Fandom: Naruto
Pairing: Sasuke Uchiha/Sakura Haruno
Disclaimer: Naruto dan karakter-karakternya © Masashi Kishimoto. Judul fanfiksi ini secara umum diambil dari Love and Some Verses © Iron & Wine, sedangkan All The Light We Cannot See diambil dari novel Anthony Doerr. Publikasi fanfiksi ini tidak dimaksudkan untuk kepentingan material apapun.
Notes: [1/?]. Canon compliant.
Summary: Dia memutuskan, masih ada harapan.


all the light we cannot see
© evey charen


Secara teknis, Sasuke Uchiha dapat melihat dengan baik.

Cara Sasuke dibesarkan memastikan hal itu. Sejak kecil, Sasuke diajarkan untuk dapat membedakan warna langit dari waktu ke waktu, dan untuk tidak menyebut jingga pada suatu Selasa sore sama dengan jingga pada keesokan harinya. Itachi ada di sebelahnya untuk memastikan dia tidak melupakan itu. Terkadang, kakaknya akan menjadikan warna-warna langit sebagai patokan kapankah dia akan menemani Sasuke berlatih. 'Lain kali, Sasuke,' Itachi akan berkata, dua jemarinya menyentuh kening Sasuke dan anak lelaki yang lebih tua itu tersenyum, 'lain kali, saat kamu bisa ingat dengan jelas bagaimana warna langit sebelum matahari terbit'.

Saat Sasuke akhirnya bisa berhasil menunjukkan Itachi warna langit yang tepat, Itachi tertawa, mengacak rambutnya, berkata 'baiklah' dengan suaranya yang tenang, dan ibu mereka membuatkan dua kotak bento untuk dibawa keluar seharian itu.

Meskipun begitu, Itachi tidak bisa ada di sebelahnya sepanjang waktu. Tatkala Itachi tidak ada, Sasuke memiliki ibunya, ayahnya, paman dan bibinya—semua yang sedarah dengannya dan mengenakan baju dengan lambang uchiwa yang sama di punggung mereka—untuk membuatnya tidak pernah gagal dalam melihat dengan baik. Ayahnya mengajarkan jenis-jenis warna api: api pada katon; api pada kompor di rumah mereka; api yang membakar sebuah rumah shinobi pada suatu waktu; api yang hanya hadir dalam gulungan-gulungan tentang sebuah legenda belaka. Melalui ibunya, Sasuke mengenal dunia dalam warna-warna yang lebih halus: baju merah marun itu hanya dikenakan oleh Mikoto saat akan ada kunjungan dari kerabat lain; merah samar di pipi berarti ayahnya berpikir makan malam mereka sangat menyenangkan; mata ibunya berwarna hitam seperti langit malam hari, seperti mata Sasuke sendiri. Kadang, Sasuke bisa menduga bila sesuatu yang penting terjadi di kompleks klan Uchiha melalui pakaian-pakaian khusus yang dikenakan oleh orang-orang, tanda-tanda yang diletakkan di depan rumah, kedai yang tutup lebih cepat.

Hal-hal yang penting selalu memiliki harga yang setara. Sasuke tahu, untuk hari-hari panjang yang dilewatinya dengan memperhatikan segala sesuatu dengan begitu detil dan sabar, ada Sharingan—dan nantinya, akhirnya—akan ada hal-hal lain yang lebih hebat.

Tetapi, biarpun Sasuke bisa melihat dengan baik, kadang-kadang dia tidak tahu apa yang harus dia lihat.

Dia melihat: segala hal yang diketahuinya sejak kecil dan telah tersulam begitu rekat dalam dirinya, nyaris seperti denyut nadi kedua, dibantai oleh Itachi begitu saja. Dia tidak melihat: Itachi adalah seorang martir.

Dia melihat: pandangan yang didapatkannya dari orang-orang. Mula-mula, karena dia adalah satu-satunya orang dengan uchiwa di punggung selama beberapa waktu di Konoha. Lama-kelamaan, karena dia adalah seseorang yang patut diperhitungkan dengan sejarah gelap di balik punggung dan niatan yang bahkan jauh lebih gelap di depan mata; balas dendam yang, setelah usai, akan berbelok kepada destruksi lain. Dia tidak melihat: ada pandangan lain yang tidak peduli simbol apa yang dikenakannya; ada orang-orang yang tidak peduli meskipun dia tidak memanggil mereka dengan seharusnya ('Kakashi', kata Sasuke selalu, bukan 'Kakashi-sensei'); ada orang-orang yang akan dengan suka rela dan riang hati tinggal apabila dia sendiri mau berhenti lari.

Dia melihat: Naruto menjadi kuat, lalu tak terkalahkan. Dia tidak melihat: dia tidak harus menjadi sebuah anomali dan mematahkan dua lengan sahabatnya itu saat satu lengannya sendiri telah patah.

