanya. Itachi hanya diam sambil memandang. Dia sudah tahu, hanya saja Itachi tidak terlalu ingin banyak bicara. Sampai saat matanya memandang langkah Sakura semakin menjauh dari pandangannya pun, dia tetap tak mau bersuara.
===.===
Tujuh tahun, waktu yang bukan lagi waktu yang terbilang singkat untuk usia sebuah pernikahan. Sudah tujuh tahun Sakura dan Itachi menjadi suami istri. Tapi, entah mengapa dua tahun terakhir ini adalah tahun yang paling sulit untuk Sakura hadapi. Dia tahu Itachi adalah seorang pengusaha dengan kesibukan luar biasa. Tapi dulu dia tidak pernah merasa hampa meskipun ada sesuatu yang selalu mengganjal hatinya. Itachi selalu bisa membuatnya merasa bersyukur karena segala hal yang tidak bisa dia temukan dalam hidup. Tapi sekarang? Belum lagi ada sesuatu yang membuatnya merasa tak nyaman berada dirumah. Itu yang menyebabkan Sakura ingin lari dari kenyataan.
Sakura mengurangi irama langkahnya menjadi lebih lambat. Didepan sana, tepat didepan pintu kamarnya, ada seseorang yang sudah memandangnya dengan tatapan begitu tajam dan menyakitkan. "baru pulang?" dua kata itu memang terdengar cukup lembut, tapi bagi Sakura itu seperti sebuah sayatan dalam hatinya. Pria itu tersenyum, bukan senyuman penuh dengan pujian yang didasari ketulusan. Tapi Sakura tahu itu ejekan untuknya. Didekatkannya jarak diantara mereka, mata Sakura tak lagi ingin memandang wajah pria itu sampai dia menemukan objek baru untuk matanya. Sebuah kotak didalam genggaman pria itu, seakan tahu, pria itu pun menyodorkannya pada Sakura, tapi Sakura tetap diam.
"aku menemukannya di pos penjaga" Sasuke masih menatap Sakura tajam. Sakura menoleh, tidak peduli. "tidak cukupkah untukmu memiliki Itachi sendirian? meniduri pria lain tiap malam secara bergantian, bukankah itu terlalu jalang?" Sasuke menyeringai, satu desahan nafas yang terdengar begitu meremehkan dianggap Sakura sebagai penghinaan. Ditatapnya mata Sasuke lekat, dia tidak pernah suka pria ini.
"apa yang kulakukan bukan urusanmu" Sakura menahan kesal dalam jiwanya. Getaran dari nada suaranya yang terdengar begitu tegas.
"aku tidak peduli. Terima ini, atau aku akan menyerahkannya pada Itachi, agar dia tahu istrinya sudah menjadi jalang" Sasuke menarik tangan Sakura paksa untuk menerima kotak kecil itu, lalu meninggalkan Sakura, kakak iparnya disana. Dengan segala jenis perasaan yang berkecamuk dalam dadanya.
Sakura meletakkan kotak itu dengan kasar di atas nakas. Dihempaskannya tubuhnya diatas ranjang berukuran besar didalam kamarnya. Dia ingin menangis, sungguh dia selalu ingin menangis. Sekuat apapun dia berusaha untuk tegar, dia tetap ingin menangis. Dipejamkannya matanya perlahan, mencoba membayangkan wajah Itachi dalam pergumulannya. Wajah pria yang terlalu sangat baik hati padanya. Tapi kenapa dia tega merelakan pria lain untuk datang mencumbunya? Mengingat pria lain itu, sesaat Sakura pun membuka matanya, kotak diatas nakas yang baru saja diterimanya dari Sasuke, isinya apa?
===.===
"ayah, ibu mana?" Sarada memandang wajah ayahnya penuh tanya. Sejak dia bangun, juga sarapan tadi. Dia tidak merasakan kehadiran ibunya. Sedang pria yang dia panggil ayah itu hanya diam, namun meskipun dia diam, wajahnya terlihat begitu lembut dan ramah. Selesai dengan beberapa lembaran kertas yang sudah dirapikannya, pria itu menatap lembut wajah sang putri.
