For the ones who dream of stranger worlds.
Take my hand.
0o0o0
Jika ada sesuatu yang Peter cintai setengah mati di dunia ini, itu pasti adalah ranjangnya. Ukurannya besar, membuat Peter bisa bergulingan kesana-kemari sepanjang malam tanpa harus khawatir terjatuh-meski pernah juga pernah sekali-dua kali dia harus mengerang kesakitan di malam buta karena cara tidurnya yang sangat hiperaktif. Sprei pelapisnya begitu halus, dipenuhi oleh berbagai warna laut yang sangat boyish. Jangan lupakan juga posisinya yang berada di dekat jendela, dimana Peter bisa menghirup aroma petrichor setiap hujan turun, atau merasakan hangat matahari membakar wajahnya.
Seperti saat ini.
Eh, tunggu. Apa tadi? Panas matahari?!
Secepat kilat, kedua mata Peter yang terpejam langsung terbuka. Dari sela gorden, terlihat matahari di luar sana sudah meninggi. Cahayanya yang hangat mapu menerobos celah, menciptakan garis terang dalam kamar Peter yang gelap-cahaya itu juga yang tadi mengenai wajahnya. Peter melirik pada satu arah, langsung melotot panik saat melihat angka yang ditunjukkan oleh jam digital di atas nakas samping tempat tidurnya.
Ini sudah jam 6.30 pagi.
Kurang dramatis? Oke. Biar Peter mengulangi.
INI SUDAH JAM 6.30 PAGI DAN SEKOLAHNYA DIMULAI PUKUL TUJUH TEPAT!
Hetalia Axis Power © Himaruya Hidekazu
Noir © Renita Nozaria
Saya tidak mengambil keuntungan apapun dalam pembuatan fanfiksi ini. Ini murni ide saya dan beberapa naskah yang saya ubah sedikit dari wattpad-nya kak Renita.
Dengan histeris, Peter berlari keluar kamar, hanya untuk berhenti di depan empat pintu yang tertutup di lantai bawah. Meski serupa, empat pintu itu tak sama. Pintu yang pertama adalah pintu kamar Allistor-kakak tertuanya. Pintu kamar Allistor tertempeli oleh berbagai macam sticker dari sejumlah negara hingga hiasan-hiasan gantung yang berbentuk naga. Khas dirinya. Sekali lihat, siapapun bisa menyimpulkan jika Allistor adalah pribadi super gaul khas anak-anak hits ibukota. Pintu kedua adalah pintu kamar Ian-kakak keduanya. Pintu kamar Ian tidak seramai pintu kamar Allistor meski banyak ditempeli oleh berbagai bentuk yang berkaitan dengan organisasi pecinta alam hingga sticker departemen dan himpunan mahasiswa yang pernah dia pimpin. Dari tampilan pintu kamarnya, sudah bisa tertebak jika Ian adalah mahasiswa organisatoris siper aktif dengan indeks prestasi setinggi langit. Pintu ketiga adalah kamar Dylan-kakak ketiganya. Pintu kamar itu bersih. Hanya ada satu tanda tergantung di muka pintu dalam huruf yang semuanya kapital:
DILARANG MASUK TANPA IZIN
(kecuali Peter)
Sedangkan pintu keempat adalah pintu kamar Arthur-kakak keempatnya. Pintu kamar itu dipenuhi oleh sticker berbau magic dan sebagainya. Dengan tambahan sebuah tanda yang tergantung sama seperti milik Dylan, Ian, dan Allistor.
Berpikir sebentar, akhirnya Peter memutuskan untuk mendorong pintu kamar Allistor keras-keras, tak lupa ditingkahi teriakan.
"ABANG! AKU TELAT! KOK NGGAK DIBANGUNIN-" ucapan Peter tidak terteruskan, karena bocah itu keburu dibuat tertegun saat melihat apa yang ada di hadapannya. Allistor terlonjak dari tempat tidur, membuat selimutnya turun higga ke perut. Di sampingnya, seorang gadis yang Peter duga kuat tidak sedang mengenakan pakaian terbaring, menggeliat karena terganggu oleh suara teriakannya yang mampu mengalahkan lonceng gereja, bahkan toa masjid di dekat rumah mereka.
"Peter!" Allistor berseru tertahan, sementara Peter langsung memalingkan muka untuk menghindari zina mata-bukan, bukan zina mata karena melihat perut kotak-kotak mlik abang tertuanya, tapi zina mata karena melihat potongan adegan film porno yang kini terjadi nyata di depan matanya. "-kamu kenapa nggak ketok dulu?" Allistor merendahkan suaranya dengan salah tingkah.
