Kim Seokjin menekan kombinasi kode pada interkom apartemennya, lalu membuka pintu cepat setelah bunyi 'pip' terdengar nyaring. Ia melepas sepasang sapatu hitamnya secara asal, melepas mantel dan menyampirkannya pada gantungan yang tersedia, lalu melangkah tergesa-gesa menuju ruang tengah.
"Taehyung?"
Hening.
Sepasang alis Seokjin bertautan.
Tidak ada, batinnya heran. Ia tidak melihat sosok Kim Taehyung di ruang tengah. Seokjin berjalan ke arah dapur, tetap kosong. Tentu saja, ia tahu dapur adalah tempat terlarang untuk kekasih pendeknya itu. Kalau begitu, mungkinkah ruang perpustakaan kecil mereka? Namun Seokjin harus berdecak sebal begitu pikirannya meleset. Tidak ada, ia tidak menemukan Taehyung di perpustakaan, tidak juga di ruang musik, termasuk tempat-tempat terpencil yang sering kali menjadi tempat persembunyian Taehyung.
"Kim Taehyung!" panggil Seokjin sekali lagi—nyaris berteriak. Ini bukan waktunya bercanda, ada sesuatu yang harus dibicarakannya bersama pemuda hiperaktif itu. "Kim—"
"Ne!" suara derap kaki saling bertumbukan, menimbulkan bunyi dentuman secara bergantian ketika meniti anak tangga. Disusul dengan figur seorang pemuda berkaos putih longgar yang dipadu celana jeans selutut. Helai rambut cokelat yang berantakan, binar mata mencari, dan ekspresi polos yang lebih mendekati kosong—blank (tak salah Seokjin memberinya julukan Blank Tae).
"Oh, Hyung sudah pulang?" sahut Taehyung ringan, ia melewati tiga anak tangga terakhir dengan satu kali loncatan tinggi hingga menyentuh lantai dasar (sungguh, Seokjin membenci kelakukan Taehyung yang satu itu. Ia selalu khawatir kekasih cerobohnya itu bisa tepeleset dan memecahkan kepalanya sendiri). "Aku tidak menyangka Hyung akan pulang secepat—"
"Kenapa tidak langsung menjawab panggilanku?"
Satu alis Taehyung terangkat. "Aku sedang berada di loteng, Hyung." jelasnya sabar, meski ia tak mengerti mengapa nada suara laki-laki tinggi di depannya itu terdengar sedikit gusar. "Jadi aku tidak mendengarmu."
Seokjin mendengus keras, mengacak rambutnya dengan asal, setelah itu memberi sentilan kecil tepat di kening Taehyung. Yang langsung menuai protes dari sang korban sambil mengaduh sakit.
"Hyung! Kenapa datang-datang selalu mencari masalah, sih?" keluh Taehyung tidak suka. Ia melengos tak peduli melewati Seokjin dan berjalan ke arah dapur, "kau selalu pulang dengan keadaan tergesa-gesa, atau panik, atau terlihat seperti baru saja dikejar hantu. Hyung juga pernah pulang dengan keadaan terengah-engah seperti habis berlari. Dan ketika kutanya ada apa, jawaban yang akan—"
"Taehyung, kau tidak apa-apa?"
Langkah Taehyung berhenti mendadak; statis. Satu tangannya yang bermaksud mengambil segelas air putih dari dispenser terhenti begitu saja. Ia menoleh perlahan, menatap Seokjin dengan tatapan bertanya dan kening berkerut samar. "Apa maksudmu, Hyung?"
"Kau baik-baik saja?" tanya Seokjin sekali lagi, meski terdengar menuntut dan tegas, namun nada cemas dan khawatirnya begitu kentara.
Taehyung mendengus geli, lalu tertawa renyah. "Pertanyaanmu aneh, Hyung. Aku ada di sini, itu berarti aku baik-baik saja."
"Bagaimana dengan pekerjaanmu?"
