PROLOG

"Aku hanya ingin kau tahu, tadi it―"

"Iya, aku sudah tahu." potongku cepat. Aku mencoba untuk tenang disaat laki-laki ini terus saja mengejarku dengan rentetan penjelasannya yang bahkan sama sekali tidak aku butuhkan.

Untuk apa, coba? Aku sudah melihatnya dengan mata kepalaku sendiri. Dan aku lebih mempercayai apa yang aku lihat dibanding apa yang dijelaskan berkali-kali oleh laki-laki ini.

Ia terlihat jengah. Ia menghela napas beberapa kali dengan lelah sebelum akhirnya menyerah. "Baiklah kalau itu maumu." ujarnya pelan. "Kita akhiri saja hubungan ini." lanjutnya dengan tundukan kepala di akhir kalimat.

Aku menahan napas, lalu mengiyakan keputusan bulat itu. Mengapa tak kau pertahankan aku saja kalau sebelumnya kau terus mengejarku untuk menjelaskan semuanya?

Hari itu, tepat saat hari ulang tahun ku, kami berpisah. Berpisah karena ternyata dia mengkhianati hubungan yang sering aku pertahankan sedari dulu. Berpisah karena ternyata aku bukanlah satu-satunya perempuan yang berada di dalam hatinya. Dan berpisah karena aku yang telah lelah dengan semua kalimat pembualnya.

Sungguh. Sebenarnya ini bukan mauku. Tapi harus bagaimana lagi? Dia saja sudah berpaling dengan yang lain. Lalu untuk apa aku masih mempertahankannya?

Aku menghembuskan napas dengan keras begitu sosoknya sudah tak terlihat lagi di jarak pandangku. Aku sadar bahwa sedari tadi aku menahan napas berkali-kali. Lalu aku juga sadar bahwa sedari tadi aku menahan sakit yang mendera dadaku karena berakhirnya hubungan kami. Tapi kembali lagi pada diriku sendiri. Untuk apa aku masih mempertahankan orang yang telah jatuh cinta pada orang lain?

Aku berbalik, dan merasa tubuhku melemas. Aku mencoba untuk menguatkan diri dengan menggigit bibir bawah dan mengepalkan kedua tanganku. Namun hasilnya adalah nihil. Aku hampir limbung kalau saja seseorang tidak menahan kedua pundakku.

Ya, aku hampir jatuh ke lantai kalau saja laki-laki ini tidak datang dan tidak segera menahan tubuhku. Ia menuntunku dengan pelan untuk duduk di salah satu bangku terdekat.

"Apa kau baik-baik saja?" tanyanya cemas. Aku tidak mengenalnya karena wajah laki-laki ini begitu asing. Aku mengangguk pelan, dan laki-laki ini terlihat menghembuskan napas lega. "Syukurlah kau baik-baik saja. Lain kali kalau dapat kuliah pagi, sarapan dulu."

Segera aku menoleh padanya dan menatapnya tidak mengerti. Laki-laki itu terkekeh kecil karena melihat ekspresiku, mungkin.

"Ya sudah. Aku pergi." katanya. Dan setelah itu, ia benar-benar pergi.

Aku masih menatap punggungnya yang menjauh dari sini. Laki-laki asing tadi benar-benar aneh. Apa katanya tadi? Sarapan dulu sebelum masuk kuliah pagi?

Oh. Lucu sekali. Aku mendengus kecil karenanya.

Gravity

by gerinee

"Something always brings me back to you
It never takes too long…"
Gravity – Sara Bareilles

"Halo?"

"Hei, Luhan. Sekarang kau ada di mana? Kenapa tak masuk kuliah?"

Aku mengerutkan kening. Suara perempuan yang baru saja aku dengar lewat ponsel itu membuatku merasa pening sebentar. Setelah membersit hidung sejenak, aku menjawab, "Di kamar. Kenapa?"

"Eh, kau menangis?" tanyanya. Sedikit panik karena setelah itu aku mendengar rentetan pertanyaan yang mirip dengan pertanyaan yang dilontarkan ibu semalam. "Kenapa kau menangis? Hei, apa yang baru saja terjadi padamu? Kau baik-baik saja? Ataukah sesuatu yang terjadi telah membuatmu tertekan?"

