a/n: terinspirasi dari lagu synesthesia ghost – vocaloid dan nobody can hear you – alius, bisa jadi rekomen siapa tau mau baca sambil dengerin salah satunya.

Disclaimer: I own nothing but the story


Minggu terakhir musim dingin dibasahi hujan.

Bukan hal yang aneh bagi seorang mahasiswa untuk membawa payung dan menyimpannya di loker mereka. Setiap musim hujan, Baekhyun selalu siap siaga dengan payung biru lautnya.

Baekhyun mengganti sepatunya setelah melipat payung. Ia menutup mata, mencegah dirinya untuk melihat rintik hujan yang masih terdengar sampai sekarang. Tangan kirinya membenarkan letak earphone yang hampir terlepas dari telinga sementara tangan kanannya terulur ke bawah mengambil sepatu. Ponsel pintar didalam saku kemeja tergelincir, merosot jatuh sampai usb terlepas dan mengakibatkan lagu favoritnya terdengar cukup kencang sederet loker.

Baekhyun panik, berlutut dengan tangan gelagapan mengecilkan volume sekaligus memasang usb kembali. Ia menahan napas dan melihat sekitar dimana pelajar yang lain menoleh ke arahnya. Ia kembali menuduk, menyembunyikan wajah. Terdengar bisikan dan tawa cekikikan, meskipun ia sudah menaikan volume lagu yang menutup telinganya. Ia memejamkan mata dihantui trauma, berbisik dengan tangan menggenggam erat ponsel, "Aaah, sucks, hitam, hitam, hitam—" secara terus menerus.

Masih menahan posisi, ia menunggu mereka pergi dari ruangan baru punya harga diri untuk kembali mengangkat wajah. Baru sedetik menghela napas lega, earphone di telinga kanannya ditarik sampai lepas secara tiba-tiba. Beruntung ia tidak sempat bereaksi atau siswa disampingnya akan menutup telinga karena teriakan kagetnya.

"Ah benar, lagu dari Akdong."

Baekhyun mengangkat alis, menatap orang asing yang dengan tidak sopannya memakai sebelah earphone-nya. Menyadari ditatap dengan tajam, siswa itu tersenyum tanpa canggung, "Hanya memastikan. Kukira tadi salah dengar, tapi sekarang yakin sekali ini suara merdu si vokalis. Seleramu bagus juga."

"Sudah waktunya masuk lho!" seru siswa lain berjalan melalui mereka.

"Iya, iya!" kepala dengan rambut—yang dilihat dari dekat—cokelat tua beralih padanya, "Lain kali taruh ponselmu di saku celana saja biar nggak jatuh kayak tadi." Ucapnya sambil menahan tawa kemudian pergi meninggalkannya. Baekhyun hanya mampu berkedip. Otaknya loading. Bukan karena alasan klise. Ia hanya bingung dengan apa yang dilihatnya.

"Kuning…" ucapnya pelan.


.

.

.

Synesthesia

Chanbaek pairing

WARN: Sho-ai, BL, College!AU, OOC

Sorry for typo(s)

.

.

.


Aneh.

Satu kata yang membawa kenangan buruk bagi Baekhyun. Ia tidak hiperbola. Kedua matanya selalu melihat berlebihan. Itu anggapan awal yang ia simpulkan saat kecil. Warna ada dimana saja, itu terdengar wajar. Tapi ungkapan 'dimana saja' benar-benar bermaksud itu. Warna adalah ekspresi, warna adalah karakter, warna adalah lagu. Melihat ekspresi seseorang berarti melihat warna. Melihat karakter seseorang berarti melihat warna. Mendengar sebuah lagu berarti mendengar warna.

Sekarang terdengar tidak wajar, kan?

Sungguh pengalaman buruk bagi Baekhyun ketika ia menjadi pusat perhatian semua orang. Bukan pengidap penyakit mental, bukan tidak percaya diri, bukan pula karena berlaku bandel. Tahun pertama taman kanak-kanak, pelajaran berhitung, hari Rabu—tidak mungkin dilupakan. Guru memberikan tantangan pada anak-anak untuk menuliskan sepuluh angka pertama secara berurutan. Siapapun yang menerima lemparan kapur, maka ia yang harus menulisnya. Percobaan pertama, kapur putih jatuh ke pangkuan Baekhyun.

Anak-anak lain melihatnya dengan senyum cerah, memintanya segera menjawab tantangan. Baekhyun maju ke depan, menulis angka 1 lalu kapur tulis putih itu diletakkan dan ia mengambil kapur biru muda untuk menulis angka 2. Kapur biru tua angka 3, kapur merah angka 4, sampai seorang anak berseru, "Kau hanya membutuhkan kapur putih saja, Baekhyun!"

Baekhyun berbalik, memiringkan kepala tidak mengerti. "Aku hanya menuliskan angka sesuai warna yang dimilikinya. Menyelesaikannya dengan angka dan warna yang tepat. Ah, angka 4 itu disebut angka horror karena setiap aku melihatnya muncul warna merah—"

Seisi kelas tertawa mendengar penjelasannya. Baekhyun mengernyit, tidak mengerti kenapa presepsinya dianggap lucu. Apa yang salah?

Kemudian guru itu mengatakan dengan keras dan jelas setelah ikut tertawa, "Lelucon apa yang kau katakan, Baekhyun? Angka tidak punya warna. Angka adalah bentuk yang memiliki hasil numerik untuk berhitung dan berkalkulasi."

"Tapi angka memang punya war—"

"Kau hanya berhalusinasi, Baekhyun!" sela seorang anak.

"Apa kau mau menyelesaikan tantangan atau tidak?" seru anak yang lain.

Baekhyun menutup mulut, berbalik dan memperhatikan kapur warna-warni. Ia masih mendengar anak-anak yang tertawa dibalik punggungnya. Ia sibuk dengan pikirannya. Apakah anak-anak itu hanya mempermainkannya? Atau presepsinya yang terbukti salah? Tapi tidak mungkin presepsinya salah jika sekarang saja ia melihat garis tipis abu-abu mengelilingi kapur. Mana mungkin garis tipis cokelat yang selalu muncul ketika ia menutup pintu dengan kencang hanya kebohongan. Apakah mereka mencoba mengatakan bahwa huruf-huruf disinopsis buku tidak berwarna baby blue?

Menyelesaikan tantangan dengan warna polos, ia kembali duduk di kursinya. Anak-anak masih melihatnya dan seseorang berkata dengan lantang, "Kau aneh sekali, Baekhyun!"

Benar-benar pengalaman yang buruk. Bahkan orang tuanya juga sering mengingatkan jika warna tidak berguna kecuali untuk memperindah tampilan barang. Tidak ada yang mengerti jalan pemikiran Baekhyun. Terkadang ia sampai merasa terlalu kesepian karena tidak ada yang mendukung pihaknya, hanya ada warna disisinya. Ia mulai membenci ekspresi warna, ia benci melihat isi ruangan tertawa padanya. Ia tidak punya tempat bersembunyi untuk menenangkan diri. Bahkan dalam lemari sekalipun, sekumpulan baju warna-warni juga tertawa padanya. Semakin ia tumbuh, perkataan orang semakin tidak segan. Selain aneh, ia sudah biasa mendengar kata gila, skizofrenia, dan hal buruk lainnya. Hal baiknya, semakin ia dewasa, semakin ia tahu bahwa lebih baik diam dan tidak mengatakan apa yang dilihatnya.

Ia sudah terbiasa menutup telinga secara invisible. Toh, orang-orang juga memalingkan wajah darinya. Tidak ada yang bisa mendengar ekspresinya, suara hatinya.

Meski sudah sebisa mungkin bersikap normal, ia tetap kesulitan untuk bersosialisasi. Trauma yang dialami membuatnya ragu untuk berteman. Ia takut jika pertemanan akan hancur setelah bakat istimewanya ini muncul ke permukaan. Ia tidak protes dengan hal itu, sudah menyukai kesendirian yang membuatnya lebih tenang.

Jangan mengasihani.

Baekhyun adalah makhluk tegar yang bisa mandiri.