"mungkin ibu masih tertidur, berangkat sekolahnya bareng ayah aja ya?" Sasuke mengusap puncak kepala gadis kecilnya. Satu – satunya harta yang dia miliki di dunia.
"ayah, ini ulang tahunku, aku maunya diantar ibu. Sekali saja untuk hadiah ulang tahun apa tidak boleh?" Sarada menepis tangan Sasuke dari puncak kepalanya, dilihatnya wajah anaknya memasang tampang penuh rengekan, bukannya memilih untuk kesal, Sasuke malah tersenyum lembut.
"baiklah, lebih baik temui dia diluar. Tunggu di ruang tamu, atau tanya pada paman Itachi jika paman masih belum berangkat kerja. Jika ibu tidak ada diruang tamu, tunggu saja disana. Ayah mau mandi biar segera berangkat kerja" Sasuke menggendong gadis kecilnya, dan melangkah mengantarnya keluar ruang kamarnya. Jauh didalam lubuk hatinya, dia sangat bersyukur pada siapapun yang telah membuatnya begitu bahagia saat ini. Tak dia sangka kehadiran bayi kecil empat tahun lalu yang kini tengah berdiri dihadapannya begitu membuatnya sangat bahagia.
"ingat sayang, jangan temui ibu dikamarnya" Sasuke berpesan lagi. Pria itu tahu, Sakura sedang dalam keadaan tak mungkin diajak bicara, mungkin bukan hanya kotak kecil yang telah dia berikan tadi itu telah mengusik pikirannya. Tapi mungkin saja lebih banyak karena ucapan kasarnya.
Sarada mengangguk mantap dan tersenyum gembira. "baik ayah, jadi anak baik dan mematuhi perintah ayah kan?" ucapnya seakan ingin berkominten, Sasuke tersenyum kecil, dibiarkannya matanya memandangi langkah kecil anaknya yang kini menjauh meninggalkannya. Seorang gadis kecil berumur empat tahun, dengan seragam sekolah yang sedikit kebesaran, juga tempat minuman yang menggantung dilehernya. Begitu manis.
Sarada menuruni pelan anak tangga dengan langkah kecilnya. Tas yang kebesaran pun membuatnya terlihat lebih kesulitan, namun semakin membuatnya terlihat imut disana.
"ibuuu.." teriaknya cepat saat mendapati Sakura duduk diruang tamu, dengan beberapa lembar kertas yang selalu setia menemaninya. Pakaiannya cukup rapi, Sarada bisa tebak jika wanita itu mungkin akan berangkat bekerja saat ini.
"ibu, akhirnya aku bisa bertemu ibu" Sarada berusaha menyesuaikan tarikan nafasnya. Dia sampai berlari saat mendapati Sakura dihadapannya. "kau belum berangkat sekolah?" tanya Sakura sambil mengenyampingkan tumpukan–tumpukan kertas didepan matanya. Sikapnya dingin, Sakura memang cukup dingin, tidak hanya pada Itachi maupun Sasuke, pada Sarada pun sama. Tapi entah mengapa Sarada tidak pernah takut untuk selalu berada didekatnya.
"paman Itachi sudah berangkat, dan ayah masih mandi. Aku pergi dengan ibu saja ya?" ucap Sarada mendekat. Dia tidak begitu paham dengan ekspresi wajah Sakura yang tidak terlalu berminat padanya. Tentu saja, dia masih terlalu kecil untuk mengerti ekspresi orang dewasa. Sakura memeriksa arloji ditangannya, dua jam lagi dia ada rapat dengan beberapa dokter dirumah sakit tempatnya bekerja. Dan harusnya dia masih bisa menyisakan waktunya untuk sekedar beristirahat lebih lama lagi dirumah. Tapi, melihat Sarada yang mungkin akan terlambat ke sekolah, akhirnya Sakura melunak.