Aku tersenyum kecil. Senang karena ternyata, selain ibuku, masih ada teman yang bisa mengkhawatirkanku seperti ini. "Aku baru saja putus dari Yifan, Baekhyun."

"Apa?" Baekhyun berteriak kaget di seberang sana. Membuatku harus menjauhkan ponsel dari telinga karenanya. "Apa kau bilang? Putus? Kapan? Kenapa putus?" tanyanya beruntun lagi.

"Kemarin. Yifan selingkuh." ujarku singkat, dengan suara getir pula. Aku yakin sebentar lagi aku menangis kembali karena memori yang sudah ingin aku buang, malah mampir lagi. Menghantu-hantuiku karena ternyata Yifan lah laki-laki yang aku cintai selama ini.

"Astaga…" suara Baekhyun terdengar melembut, cemas bercampur tak percaya. "Aku tak menyangka jika dia melakukan hal semacam itu padamu. Padahal aku kira hubungan kalian baik-baik saja."

Aku tersenyum pahit. "Aku juga sama sepertimu, Baekhyun. Sama sekali tak menyangka, juga sama sekali tak mengira." ujarku bergetar. Lalu aku merasa mataku memanas dan hidungku kegelian. Aku terisak kecil dan berusaha untuk mencegahnya karena Baekhyun masih menelpon.

Aku tak ingin Baekhyun tahu kalau aku benar-benar sedih karena berakhirnya hubunganku dengan Yifan. Namun sepertinya sia-sia saja karena baru saja Baekhyun mendengar isakanku.

"Luhan, berhentilah menangisinya." katanya. Aku menggeleng, tak menjawab. "Aku yakin kau bisa melupakannya secepat kau mengakhiri hubungan kalian."

Kau mengatakannya dengan mudah sama seperti kau menghirup oksigen, Baekhyun. Padahal yang mendengarkan saja sudah seperti kehabisan oksigen karena memikirkan hal-hal yang harus dilakukan untuk melupakan semuanya.

"Jadi sekarang kau ada di rumah? Aku bisa ke rumahmu kan? Aku akan menghiburmu."

"Ya." Aku mengangguk. "Cepatlah kemari." lanjutku sebelum menutup panggilan secara sepihak. Kemudian aku melempar asal ponselku masih dalam kawasan tempat tidur. Aku meringkuk lagi, menangis lagi, dan lagi-lagi aku merasa begitu bodoh.

Mengapa aku mudah sekali dibodohi laki-laki yang selama ini aku cintai?

Rasanya begitu sakit. Bagaimana tidak? Kau mencintai seseorang, namun seseorang yang kau cintai selama ini mengkhianatimu. Tahu sendiri lah rasa sakitnya seperti apa. Apalagi yang menjadi perempuan lain yang spesial di hati laki-lakimu adalah temanmu sendiri.

Iya, Yifan memang selingkuh dengan temanku yang lain. Ia perempuan yang cantik, polos, dan lebih banyak diam daripada aku. Sebetulnya aku sudah curiga tentang mereka yang dekat sebelum hubungan kami berakhir begitu saja tepat saat umurku menginjak usia dua puluh tahun. Mereka dekat, seperti dua orang yang sedang menjalin hubungan lebih dari sekedar pertemanan. Namun saat itu aku mencoba untuk berpikir positif. Setidaknya aku masih bisa mempertahankan hubungan kami.

Namun kemarin itu kejadiannya sama sekali tidak bisa aku duga. Aku memergoki mereka sedang bicara satu sama lain di pojok ruang kelas. Mereka terlihat sangat serius. Teman-teman yang lain sedang asyik bercanda di ruang kelas, sedangkan mereka bicara berdua di pojok kelas. Aku ingin mengajak mereka bergabung dengan yang lain. Tapi aku malah mendengar fakta lain yang mengejutkanku. Tanpa sengaja aku mendengar Yifan mengatakan, "Iya, aku tahu. Aku mencintaimu dan aku masih belum bisa melepas Luhan." saat aku hendak menghampiri mereka.