Karena alasan panjang tersebut, makanya ia terkejut dengan siswa yang mengajaknya bicara sedekat itu tadi pagi. Ia tidak lagi diganggu dengan rasa malu karena insiden menjatuhkan ponsel sampai earphone tercabut dan memutar lagu keras-keras. Ia lebih malu karena mahasiswa yang tidak sopan padanya.

Masuk ke kelas seni, Baekhyun terkejut melihat orang itu ada disana, plus melambaikan tangan padanya. Bahasa tubuhnya mengatakan agar ia duduk disampingnya. Dengan langkah berat setelah mengetahui itu satu-satunya kursi kosong, ia menghampiri. Menarik tudung jaket, sebisa mungkin Baekhyun fokus pada dosen. Sampai sebuah gumpalan kertas mendarat di atas meja. Ia menoleh ke samping kanan, disambut senyum akrab mahasiswa itu.

Mengabaikannya, gumpalan kertas lain mendarat lagi. Menghela napas, mau tidak mau ia membuang energinya untuk hal tidak penting. Ia membuka lipatan kertas pertama, melihat tulisan disana.

'Hei, hei, aku tau kau mengingatku.'

Lalu kertas kedua,

'Tolong tambahkan nama Park Chanyeol dalam ingatanmu juga.'

Tangannya kembali meremukkan kertas dalam sekejap. Sungguh cara berkenalan yang sangat tidak wajar. Ia melirik lagi, mahasiswa yang memperkenalkan diri bernama Chanyeol itu kali ini serius memperhatikan pelajaran. Pendar kuning pucat masih melekat. Mengerutkan dahi, Baekhyun tahu kuning pucat itu adalah orang yang mengganggu. Setidaknya itu yang ia lihat.

Baru mengalihkan pandangan, sebuah kertas datang lagi. Ia berniat untuk melapor pada dosen jika Chanyeol mengganggu pelajaran. Tapi terdengar tidak sopan. Kembali pasrah pada keadaan, kedua tangan membuka gumpalan malas-malasan.

'Jahat sekali tidak membalas kertasku -^- ceritakan dirimu juga ^-^'

Perempatan imajiner muncul didahi. Seberapa cepat tangan mahasiswa pengganggu itu menulis?! Ditambah emoticon mengganggu pula. Tolong kuatkan Baekhyun. Kertas lain mendarat mengenai kepalanya dan berakhir di atas pangkuan. Baekhyun menoleh cepat, menatap tajam sarat kekesalan. Chanyeol mengatupkan telapak tangan, pose minta maaf sambil sedikit menundukkan kepala. Sekali lagi, tolong kuatkan Baekhyun.

'Mau makan siang bareng? Kau bisa ceritakan dirimu nanti ^o^'

Persetan dengan tidak sopan, mahasiswa disampingnya ini lebih tidak sopan. Baekhyun sudah siap untuk mengangkat tangan dan mengadu pada dosen. Sampai fokus balas dendamnya terpecah ketika sang dosen mengatkan, "Jadi, diskusikanlah materi ini secara berpasang-pasangan. Buat putusan masalah diselembar kertas dan kumpulkan sebelum pelajaran ini berakhir."

Baekhyun mengerjap, baru menyadari selama ini tidak memperhatikan. Warna hitam muncul di udara, papan tulis penuh goresan spidol tertawa padanya. Kedua mata terpejam dengan cepat, tidak ingin melihat hal-hal yang berlebihan. Suara kursi yang digeser mendekat membuatnya melihat warna putih diantara gelapnya menutup mata. Ketika kedua kelopak mata terbuka, wajah Chanyeol adalah yang pertama kali dilihatnya.

"Kita diskusikan bersama, yuk."

Kuning pucat menguat menjadi kuning cerah. Baekhyun tidak suka warna kuning yang membuat matanya berputar. Ia tidak bisa menolak ajakan karena mahasiswa yang lain sudah menentukan pasangan kelompok masing-masing. Ditambah Chanyeol sudah menggeser kursi ke samping mejanya.

"Baiklah, terserah kau saja. Estetik dan perspektif ya… " ucapnya ketika melihat tulisan paling besar di papan tulis. Ia membuka buku catatan dan menyiapkan pensil.

Chanyeol menyangga dagu dengan tangan kanan, "Jadi, Baekhyun, ajakanku diterima atau tidak?"

Melirik sinis, Baekhyun meletakkan pensil. "Dengar, hal pertama yang perlu kukatakan adalah kita sedang belajar dan ada tugas. Hal kedua, kau menggangguku dari tadi. Ketiga, aku tidak mau menerima ajakanmu—"

"Tapi kenapa?" sela Chanyeol.

"—dengar dulu sampai selesai. Keempat, kau menyebut namaku, fakta bahwa kau mengetahuinya tanpa kuperkenalkan itu sudah sangat freak. Kelima, tidak baik menerima ajakan orang asing." tekan Baekhyun.

Chanyeol meredam tawa dengan tangan, mencoba tidak menarik perhatian dosen. "Aku juga punya beberapa pernyataan untukmu. Pertama, aku sudah memperkenalkan diri terlebih dahulu sebelum mengajak. Kedua, aku tertarik untuk menjadi temanmu. Ketiga, namamu sudah dikenal karena ada rumor tentangmu yang sering bicara aneh."

Baekhyun membuat flowchart pembahasan perspektif sambil berkata, "Sebagai tambahan lagi, percaya pada rumor tidak ada untungnya."

Chanyeol memiringkan kepala, tumpuan tangan berpindah dari dagu ke pipi, semakin menghadap Baekhyun. "Faktanya adalah pernyataan yang terbalik."

Tangan Baekhyun berhenti. Otaknya mereka ulang kalimat Chanyeol yang mengutarakan tentangnya. Oh. Jika dibalik dari tiga ke satu, kau akan menyadari betapa cheesy-nya kalimat Chanyeol. Jika dijabarkan, menjadi seperti ini;

Ada rumor tentang Baekhyun beredar, sesuatu tentang ia adalah anak yang aneh. Chanyeol mendengar rumor itu. Tapi ia justru tertarik untuk berteman. Dimulai dengan langkah memperkenalkan diri dan langsung berubah ajakan pendekatan.

Baekhyun menghantamkan pensil ke dahi lawan bicara, dibuatnya sampai mengaduh. Ia kembali fokus pada catatan, "Dengar, kau hanya sama seperti yang lain. Dibuat penasaran saat mendengar rumor. Rasa ingin tahu bersifat sementara, setelah mendapat jawaban, kau akan kembali pada rutinitas biasa. Intinya, tidak. Aku tidak mau jadi teman dari orang yang cuma penasaran dengan sikapku."

Chanyeol memperhatikan flowchart dengan pikiran yang terfokus pada eksistensi dihadapan. "Friendly adalah labelku. Aku tidak berpikir untuk menjadi pahlawan dari orang yang ter-bully karena aneh. Yang membuatku ingin mengenalmu lebih dekat karena kita punya kesukaan yang sama, kan? Sejauh ini tidak ada satupun temanku yang mengidolakan orang yang sama."

Baekhyun teringat kejadian pagi ini. Ah, soal lagu toh. Ia menghela napas panjang, "Ayo kerjakan saja dulu tugasnya."

"Tidak. Jawab dulu—"

"Perspektif itu sudut pandang. Dalam seni, sudut pandang yang dimaksud adalah area yang dilihat ketika menciptakan sesuatu. Kalau suatu gambar, pelukisnya akan memikirkan dari sudut pandang mana ia akan menggambarkannya." Baekhyun memulai diskusi secara sepihak.

Chanyeol tidak suka diabaikan. Ia merebut pensil dari genggamannya dan mulai menggambar di buku catatan Baekhyun. "Kalau perspektif dibicarakan dari sisi pandangan orang terhadap kejadian. Cuma ada dua, orang itu realistis atau imajinatif. Realistis memegang prinsip berdasarkan fakta dan berpikir kritis. Imajinatif meluaskan area pemikiran tak terhingga dan melihatnya dengan berbagai ide yang kelihatan sekaligus menghidupkan serta tidak masuk akal, tapi biasanya disebut romantis."

"Chanyeol, ini kelas seni. Bukan psikologi." protes Baekhyun.

"Tapi dosen tidak mengatakan perspektif dari bidang apa kan. Tidak ada salahnya." alibi Chanyeol.