"baiklah, ikut denganku, aku akan mengantarmu" ucapnya bangkit dan disambut oleh teriakan penuh kemenangan oleh Sarada. "horeeee... aku berangkat dengan ibu!" serunya senang sambil mengekori langkah Sakura dibelakang.
Didalam mobil, Sakura hanya diam. Pikirannya lebih terfokus pada hal – hal lain dari pada hal apa yang sedang dilakukan Sarada kini disampingnya. Gadis itu mengeluarkan selembar kertas yang terlipat, terlihat seperti kartu ucapan atau sejenisnya dengan beberapa coretan penuh warna didalamnya, jelas sekali itu pekerjaan anak – anak. Sakura meliriknya sekilas setelah lampu lalu lintas didepannya berwarna merah. Sarada, anak berumur empat tahun, juga pintar dan cerdas.
Sakura menepikan mobilnya, lalu turun dari sana. Mereka telah tiba, melangkah tegas, dibukakannya pintu untuk Sarada dan membantunya turun. Sarada tahu, tidak pernah ada kecupan manis jika Sakura mengantarnya. Sakura tidak pernah melakukannya. Tapi, dengan cepat, sebelum wajah Sakura menjauh darinya, Sarada langsung mengecup pipi itu dengan kencang, lalu tertawa.
"hari ini aku ulang tahun, bu" senyumnya dengan cengiran khas bocah. Sakura tertegun sejenak. Dia hampir lupa, padahal tadi Kiba sudah mengingatkannya. Ada rasa bersalah memang saat melihat Sarada begitu menyayanginya, sedangkan dia sendiri?
"ini untuk ibu" lanjut Sarada sambil mengeluarkan lembaran tadi, kartu yang akhirnya Sakura tahu jika itu memang kartu ucapan saat dia sudah menerimanya. "harusnya kau yang menerima hadiah, Sarada" Sakura berusaha menarik satu simpul diwajahnya. Dia tidak terbiasa tersenyum pada anak ini. Sangat tidak biasa.
"jangan buka sekarang bu, Sarada malu" Sarada menghentikan gerakan Sakura yang hampir saja melihat isi dibalik kertas ucapan itu. "-nanti saja. Itu hanya untuk ibu kok. Hadiah karena sudah melahirkanku" lanjutnya lagi, sebelum Sakura mampu mengeluarkan suaranya, dia sudah meninggalkan wanita itu disana.
===.===
Kemana aku harus berlari agar bisa menemukanmu? kau menghilang begitu saja membuatku seperti kehilangan nyawa, kau membuatku merasa mati seketika, aku akan menemuimu, aku ingin menemuimu, ayolah.. aku mohon.. bicara lah padaku, aku tidak ingin kehilanganmu..!
Sakura tersenyum miris mengingat setiap kata yang dia baca dari dalam kotak yang diberikan Sasuke padanya pagi tadi. Ulahnya Sai, pria yang dia kenal beberapa bulan lalu di acara seminar. Tak Sakura sangka dia akan berhubungan sejauh ini dengan pria berbakat itu. Sakura menyandarkan tubuhnya pasrah dikursi duduknya. Memejamkan mata, mengingat kembali sudah berapa kali dia tidur dengan pria bermata kelam itu. Bermata kelam? Kelam, Sakura berujar dalam hati. Itachi juga punya mata yang gelap, kelam kah? Gelapkah? Sakura bertarung dalam batinnya. Dia merindukan Itachi, sangat merindukan suaminya. Sudah berapa lama mereka tak pernah bisa bersama? Itachi selalu sibuk dengan pekerjaannya, dan Sakura juga tak bisa melalaikan tugasnya sebagai seorang dokter.
"kurang tidur?" Sakura membuka matanya dan memandang bayangan seorang wanita yang sudah berdiri disampingnya. Salah satu dokter yang menjadi rekan kerjanya, juga sahabat baiknya sejak lama. Sakura tersenyum hambar.