"Baik," jawab Taehyung singkat. "Pelanggan coffee shop mulai penuh akhir-akhir ini."
"Kau yakin?"
"Hm, hm,"
"Kau tidak membuat kecerobohan yang membuatmu kembali terluka?"
Taehyung menggeleng cepat. "Aku bukan anak kecil, Hyung."
Jeda sejenak, yang dilanjutkan dengan pertanyaan. "Termasuk luka baru yang berada di lengan kananmu?"
Taehyung membeku. Sekujur saraf di tubuhnya terasa kaku.
Mendadak, atmosfir di sekeliling mereka menjadi hening. Tegang. Juga berat.
"Itu …" Taehyung menggigit bibir bagian bawahnya ragu, ia mengusap lengan kanan bagian atasnya dengan tangan kiri secara pelan dan gemetar. Ada ringisan kecil yang keluar begitu ia mengusapnya terlalu cepat dan menimbulkan nyeri yang mendadak. "… sama sekali tidak perlu dikhawatir—ukh!" ia memekik spontan begitu Seokjin mencengkeram lengan kanannya tiba-tiba (Taehyung tidak tahu sejak kapan laki-laki itu sudah mendekat ke arahnya) dan menyeret langkahnya untuk berjalan hingga ke kamar tidur.
"Hyung, dengarkan aku—"
Tatapan mata Seokjin menajam tanpa aba-aba. Memberi tanda pada Taehyung untuk jangan membatantah. Sial, Kim Taehyung tidak pernah suka ketika kekasihnya itu sudah mulai bersikap mengatur dan tidak pernah ingin dibantah sekalipun.
Taehyung membiarkan Seokjin menuntunnya sampai berhenti di ujung ranjang dan memaksanya untuk duduk hanya dengan satu kali tekanan tepat di pundaknya. Mau tidak mau, Taehyung menurut. Terlebih ketika rasa sakit dan ngilu akibat tekanan yang diberika Seokjin tadi langsung melemahkan otot-ototnya cepat. Ia mengernyit, berusaha menyembunyikan ekspresi sakitnya agar Seokjin tidak sadar.
"Hyung, kenapa kau—ah! Itu sakit!"
Oh, terkutuklah kau, Kim Seokjin! Ia sungguh tidak menyangka laki-laki itu akan langsung menarik lengan kaosnya ke atas hingga menyentuh bahu dan melipatnya dengan kasar. Taehyung mengutuk habis-habisan dalam hati, terlebih ketika perban yang awalnya melingkar manis di sekitar lengannya terlepas tiba-tiba dan menampakan satu luka melintang yang menghiasi bagian epidermis dengan cairan kental berwarna merah cerah, berbau tembaga dan anyir. Mengundang ringisan kecil dari bibirnya. Menambah ketajaman mata Seokjin yang semakin mengerikan.
Taehyung tahu, sejak awal ia memang tidak bisa menyembuyikan luka seperti itu dari pengamatan teliti Kim Seokjin.
Seokjin membuka mulut, namun Taehyung menyela dengan cepat.
"Aku baik-baik saja, sungguh," ia menahan jemari ramping Seokjin ketika laki-laki itu berusaha menelusuri luka panjang yang melintang di sekitar lengannya. "Aku hanya terjatuh tadi. Dan aku sudah mengobatinya sampai darahnya berhenti, jadi aku tidak kekuarangan—"
"Taehyung—"
"Sungguh! Yoongi-hyung juga membantuku dan kebetulan sekali stock golongan darah AB sedang ada. Aku baik-baik saja, Hyung."
"Kau bohong."
Taehyung tertegun.
"Kau berbohong padaku, Kim Taehyung."
Pemuda berambut cokelat itu mengambil napas panjang, mengembuskannya perlahan, lalu memejamkan mata dengan erat. Kalau sudah begini, menghadapi sifat posesifnya Seokjin akan menjadi hal yang tersulit bagi Taehyung.