Baekhyun menepuk dahi lalu meliriknya, "Harus kuakui, aku baru saja mencapmu manipulatif."

Chanyeol berdeham, membersihkan kerongkongan sebelum memulai penjelasan, "Manipulatif itu memiliki dua kemampuan berharga. Mengatasi batas-batas ruang dan waktu, juga mengatasi keterbatasan indrawi. Dan aku sedang menghadirkan ide yang sulit direalisasikan jika hanya dibatasi sampai seni."

Baekhyun merebut pensilnya kembali, "Jangan keluar topik. Kita bahas estetik saja dulu."

Chanyeol menumpu kepala dengan tangan kanan lagi. Senyum tak tertahankan, ia sibuk memandangi lawan bicara. Beruntung sekali tugas berhasil diselesaikan tepat waktu. Pembicaraan mereka yang selalu tabrakan sungguh bencana. Baekhyun menarik tudung jaket ketika menyadari sudah merosot dari rambutnya. Ia berjalan keluar kelas, baru memasukkan tangan ke dalam saku jaket ketika Chanyeol menariknya.

"Ayo makan siang di kantin."

Baekhyun tertarik sampai maju selangkah tanpa prediksi dan tudung kembali merosot. "Aku belum menyetujui ajakanmu, kan." protesnya.

"Aku tidak mengajak. Ini namanya menarik paksa. Anggap saja balasan karena aku satu-satunya orang yang mau menjadi teman sekelompokmu tadi." ucap Chanyeol frontal.

Baekhyun memasang sebelah earphone sambil berdecak, "Tch, sudah kuduga."

Chanyeol mengangkat tangan kirinya dengan simbol peace seperti minta maaf dan berlanjut menariknya sampai tujuan. Kantin selalu berisik saat pergantian jam. Baekhyun memainkan sedotan pada kotak jus dan melirik sekeliling berkali-kali. Ia merasa tidak nyaman karena beberapa orang meliriknya dan Chanyeol. Berniat untuk memasang kedua earphone, Chanyeol bicara padanya, "Kalau kau mengetahui karena melihat, masih beruntung karena tidak mendengar." Baekhyun mengerjap, merasa linglung tidak bisa mencerna kalimat. Chanyeol menambahkan, "Terlebih lagi, kalau tidak nyaman melihat mereka, kenapa kau malah menutup indra pendengarmu? Cukup mengalihkan pandangan atau menunduk saja, kan."

Baru kali ini Baekhyun bertemu dengan orang yang memakai kata-kata sulit seperti yang biasa ia lakukan. Orang-orang biasa mengobrol dengan basa-basi yang mudah dipahami. Dengan terang-terangan ia memunculkan ekspresi bingung, "Apa maksudnya?"

Chanyeol menambahkan saus diatas roti lapis sambil menjelaskan, "Kau mengetahui kalau orang-orang disekitar sini sedang memperhatikanmu. Kau mengetahuinya karena kau melihat tatapan mereka. Bukankah itu lebih baik daripada kau mengetahuinya karena mendengar apa yang mereka katakan tentangmu? Kalau kau tahu, rasa tidak nyaman itu akan meningkat dua—tidak, sepuluh kali lipat."

Baekhyun menggenggam kotak jus, membawa sedotan mendekat padanya. Ia menyeruput sedikit-sedikit sambil mengobservasi. "Yah itu hal buruk. Membuatku merasa lebih tenang karena aku tidak mendengarnya."

"Ada yang pernah bilang kalau rasa tidak nyaman akan hilang jika kau mengetahui ada orang lain yang bernasib jauh lebih buruk darimu." Chanyeol menghabiskan roti lapis sebelum memulai obrolan, "Setelah ini, kau ada kelas apa?"

"Memangnya kenapa?" Baekhyun balas bertanya.

Chanyeol merubah posisi kaki di bawah meja sampai sepatu mereka bersebelahan. "Tidak ada salahnya kan aku bertanya."

Baekhyun menyenggol sepatu lelaki disebrangnya. "Kenapa kau tidak pergi saja dengan temanmu? Orang berisik sepertimu pasti memiliki banyak teman, kan."

Chanyeol melipat kedua tangan diatas meja, mencondongkan tubuh ke depan sambil tersenyum. "Ya benar sekali, aku punya banyak teman. Apa kau memperhatikanku?"

Kali ini senggolan di bawah meja berubah menjadi tendangan—yang tepat mengenai tulang kering pria yang lebih tinggi. "Bodoh. Aku cuma memperingatkan kalau kau berdekatan denganku begini temanmu akan segera menjauhimu—"

"Kau bukan orang aneh." potong Chanyeol dengan spektakuler—mengabaikan fakta kakinya yang nyut-nyutan minta perhatian.

Baekhyun mengangkat alis. Whoa, selaan yang tidak terprediksi. "Itu kedengaran menyentuh. Tapi aku tidak butuh." Matanya melihat ke bawah, ponsel menyala digenggaman tangan, "Dan sudah waktunya aku masuk kelas berikutnya. Jadi cukup sampai disini kau menggangguku." ucapnya final. Lalu bangkit dari kursi, menarik tudung jaket kebesarannya sampai menutupi poni dan membayangi mata.

Chanyeol tersenyum akrab, atau mulai terlihat seperti sok akrab. "Kita akan bertemu lagi besok, Baekhyun!" serunya. Sampai mengundang perhatian beberapa pasang mata lagi yang langsung Baekhyun abaikan.

Aku harap tidak. Warna kuning sangat mengganggu.

.

.

.

.

Hari berikutnya kebetulan didukung cuaca mendung namun tidak turun hujan. Cuaca sejuk ini Baekhyun manfaatkan dengan berangkat lebih awal. Padahal kelasnya baru dimulai dalam satu jam ke depan. Setelah mengganti sepatu di ruangan loker, ia sudah menetapkan tujuan untuk menyibukkan diri di perpustakaan. Dengan langkah semangat pula karena memiliki rencana awal untuk membaca judul buku yang sudah dinanti.

Ia membuka kenop pintu dan langsung disambut warna-warni buku yang tersusun rapi. Mahasiswa di dalam sana bisa dihitung dengan jari. Artinya ia memiliki waktu yang berharga untuk membaca karena sepi. Menyusuri salah satu rak yang sudah dihapal dari kemarin, ia menarik satu buku tebal sambil bersenandung dalam hati. Tempat duduk yang tak jauh dari rak tersebut juga senggang dari mahasiswa lain. Volume lagu diturunkan agar ia bisa fokus membaca sekaligus mendengarkan musik—jangan tanya kenapa ia bisa melakukannya sementara kebanyakan orang merasa terganggu. Halaman dibalik cepat, kemampuannya membaca tidak perlu diragukan lagi. Dalam limabelas menit, lembaran buku sudah sampai seperempatnya.

Tiba-tiba sebuah tangan hinggap di samping bukunya, punggung dan kepalanya terbebani oleh massa seseorang di belakangnya. Baekhyun berjengit, hampir berteriak sebenarnya—tapi refleks paling menakutkannya itu juga nyaris aktif yang tak lain adalah melakukan kekerasan semacam pose beladiri dimana dirinya akan memutar lengan tersebut.

"Whoa, dilihat dari ketebalannya, buku bacaanmu berat juga."

Sampai suara om-om merasuki telinganya, Baekhyun tidak perlu paranoid—mungkin perlu menampar sedikit karena sebelah kanan earphone-nya dilepas tanpa izin. Ia memutar mata yang sudah pasti tidak bisa dilihat orang tersebut. Dengan sengaja, ia mengangkat kepalanya yang menunduk dengan cepat sampai menghantam dagu yang sempat singgah di atas rambut hazelnya.

"Ouw! Itu sakit! Apa yang kau lakukan Baekhyun?!"

Baekhyun menoleh setelah massa yang membebaninya hilang. Mendapati Chanyeol yang mundur beberapa langkah sambil memegangi dagunya. Dengan alis menukik, Baekhyun balas ngegas, "Kau sendiri sedang apa, Park Chanyeol?!"

"Oi yang disana! Ini perpustakaan! Jangan berisik!"