Sungguh aku marah sekali. Aku… Aku tak tahu harus melakukan apa selain berlari keluar kelas ketika sadar bahwa Yifan mengetahui kehadiranku diantara perbincangan mereka.

Aku telah melihat mereka berdua dengan mata kepalaku sendiri. Aku juga sudah mendengarnya langsung dari bibir Yifan sendiri bahwa ternyata ia mencintai perempuan lain. Lalu apa yang harus dibuktikannya bahwa semua itu salah?

Ah, sudahlah. Tidak baik juga mengingat-ingat masa lalu yang buruk. Tidak baik pula menangisnya terus-menerus. Tidak ada gunanya sama sekali. Ia sudah bahagia bersama perempuan lain. Dan aku harus bisa membuktikan bahwa aku juga bisa lebih bahagia daripada Yifan.

Aku memang berpikiran semacam itu sedari tadi. Tapi yang ada hanyalah air mata yang terus turun membasahi pipiku. Aku sama sekali tidak bisa berhenti menangis. Karena disinilah aku, meringkuk di tempat tidur untuk menjilati luka-luka di hatiku, dan menunggu Baekhyun datang kesini.



Let him go. Setidaknya itu sudah terpaku di hati dan otak ku setelah kemarin Baekhyun menceramahi dan menasehatiku sampai aku merasa mengantuk. Ampuh sekali perempuan cerewet itu, betah juga bicara panjang lebar sampai dua jam lebih. Aku yang seharusnya mendapat hiburan berupa lawakan seperti biasa, malah mendapat 'cerita dongeng' gratis darinya.

Aku menarik dan menghembuskan napas dengan pelan. Melihat pantulan diriku di cermin pagi ini, membuatku takut untuk tersenyum. Lihatlah sosok Luhan yang berada di sana. Ia masih rapi seperti biasa, masih dengan rambut yang sering ia kucir kuda seperti biasa. Masih seperti itu. Hanya saja mata berair dan kantung mata yang terlihat jelas itu yang membuatku terlihat mengerikan. Seharian menangis membuat kantung mataku seperti punya kantung mata lagi. Selain itu, kini aku merasa pusing karena terlalu banyak tidur dan mengurung diri di kamar.

Ah, ternyata aku berlebihan juga setelah resmi putus dari mantan pacarku.

Tapi sudahlah. Aku harus memulai hari yang baru tanpanya mulai dari sekarang.

Setelah berkali-kali melakukan kegiatan tarik-napas di depan cermin, aku meraih tas dan keluar dari kamar. Ibuku yang sedang sibuk dengan adikku yang rewel minta diikatkan tali sepatunya, langsung heran melihatku keluar dari kamar hari ini. Sempat ia bertanya, "Luhan, kau sudah merasa lebih baik?" padaku, dan aku menjawabnya dengan senyuman beserta anggukan.

"Aku berangkat kuliah pagi ini." kataku mendekati ibu. Ziyu, adikku yang manjanya minta ampun itu, aku beri sentilan kecil di keningnya. Ia cemberut dan protes setelah aku melakukan hal itu padanya. "Jangan merepotkan ibu. Umurmu sudah tujuh tahun, tahu. Ikat sepatumu sendiri. Biar ibu bisa melakukan hal lain." kataku lalu terkekeh.

Ziyu masih cemberut. Ia kembali protes. "Hei, noona juga kemarin merepotkan ibu, tahu."

"Sudah, sudah." ibuku menengahi. "Kalian ini pagi-pagi sudah bertengkar. Merepotkan saja." ujarnya. Di akhir kalimat, ia memelankan suaranya.

Aku menghela napas kecil mendengarnya. Kemudian, aku ikut mensejajarkan tubuhku dengan tubuh ibu dengan berjongkok di depan Ziyu. Aku memandangi ibuku sampai wanita berusia menjelang lima puluh tahun itu selesai mengikat tali sepatu adikku. Setelah Ziyu bangkit dan pamit untuk berangkat sekolah bersama teman-temannya, aku mulai bersuara.

"Kemarin aku menyusahkan ibu, ya?"

