Harvest Moon More Friends of Mineral Town © Natsume Inc.

As Snow Falls © Ayaka Aoi

Warning! Alur datar, OOC, typos dan hal-hal yang tidak diinginkan lainnya.

_AsSnowFalls_

Claire POV

Salju turun lagi. Hal yang selalu kusenangi, namun juga membawa bencana untukku. Kulirik jam di tanganku. 18.15, sudah hampir sejam aku menunggu bis di halte depan sekolahku. Dan hingga kini belum ada satupun bis menuju rumahku yang lewat. Hari ini aku harus menyelesaikan tugas dahulu, karena itu aku pulang selarut ini.

"Uhuk...uhuk..."

Aku merapatkan syal di leherku, dan menggosok-gosokkan salah satu telapak tangan ke telapak tangan lainnya, meski aku juga sudah memakai sarung tangan. Berharap bisa merasakan hangat walau sedikit. Mengusap ke wajahku yang mulai terasa dingin.

Deg!

Kutolehkan wajahku ke belakang dan sekitarku. Sepi, tidak ada siapa-siapa. Hanya ada gapura gedung berukirkan tulisan "Mineral High School", dan salah satu ruangan di gedung itu yang masih menyala lampunya—tanda-tanda kehidupan. Di sini cuma ada aku. Sendiri. Dengan tatapan curiga dan penasaran aku melempar pandangan ke sekelilingku sekali lagi, aku merasa diawasi—seperti biasanya, tapi tetap tak ada siapa-siapa.

Tepat lima belas menit kemudian, bis yang kutunggu datang. Benar-benar sejam aku menunggu di halte dengan rasa was-was. Aku langsung naik dan merebahkan tubuhku di kursi penumpang. Menarik napas panjang dan lega bisa langsung menghangatkan diri.

Ya, aku tidak seberuntung anak-anak lainnya.

Normal POV

"Akhirnya dia pulang juga."

Siswa berpakaian putih itu mengalihkan pandangan dari jendela bertirai yang sedikit tersingkap. Menyandarkan kepalanya di kursi yang ia duduki, dan menarik napas panjang. Menatap buku-buku yang masih terbuka, kemudian bangkit membereskannya. Meletakkannya di laci meja, merapikan ruangannya seperti semula dan keluar dari ruang yang ia tempati yang di pintunya bertuliskan "Ruang OSIS". Mengunci ruang OSIS, pergi dan menghilang di ujung lorong sekolah.

_AsSnowFalls_

Pagi yang ramai di Mineral High School, meskipun beberapa menit yang lalu bel masuk baru saja berbunyi. Siswa-siswi yang terbagi dalam tiga tingkat dan kelas-kelas memasuki ruang kelasnya masing-masing.

2-C

Salah satu siswi berambut pirang itu duduk di baris kedua, bersama temannya yang dikepang satu. Masing-masing murid mengeluarkan buku pelajaran dan memulai kegiatan belajar-mengajar hari itu. Hari yang dingin dimana sedang turun salju lebat, tapi tak mampu mengalahkan semangat mereka yang giat menuntut ilmu, hingga waktu pelajaran usai.

"Claire, kita mau wawancara siapa nih untuk tugas Kewarganegaraan? Temanya demokrasi dan pemerintahan lagi, aduh. Paling payah di bidang seperti ini..." keluh siswi berkepang itu pada teman di sebelahnya.

"Jangan mudah menyerah begitu, Ann. Waktunya dua minggu kok. Hm, bagaimana kalau ketua OSIS saja? Setuju?" Claire mengedipkan sebelah mata. Ann menggangguk.

"Oke. Langsung saja kita wawancara sekarang!" Ann mengajak Claire dengan senyum andalannya. Claire hanya menggeleng.

"Jangan sekarang. Lebih baik kita tanyakan dulu kapan dia ada waktu luang. Jangan main serobot, kita kan yang meminta," ceramah Claire lebar. Ann hanya diam dan mengangguk, "kalau begitu kita tanya sekarang!" sambung Ann.

