A Taste of Your Love

Chapter 1

.

Disclaimer : Masashi Kishimoto

Genre : Romance, Drama

Rated : T

Warning :

AU!, Typo(s), gaje

.

Present~

.

.

Namaku Yamanaka Ino. Mahasiswa semester 3. Usiaku 19. Aku memiliki hobi yang aneh dari kebanyakan mahasiswa perantauan, yaitu sangat suka berpindah tempat tinggal. Sejujurnya, tentu tidak mudah mengangkut barang ke sana kemari, tapi itu yang ku lakukan daripada mati kebosanan di tempat kumuh selama bertahun-tahun.

Kali ini aku menemukan satu tempat tinggal yang tidak terlalu kumuh, dan lumayan kondusif untuk belajar. Beberapa kali mungkin sempat ada keinginan untuk pindah lagi, karena mungkin yah... jiwa travelerku terpanggil untuk menginjakkan kaki di tempat baru.

Tapi begitu tatapanku terpaku pada seorang pemuda berseragam sma di depan kamar baruku, pikiranku menolak untuk pindah. Aku tidak ingin pindah.

.

.

A Taste of Your Love

.

.

Namanya Kiba. Pemuda berseragam sma yang sungguh tampan. Aku serius, karena dia benar-benar tampan dan tinggi. Sebenarnya, ada sesuatu dari dirinya yang menjadikannya bukan tipe pria idamanku. Tapi anehnya, aku tidak masalah dengan itu.

Aneh sekali bicara seperti ini.

Aku tidak mungkin kan jatuh cinta pada seseorang yang baru kulihat? Lebih anehnya lagi, dia masih sma. Aku jadi seperti tante-tante pedofil yang memangsa anak di bawah umur. Yah.. kami terpaut 3 tahun. Aku tahu usianya dari ibunya yang sering berbincang-bincang dengan ibu pemilik rumah yang aku tinggali.

Satu-satunya yang aneh adalah kehidupannya. Dia benar-benar menyedihkan. Dia anak yang selalu mendapat kekerasan dari orang tuanya. Aku turut sedih karena dia selalu kena marah, bahkan meski itu bukan kesalahannya sekalipun. Setahuku begitu.

Pertemuan pertama kami adalah satu minggu lalu, ketika itu aku hendak berangkat kuliah dan tanpa sengaja mendapati dirinya yang entah sedang melakukan apa pada sepedanya. Dia menatapku lekat-lekat hingga rasanya aku kikuk sendiri. Hanya sebatas itu. Kami tidak saling menyapa. Hanya ku lihat dia tersenyum tipis sebentar.

.

.

.

Beberapa hari setelah pertemuan pertama kami, hari-hariku menjadi aneh. Tidak, bukan dia yang tiba-tiba muncul di kampusku. Dia hanya sering duduk di depan rumahnya ketika aku pulang sore. Apa yang ku maksud aneh di sini adalah dia tidak mungkin punya waktu seluang itu untuk sekedar duduk-duduk santai, ketika ibunya selalu memintanya ikut menjaga toko kelontong sampai malam.

Dan hari ini adalah puncak keanehannya.

"Hai," Dia menyapaku.

"Oh, hai?" Aku menjawabnya tanpa sadar.

"Kamu terlihat pucat sejak tadi pagi, kamu sakit?" Anak itu bicara padaku.

"Aku? Kamu lihat aku sejak pagi?"

"Oh, i-iya. Aku memperhatikanmu sejak pagi sudah berjalan sempoyongan. Aku pikir kamu sakit."

Aku tersenyum tipis. "Tidak, aku hanya kelelahan. Setelah tidur sebentar aku pasti sembuh."

"Mau ku antar sampai ke dalam?"

"Tidak usah, terima kasih." Aku tersenyum kikuk, dia juga sama halnya, hanya memperhatikan langkahku yang tidak tegak.

.

.

.

Malam hari aku baru pulang, kebetulan aku terpilih menjadi panitia masa orientasi mahasiswa. Mau tidak mau keseharianku menjadi begini. Pergi pagi-pagi sekali, pulang larut malam. Di pertigaan menuju tempat tinggalku, kepalaku rasanya berat sekali hingga hampir menabrak tiang listrik, namun entah mengapa begitu sudah menutup mata karena kupikir benar-benar menghantam tiang, aku tidak merasakan apa-apa selain tubuhku yang ditarik ke belakang.

Aku berakhir di pelukan seseorang.

"Sudah kubilang kamu sakit."

Mataku terbuka lebar mendapati Kiba memelukku. Aku segera menjauh.

"Sedang apa kamu di sini? Atau jangan-jangan kamu mengikutiku?"

"Aku memperhatikanmu sejak tadi," Katanya kalem.

"Baiklah, kamu tidak perlu memperhatikanku lagi. Aku rasa kita tidak cukup dekat hingga kamu harus memperhatikanku seperti ini."