Ibu memandangku sebal. "Ya, kau merepotkan ibu. Ibu sampai mondar-mandir di dapur karena kau tidak mau makan. Ibu juga sampai tidak enak makan karena kau juga tidak mau keluar dari kamar. Kau sungguh membuat ibu khawatir karena putus dari pacarmu itu." katanya beruntun. Aku makin merasa bersalah karenanya. "Tapi sudahlah. Lagi pula sekarang kau sudah merasa lebih baik. Besok-besok kalau putus dari pacarmu itu, jangan berkelakuan seperti ini." lanjutnya, lalu mengetuk-etuk ujung jari telunjuknya pada pelipisnya sendiri. "Ibu pusing, tahu."

Aku tersenyum kecil mendengar curahan hati ibu tentangku kemarin. Diam-diam aku menyimpan haru karena ternyata ibu lebih berlebihan daripada aku. Tapi memang begitulah seorang ibu. Sekali anaknya bersedih, maka ibunya akan lebih bersedih karena tak bisa melihat senyum anaknya.

"Maaf, ya. Aku sudah membuat ibu uring-uringan. Maaf juga sudah membuat ibu senewen. Maaf aku terlalu―"

"Hus, sudah. Sekarang jam berapa? Kau telat masuk kelasmu nanti kalau bicara seperti ini." potongnya. Lalu ia bangkit, menarikku untuk ikut bangkit, dan mendorong-dorongku dengan pelan menuju pintu. "Cepat berangkat sana."

Aku cemberut. Ternyata ibu menyebalkan juga.



"Luhan, kau baik-baik saja kan?"

Aku mengangguk sembari memasang senyum kecil. "Kenapa kau bertanya hal semacam itu? Aku selalu baik-baik saja."

Kyungsoo, perempuan yang baru saja bertanya padaku itu menggeleng pelan. "Aku dengar kau baru saja putus dari Yifan." katanya, lalu menopang dagunya dengan sebelah lengan di atas meja. "Aku pikir kau benar-benar tidak sedang baik-baik saja kemarin. Kemarin kau tidak masuk kan?"

"Hm." balasku dengan gumaman. Aku hanya kembali mengulas senyum kecil hingga Kyungsoo menghela napas pelan karena reaksiku. Bukan Kyungsoo, bukan pula Baekhyun. Kedua perempuan itu selalu tahu apa saja yang ada di pikiranku hanya dengan melihat gelagatku saja. Pandai sekali mereka ini.

"Hei, berdua saja." Baekhyun yang baru datang, menginterupsi. "Yang lain kemana?"

"Kabur." jawab Kyungsoo singkat. "Ke kantin mungkin." jawabnya lagi, mungkin meralat jawaban sebelumnya.

Baekhyun mengangguk-angguk. Ia ikut duduk di sebelah Kyungsoo, lalu menatapku. "Kau mulai berani masuk kembali?" tanyanya padaku. "Memangnya tidak apa-apa? Seharian ini kau dapat satu kelas yang sama dengan kelasnya Yifan."

"Apa urusanku lagi dengannya?" tanyaku balik. Aku ikut memposisikan diri sama seperti Kyungsoo, lalu tersenyum kecut. "Hei, lagi pula aku sudah tidak ada apa-apa lagi dengan Yifan. Tidak masalah kalau aku seharian penuh ini satu kelas dengannya."

"Kami takut kau sakit hati lagi." sahut Kyungsoo ikut masuk ke dalam pembicaraan.

Aku tertawa sumbang. "Tak apa. Hanya masalah seperti ini saja, aku bisa mengatasinya."

Iya, aku bisa mengatasnya sendiri. Sampai tiba-tiba saja sosok yang dibicarakan muncul dan masuk ke dalam kelas. Bersama kekasih barunya. Tentu saja.

Aku terdiam. Begitu pula dengan Baekhyun dan Kyungsoo. Mereka sempat berhenti melangkah beberapa saat, sebelum pacarnya barunya yang bernama Huang Zitao itu menarik Yifan untuk terus berjalan menuju tempat mereka.

