Story By: Razen Bekantan Hijau.

Disclaimer: Tadatoshi Fujimaki.

Rate: M

Genre: Hurt/Comfort/Family/Drama.

Cast: Masaomi & Seijuurou.

Warning: Maybe-OOC, some mistakes EYD, AU , typo.

A/N: Kuplikan dari The Fall of Absolute King bab 7.

xXx

Check Mate

xXx

.

.

.


Pria pemilik helai sewarna kue jahe sedikit memiringkan kepala, ada lengkungan tipis di wajahnya. Menyeringai tidak kentara.

Seijuurou sungguh benci melihatnya.

"Pada akhirnya aku tetap tidak bisa memahami pikiran dan tujuan ayah."

"Tidak perlu dipahami atau dimengerti."

"Begitu?" Tangan bersidekap, kaki disilang. "Tapi aku tahu satu hal."

Menanggapi seraya menyalakakan AC, Masaomi mengangkat alis.

"Kau bukan orangtua yang baik."

Dengung kesunyian mengisi ruang kamar. Suara AC menyala sampai di gendang telinga.

Ditatapi sang ayah masihlah menciutkan hati. Akan tetapi, Seijuurou terus memaksakan diri untuk tetap balas menatap lurus laki-laki di hadapannya kendati hatinya berkata lain.

"Dan kau memang ayahku. Aku benci disalahkan. Aku absolute. Sama denganmu. Satu yang paling tidak kuterima, kau berlindung di balik kata 'orang tua lebih mengerti'."

Yang lebih tua mengangkat dagu. "Oh?"

"Alasan klise. Bahkan bukan hanya aku, tapi semua anak. Anggapan anaknya tidak tahu apa-apa, lantas tidak menimbang situasi dari berbagai sisi."

"Pikirmu kau mengerti yang dipikirkan orangtua?"

Seijuurou menjawab dengan kening mengernyit terlebih dahulu.

"Tidak, karena aku bukan orangtua, aku belum punya anak."

Masaomi memilih diam, membiarkan Seijuurou melanjutkan.

"Aku tak tahu apa-apa. Sama sekali."

"Kau ingin aku meminta maaf?"

Kepala merah digeleng.

"Aku benci dikasihani dan aku benci jika ada yang meminta maaf padaku. Sama saja aku sedang dihina bertubi-tubi. Mengasihaniku sama saja terkesan seakan-akan aku tak mampu berdiri sendiri. Meminta maaf padaku sama saja membuatku terlihat sebagai antagonis, terlebih ketika meminta maaf ketika emosi sedang tak terkendali."

Oksigen dihisap. Kepala terasa sakit terlalu banyak berbicara tanpa banyak mengambil napas.

Tak ada jawaban.

Lama ia terdiam, menunggu jawaban. Selama itu pula kesunyian menemaninya. Tak dapat dipungkiri, ia mulai kedinginan, dinginnya angin AC terasa menusuk.

Baju wol yang melekat di tubuhnya tak mampu menyaingi rendahnya suhu. Mungkin terlalu tipis.

Asap dihembuskan panjang.

"Seijuurou." Itu imbuhan pertama setelah jeda panjang oleh Masaomi Akashi.

Pria itu memandang sinis remaja, yang dibalas dengan tatapan maut penuh raut benci setengah mati dari biner belang.

"Sama denganku. Sejak awal apa kau mengenalku?"

Untuk sesaat, Seijuurou mematung. Kedua mata membelalak menghadap lantai, kening mengerut. Mencoba mencerna dua kalimat yang dilontarkan Masaomi sebagai balasan.

Atau tepatnya, kalimat terakhir.

Pemuda itu menganga.

Masaomi menyebut hal yang paling tidak terpikir namun menjadi pemicu segala tindak Seijuurou.

Mengenal?

Beliau ayahnya.

Ayahnya.

Lalu apa ...?

Pemilik lensa beda warna hampir gila didera sambaran petir. Masaomi sekali lagi mencetak gol dengan sekali tendang.

"Apa yang kau tahu tentangku, Seijuurou?"

Yang dia tahu ...?

"Apa hakmu mengatakan kau mengenalku? Dari mana? Ronove?"