"entahlah" hanya itu yang diucapkannya saat mati – matian Tenten menahan raut wajah penasarannya disana. "aku mengharapkan jawaban lebih Sakura," ucapnya ingin tahu. Sakura hanya tertawa. "kau mau jawaban apa, Perawan tua?" serunya hingga membuat Tenten memasang wajah tak senangnya. Oke, Tenten menyerah, disingkirkannya beberapa benda yang tersusun dimeja Sakura dan mendaratkan bokongnya untuk duduk disana. Memandang sahabatnya.
"beberapa hari ini ada seorang pria yang mencarimu.." ucapnya mengubah raut wajahnya ketahap yang lebih serius. Sakura mendengarkan. Dia tahu pasti akan ada, kesal rasanya saat Sakura harus menyesali tindakannya yang memberitahukan dimana tempat dia bekerja.
"pacarmu?" tanya Tenten mendekatkan wajahnya pada Sakura.
"mungkin" ucap Sakura tenang, membuat Tenten mengelah jenuh. Sahabatnya ini, entah sejak kapan jadi seperti ini. Dulu Sakura tak pernah suka mengencani pria. Dia bahkan pernah menolak puluhan pria yang jelas – jelas menaruh rasa padanya sejak dulu.
"pikirkan suamimu Sakura. Kalian ini orang terpandang" Tenten menatap wajah wanita itu penuh perhatian. Dia tidak ingin nama baik Itachi menjadi taruhan disini. Dia juga tahu sebaik apa suami sahabatnya itu.
"jangan banyak bicara jika kau tidak tahu apa – apa, Tenko" Sakura menolak untuk memandang wajah sahabatnya itu disana. Tenten mendesah.
"kau yang tak pernah mau bicara padaku kan? Apa masih kau anggap aku sebagai sahabatmu?"
Mereka terdiam. Sakura kembali memejamkan matanya, sedang Tenten hanya menatapnya gelisah. Kau tidak akan pernah bisa mengerti apapun yang terjadi padaku, karena aku pun tak mengerti apa yang sedang terjadi padaku, sakura membatin.
"tapi aku tak pernah ingin memaksamu teman" Sakura membuka matanya saat Tenten menyelesaikan kalimatnya. Dilihatnya sahabatnya itu turun dari meja kerjanya dan tegas menatap wajahnya.
"jangan buat kesalahan lagi Sakura, hanya itu pesanku, kau masih beruntung punya tempat untuk kau tuju, sedangkan aku? Perawan tua, seperti yang kau bilang" Tenten tersenyum memandang Sakura, hingga tanpa sadar Sakura pun menyulap satu garis diwajahnya.
"bukankah hidupmu jauh lebih menyenangkan? Neji menyayangimu" Sakura membayangkan perlindungan Neji yang begitu dalam pada Tenten. Ya, mereka memang berhasil menjalani hubungan sejak dulu, tapi dari yang Sakura pahami, Neji tetap tidak pernah mau menikahi kekasihnya.
"kau yang bilang begitu Sakura" Tenten melangkah menjauh. "..jika dia serius menyayangiku, harusnya dia akan menikahiku" ucapnya sambil menghilang dari pandangan mata, Sakura mendesah. Kembali disandarkannya kepalanya dan memejamkan mata.
"kau lebih beruntung Tenko, paling tidak kehangatan Neji akan selalu ada dalam dekapanmu" bisiknya nyaris tak terdengar.
TBC
Tenko : panggilan Sakura seorang untuk Tenten.
Salam kenal, ini Fanfic pertama saya di dunia fandom mainstream ini. Gila, saya takut masuk fandom ini sebenarnya. Tapi saya tertarik dengan fandom ini semenjak saya nonton Naruto : the Last. Terutama Sakura.
Saya bukan fans Naruto, tapi saya pernah nonton sejak kecil itu saja, tidak ada yang lain.
fic ini saya buat tahun 2012, sebenarnya ini ORIGINAL STORY dan MILIK SAYA
saya hanya remake kembali dengan nambahin beberapa plot dan mengganti chara-nya.
dan sebagai newbie di fandom ini, saya harap saya di bina ke jalan yang benar. Terimakasih ya.
Maaf jika tidak begitu berkenan.