Aku berusaha untuk tak menatapnya dan diam saja ketika ia melewati tempatku duduk. Aku memejamkan mata, lalu menghembuskan napas dengan perlahan begitu sadar bahwa aku menahan napas sedari tadi. Setelah itu aku mendengar suara tas yang dijatuhkan ke meja. Mereka bicara sebentar, lalu kembali melewatiku. Aku melakukan hal yang sama tiap kali Yifan berada di sekitarku hari ini. Dan hal itu membuat Baekhyun maupun Kyungsoo menatapku sangsi setelah Yifan dan pacarnya keluar dari kelas.

"Yakin kau bisa mengatasi hal semacam barusan?" tanya Baekhyun, ia ikut menopang dagunya sama seperti apa yang aku dan Kyungsoo lakukan.

"Kau bahkan terlihat sedang menahan sesuatu ketika Yifan berada disekitarmu." timpal Kyungsoo.

Aku menghela napas. Dan Baekhyun serta Kyungsoo makin menatapku lebih dari sangsi.

"Kau harus jatuh cinta lagi supaya bisa berlaku biasa saja disekitar Yifan."

"Tidak perlu." aku langsung menolak. Menegakkan tubuhku, aku mengibaskan kedua tangan di udara. "Kalian tidak perlu repot-repot membuatku jatuh cinta lagi."

"Perlu sekali, Luhan." sahut Baekhyun. Ia kelihatan jengah. "Apa kau tidak sadar kalau tadi itu kau―"

"Aku hanya masih belum mampu menerima laki-laki lain, Baekhyun. Tidak mudah dan tidak secepat itu untukku membuka hati pada sembarang laki-laki." potongku cepat. Entah mengapa mataku memanas, dan hidungku terasa geli sekali. Aku menutup wajahku dengan kedua telapak tangan, mengusapnya sejenak, lalu mencoba memasang senyum baik-baik saja setelah aku menurunkan kedua tanganku. "Sudahlah, kalian tidak perlu repot-repot melakukan hal itu untukku."

Baekhyun menghela napas kecil. Ia melirik Kyungsoo yang ternyata memasang wajah pasrah dengan kalimat yang baru saja aku lontarkan.

"Ya sudah." ujar Baekhyun pelan. "Aku tidak akan memaksamu."

Aku mengangguk, tersenyum. Ya, begitu lebih baik.



Baekhyun : Hei, Luhan.

Aku meninggalkan aktifitas mengetik tugas setelah melirik ada pesan LINE masuk untukku dari Baekhyun. Perempuan itu sepertinya kesepian karena kekasihnya tidak mengiriminya pesan, atau menelponnya, atau mengajaknya kencan seperti biasa. Dasar.

Baru saja aku ingin mengetik pesan balasan untuknya, Baekhyun sudah mengirimiku pesan lagi.

Baekhyun : Ayo ke kafe biasa. Mumpung Kyungsoo sedang berbaik hati mentraktir kita makan.

Aku tersenyum geli. Kyungsoo? Mentrakitr makan? Tumben saja perempuan itu mau boros disaat-saat seperti ini. Sepertinya mereka berdua ingin menghiburku. Atau aku saja yang terlalu percaya diri?

Aku mengetikkan balasan menyetujui ajakannya dan Kyungsoo. Setelah menyimpan dokumen tugasku, aku men-shutdown laptop. Kemudian aku menyiapkan diri untuk datang ke kafe. Beruntung kafe yang biasa kami kunjungi cukup dekat jaraknya dengan rumahku. Jadi aku tidak perlu repot-repot naik bus seperti saat aku berangkat ke kampus.

"Noona mau kemana?" tanya Ziyu yang mendapatiku sedang memakai flatshoes di depannya. Ia terlihat kebingungan saat aku hanya tersenyum padanya sebagai jawaban. "Hei, noona."

"Mau ke kafe. Bilang pada ibu ya kalau ibu mencariku nanti."

Ziyu mengangguk. Lalu ia kembali fokus pada game nya tanpa perduli padaku yang telah keluar dari rumah.