Dia melihat: Sakura, dan segala kenaifannya. Sakura, dan mata hijau yang terkadang membuat tengkuk Sasuke terasa hangat dan perutnya bergolak tidak nyaman. Sakura, dan kemungkinan-kemungkinan yang ditawarkan gadis itu; yang tidak bisa disambutnya. Sakura, dan kekeraskepalaannya. Dia tidak melihat: Sakura telah lama memilih.

Atau, setidaknya, pada awalnya Sasuke tidak melihat semua itu.


Sasuke tidak bisa merasakan tangan kirinya.

Matanya terbuka perlahan. Cahaya redup bermain beberapa saat di penglihatannya. Ada motif wajik samar pada langit-langit. Dinding kamarnya berwarna biru pucat, dengan kusen pintu dan jendela cokelat muda. Gorden di sebelah kirinya tersibak. Di sebelah kanannya, terdapat segelas air, satu botol obat, dan sekotak tisu di atas nakas, dan Sakura yang berdiri beberapa langkah dari tempat tidurnya.

Sasuke samar ingat: langit berkabut, seseorang di atas tubuhnya, mata hijau yang basah dan pipi yang dialiri air mata. Sasuke samar ingat: wajah dan tubuh yang penuh luka, rambut yang tidak lagi menyentuh pinggang, dan kemarahan yang samar menggelegak di dalam pembuluhnya untuk alasan yang saat itu belum dia mengerti. Sasuke samar ingat: chakra yang terasa menenangkan di atas sisa-sisa lengan kirinya, mata hijau yang menolak memandangnya, dan kata-kata 'Maaf? Buat apa?'. Sakura yang berdiri di ruangan ini, sekarang, tidak tampak kacau atau berantakan, tapi kehadirannya sudah lebih dari cukup untuk membuat ingatan-ingatan itu seolah diputar ulang. Gadis itu memeluk sebuah papan kayu di dadanya. Matanya memandang Sasuke dengan sorot yang sulit didefinisikan oleh lelaki itu.

"Sasuke-kun." Jeda. "Bagaimana perasaanmu?"

Ketika Sasuke tak juga menjawab, Sakura memangkas jarak dan menarik kursi untuknya duduk di dekat ranjang Sasuke. Sasuke bisa mencium aroma gadis itu, tapi dia tidak memiliki nama untuk mendeskripsikannya. Itu sesuatu yang mirip wangi bebungaan, dan sesuatu lain yang aromanya seperti apel dan dedaunan kering musim gugur—

Sasuke memejamkan matanya sesaat. "Tidak buruk," jawabnya. Ada skenario-skenario yang lebih payah dibandingkan ini. Mendadak, Sasuke merasa sangat lelah. "Sudah berapa lama aku di sini?"

"Tiga hari." Sakura meletakkan papan kayu itu di atas nakas. "Biar kuperiksa sebentar."

Sakura memeriksa keningnya, bahunya, apa yang tersisa dari lengan kirinya, matanya. Ketika Sakura usai memeriksa dan sedang mencatat sesuatu beralaskan papan kayu itu, Sasuke menyadari bahwa Sakura punya palet warnanya sendiri sebagaimana jingga langit hari Selasa bukanlah jingganya langit hari Minggu, dan bahwa Sasuke adalah lelaki yang dipilih Sakura untuk palet warna-warna itu: warna pipinya tatkala dia merasa canggung; bibirnya yang berubah merah karena digigiti saat mereka bertemu di medan perang beberapa saat lalu; mata hijaunya yang tidak pernah menyerah dan begitu jujur. Sasuke memperhatikan bagaimana kening Sakura berkerut, jemarinya membuat gerakan berulangkali seolah sedang mencoret sesuatu, dan Sasuke berujar,

"Aku minta maaf."

Pandangan yang didapatkannya mulanya kebingungan, kemudian berganti dengan sesuatu yang kira-kira bermakna 'Sasuke-kun, kamu masih sakit dan kita tidak akan membahas ini, di sini, sekarang—', tetapi kini giliran Sasuke yang tidak menyerah. Dia buruk bila harus berurusan dengan kata-kata yang panjang, dan Sasuke tidak mempercayai dirinya sendiri untuk melakukan apapun dengan tangannya sekarang ini, tapi Sasuke bisa meminta maaf. Dan dia bisa melakukannya lagi, dan lagi, dan lagi. Dia bisa melakukannya, setelah kini dia tahu apa yang dulu terlewatkan olehnya; apa yang dulu tidak digenggamnya dengan lebih erat.

Bibir Sakura perlahan tertekuk dalam senyum samar. Agak sungkan dan agak tidak yakin memang, citraan senyum itu, tapi gadis itu tersenyum. Sakura menyentuh tangan kanan Sasuke, lalu menekannya, pelan—'aku di sini', gestur itu berbicara, 'aku di sini dan aku akan menemanimu mencoba'—sesuatu yang bertahan tidak lebih dari beberapa detik sebelum Sakura kembali sibuk dengan papan kayunya, tapi semua itu nyata.

Kali ini, Sasuke melihatnya. Juga, segala larik cahaya itu.

masih ada harapan.


tsuzuku.