.
.
.
"Protector"
Disclaimer : kalo Taehyung sama Seokjin milik saya, udah saya nikahin mereka dari dulu.
Rated : T
Proudly present by Cakue-chan
.
.
[One : Kim Seokjin]
.
.
Suatu hari, Namjoon pernah bertanya; apa yang membuat Taehyung begitu berbeda di matanya? (Di mata Seokjin lebih spefisiknya).
Dan Seokjin menatap laki-laki tinggi itu dengan alis terangkat, mendengus kecil, lalu menepuk belakang kepala Namjoon dan berkata ia melakukannya karena memang harus dilakukan. Demi Kim Taehyung.
Awalnya Namjoon tidak mengerti apa maksud dari perkataan Seokjin saat itu. Yang semua orang tahu—dalam lingkar pertemanan mereka—seperti Namjoon sahabat Seokjin sedari kecil, atau Yoongi dokter pribadinya Taehyung, atau pun Jungkook salah satu rekan kerja Taehyung yang bekerja di sebuah coffee shop pun sadar, bahwa sikap yang sering kali ditujukannya kepada seorang Kim Taehyung sangatlah berbeda.
Seokjin terkenal dengan pribadinya yang tenang dan dewasa (meski ia menyukai warna merah muda), tetapi akan berubah panik begitu tahu Taehyung terjatuh, terpeleset, terkilir, terjerembab, bahkan tersandung kecil. Seokjin selalu merencanakan segala sesuatunya dengan matang dan pasti, seperti ia tahu kapan seharusnya Taehyung tidur dan berhenti beraktivitas, sampai mana batas kondisi tubuh Taehyung untuk bekerja—bahkan bermain dan bersenang-senang, dan hal-hal kecil agar Taehyung tidak diizinkan melakukan pekerjaan yang berat.
Untuk seorang dokter seperti Yoongi mungkin akan lebih cepat memahaminya, tapi untuk Namjoon dan Jungkook, mereka sempat dibuat melongo parah ketika melihat satu dari sekian sifat Seokjin yang di berada luar perangai aslinya. Dan sifat itu hanya muncul ketika berhadapan dengan seorang Kim Taehyung.
Pernah suatu kali Jungkook menemukan Taehyung terjatuh ketika mereka berada di dapur, hingga kecerobohan kecilnya itu memberikan luka kecil yang melintang di pergelangan kakinya. Tidak besar, tapi juga tidak terlalu kecil. Jungkook pikir semua itu akan baik-baik saja, ia pikir luka itu tidak terlalu parah dan akan mengering dalam beberapa jam jika diberi alkohol atau obat antiseptik. Namun, semua perkiraannya lenyap seketika begitu mendapati wajah Taehyung yang pucat pasi; layaknya mayat hidup. Keringat dingin bercucuran dan bibir gemetar hebat, menahan ngilu yang dirasakan.
Saat itu, hanya satu hal yang bisa Jungkook lakukan—entah karena refleks, entah karena Seokjin sudah memperingatinya lebih dulu—ia langsung meraih ponsel Taehyung dari loker, menekan tombol angka satu cukup lama, hingga sambungan telepon tersambung dengan nama 'Kim Seokjin' tertulis di layar. Tidak sampai deringan kedua, Seokjin langsung mengangkatnya dan menutupnya cepat begitu Jungkook memberitahu bagaimana kronologinya.
Laki-laki itu bisa tiba lima menit setelahnya, menghambur cepat ke arah dapur (beruntunglah ia mengenal baik si pemilik coffee shop tempat Taehyung bekerja, Hoseok namanya), dan terlihat kesetanan begitu ia mengangkat tubuh rapuh Taehyung yang semakin memprihantikan di kedua lengannya untuk dilarikan ke tempat Yoongi bekerja.