Aku berjalan sendiri di pinggir jalan yang ramai. Sore ini begitu ramai karena para pelajar baru saja pulang dari kegiatan sekolah mereka. Yang terlihat di jalan kebanyakan adalah manusia-manusia remaja yang berseragam sekolah. Ketika melihat mereka di jalan, hal yang paling sering aku lakukan adalah mengingat masa lalu saat aku berada di sekolah dulu. Terutama saat aku berada di SMA. Masa-masa itulah yang sebenarnya adalah masa paling menyenangkan selama aku bersekolah.

Sesampainya di kafe, aku langsung masuk ke dalam sana. Saat itu kafe lumayan ramai dengan pelanggan. Aku mencari-cari dimana tempat Baekhyun dan Kyungsoo berada kemudian. Tidak berapa lama, aku menemukannya. Ternyata mereka tidak berdua saja. Tetapi bersama para lelaki mereka.

Baekhyun dengan kekasihnya yang bernama Chanyeol. Dan Kyungsoo bersama seorang laki-laki yang mendekatinya, Jongin. Lalu selain itu ada dua orang laki-laki yang tidak aku ketahui siapa identitasnya. Aku tidak pernah melihat mereka berdua. Tapi mungkin mereka berdua teman dari Chanyeol atau Jongin. Maka aku menghampiri mereka dan sempat mengganggu sedikit kegiatan mereka.

"Oh, hai, Luhan." sapa Kyungsoo senang. Ia menggeser kursinya agar kursi kosong di sebelahnya bisa aku tempati. "Kau lama."

Aku meringis kecil. "Kau tidak memberitahuku sebelumnya kalau kau ingin mentraktirku."

"Yang benar itu Jongin." sahut Kyungsoo berbisik padaku, lalu terkekeh pelan. "Lagi pula sebenarnya aku juga tidak tahu kalau dia ingin mentraktir kita makan."

"Hei, Luhan." Baekhyun menghentikan tawanya untuk menyapaku.

Untuk tadi, hanya Kyungsoo dan Jongin saja yang menyapaku. Baekhyun, Chanyeol, dan yang lainnya sedang sibuk bercanda tawa. Namun begitu Baekhyun menyapaku disela-sela canda tawa mereka, semua mata yang berada di meja nomor enam itu mengarah padaku.

Mendadak aku gugup. Aku mengerjap, memundurkan sedikit kepala, lalu tersenyum kaku.

"Oiya, kau baru saja datang. Kenalkan. Ini teman-temanku saat SMA." lanjut Baekhyun. Ia menunjuk kedua laki-laki tadi masih dengan senyuman. "Yang ini Jongdae, dan ini Sehun."

Salah seorang laki-laki dengan senyum ramahnya, mengulurkan tangan padaku. Aku membalasnya dengan senyuman yang sama pula. "Jongdae."

"Luhan."

Dan begitu aku beralih pada laki-laki lain, aku terkejut bukan main. Pandangan mata kami bertemu. Dan sepertinya ia mengalami hal yang sama dengan apa yang aku alami. Tidak ada pergerakan diantara kami sampai membuat yang lain menatap kami dengan kebingungan.

Iya. Aku pernah bertemu dengannya.

"Ternyata namamu Luhan?" tanya si laki-laki. Ia terlihat sedang menahan senyuman. "Namaku Sehun. Senang bertemu denganmu lagi."

Aku mengerjap, lalu melirik ke arah lain ketika melihat laki-laki bernama Sehun itu menunjukkan senyumannya padaku. Rasanya darahku merambat naik ke wajah, panas sekali di area situ.

"Tunggu dulu." Baekhyun berkata bingung. "Kalian pernah bertemu?"

Aku menggeleng. Namun Sehun mengangguk mengiyakan. Mereka yang melihat tanggapanku dan Sehun menatap kami aneh. Dan sungguh, aku merasa begitu gugup ketika berada dalam situasi ini. Aku menunduk, menyembunyikan rona merah yang menjalar di pipi.

"Aku pernah bertemu dengannya, lusa lalu. Luhan hampir jatuh, dan aku menolongnya." kata Sehun. Ia menahan senyumannya padaku lagi ketika aku melihatnya dari ekor mataku.

Memang Sehun yang menolongku saat aku hampir jatuh setelah hubunganku dan Yifan berakhir lusa lalu. Memang benar dia.