Ruang OSIS

Seseorang sibuk berkutat dengan lembaran-lembaran kertas dan juga pulpen yang ia genggam. Terdengar gerutuannya, "huh, aku ingin cepat-cepat lulus dari sini, tapi—"

Tok tok.

Gerutuan itu terputus dengan adanya suara yang berasal dari pintu kayu yang menjadi akses keluar-masuknya siapapun, tak perlu kujelaskan tentang hal itu.

"Permisi..."

"Masuk saja."

Claire memutar kenop pintu, membuka dan bersama Ann menapakkan kaki di ruang yang belum mereka masuki sebelumnya. Gray Frederick, itulah yang tertulis di tanda pengenal yang diletakkan di atas meja di ruang OSIS.

Ann memulai pembicaraan, "Maaf sebelumnya—"

"—langsung saja, ada perlu apa?" ucap Gray—ketua OSIS, tanpa mengalihkan pandangannya dari catatan-catatan yang sedang ia tulis. Beberapa buku bertumpuk di sebelahnya, menandakan ia sedang sibuk.

"Kami mau mewawancarai Kakak, jika Kakak ada waktu luang, kami siap kapan saja," kata Claire perlahan kepada Gray—kakak kelasnya dan juga ketua OSIS, supaya tidak terkesan memaksa.

"Wawancara a—" Perkataan Gray terhenti saat dia menatap siapa yang datang. Aquamarine mereka saling beradu. Desiran yang tidak asing, hanya terasa lebih hidup dan bergejolak.

"Ehm, maaf saya saat ini sedang sibuk. Silahkan Anda berdua meninggalkan tempat ini," Gray mengumpulkan semua kesadarannya, berusaha berwibawa dan setenang mungkin. Meskipun, ini pertama kalinya berbicara dan tatap muka langsung dengan seorang yang selalu ia amati dari kejauhan.

"Ah—tapi dapatkah Kakak tentukan dahulu waktu luangnya? Kami mohon dengan sangat," pinta Ann agak memelas. Selain tugas ini memang berpengaruh pada nilai kenaikan kelas, guru pengajar mereka juga terkenal galak. Gray menarik napas dalam-dalam.

"Saya bilang saya benar-benar tidak ada waktu. Masa jabatan saya sudah hampir habis, saya harus menyiapkan dokumen dan menulis laporan-laporan," sahut Gray sambil tenggelam dalam catatannya lagi, "terserah kalian saja, saya memang benar-benar sibuk," ucapnya datar tanpa ekspresi.

"Ah, baiklah kalau begitu, maaf sudah mengganggu. Saya akan selalu menunggu Kakak usai pulang sekolah, sampai Kakak ada waktu luang. Terima kasih Kak, permisi," pamit Claire sopan seraya menarik Ann keluar dari ruang OSIS. Pintu ruang OSIS sudah tertutup, Gray hanya terdiam dan menunduk, bukan mengamati catatan yang telah ia buat, tapi dia merenungi kata-kata yang baru saja ia lontarkan pada gadis yang selalu ia perhatikan diam-diam.

Sebuah buku tebal melayang menghantam pintu.

"Argh, bodoh!"

_AsSnowFalls_

Gray mengintip dari celah tirai jendela. Hal yang tak pernah absen ia lakukan.

Pastinya Gray juga bersyukur karena tidak ada yang pernah memergokinya melakukan hal aneh seperti ini.

"Kenapa dia masih ada disitu? Kau mau mati kedinginan, bodoh?" gumam Gray. Merutuki dirinya sendiri yang tak mampu mengambil keputusan yang tegas. Salju yang sudah turun sejak pagi tadi baru sekarang membuat Gray agak sedikit menggigil. Gray menaikkan suhu AC dan melanjutkan pekerjaannya yang hampir selesai. Jarum jam di dinding krem menunjukkan ke angka 5 tepat saat dia menyudahi pekerjaannya. Tirai berayun, sudah tak tampak lagi gadis yang berwarna mata senada dengan Gray.

"Syukurlah kalau dia sudah pulang," Gray menyunggingkan senyum—entah apa arti senyuman itu. Gray berjalan keluar dari ruang OSIS.