Sejak kejadian menegangkan itu, baik Jungkook atau pun Namjoon, termasuk Hoseok sendiri, mengetahui bahwa Kim Taehyung memang dilahirkan dalam keadaan spesial. Dan Kim Seokjin yang akan selalu berada di samping pemuda itu dalam keadaan apapun.
"Tidak apa-apa, Seokjin. Taehyung baik-baik saja, kau tidak perlu khawatir. Dia hanya terjatuh saat membuang sampah ke luar. Tangga gedung apartemen kalian terlalu licin, dan kau tahu benar Taehyung memang ceroboh dalam melangkah." Sahut suara di ujung sana, lewat earphone putih yang tersambung dengan ponsel dan tersemat manis di kedua telinga Seokjin. "Untung darahnya tidak terlalu banyak keluar, Taehyung juga sudah melakukan pertolongan pertama dengan baik sehingga dia bisa menahan lukanya ketika aku datang."
Seokjin mendesah lelah. "Syukurlah,"
"Kau tahu Taehyung begitu keras kepala, dia juga sempat merengek padaku tadi dan berkata dirinya bukan seorang bayi. Apalagi dia hampir saja tidak ingin meleponku kalau tidak ingat kau bisa saja marah."
"Hm, hm," gumam Seokjin menanggapi. Ia berderap dengan perlahan ke arah pintu kamar dan membukanya pelan. Mengawasi apakah sosok yang sedang dibicarakannya bersama Yoongi sudah terlelap atau belum. Taetae tidak akan berani melakukannya, pikir Seokjin dalam hati. Maksudnya, tidak menelepon Yoongi saat berada dalam keadaan darurat.
"Kondisinya juga cukup stabil, tekanan darahnya pun kembali normal," lanjut Yoogi sabar, ia memang selalu memberi informasi secara detail soal keadaan Taehyung. "Taehyung hanya butuh istirahat penuh dan tubuhnya akan kembali normal."
Taehyung sudah tidur, Seokjin menghela napas lega. Ia takut akan kejadian beberapa bulan yang lalu, ketika demam menyerang pemuda berambut cokelat itu dan membuat tidurnya tidak nyaman. Seokjin sampai harus mengecek keadaannya berulang kali.
"Dan Seokjin …"
Satu tangan Seokjin berhenti di udara ketika hendak menutup pintunya kembali.
"… jangan memarahinya lagi."
Kalimat jeda sejenak dari Yoongi itu membuat Seokjin tertegun.
"Taehyung sengaja tidak meneleponmu karena khawatir akan mengganggu pekerjaanmu. Dia hanya tidak ingin terlihat terlalu bergantung dan berpikir bisa melakukannya dengan mandiri. Mengertilah, Seokjin."
Sepasang alis Seokjin mengerut. "Aku tidak pernah memarahinya."
Yoongi mendengus kecil di ujung sana. "Katakan itu padanya langsung, Tuan Kim. Aku yakin seratus persen Taehyung akan mengamuk besar."
"Aku hanya menegurnya, Yoongi-ah."
"Tapi kau membuatnya takut."
Seokjin berdecak sebal. Baiklah, ia kalah.
Merasa tidak ada hal yang akan dibicarakan lagi, Yoongi mengakhiri panggilan malam itu dan meminta Seokjin untuk segera tidur, tidak lupa juga berpesan untuk mengawasi Taehyung baik-baik tapi tidak terlalu ketat. Terkadang laki-laki itu juga perlu memerhatikan dirinya sendiri sebelum terlalu cemas memikirkan orang lain. Meski dalam kamus seorang Kim Seokjin, menjaga keselamatan Taehyung berada di dalam daftar pertama sebelum dirinya sendiri.
Seokjin menghela napas—lagi, lalu mengembuskannya pelan.