"Luhan?" suara Kyungsoo terdengar di telingaku. "Benar kau pernah bertemu dengan Sehun?"

Aku menggigit bibir, mendongak untuk menatap satu per satu ekspresi wajah teman-teman yang lain. Mereka kelihatan penasaran, namun ada juga yang sedikit terkejut. Aku mulai frustasi sendiri ketika tanpa sengaja aku melihat ekspresi wajah Sehun. Laki-laki itu kelihatan menyebalkan sekali dengan seringai kecil di bibirnya.

Aku malu. Serius.

"Astaga. Iya, aku pernah bertemu dengannya." kataku cepat.

Sempat tidak ada yang bicara setelah itu. Aku yang tadi menunduk kembali, akhirnya mendongak lagi. Kali ini ekspresi mereka adalah benar-benar terkejut. Kecuali Sehun, tentu saja.

"Hei, sudah sarapan belum? Wajahmu memerah."

Aku membuang muka dengan jengkel. Sehun baru saja menyindirku sepertinya. Baru setelah itu, mereka yang tadinya diam, akhirnya tertawa. Wajahku makin memanas, makin memerah pula rupanya.

Sialan.



Hei, sudah sarapan belum? Wajahmu memerah.

Aku mendengus jengkel. Berkali-kali aku meninju guling dan terkadang menggigitinya. Sebal sekali karena kalimat Sehun yang menyebalkan itu terngiang-ngiang di otak ku. Pertama kali bertemu dengannya, ia terlihat seperti layaknya laki-laki lain. Namun begitu kedua kalinya aku bertemu dengannya hari ini, ia terlihat sangat-sangat-amat menyebalkan.

Sungguh. Aku jengkel dengannya.

"Ibu. Noona sedang kesetanan!"

Aku berjengit duduk di tempat tidur. Kemudian dengan cepat aku menoleh pada sumber suara Ziyu yang berada di pintu yang terbuka. Aku mendelik padanya. Kemudian ibu datang dengan panik. Di salah satu tangannya terdapat spatula yang basah karena terkena bumbu-bumbu masakan.

Ya ampun, dasar bocah.

"Luhan," ibuku bersuara dengan cemas. "Kau kesetanan?"

"Apa?" aku memundurkan kepala dengan ekspresi wajah konyol. "Ziyu yang mengada-ngada, bu." kataku seraya menunjuk Ziyu.

"Aku? Kenapa aku?" Ziyu menunjuk dirinya sendiri kebingungan. "Aku kan memang bicara apa adanya. Noona menggigit guling tadi. Aku kan jadi ngeri sendiri."

"Eh?"

Kami semua terdiam. Lalu tiba-tiba ibu terpingkal karena tertawa. Aku memandang wanita itu dengan aneh, begitu pula dengan Ziyu.

"Ibu?"

Ibu masih saja terpingkal. Bahkan berkali-kali ia menyeka cairan di sudut matanya.

"Ibu?"

Lalu tiba-tiba aroma menyengat yang membuatku mengerutkan kening, akhirnya membuat ibu berhenti tertawa.

"Masakannya!"

Astaga, ibu.

Ibu berlari kecil menghampiri masakannya yang pasti sekarang sudah kacau balau. Aku memandangnya sampai ibu menghilang di jarak pandangku. Dan Ziyu hanya bisa menggeleng pelan sebelum menyusul ibu.

Aku menghembuskan napas dengan pelan. Ternyata repot juga punya ibu yang sifat dan sikapnya selalu bisa membuatku tertawa.


TBC or End?


Halooo~ Senang bertemu dengan kalian lagi! Aku comeback! Dan ini ff pembukaannya :v

Untuk ff ini, sebenernya aku cuma iseng doang, sih. Ini semua gara-gara nggasabar update lagi dan mengalunjutin ff A Letter For Little Fairy.

Omong-omong, ada yang kangen sama aku? Hehe.

A Letter For Little Fairy- nya update minggu depan, ya~ Tungguh saja :)

Tolong ya review di ff ini. Rencananya aku mau buat threeshot.

See ya~