Gray POV

Kurapatkan jaketku dan mempercepat langkahku, karena dingin yang menusuk dan hari sudah mulai gelap. Entah kenapa perasaanku sedikit tidak tenang, maka itu aku ingin langsung cepat sampai rumah.

Melewati lorong yang sudah sepi, aku berjalan tegak menatap ke depan hingga sampai di gerbang sekolah. Menyalakan mesin motor, bersiap memakai helmku. Menarik gas dan menyusuri jalanan yang sepi dan aspal yang diselimuti salju tebal, membayangkan betapa lebat salju yang turun sedari pagi tadi dan merasakan dinginnya udara yang menyergapku.

Dari kejauhan sepasang mataku menangkap bayangan seseorang yang terduduk dan diterpa salju yang turun. Tampak diam tak bergerak.

Penasaran, perlahan aku menghentikan motorku dan mendekati sosok itu. Topi hangatnya terjatuh dan terkubur salju, yang juga menutupi sebagian tubuhnya. Tangannya yang memeluk tas—gemetar, rambut pirang panjangnya menutupi wajahnya. Nampaknya dia tak menyadari keberadaanku yang ada di dekatnya. Gadis itu menggumam pelan, "ka-kapan Kakak d-datang?"

"Hei, kau murid disini? Tidak pulang?" tanyaku. Hati-hati kusentuh pundaknya dan menyibakkan rambutnya yang bertabur salju.

"Claire?!" Matanya tertutup, bibirnya pucat menggigil. Entah apa yang sedang ia lakukan di sini.

"Ngh? Ah, Kakak da-datang juga..." ucapnya pelan seraya membuka mata perlahan, berusaha mengumpulkan kekuatan dan membuka buku yang ia pegang dengan napas tersengal-sengal, "Kak, a-aku—"

"—bodoh. Apa yang kau lakukan di sini?" dengan refleks aku mendekap gadis di depannya. Dia pasti kedinginan. Dapat kurasakan dingin tubuhnya merasuk melalui lapisan jaket dan menelusup ke celah pori-poriku, menembus daging hingga ke tulang. Aku tidak tahu apa yang dia pikirkan, dia benar-benar ingin mati dengan cara seperti ini?!

Tersentak karena menyadari apa yang barusan saja kulakukan, aku langsung melepaskan pelukanku. "Tubuhmu benar-benar dingin. Pakai jaketku. Ke rumahku saja, tak jauh dari sini." Kugenggam tangannya erat, supaya Claire mengikutiku dan tidak mencoba untuk melakukan hal bodoh lainnya. Ya, aku akan membawanya ke rumahku dulu.

Belum beberapa langkah, aku merasakan tubuhnya yang terbawa gravitasi. Dengan cepat aku menariknya untuk bersandar di bahuku supaya ia tidak terjatuh.

"Tch. Gadis...bodoh."

_AsSnowFalls_

To Be Continued

Multichap fic dengan pairing yang belum pernah saya buat, hehe~

Ini sebenarnya cuma coret-coretan lama saya, yang udah ga dilanjutin karena ga terlalu sreg sama karakter Gray. Tapi berhubung udah jarang posting disini akhirnya dirombak juga. *dipalu sama Gray & Gray's fans*

Hitung-hitung sebelum hiatus menjelang UN tahun ini dan berjuang untuk masuk PTN! Mohon doanya ya reader(s)! ^^ (padahal ga hiatus aja jarang nongol)

Tadinya hero disini bukan Gray, tapi Trent. Bosan dengan pairing Claire x Trent, dan juga sepertinya kurang pas dengan karakter Trent, akhirnya digantilah menjadi Gray! *disuntik mati sama Trent*

Umm, jadi maaf ya kalau karakternya jadi janggal atau gimana, dan saya juga ga bisa membawa reader ke situasi dalam fic... *sujud ke Gray & reader*

Sepertinya itu cukup, makasih untuk reader(s)! Masih newbie untuk pairing ini (sebenernya ga cuma di pairing ini doang sih), boleh minta penilaian, kritik dan saran di kolom review? :)