"Lagian, abang kenapa bawa cewek lagi ke rumah?!" Peter mendesis keras, matanya menyipit sebal. Dia sudah pasti akan mengomeli Allistor dengan penuh semangat jika dia tidak ingat dia hanya punya kurang dari tiga puluh menit untuk muncul di sekolah tanpa terlambat, jadi bocah itu hanya menunjuk kakak tertuanya dengan wajah penuh mengancam. "Awas! Pokonya hari ini abang nggak boleh kemana-mana! Kita harus ngomong begitu aku pulang sekolah! Kalau abang kabur, aku aduin abang ke ayah biar sekalian abang dikirim ke Zimbabwe!"
Allistor meneguk ludah, tangannya langsung terulur seperti hendak menahan kepergian adik bungsunya, tapi percuma karena Peter sudah berlari tergesa pada pintu berikutnya-yang tidak lain dan tidak bukan adalah pintu kamar Ian.
"ABANG!"
Berbanding terbalik dengan situasi di kamar Allistor, kamar Ian luar biasa tenang, meski sangat bernatakan. Buku-buku bergelimpangan di lantai dan di atas ranjang, sementara sang pemilik kamar tengah terlelap dengan kepala tergeletak di atas keyboard laptop yang masih menyala. Peter berdecak, mendengus frustasi sebelum akhirnya memutuskan beralih ke kamar Dylan. Kalau Ian sudah tidur seperti itu, hujan badai maha dahsyat pun tidak akan dapat membangunkannya.
Ia mendapati abangnya sedang tidur dengan sangat nyaman di tempat tidurnya. Jujur, Dylan dan Ian memiliki kesamaan yang beragam. Contohnya dalam hal tidur. Mereka sangat sulit untuk dibangunkan. Dan pada akhirnya, Peter beralih ke kamar Arthur.
Namun kamar Arthur kosong. Alih-alih Arthur, Peter justru disambut oleh sosok astral yang kini sibuk nongkrong di atas lemari. Sosok itu adalah seorang gadis berumur delapan belas tahun dan hobi cekikikan hampir setiap waktu. Peter menamainya Kira. Kira telah lama tinggal di rumah mereka, bahkan sejak Peter masih SD dan ayah masih ada, namun Peter tidak pernah menceritakannya pada siapapun-kecuali Arthur, yang dengan hebatnya mengetahui sosok tersebut. Selain itu, Kira juga sepakat dia tidak akan mengganggu siapapun di rumah selama dia diizinkan tinggal di kamar Arthur-cowok yang menurutnya sudah akan dia tarik ke kantor urusan agama seandainya saja dia masih manusia.
"Lihat abang gue nggak?"
Kira memberi rengutan. "My baby nggak pulang semalaman. Enggak tau kemana." Lalu, dia meneruskan dengan wajah nakal. "Sayang banget, hari ini aku nggak bisa nontonin my baby mandi kayak biasanya."
Sambil mengerutkan hidungnya dengan jengah, Peter berbalik dan membanting pintu kamar Arthur. Satu alasan lagi kenapa Peter tidak pernah menyinggung tentang keberadaan Kira, terutama kamar Arthur yang telah jadi markas besarnya selama beberapa tahun terakhir adalah karena gadis itu tidak sanggup menghadapi reaksi yang akan Arthur berikan-walaupun pemuda itu dapat melihat Kira. Cowok itu pasti akan langsung histeris jika tahu kalau setiap hari selama enam tahun terakhir, ada sesosok hantu yang bersetia mengintipnya dan mengagumi setiap jengkal tubuhnya saat dia mandi.
Rasa jengah pada kelakuan Kira langsung terganti begitu Peter keluar dari kamar, dan jam besar menyapanya. Alamak! Bagaimana bisa waktu berlalu begitu cepat?! Kini Peter hanya punya kurang dari dua puluh menit. Spontan, Peter langsung memekik keras-keras, merasa tidak adil karena kedua abangnya tampak bersenag-senang sementara dia disekap oleh rasa khawatir akan jadi pesakitan di ruang guru piket hari ini.
"ABANG!" jeritnya, dengan tingkat kekuatan suara yang punya potensi menewaskan satu legiun iblis.
Tindakannya berhasil, karena beberapa saat kemudian dua pintu kamar itu langsung menjeblak terbuka pada saat hampi bersamaan. Allistor berdiri di ambang pintu yang satu, hanya mengenakan bokser, Peter berdecak, menyadari bagaimana abangnya lebih mirip bintang iklan Calvin Klein daripada orang yang baru bangun tidur. Pada muka pintu yang lain, Ian berdiri. Rambutnya yang gelap jatuh dikeningnya. Ada garis hitam dibawah matanya, tanda bagaimana dia mugkin hanya mendapatkan beberapa jam waktu tidur. "Kenapa?" ian bertanya, menatap adiknya dengan panik. "Kamu sakit? Jatuh? Kasih tau abang!" "AKU TELAT TAU GAK SIH?! KENAPA KALIAN GAK ADA YANG BANGUNIN AKU?! YANG ABANG LAKUKAN SAMA AKU ITU JAHAT TAU GAK SIH?! ABANG NGGAK TAU KAN GIMANA GALAKNYA SANG PENCABUT NYAWA PENUNGGU RUANG PIKET SEKOLAHKU?! ARGH, AKU BENCI ABANG!"