Dari Ronove ...? Bibi Carla ...? Dokter Grisha ...?

"Jika iya, itu aku dari sudut pandangnya. Bukan aku dari penglihatanmu."

Tunggu! Tunggu! Seijuurou belum mencerna semuanya!

"Menurutmu sendiri, aku ini apamu?"

Pemuda itu mencoba mengeluarkan suara.

Parau tidak jelas yang mampu dikeluarkan.

Seijuurou merasa pandangannya berkabut.

Kepanikan melanda.

Situasi ini sama seperti ketika Seijuurou mengingat berita kepergian sang ibu.

Ia tak mau mengakui kendati kenyataan menyampaikan kebenaran.

Tapi kebenaran apa yang membuatnya terpuruk?

"Seijuurou."

Bahu berjengit. Telunjuk Masaomi menyentuh tengah dadanya. Sejak kapan beliau ada di depannya? Bersimpuh satu kaki di bawah Seijuurou.

Lensa belang berubah merah kembar, bertemu tatap dengan netra wine. Saat itulah Seijuurou melihat wajahnya.

Lelehan kecil bagaikan butiran mutiara bening mengalir pelan pada parasnya, membentuk dua sungai kembar yang jernih. Pemuda itu baru menyadari kehadiran sungai kecil itu. Sebutir mutiara telah menetes pada lengan, hal itu membuatnya terkesiap.

Seijuurou menangis.

"Kau barusan berpikir tidak punya ayah, huh?"

Tidak tahu.

Kepalanya mendadak buntu.

Akashi muda hanya bisa terdiam, tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Sempat terbersit keinginan untuk menghapus air mata, tapi niat itu diurungkan.

Ia tahu, hal itu akan percuma saja. Sungai ini tidak akan berhenti mengalir, dia tidak bisa menghentikannya. Seluruh tubuhnya kaku, tak bisa digerakkan.

"Kau menganggapku orang asing. Bukan ayahmu."

Tidak, tidak tahu.

Kepala merah tertunduk, terkulai ke dada. Matanya terbuka lebar dan hampa.

Dia tidak mampu mengingat kembali apa yang mendorongnya kemari. Isi kepala pemuda itu begitu kacau.

Sedikitpun tidak ada memori tentang bagaimana ia memutuskan memasuki ruangan ini. Gelombang hampa penuh kekosongan melingkupi. Jiwa Seijuurou sekali lagi dihimpit nyeri.

Terlalu tenggelam dalam pikiran tak karuan.

Hanya diam membisu.

Tanpa tenaga, bahkan untuk sekadar mengedipkan mata, demi menyadarkan dan meyakini bahwa ini hanya khayalan.

Sekelebat ia melihat bola mata anggur merah memandangnya penuh makna.

Jari-jari dari tangan besar membingkai lembut wajah Seijuurou dengan tangan kiri, mengusap bulir air mata.

"Kau tak akan pernah menyangka ada entitas yang bisa membuatmu begitu bahagia."

Suasana malam hari yang sepi, hanya terdengar suara bisik kepala keluarga Akashi. Alam nyaris tak bersuara, hanya angin mesin yang mendesir lembut seolah diperuntukkan menemani.

"Sekaligus yang paling bisa begitu membuatmu menderita." Suara itu berat dan penuh ketenangan.

"Dan jika kau kehilangan entitas itu, hingga akhir hayat, akan dilingkupi penyesalan."

Satu sentuhan sampai di kening Seijuurou.

"Karena apapun yang kulakukan tak bisa mengubah kenyataan ... tak ada cara untuk mendapatkannya kembali."

Tubuh yang lebih kecil jatuh dalam dekap. Merebahkan diri tanpa ada daya.

Berusaha meredam suara isak tangis dengan membenamkan wajah berbantal dada bidang berlapis kemeja yang perlahan basah karena air mata.

"Hanya karena kau kehilangan salah satu orangtua, bukan berarti menjadikanmu cengeng dan kecewa." Nada pengertian dan takut terdengar dalam suara bariton khas.

Terlalu kentara dan jujur sampai mengiris hati.

"Tak ada yang perlu ditangiskan. Nasibmu memang seperti itu."