Dua kepala memutar ke sumber suara lalu agak menunduk sebagai permintaan maaf. Baekhyun menunduk lebih dalam dari yang satunya, sengaja agar ia tidak melihat warna yang tidak ingin dilihatnya. Kemudian lelaki tinggi itu menempati kursi di samping kiri Baekhyun. "Aku menyapamu dan ini balasannya?" tanya Chanyeol dengan jari telunjuk mengarah pada dagu.

Baekhyun masih menatapnya kesal, "Anak kecil juga tahu tadi itu mengagetkan. Dimana-mana menyapa didahului salam bukan komentar." jawabnya agak sinis.

"Baiklah aku yang salah. Lagipula dimana-mana wanita selalu benar." ucap Chanyeol dengan nada sok pasrah yang mengundang lirikan tajam di sampingnya.

Tanpa ragu-ragu, ia menginjak sepatu Chanyeol sampai lelaki itu hampir mengaduh keras-keras lagi. Untungnya berhasil ditahan—teriakan Chanyeol bukan niat Baekhyun. Ia kembali menghadap lurus pada buku namun tetap mencak-mencak, "Dasar nggak sopan. Dilihat dari atas sampai bawah juga orang-orang tahu aku ini laki-laki. Atau matamu perlu kucongkel dan kubersihkan terlebih dahulu biar jernih?" intimidasi seram itu didukung sebuah pensil berujung tajam yang ditodongkan.

Chanyeol mengangkat satu tangannya sebagai pose menyerah. "Aku bercanda," lalu jeda dan menanamkan baik-baik kalau Baekhyun itu seram di dalam pikiran dan melanjutkan, "padahal kau sungguhan unyu kalau dilihat dari atas sampai bawah." sambungnya tanpa pikir panjang. Sepertinya penanaman asumsi tadi tidak ada gunanya karena kalimat itu cuma mengundang kesal berlebih.

Baekhyun hampir kehabisan akal untuk melakukan pelanggaran hak asasi dalam bentuk kekerasan—yang tidak kelewat batas tentu saja, meski ia menginginkan sebaliknya. Ia sudah lelah dengan warna kuning yang menyakitkan mata. Menabahkan diri dalam hati, "Rayuan cetek. Kau tidak mendapatkan maafku." balasnya mengikuti permainan.

Chanyeol menopang kepala dengan tangan kiri sebelum bertanya, "Oh kenapa juga aku harus minta maaf?" sambil mengulurkan tangan kanannya untuk meraih sebelah earphone yang menggantung di depan dada Baekhyun. Untuk dikenakan sepihak.

Lelaki yang lebih pendek membalik halaman buku dengan tenaga dalam, untung tidak sampai merobeknya. "Karena sudah dengan tidak sopannya mengganggu kehidupan tenangku. Dasar bad boy." perkata ditekan kuat-kuat bersamaan dengan tangannya menarik kembali earphone.

Tidak sesuai ekspetasi, Chanyeol justru tersenyum miring sambil berkata, "Ohhhh jika itu preview yang kau inginkan dariku… itu akan terlihat sangat keren. Plus, jangan tampilkan wajah merajuk seperti itu. Kau jadi lebih imut dari biasanya."

Baekhyun menjatuhkan rahang bawah, tidak percaya kalimatnya dibalikkan semudah itu. Darah mengalir ke wajahnya, ia memerah sampai ke telinga. Kemudian menunjuk Chanyeol dengan agak kalap, "K-Kau—!" belum sempat mengutarakan kontranya, jari telunjuk lawan bicara menempati depan bibirnya, mengunci semua perkataan yang siap keluar dari mulutnya.

"Ssshh, jangan berisik. Nanti kau tidak bisa menyaksikan parameter bad boy-ku yang meningkat kalau diusir dari sini."

Baekhyun menghempaskan tangan dengan kasar lalu menarik tudung jaketnya tanpa sekat. Ia memegangi buku sampai diremas kuat tanpa sadar sebagai pelampiasan. Melanjutkan membaca paksa dan mengabaikan eksistensi makhluk di sampingnya. Kalau tidak ingat tempat, ia pasti sudah menendang kursi Chanyeol sampai orang itu terjatuh lalu menggelindingkannya sampai pintu keluar.

Jangan dibayangkan.

Dalam situasi hening itu, pikirannya malah mencar kemana-mana. Baru terasa betapa panas wajahnya, ia bisa membayangkan warna merah pekat. Merasa semakin malu setelah menyadari, merah semakin menggelap di kulit putih itu. Diam-diam jadi tontonan Chanyeol yang sengaja tidak memulai candaan lagi. Yang membuat Baekhyun tak habis pikir, bukan kalimat Chanyeol lah sumber utama warna di wajahnya ini. Tapi senyuman miring itu—

AaaAAAaargghh! Jangan diingat lagi!

Baekhyun malah menutup wajahnya dengan buku sebagai refleks. Chanyeol menahan tawa sekuat tenaga, menyembunyikannya dengan senyuman lebar ketika melihat telinga yang terekspos itu tak malu bersemu. Suara kecil dalam pikiran menggema,

Baekhyun manis sekali.

Baekhyun capek. Depresi sendiri karena tidak berhasil mengusir Chanyeol dengan kalimat sarkas maupun refleks kekerasannya. Lelaki tinggi itu malah dengan santainya sesekali melingkarkan lengan melewati bahu Baekhyun, terus-menerus berusaha menyelipkan helaian poni hazel Baekhyun yang selalu mencoba untuk jatuh dari belakang daun telinganya—itu yang paling membuatnya depresi. Juga sebelah earphone-nya sudah menggantung manis di telinga Chanyeol. Berbagi suara indah milik vokalis Akdong.

Hari itu, Baekhyun membuat catatan dalam hati agar ia tidak lagi mengatakan suatu hal yang memicu rasa malu pada dirinya. Dan Chanyeol pun membuat catatan, ia perlu bersikap lebih berani lagi untuk menggoda Baekhyun agar lelaki itu menaruh perhatian padanya.

.

.

.

.

Bukan hal yang aneh bagi Baekhyun melihat diskriminasi di universitasnya. Ia baru sampai universitas dan berjalan santai di koridor utama. Berjarak lima meter darinya, ada seorang mahasiswa yang berpenampilan agak nerd. Bajunya terlalu rapih sampai kaos dimasukkan ke dalam celana kain. Rambutnya juga tidak terlihat berantakan, tidak bergaya kekinian. Orang seperti itu adalah sasaran empuk para penguasa lorong. Tiga orang berjalan beda arah darinya dan salah satu diantara mereka menjulurkan kaki, sengaja licik hati.

Mahasiswa nerd itu tersandung, lutut jatuh duluan dan tangan bertumpu pada lantai agar wajah tidak menabrak juga. Dibelakangnya, tiga orang itu sudah tertawa puas. Baekhyun menyipitkan mata, berniat berjalan mendahului tapi berakhir menyenggol keras bahu trio penguasa lorong dengan sengaja. Lalu berhenti dan mengulurkan tangan pada mahasiswa itu.

"Ah, terima kasih." ucapnya, menyambut bantuan.

"Aku hanya tidak tahan mendengar warna hitam." celetuk Baekhyun tanpa pikir panjang.

Lelaki nerd itu mengerutkan dahi, tidak mengerti maksudnya. Baekhyun memberikan ekspresi agar tidak terlalu dipikirkan. Menoleh ke belakang, ia berkata, "Mereka akan menargetkanmu juga karena sudah membantuku begini."

Baekhyun hanya berfokus pada lawan bicara, mencegah dirinya untuk melihat warna hitam pekat namun malah disuguhi pendar abu-abu dihadapannya. "Aku sudah terbiasa. Dan aku bisa mengatasinya sendirian."

Tersenyum sekali lagi, mahasiswa itu pamit. Inner Baekhyun sudah mengatakan bahwa sekolah hari ini akan berakhir buruk. Terbukti ketika pergantian pelajaran berselang. Ia menggenggam kunci di dalam saku jaket dengan erat saat melihat lokernya memiliki gembok tambahan. Ia memejamkan mata dengan helaan napas panjang.

Klik.

Kedua mata terbuka, melihat gembok tidak dikenal itu sudah dilepas dari pintu lokernya. Menoleh ke samping, pendar kuning jingga memenuhi area pandang.