Allistor dan Ian saling berpandang dengan takjub. Pertama, karena mereka tidak mengerti bagaimana sosok bocah semungil adik bungsu mereka punya suara yang mampu menggetarkan dunia. Kedua, karena mereka tidak mengerti Peter bicara apa. Ketiga, tugas membangunkan, memasakan sarapan, dan mengantar Peter ke sekolahnya semuanya adalah wewenang Arthur. "Emang Arthur kemana?" Ian iseng bertanya.
"YA MANA AKU TAU?! KENAPA JUGA SIH ABANG-ABANG TERTUA GAK PERNAH NYADAR, APA-APA TUH DIBEBANKAN KE ABANG ARTHUR?! ABANG ARTHUR JUGA MANUSIA, TAU! ABANG ARTHUR JUGA BISA CAPEK!"
Ian langsung kicep. Oke, dia salah bertanya.
"Ya udah," Allistor membalas tanpa berpikir. "Hari ini kamu bolos aja."
Peter tidak menjawab. Tapi bocah itu langsung melepas sandal rumah berbentuk ikan yang dia pakai, lantas melemparnya ke arah Allistor. Otomatis, Allistor langsung menghindar dengan gesit, membuat rengutan Peter kian memanjang.
"Kalian semua nggak berguna!" Peter berseru kesal sambil menghentakkan kaki sebelum berlari menapaki tangga, kembali ke kamarnya untuk entah untuk tujuan apa.
"Apa katanya tadi?" Ian bertanya. "Kita nggak berguna?"
Allistor mengusap rahangnya pelan. "Adikku bukan adikku yang dulu lagi."
"Najis."
"Anterin Peter ke sekolah dong, Yan!" Allistor berujar. "Sekalian lo rayu tuh guru piketnya sekali-dua kali kedip lemes dah tuh guru."
"Ogah. Lo denger apa kata Peter? Mana tanggung jawab lo sebagai kakak paling tua?" Ian membalas tidak mau kalah. "Gue masih ada urusan. Gara-gara lo sibuk perang desah semalem, gue nggak bisa belajar!" tanpa menunggu jawaban Allistor, Ian kembali masuk ke kamar diikuti bantingan pintu.
Allistor menyentakkan kepala, lalu ujarnya, "Piiiipiiii?" sengaja dia memanggil Peter dengan sebutan versi imut.
Peter menjawab dari lantai atas, "Apa?"
"Kamu bolos aja ya hari ini?"
"BODOOOO!"
"Abang anggep itu jawaban 'iya'"
Peter mendengus keras, berusaha mati-matian untuk tak melemparkan dirinya melalui balkon. Dari empat abangnya yang bisa sebuas raja hutan, jika diperlukan, satu-satunya yang dapat diandalkan hanya Arthur. Sayangnya, kini Arthur tidak sedang berada di rumah, entah karena urusan apa. Peter menghela nafas panjang, mencoba menenangkan diri. Dan satu hal yang Peter sadari, Dylan belum juga terbangun. Ia dikesekian kalinya menghela nafas. Dylan memang nggak gampang buat dibangunin. Dan, bolos sekolah satu hari akan mengubahnya jadi idiot-karena sebetulnya, dia juga bukan siswa yang pintar-pintar amat.
Namun, mendadak satu pesan baru masuk dari teman sekelasnya. Dan itu mengubah segalanya.
From: Jason
Peter, udah belajar buat ulangan matematika hari ini?
Mendadak, Peter ingin sarapan jus baygon.
A/n: Baru prolog.
Chap 1 nya ditunggu aja kalo Kira bener-bener mood :v *dibalang*
Dah.
Sekian.
(Btw, ini fic baru Kira kerjain. Kuulangi. INI BARU AKU KERJAIN DAN UDAH DAPET SEGINI BANYAK?! Mohon maaf, bagi yang punya wattpad, terus udah baca ceritanya Kak Renita yang berjudul 'Noir', Kira minta maaf banget. Ini aslinya pake ide sendiri, yang entah kenapa, malah nyerempet sama kayak gitu. Tapi, bagi yang belum baca, Kira kasih bocorannya disini, walaupun versinya Hetalia = =a)
Give me your review, and don't flame at my work! Kira nulis Cuma buat hiburan, hiburan biar ada kerjaan (selama saya udah nggak masuk sekolah :'v) dan hiburan buat nunggu waktu buka. Oh ya, untuk fanfic-ku yang 'Truth or Dare with Hetalian and NCT' belum bisa kulanjut, idenya ngadat, dan malah bikin yang baru :v *dihajar massa*
-Kiracchi.