Dia kesal, selalu saja terus-menerus dipaksa menerima rasa sakit.

"T-tapi kau tidak pernah memberiku kesempatan ...!"

Punggungnya merasakan elusan, bisikan terdengar lirih dan resah di telinga.

"Memang tidak." Dagu ditumpu di atas ubun-ubun.

"Karena tidak ada yang paling mematikan dalam sisa hidup selain penyesalan. Semakin kau menyayangi suatu entitas, semakin sakit dan semakin banyak penyesalan. Dan ketika kau kehilangannya, jika kau tidak gila, kau bukan manusia."

Dia merasakan tubuhnya dilingkari lengan berlapis garmen putih.

"Jangan membuat ayah lebih menyesal dari ini, Seijuurou ..."

Bangsat.

Jangan katakan itu dengan wajah tanpa kesedihan.

Sungguhkah ayahnya tidak punya hati? Atau sudah seberapa sering beliau merasakan nyeri sampai melupakan caranya bersedih?

Menggenggam erat salah satu entitas yang tak ingin lenyap dari hidup, isak tangis mengisi ruang bisu.

"Ayah ..."

Permainan catur adalah permainan pertukaran strategi dan informasi antar dua pemain yang dilandasi hitungan matematis.

Bisa dibilang, dalam permainan ini tak ada yang namanya keberuntungan.

Untuk memenangkannya, dibutuhkan pengalaman dan kemampuan memikirkan strategi dari berbagai kemungkinan.

Bila lawan adalah program, maka sama halnya dengan permainan RPG, langkah terbaik yang dibuat oleh penciptanya.

Akan tetapi, jika lawannya manusia, sering ada strategi licik. Bukan aneh jika lawan sengaja bermain buruk untuk memancing.

Ada saat ketika orang lain tidak tahu apa yang membuat mereka bahagia.

Isak tangis berubah menjadi rintihan. Seiring tubrukan brutal bertubi-tubi, otak makin terhambat kepercayaan buatan.

Manusia baru akan benar-benar mengingat seseorang ketika mereka merasa dirinya dipermainkan. Dijahati, kemudian dibaiki, namun dalam artian mereka tak mereka kabur dari situasi dan orang yang sama.

Semakin pedih dan sakit, berarti di dalam hati mereka telah tertanam rasa takut. Cengkeraman pada garmen semakin kuat hingga robek, kuku mencakari punggung tak lagi berlapis kemeja.

Kejadian besar di satu waktu berefek seseorang meragukan ketakutannya, hanya meninggalkan efek trauma sederhana. Sedikit saja lebih pintar dan berpedoman pada logika, kemungkinan menganggapnya sekadar gertakan jauh lebih besar.

Dimulai dari serangan brutal pada kali pertama, dilanjut terjangan kecil bertubi-tubi, akan membuat otak tidak sempat berpikir untuk curiga. Semakin banyak, akan semakin pudar dan dia akan mempercayai yang ditakutinya sepenuhnya.

Cuci otak jangka panjang. Tanpa disadari, semenjak awal sudah masuk dalam proses. Lambat laun, mereka akan terbiasa dengan sendirinya.

Kemudian, tempatkan mereka pada situasi yang paling dihindari, yang membuat mereka berpikir situasi tersebut adalah momen paling pemicu trauma. Dengan pikiran dipenuhi rasa takut, satu-satunya yang bisa ia pikirkan adalah bagaimana cara keluar dari situasi tersebut.

Mengerang frustasi. Menggeliat liar. Tangis mengiringi alur maju-mundur.

Tanpa sadar, ia mengulangi cara yang sama agar bisa lolos. Tergantung kasusnya, bisa memberi efek candu.

Serupa ketika seseorang menegak alkohol atau mengonsumsi ganja.

Diakhiri klimaks dalam liang basah. Jerit kuat erotis berkumandang. Sepenuhnya masuk dalam jebakan pemain catur profesional.

Tidak ada kecurigaan tersisa tatkala lidah saling beradu. Tatap sendu tak ingin kehilangan menandai lenyapnya keraguan.

"Ayah ..."

Check mate.

xXx

The End

xXx