"Beruntung sekali aku mendengar percakapan licik berandalan itu. Jadi aku bisa lebih cerdik dan merampas kunci ini dari mereka." jelas Chanyeol sebelum ditanya. Gembok asing menggelantungi jari tangannya.

Baekhyun mengangguk, "Yeah, terima kasih." ucapnya singkat sekaligus setengah ikhlas. Mulai bertanya dalam hati kenapa ia tidak terkejut melihat Chanyeol di sampingnya lagi.

Chanyeol bersandar pada loker lalu berkata, "Well, kau mau mengambil resiko meski sudah tahu akan berakhir begini jika menolong orang. Jadi kau ini bodoh atau punya sifat peduli dengan kadar tinggi?"

Mengambil barang yang diperlukan, Baekhyun menutup pintu loker dengan cepat. "Aku hanya tidak suka melihat hitam pekat di depanku. Bukan hanya tiga orang itu saja, tapi juga kondisi ruangan yang berubah jadi ekspresi tertawa."

Chanyeol bersiul, "Wow, caramu melihat dunia berbeda, ya. Jadi ini yang dirumorkan orang-orang."

"Silakan sebut aku skizofrenia atau berhalusinasi. Toh itu sudah jadi cemilanku setiap hari. Sampai kuanggap label ekspayer." Kata Baekhyun sambil mengunci pintu loker. Ia berjalan menuju kelas selanjutnya dengan Chanyeol yang masih mengikutinya.

"Tidak. Itu keren." Ungkap Chanyeol dengan senyum lebar. Baekhyun menoleh cepat padanya sampai melambatkan langkah kaki. Lalu Chanyeol melanjutkan, "Bisa melihat warna ketika disuguhi ekspresi. Terdengar seperti kemampuan istimewa, kan?"

Seperti tetesan air yang jatuh dan memercik, gelombang sewarna emas pantulan sinar hangat matahari muncul. Baekhyun bisa merasakan kehangatannya sampai fisik. Ia agak tersipu karena belum ada orang yang mengatakan pendapat positif tentang keadaannya. Menarik tudung jaket sampai mata yang sudah menjadi rutinitas lalu berdeham pelan, ia buka suara, "Yah, aku hargai pendapat itu tapi ini disebut synesthesia. Terima kasih."

Kedua mata Chanyeol berbinar melihat sikap lembut Baekhyun. Dengan senyuman semakin lebar, ia menepuk bahu Baekhyun sebelum pergi dan berkata, "Jangan menenggelamkan ekspresi warna itu. Itu hal unik yang membuatmu berbeda dari yang lain."

Kuning jingga matahari terbenam menguat jadi kuning keemasan matahari terbit.

.

.

.

.

Selama dua hari berikutnya, Baekhyun menjadi korban lagi. Hari pertama buku catatannya dirobek dan sepatu gantinya diikat di ring basket. Hari kedua jaketnya tersangkut di dahan pohon yang cukup tinggi dan lagi-lagi sepatu gantinya jadi sasaran, ditemukan tergeletak di genangan air saat hujan. Tapi itu tidak mengganggu Baekhyun sama sekali. Ia malah heran karena Chanyeol selalu hadir untuk membantunya. Ia tidak kaget, cuma heran.

Chanyeol meminjamkan catatannya agar Baekhyun bisa menulis ulang—beruntung sekali mereka ada di kelas yang sama. Sepatunya yang diikat di ring basket juga diambilkan Chanyeol. Figurnya yang tinggi, ia hanya perlu sebuah kursi untuk berdiri di atasnya dan menguraikan ikatan tali sepatu dengan mudah. Tapi bantuan itu tidak cuma-cuma, ia berkali-kali menyinggung untuk mendapatkan nomor telepon Baekhyun—dengan hasil nihil tentu saja. Dan untuk hari ini… Baekhyun yang kebingungan mencari jaketnya, tidak sengaja melihat objek tersangkut dari lantai tiga. Ia segera turun ke tempat tujuan dan terkejut melihat Chanyeol sudah duduk di dahan pohon dengan jaketnya dalam dekapan.

"Oh, haiii Baekhyuuun! Jaketmu sudah aman."

Baekhyun menutup mulutnya, antara mencegah tawa dengan tangan atau mencegah rahangnya jatuh karena syok. Sungguh tindakan Chanyeol membuatnya geleng-geleng kepala. "Chanyeol, aku tersanjung karena kau mau membantuku. Tapi.. astaga, kau sampai naik kesana segala… pfffhh!" nyaris tidak bisa menahan tawa.

Chanyeol melompat turun dengan mudah, mengulurkan jaket pada pemiliknya. "Kalau tidak naik ke sini, bagaimana cara mengambilnya? Aku yang sudah setinggi ini saja masih nggak sampai." Ucapnya diakhiri senyuman jenaka.

Perempatan imajiner muncul di sudut dahi Baekhyun. "Aku hampir menyesal menilaimu baik."

"Ooops, jangan mudah tersinggung. Hal pentingnya adalah aku tidak menyebutmu pendek secara terang-terangan." balas Chanyeol dengan senyum kemenangan yang menyebalkan. Tapi penampilannya semakin lucu dengan tiga helai daun bertempat di rambut dan bahunya, sikunya juga agak kotor karena batang pohon.

Baekhyun akhirnya tertawa juga namun secepat mungkin ditahan-tahan. Ia mengulurkan tangan dan maju selangkah lebih dekat, Chanyeol hampir melangkah ke belakang karena tidak siap dengan jarak yang menipis. Baekhyun tidak mengambil jaket, melainkan membersihkan rambut dan kemeja Chanyeol sampai berjinjit. "Seandainya kau melihat betapa konyolnya dirimu. Warna kuning itu terlalu pekat, pfhahaha!" membungkuk dan memegangi perut, Baekhyun butuh jeda waktu. Lalu ia segera menyudahi tawa, jaket diambil alih, "tapi yah.. terima kasih, Chanyeol." tambahnya diakhiri senyuman tipis tepat di depan wajah lawan bicara. Diam-diam menelusupkan sobekan kertas ke dalam saku hoodie lelaki yang lebih tinggi.

Chanyeol terpana sesaat. Angin dingin musim hujan bisa didengarnya dengan jelas, begitu pula dengan Baekhyun. Baekhyun hanya menautkan alis dua detik ketika melihat Chanyeol yang berbinar menatapnya. Ia segera pamit dan mengenakan jaketnya, meninggalkan lawan bicara yang masih terpaku di tempat dengan wajah bodoh. Tidak mau repot-repot memikirkan kenapa Chanyeol berekspresi seperti itu.

Kemudian saat pelajaran hari ini berakhir, Baekhyun tidak menemukan sepatu gantinya di dalam loker. Hujan yang terlihat dari ruangan berdinding kaca itu sudah berubah menjadi rintik tak berarti. Seorang kenalannya dari kelas musik mengatakan jika ia melihat sepasang sepatu di lapangan. Baekhyun melepas sepatu dan memasukkannya ke dalam loker lalu berjalan keluar, menyusuri lorong samping lapangan. Kedua matanya terpaku pada sepatu basah di atas genangan air. Tanpa alas kaki, ia menapaki lapangan yang basah dan mengambil sepatu dengan satu tangan. Kepalanya tertutup tudung jaket agar tidak terkena rintik hujan secara langsung.

Ia berjalan ke koridor depan sambil menenteng sepatunya. Hanya tersisa sedikit orang disepanjang lorong. Baru saja sampai tujuan, suara lantang memanggil namanya dari belakang.

"Hey, Baekhyuuun!"

Ah. Suara itu.

Chanyeol melambaikan tangan padanya lalu berdiri di sampingnya. "Belum pulang? Kebetulan sekali hari ini pelajaran kita berakhir di jam yang sama…" kedua matanya melirik tentengan Baekhyun, "...sepatumu kenapa?"

Baekhyun menatap kaki dan sepatunya bergantian, "Oh ini? Biasalah. Sepatuku basah terendam genangan air. Jadi tidak kupakai." jawabnya santai. Menganggap kalau hal ini bukan masalah sama sekali.