Memastikan bahwa rasa cemasnya tidak berlebihan, ia kembali membuka pintu di kamar Taehyung hingga meninggalkan celah kecil untuk pandangan matanya, menatap satu tempat tidur yang terletak di ujung ruangan minimalis itu, dan mengamati lekat-lekat tubuh mungil berbalut selimut tebal dengan punggung menghadap langsung ke arahnya. Posisi Taehyung saat ini membelakanginya, sehingga Seokjin tidak bisa melihat bagaimana ekspresi tidur pemuda itu. (Seokjin selalu suka melihat ekspresi Taehyung saat tidur, bagaimana mata itu terpejam dan bibir terkadang mengerucut, mirip seperti bayi yang tidak berdosa).
Ia tidak berani masuk karena Seokjin tahu sekecil apapun suara yang dibuatnya (entah sengaja atau tidak), Taehyung akan terbangun dengan mudah. Well, pendengarannya memang bisa tajam kalau mau. Kelewat tajam—malah.
Lima menit. Jika Seokjin menghitung.
Hanya berdiri di ambang pintu kamar tidur Taehyung. Tidak bergerak atau beranjak sedikit pun. Matanya terlalu tajam dan fokus mengamati sosok tertidur yang dua tahun terakhir ini sudah dijaganya dengan sungguh-sungguh. Seokjin tahu Taehyung memang ceroboh, dan kecorobohan konyolnya itu bisa mendatangkan kematian sewaktu-waktu.
Omong-omong, dalam keadaan seperti ini, Seokjin jadi mengingat pernyataan Namjoon yang pernah dilontarkannya dulu. Jauh sebelum Namjoon tahu keadaan Taehyung yang sebenarnya.
'Apa yang membuat Taehyung begitu berbeda di matanya?'
Seokjin mendengus geli.
Ia menutup pelan—sangat pelan—pintu kamar Taehyung sampai benar-benar tertutup (ia tidak tega untuk menguncinya), menatap sejenak kayu berpelitur jati itu selama beberapa detik hingga setelahnya Seokjin mulai berjalan dari tempatnya berpijak. Mematikan televisi yang sebelumnya menyala, menaikkan suhu ruangan agar lebih hangat, setelah itu berderap lelah ke arah kamarnya sendiri bersama dengan pertanyaan-pertanyaan bodoh yang terlontar dari bibir Namjoon dan menghantui benaknya terus menerus.
'Apa yang membuat Taehyung begitu berbeda di matanya?'
Jawabannya mudah.
Karena Kim Taehyung itu dilahirkan dalam keadaan spesial, yang membuatnya harus selalu dijaga meski Taehyung sendiri terus membantah bahwa ia bisa menjaga dirinya sendiri. Bahwa ia tidak ingin dilihat seperti seorang wanita yang lemah. Bahwa ia seorang laki-laki mandiri. (Walapupun sebenarnya Seokjin bisa—atau mungkin lebih sering—menganggapnya angin lalu).
Dan yang lebih penting …
… karena Kim Seokjin mencintainya.
.
.
.
tbc
A/N : Err.. hai 8""D
saya gak tahan pengen ngetik cerita beginian, di mana Jin-nya itu bener-bener protektif banget sama V. Iya, emang, saya banyak hutang beberapa fic, tapi kebiasan saya dari dulu susah hilang, jadi ya... maafkan saya/bungkuk-bungkuk/ lagian juga, tema di fic ini agak ringan kayaknya. Gak terlalu berat.
Btw, terima kasih banyak buat : phihope, dira desfi, Deushiikkyungie, jeymint, 454, park minggi, SeseFujoshi Tabestry Syndrome (maaf saya mangkir lagi :"""D), dhantieee, chohyunsungie, hunaxx buat review di fanfic Coffee and I. Maaf gak bisa bales, ini koneksi internet semacam ngajak berantem 8"D
Dan makasih udah baca sampai akhir, mungkin ini berlanjut, tapi berlanjut dalam sudut pandang yang beda-beda. Dan main focus-nya tetep Taehyung. Daaah—oh, kotak review selalu terbuka kok~