Aku sudah hampir berjalan lagi, tapi tidak jadi ketika Kiba menahan lenganku.

"Kamu perlu ke rumah sakit, aku antar."

Huft, aku tidak bisa bilang tidak.

.

.

.

Dan di sinilah kami, dengan aku yang tersenyum kecut dan dia yang cekikikan geli.

"Kubilang apa? Dokter saja bilang aku hanya kelelahan. Aku panitia orientasi mahasiswa, aku sangat-sangat lelah."

"Kalau begitu berhenti jadi panitia ospek."

"Tidak bisa, rasa lelahku nantinya terbayar dengan acara yang sukses. Kalau aku berhenti sekarang, mungkin aku akan menyesal karena tidak bisa ikut di hari H."

Kiba hanya tersenyum sambil mengangguk paham. Aku hanya berharap dia tidak kena marah ibunya saat pulang nanti.

.

.

.

Pagi-pagi sekali aku berangkat ke kampus, tentunya masih bersama urusan kepanitiaan orientasi mahasiswa. Harusnya hari ini berjalan lancar, apalagi pagi masih sepi. Tapi nyatanya tidak, dan aku yakin hanya aku dan Tuhan yang tahu alasannya. Kiba berjalan di belakangku, dia sudah mengenakan seragam dan menggendong tas.

"Kamu berangkat sekolah jam setengah enam?"

Suara langkah kaki di belakangku mendadak berhenti. Aku ikut berhenti dan membalik badan. Kiba nampak terkejut.

"Jangan kira aku tidak tahu kamu berjalan di belakangku sejak tadi."

Kiba hanya menggaruk kepala.

"Jadi, kau benar-benar berangkat jam setengah enam?"

Kiba hanya diam.

"Kita bisa berangkat bersama kalau begitu, aku bisa menemanimu di halte sampai busmu datang."

Ku lanjutkan langkah, mengabaikan Yuda yang tiba-tiba berjalan tersendat.

.

.

.

Satu minggu terlewati dan ospek sudah berakhir dengan lancar. Aku masih berangkat pagi seperti biasa. Memang kepanitiaan sudah berakhir, tapi rasanya jadi aneh kalau berangkat kuliah terlalu siang. Lagipula, aku bisa bersantai dulu sambil membuka buku di taman kampus. Tapi lagi-lagi hal seperti ini terjadi.

Jadi, sejak pertama kali aku mendapati Kiba membuntutiku, dia terus melakukannya selama satu minggu ini. Karena aku tidak suka menjadi seseorang yang pura-pura tidak tahu, maka aku selalu memintanya untuk sekalian berjalan bersama saja, dan aku akan selalu menemaninya menunggu bus, dan setelahnya aku tinggal menyeberang jalan menuju kampusku.

Kiba hanya bicara beberapa kali padaku selama satu minggu itu, dan aku tidak pernah mencoba bertanya kenapa ia jarang bicara. Karena hanya dengan melihatnya tersenyum saat aku memintanya jalan bersama saja, sudah membuatku tahu bahwa dia juga memiliki perasaan yang sama denganku.

Bukan main.

Aku melakukan pendekatan dengan anak sma.

.

.

.

Aku kasihan padanya, itulah alasan pertama mengapa aku jadi sering menatapnya dari kejauhan. Tapi apa yang bisa ku lakukan seandainya dia menyatakan cinta padaku di halte bus? Apakah dia benar-benar jatuh cinta hanya karena aku sering memintanya berjalan bersama? Apakah dia merasa aku memperhatikannya selama ini?

"Sejak kamu pindah ke sini, ada yang aneh dengan perasaanku. Aku tidak tahu kenapa, tapi aku langsung merasa baikan ketika mengikutimu tiap pagi."

Itulah yang dia ungkapkan di halte bus yang sepi. Ketika itu dia bahkan membelai pipiku, hampir mendekatkan wajah kami yang sudah akrab kurang lebih satu bulan ini. Hanya saja aku menekan dahinya dengan telunjukku, membuatnya menjauh.

Dia menatapku bingung.

"Kamu butuh waktu untuk yang satu ini," Kataku sambil menyentuh bibirnya.

Dia tersenyum, kemudian menggenggam erat tanganku tepat ketika busnya datang.

TBC

A/N : KibaIno lovers, mari merapat. :)

Saya lebih sering nulis cerita Gaahina fluffy, tapi di sini saya niatnya mau naikin ratenya dikit (based on Ino's personality, saya rasa dia cocok dengan adegan yang lebih nganu) *dasar hina*.

Jadi, maafkan kalau nanti di chapter selanjutnya dan selanjutnya ada banyak alur atau scene yang membuat reader tidak berkenan. Aku masih newbie soalnya. :(

See you on next chapter~

Tapi ingetin saya buat apdet yak kalo memang pengen cerita ini lanjut. Kalau enggak berkenan, bisa saya unpublish kok. Gampang.