Chanyeol ber'oh' panjang. Sempat memikirkan suatu hal lalu ikut melepas sepatunya agar sama-sama telanjang kaki. Baekhyun menatapnya bingung dan dijawab dengan senyuman. Chanyeol menenteng sepatu di tangan kiri. Dengan tangan kanan, ia menarik tangan Baekhyun yang bebas, mengajaknya berjalan di atas genangan air dan di bawah rintik hujan.

"Ayo pulang! Mumpung cuma gerimis, sekalian becek-becekan juga tidak apa-apa."

Dan dengan itu, Chanyeol memulai langkah. Belum sempat memprotes, Baekhyun terpaksa mengikuti karena tidak bisa melepaskan tangannya dari genggaman lelaki tinggi itu, lagi-lagi tudungnya merosot memperlihatkan rambut hazelnya. Chanyeol bersenandung pelan namun riang. Baekhyun tidak bisa mengalihkan pandangannya. Sepertinya ia harus menghitung berapa kali si lelaki kuning ini membuat tudung jaketnya merosot. Dan membuat catatan untuk memeringati karena itu sangat mengganggu baginya.

"Sesekali kembali jadi anak-anak cukup menyenangkan, ya. Kau bisa mendengar percikan air ketika kita berjalan di atasnya. Kau juga bisa mendengar rintik hujan yang jatuh di samping telingamu. Itu bukanlah suara yang buruk untuk didengar, kan?" kata Chanyeol setelah menoleh padanya. Kemudian ia membawa Baekhyun melompat ke genangan air sampai memercik ke segala arah.

Baekhyun ingin memprotes. Sudah ditarik paksa, tangannya tidak dilepas, trus ciprat air sana-sini. Cowok ini mahasiswa apa anak tk?!—cuma disimpan di dalam hati. Lagipula warna yang ia lihat tidak buruk sama sekali. Kuning masih menguar kuat disekeliling Chanyeol, tautan tangan mereka dikelilingi warna hijau, genangan air berwarna turquoise, percikannya memantulkan sinar matahari yang mengintip dibalik awan mendung, rerumputan basah bersinar peridot, halte yang mereka lewati berpendar violet. Tidak ada warna hitam yang mengganggunya. Warna cerah ia lihat tanpa batas. Di genangan air berwarna marigold, ia melihat pantulan lain yang lebih indah.

Chanyeol menarik tangannya beberapa kali sambil berkata, "Baekhyun, lihat ke atas! Hujannya berhenti."

Baekhyun beralih mengangkat kepala, menengadah melihat bayangan nyata dari genangan air tadi, langit yang dihiasi tujuh warna. Kedua matanya membesar dan berbinar, mulut menganga kecil karena takjub. Ia sudah terbiasa melihat warna di setiap tempat. Tapi memang tidak ada yang bisa mengalahkan keindahan pelangi.

"Indahnya…"

Chanyeol menatap Baekhyun yang terpana. Dadanya dipenuhi perasaan senang sampai sesak dan siap meledak. Ia sungguh merasa beruntung bisa membuat Baekhyun mengeluarkan ekspresi secerah itu. Baekhyun selalu menutup diri, menjaga lingkarannya kecil dan dindingnya tinggi. Dan synesthesia, bagi Chanyeol, artinya adalah beragam ekspresi hangat perasaan yang indah untuk diperlihatkan. Istimewa dari yang istimewa. Tentu saja muncul kepuasan tersendiri ketika berhasil mendorong ekspresi Baekhyun ke permukaan.

"Chanyeol.."

"Ya?"

"Bisa kau lepaskan tanganku sekarang?"

Chanyeol melakukannya dengan segera. "A-Aku hanya memastikan supaya kau tidak tertinggal langkahku saja tadi, ahaha." Agak gugup karena tidak mau mengetahui apakah Baekhyun menyadari pandangannya. Kemudian merutuki diri sendiri yang terbata padahal dirinya sudah terbiasa menggoda Baekhyun.

Baekhyun tidak melakukan apapun selain memunculkan senyum nyata. "Terima kasih sudah menarikku paksa. Aku jadi bisa melihat warna indah yang sudah lama tidak kulihat." Diakhiri senyuman manis.

Sialan.

Bukankah Chanyeol benar-benar beruntung?

Maksudnya, lihat lebih baik pemandangan penuh berkah itu. Sinar matahari mengintip sedikit dibalik gumpalan awan, memantulkan cerahnya pada mahkota hazel Baekhyun. Senyuman manis sampai kedua mata menyipit menghangatkan hati. Pelangi di atas sana mungkin kalah indah dari eksistensi yang satu ini.

Baekhyun memiringkan kepala, "Chanyeol kau baik-baik saja? Apa gerimis sudah membuatmu pusing? Wajahmu merah."

Chanyeol berbalik dengan cepat, bermaksud menyembunyikan wajah. Lalu membuat gumaman tidak jelas, "Hmmmmmungkin…? Ayo jalan lagi saja!" beruntung sekali Baekhyun cukup polos atau sedang tidak konek untuk mengejek ekspresinya. Lalu hening sesaat dan Chanyeol kembali menoleh ke belakang hanya untuk mengatakan hal tak terduga. "Omong-omong Baekhyun, kalau kau memang berniat memberiku nomor telepon—" menghentikan langkah dengan sengaja, ia berbisik dekat telinga, "—tidak usah sembunyi-sembunyi. Pakai sobekan kertas segala pula."

Gantian wajah Baekhyun memerah, gelagapan sampai kehabisan kata-kata.

.

.

.

.

Berhari-hari ke depan, Chanyeol tidak absen mengiriminya pesan basa-basi. Sekedar menanyakan aktivitas atau mengejeknya sebagai candaan. Baekhyun jadi menimbang seberapa besar penyesalannya memberikan nomor dengan cuma-cuma. Ia jadi sering terganggu setiap mendengarkan musik. Tujuan mendengarkan musik baginya yaitu untuk mendengar warna yang ia sukai. Namun dengan naas berakhir tidak karena sibuk membalas pesan. Pernah sekali, ia terus terang pada Chanyeol kalau pesannya mengganggu aktivitasnya. Tapi Chanyeol hanya membalas dengan godaan seperti biasa;

Tapi sangat menyenangkan bisa berbalas pesan denganmu! Lagian menggunakan earphone setiap hari tidak baik lho. Karena sudah ada aku, kau tidak perlu menyibukkan diri dengan nada lagu ^o^

Setelah membacanya, Baekhyun mengurangi timbangan penyesalannya. Tapi tetap saja dia tidak akan mengakuinya terang-terangan.

Hari itu, untuk pertama kalinya Baekhyun mempertimbangkan untuk menggunakan earphone atau mengikuti saran Chanyeol. Pasalnya, ia akan memakainya saat sendirian seperti ini. Earphone dilepas dari telinga, dimasukkan ke dalam saku jaket. Ia membiarkan telinganya mendengar nada hujan yang berwarna sapphire dibandingkan lirik lagu. Berjalan di lorong dengan santai setelah kelas berakhir. Ia memegang perutnya refleks ketika mendengar gemuruh dari dalam. Baru teringat tidak sempat makan siang. Berpikir bahwa kantin adalah tujuan terbaik saat ini, dengan berat langkah ia menuju ke sana.

Selesai membeli makanan, kedua matanya tak sengaja melihat Chanyeol di antara mahasiswa yang memenuhi kantin. Ia menggenggam plastik makanan dengan erat, berjalan agak cepat menghampirinya. Tinggal tiga meter, langkahnya terhenti. Ia terlalu fokus pada pikiran sampai-sampai hanya mendengar suara detak jantung dan jarum jam saja.

Kalau aku bilang hai padanya, apa dia baik-baik saja dengan sebuah obrolan?

Tapi kenapa juga Baekhyun harus menyapanya. Tidak ada peraturan seperti itu dalam hidupnya. Selama ini Chanyeol yang mendatanginya dan terus merecokinya dengan alasan agar bisa lebih dekat.

Tangan yang bebas meremas ujung jaket cukup kencang. Baekhyun menarik napas dan melangkah semakin dekat. Ia baru menyadari bahwa Chanyeol menyumpal sebelah telinganya dengan earphone dan tangan sibuk menulis pada buku yang terbuka di atas meja. Ia mengurungkan niat untuk mengulurkan tangan, baru menyadari bukan warna kuning yang dilihatnya. Melainkan warna jingga kemerahan peringatan matahari berganti bulan. Juga seperti warna langit merah setelah ledakan. Mulutnya baru akan terbuka untuk memanggil namun fokusnya dibuyarkan dengan bisik-bisik yang merayap masuk ke telinga.

"Ah benar, dia kan?"

"Iya orang itu. Menakutkan, aku tidak mau ada di dekatnya."

"Aku juga tidak mau jadi temannya."

"Sssshhhh! Chanyeol bisa mendengar meski kita sudah bisik-bisik begini lho"

Baekhyun memperhatikan sekitar. Menyadari jika orang-orang sibuk bergosip tentang Chanyeol dengan bisikan. Kedua tangannya terkepal disamping tubuh. Tidak nyaman melihat warna hitam dimana-mana. Ia juga baru menyadari ketika mengintip dari bahu Chanyeol, buku tulis yang terbuka itu penuh coretan yang kurang lebih isinya seperti ini;

'Hentikan

Aku bisa mendengar kalian

Kalian selalu mengatkaan hal yang sama, tidak bosan apa?

Tolong hentikan…

Siapapun tolong hentikan mereka..'

Baekhyun menelan kegugupannya dan mendaratkan telapak tangan di atas bahu Chanyeol. "Hai, Chanyeol."

Chanyeol menutup buku secepat kilat, wajahnya menoleh dengan ekspresi biasa, dihiasi senyuman. "Oh, Baekhyun. Kelasmu sudah bubar?"

Baekhyun mengangguk. Kemudian ia menarik lengan bawah Chanyeol. "Ayo ikut denganku."

Chanyeol mengernyit. Tapi ia hanya menuruti tanpa jawaban. Mereka berdua jalan keluar dari kantin diikuti beberapa sorot pandang. Baekhyun masih menggenggam sekitar lengan bawah lelaki yang lebih tinggi, langkah kakinya menuju tempat sepi yang bisa menyimpan rahasia. Mereka berhenti di lorong samping lapangan. Hujan sudah berhenti. Beberapa mahasiswa menggunakan lapangan itu untuk bermain futsal, mengabaikan sinar oranye matahari hampir terbenam menandakan petang akan tiba. Ia duduk di tepi lantai, Chanyeol mengikutinya.

Ia memulai topik pembicaraan, "Kenapa kau betah di tempat yang jelas-jelas merendahkanmu itu?"

Chanyeol masih kebingungan. Diam seperti pikirannya tertinggal di kantin. Tapi ia berhasil mendapatkan fokusnya seperti biasa dan mulai berpikir. "Yah… soalnya kalau aku pergi dari sana kesannya seperti aku melarikan diri."

"Orang-orang seperti mereka yang suka membuat rumor tentang siapa saja.. itu juga hitam pekat yang kubenci." kata Baekhyun dengan ekspresi kelam.

Chanyeol tertawa kecil melihatnya. "Wajah marahmu itu kelihatan lucu dilihat sedekat ini."

Baekhyun menatapnya kesal dengan wajah memerah, "Aku serius! Kalau mereka bergosip tentang orang sepertiku itu wajar karena aku memang mengatakan hal-hal aneh. Tapi kalau tentangmu? Itu tidak benar!"

Chanyeol melihat sekumpulan mahasiswa di lapangan yang penuh canda tawa. Pandangannya tidak pasti. "Aku tersanjung dibela oleh orang sepertimu. Mereka mungkin hanya agak takut denganku. Rumornya adalah aku yang dibilang bisa mendengar apa saja yang dikatakan seseorang meski bersuara pelan dari jarak yang jauh."

Baekhyun memerhatikan lawan bicaranya, "Oh, jadi karena itu telingamu caplang?"

Chanyeol tertawa lagi, lebih keras. "Astaga, Baekhyun. Kau tahu betapa lucunya kalimatmu?" jeda lagi untuk mengenyahkan tawa lalu memulai cerita, "Aku terlahir tunarungu. Kata ibuku, alat bantu dengar baru dipasang saat umurku tiga tahun. Selama tiga tahun pertama aku bernapas, aku tidak pernah mendengar apapun. Seolah terjebak kesunyian tanpa akhir. Itu sangat menyeramkan, bahkan bagiku lebih buruk dari gelap."

Baekhyun memiringkan posisi duduknya, agar bisa memerhatikan lebih jauh.

Chanyeol melanjutkan, "Saat tahun pertama sekolah dasar, aku punya pengalaman buruk ketika anak-anak yang lain mengejekku karena bentuk telinga dan benda aneh yang terpasang disana. Bahkan saat sekolah menengah pertama, aku pernah kelupaan memakai alat bantu itu dan baru menyadarinya saat di sekolah. Lagi-lagi beberapa temanku mengejek, sisanya menatap prihatin. Lalu di tahun pertama SMA, aku mengalami kecelakaan yang mengakibatkan benturan keras di kepala. Mungkin sesuatu di otakku berubah sambungan… karena saat aku sadar, aku mendengar suara dengan sangat jelas tanpa alat bantu. Untuk yang pertama kalinya, aku merasa sangat hidup. Tapi pendengaranku ini juga berbeda dari yang lain. Lebih sensitif dan peka terhadap suara meski itu dari jarak yang jauh dan diucap pelan. Tapi masih batas wajar sih menurutku, hanya jarak tujuh meter saja."

Baekhyun merubah posisi kaki dan mulai menarik kesimpulan, "Jadi orang-orang universitas mencelamu karena kemampuan hebat itu? Wow, betapa kurangnya titik di otak mereka."

Chanyeol mengernyit. "Hah? Titik?"

Baekhyun melebarkan mata sesaat dengan tangan yang bergerak untuk menutup mulut tapi terhenti di depannya. "Ah, maaf. Kalimat anehku kambuh." Kemudian seperti teringat sesuatu, otaknya mendukung dengan mereka ulang kalimat saat itu…

Kalau kau mengetahui karena melihat, masih beruntung karena tidak mendengar.

Ah jadi begitu, pikir Baekhyun. Tatapannya tertuju ke bawah dan terdiam. Chanyeol mendekat, menabrakkan dahinya pada Baekhyun. "Kalau begitu kita duo orang aneh. Kau dengan kemampuan melihat yang tidak wajar. Dan aku dengan kemampuan mendengar yang tidak wajar."

Baekhyun menarik mundur tubuhnya, tangan terangkat mengelus dahinya yang berdenyut. "Itu sakit, astaga. Kau sengaja, ya?!"

Chanyeol menahan tawa. Ia tersenyum sementara pandangan fokus pada sepatu. "Tidak semua orang berpikiran dangkal. Aku masih punya teman yang pemikirannya satu tingkat di atas mereka."

"Mereka tidak seharusnya menjauhi orang friendly sepertimu." celetuk Baekhyun.

Chanyeol sumringah seketika. Menoleh dengan cepat, senyum lebar, mata berseri, "Kan, kan, kan—kau baru saja mengatakan aku ini ramah. Kau perhatian sekali, sungguh. Jangan malu-malu begitu mengatakannya."

Baekhyun mendorong Chanyeol menjauh lalu melihat lurus ke arah lapangan. "Tolong diam. Well.. aku tetap saja kagum. Kau bisa menahan rasa tidak nyaman sebesar itu. Sedangkan aku yang cuma melihat hitam saja sudah pergi…" ungkapnya.

Chanyeol menyenggol sepatu Baekhyun, "Tapi kau sudah berani menolong orang saat situasi hitam berlangsung. Bukankah itu kemajuan?"

"Kuakui kau benar…" kalimatnya bersuara pelan.

"Omong-omong Baekhyun… kau menyapaku di kantin tadi… rasanya seperti mimpi. Aneh sekali."

Gantian Baekhyun yang menyenggol sepatunya—agak keras. "Apa maksudnya itu?!"

Chanyeol menatapnya dengan senyum jenaka. "Yah habisnyaaaa, aku tidak menyangka saja. Sikapmu kan agak dingin, biasanya juga aku yang menyapamu duluan. Jadi aku kaget saja. Tapi…" senyumnya berubah lebih bahagia, "..aku sangat berterima kasih karena kau mengakhiri situasi tanpa ujung seperti itu. Telingaku dipenuhi bisikan negatif mereka sampai tidak sadar kau ada disana juga."

Baekhyun merasa malu karena Chanyeol melihatnya disaat orang lain tidak melihatnya. Terselip juga rasa lega melihat kuning keemasan kembali memenuhi area pandang. Mengabaikan rasa itu, ia mengeluarkan makanan dari plastik, "Aku membeli tiga roti lapis, kau mau satu?" tawarnya, alibi mengalihkan topik pembicaraan.

Chanyeol mengangguk menyetujui sambil mengambil satu. Baekhyun mengunyah gigitan pertama. Matanya memandangi lapangan. Makan dalam diam. Setelah selesai, Chanyeol yang pertama membuka suara, "Haaaaah, telingaku lega sekali. Suara disini tidak buruk untuk didengar."

Baekhyun memandangnya lama. Suara-suara di lapangan menjadi samar karena suara pikirannya terlalu banyak. Ia menyadari banyak hal. Fakta bahwa ia mau menerima orang lain untuk dekat dengannya dihasilkan oleh logika. Tapi jauh di dalam hatinya, ia justru merasa lega karena ada orang lain yang mau menerimanya setelah ia mengalami penolakan berkali-kali oleh sosial.

Sudah lama sekali sejak ia mulai membenci warna. Sudah lamaaaaa sekali ia memblok segala warna dengan hitam pekat. Membuatnya tidak nyaman sendiri atas blokade hitam yang ia ciptakan. Dan akhir-akhir ini warna yang ia lihat tidak buruk. Ruangan tidak tertawa padanya. Langit tidak tertawa padanya. Alam tidak tertawa padanya. Kondisi ruang justru membuatnya tertawa dengan natural, membuatnya tersenyum senang. Ia tidak peduli jika masih ada orang yang memalingkan wajah darinya, ia tidak peduli dengan mereka yang juga tidak mempedulikannya. Ia memiliki satu orang yang selalu berdiri di sampingnya dalam kondisi apapun.

Secara tiba-tiba, ia merasakan tekstur lunak menyentuh pipinya. Secara refleks tangannya bergerak menutupi pipi dan menoleh.

Chanyeol tersenyum jenaka sebelum berbisik rendah, "Jangan melamun, Baekhyun."

Wajah Baekhyun memanas, rona merah muncul tanpa bisa ditoleran.

Hei, Chanyeol baru saja mencium singkat pipinya?

"Itu tidak sopan, kau tahu." suaranya terdengar pelan.

Chanyeol perlu mendekatkan diri agar bisa menangkap apa yang dikatakan—setidaknya itu yang Baekhyun pikirkan. Tapi rasanya tidak mungkin jika Chanyeol tidak bisa mendengarnya. Lalu Chanyeol mendekat dengan senyuman yang membuat rona wajahnya tambah parah. "Untuk beberapa alasan, kalimat itu tidak semarah seperti yang seharusnya."

Baekhyun langsung berdiri, mencegah jarak menipis yang berbahaya. "Sudah sangat sore, waktunya pulang." ucapnya dengan cepat lalu mengenakan tudung jaketnya dan berjalan pergi.

Chanyeol agak kesal karena ditinggal. Urh merusak suasana. Dengan langkah kaki yang lebar ia berhasil menyusul dengan cepat. Matahari hampir tidak terlihat lagi, menandakan betapa telatnya mereka pulang dari universitas. Baekhyun memberanikan diri mengatakan isi pikirannya, "Hei, Chanyeol…"

"Hm?"

"Kau tahu… uh… aku ingin berterima kasih karena kau orang pertama yang bisa mendengarku."

Chanyeol mengalihkan perhatian dari langit ke lelaki yang lebih pendek. "Kau hanya perlu mengeraskan suara saat bicara."

Baekhyun meliriknya dengan tatapan setengah kesal setengah malas. "Bukan hal itu maksudku. Tidak seorangpun bisa mendengar perasaanku yang ditinggal sendirian. Jadi aku… sangat senang karena akhirnya ada orang yang menarikku dari warna kelabu."

Chanyeol tersenyum, "Sudah jelas dengan kemampuanku, kan. Aku juga berterima kasih karena kau melihatku saat orang lain menolak untuk melihatku. Satu-satunya yang menyadari aku sedang tertekan cuma kau saja."

Baekhyun, synesthesia, melihat ekspresi Chanyeol yang disembunyikan dengan senyuman melalui warna.

Chanyeol, kemampuan mendengar istimewa, mendengar permintaan tolong tanpa suara Baekhyun.

Meant to be.

Baekhyun merasa malu dengan situasi buka rahasia seperti ini. Ia mengalihkan pembicaraan dengan segera, "D-Dan!" jeda sesaat untuk menemukan kalimat yang tepat lalu melanjutkan, "Aku punya pertanyaan lain. Memangnya kau tidak punya teman lain sampai akhir-akhir ini denganku melulu?"

"Ada kok. Hanya saja aku memang ingin bersamamu saja." Jawab Chanyeol dengan tenang.

OUH.

Pengalih perhatian gagal. Baekhyun memutar otak. Mendadak urgent. Mendadak menerima desakan dari dalam untuk menyuarakan hati. Ia berhenti melangkah, berbalik untuk berhadapan dengan Chanyeol. "Kau bahkan tidak berhenti mengirimiku pesan berjam-jam. Kau sering menarik sebelah earphone-ku sepihak. Kau juga selalu menarikku meski aku sudah bilang tidak. J-Juga tadi kau—" suara memelan dengan sengaja,"—mencium pipiku tanpa izin."

Chanyeol tersenyum dalam hati, mood-nya sudah kembali. Baekhyun mengira akan mendapat sebuah tawa geli sebagai balasan karena Chanyeol tersenyum jenaka padanya. Karena itu reaksi yang paling masuk akal, maka ia memberanikan diri menanyakan ini,

"Kau itu menyukaiku atau apa?"

Hening.

Chanyeol sudah menyiapkan jawaban untuk menggoda Baekhyun jika saja lelaki pendek itu menanyakan alasan kenapa ia mencium pipinya. Tapi pertanyaan Baekhyun justru diluar prediksi. Ia tidak mengira Baekhyun akan sefrontal itu. Merasa salah tingkah, Chanyeol menunduk, sudah mengetahui rona merah menyebar di wajahnya. Baekhyun yang melihat reaksi itu tertular merona. Tidak menyangka Chanyeol bisa semalu itu dengan pertanyaannya. Baekhyun menarik tudung jaketnya sejauh yang ia bisa agar menutupi ekspresi lalu menunduk.

Baru sedetik, sepasang tangan memegang sisi tudungnya. Ia terkejut, tidak sempat bereaksi saat Chanyeol membungkamnya dengan ciuman. Asing tapi menenangkan. Ia sampai heran karena rasanya… ini bukan hal yang salah. Kuning memang label orang yang mengganggu. Tapi kuning keemasan yang cerah ini tidak buruk.

Chanyeol menarik diri dengan cepat lalu menangkup wajah Baekhyun dan tersenyum hangat, "Baru sadar?"

.

.


End


a/n: Hai para reader-ku yang terhormat. Maaf karena menghilang gitu aja padahal udah bilang mau comeback dari hiatus. Malah hiatus lagi hehe. /peace

Mumpung akhir tahun, liburan, saya udah selesai sama tugas-tugas sekolah, ulangan, dan rapor. Niatnya mau fokus belajar dulu, kelas 11 gabisa disia-siain atau nanti kelas 12 malah nyesel~ Saya mendadak hiatus lagi setengah tahun itu terbayar dengan peringkat atas di kelas^^

Sebagai permintaan maaf karena menelantarkan fic Distance, saya bayar asupan(?) pake oneshot ini dulu ya Berasa amatir ngetiknya… mungkin aja gayanya jadi berubah saking lamanya ngetik tugas bukan cerita :'D

Distance sedang dalam proses, harus nunggu lagi dulu ya.. doain saya dapet motivasi xD

Terima kasih sudah membaca :)