Story By: Razen Bekantan Hijau.
Disclaimer: Hajime Isayama & Tadatoshi Fujimaki.
Rate: T+
Pair: Levi Ackerman x Seijuurou Akashi.
Warning: Maybe-OOC, some mistakes EYD, AU , typo.
A/N: ... Cuma asal tulis di kala pusing ngegarap Light Novel. Intinya apa? Enggak ada.
xXx
Remainder
xXx
.
.
.
Suatu kampung. Lima puluh rumah. Tiga bangunan paling besar milik sesepuh; satukepala desa dengan tabiat tidak karuan, gosipnya dipilih melalui ancaman dibegal kaki tangan; satu lagi tabib berwujud wanita tua, dokter paling manjur selain mantri suntik resmi diutus kantor dinas; terakhir punya preman paling tidak kenal toleransi.
Tujuh bangunan agak besar, masing-masing dari batu bata. Pemiliknya orang kantoran, tidak tahu kebersihan sebagian dari iman.
Lima belas rumah terbuat dari kayu, dicat cantik dan bagian depan ditambahi teras cantik dipenuhi pot-pot tanaman hias.
Satu gereja, satu masjid, satu kuil, satu kantor desa, dan bangunan posyandu.
Sisanya gubuk.
Ups, satu lagi rumah hantu.
Kata orang itu rumah hantu.
Tapi bangunannya tidak angker. Halamannya bersih dari rumput. Kalau pagi, tanahnya cantik ditumbuhi rumput. Melewati siang, sampah bertebaran bukan di dalam kantung plastik.
Itu bukan area tempat sampah.
Anak-anak dan preman kampung suka melempari kaleng kosong dan sesampahan lain, sederet sumpah serapah ramai menjadi musik rumah tersebut.
"Anak iblis!"
"Monster!"
"Jelmaan setan!"
Tapi tidak ada yang berani mengatakan "enyah dari sini!"
Ketika malam tiba, empat puluh sembilan pintu tertutup rapat. Satu terbuka, figur pemuda dari rumah hantu keluar membawa sapu, halaman ramai oleh bunyi gesek lidi.
Keponakan preman tidak kenal aturan keluar ketika mendengar bunyi ribut di seberang rumah, tempat di mana semua sampah dikumpulkan. Ini kali pertama mengunjungi paman tidak bermoral, dia adalah turis.
Rambut merah dan mata belang sempat dikira setan betulan. Berubah pikiran saat dia ingat setan tidak punya kaki. Yang menegur bukan dia, tapi si rambut merah.
"Bergadang itu tidak bagus, lho."
Lalu dia sendiri ngapain berjalan-jalan bawa sampah pukul dua malam?
Namanya Levi, dia mengikuti si mata belang, tertarik pada sapu lidi yang dibawa. Dua-duanya membisu, berhenti berjalan di tepi sungai. Ada pondok kecil. Si merah cuek duduk di tanah, Levi mengernyit jijik pada tahi ayam di atas kayu.
Ogah dekat-dekat pondok, dan tanah diragukan higienis, Levi berdiri di belakang si kepala merah.
"Kau yang dibicarakan si anak setan?"
"Kalau iya, kamu mau apa?"
Rasanya aneh dan awkward saat dibalas dengan gaya bicara pakai aku-kamu.
"Ini jam tidur untuk bocah."
"Kalau tidak ngantuk, mengapa dipaksa? Pemaksaan itu tidak baik."
Levi pendek, tapi umurnya sudah kepala tiga. Dan sebagai pria berumur, dia tidak suka ada bocah yang membantah ringan.
"Tidak baik menyanggah yang lebih tua."
"Memang apa yang baik dari jelmaan setan?"
Kalau dikira-kira, dia sekalian menyinggung semua yang mengatainya anak iblis dan sebagainya. Semacam mau bilang, "Memang siapa yang dari awal bilang aku setan? Memang ada setan berperilaku baik?"
"Sinar matahari bagus untuk kulit."
"Kulitku bisa kotor dan lecet dilempari kaleng dan tomat busuk."
Memang benar, sih.
Halamannya saja kotor tiap hari. Ingin rasanya Levi mencuri pentungan pamannya, Kenny, lalu menghadiahi pukulan maut di kepala siapa pun yang enggan belajar kebersihan dari iman.
Sampah harus dibuang pada tempatnya!
Nah, kepala desa perlu diceburkan ke kolam buaya kelaparan. Kalau buayanya lapar, otaknya sebusuk apapun bersedia makan pasti.
"Oi, Nak, mukamu pucat."
"Aku belum makan."
"Di rumahmu tak ada makanan?"
"Habis. Nenek Tabib tidak ada mengunjungiku seminggu ini karena sakit. Bahan makanan habis."
"Tidak berbelanja?"
"Memang penjualnya mau?"
"Jangan banyak alasan."
"Keluar rumah juga tukang begal siap datang bawa nasi basi. Halaman rumahku nanti makin kotor."
"Perutmu berbunyi."
"Memang aku lapar."
"Ck, ambil ini, bocah."
Sebatang cokelat dilempar ke pangkuan. Retina beda warna menghujam manik sewarna gulita.
Si merah awalnya diam, lalu mengucapkan terima kasih.
"Bocah manja. Belajar mandiri."
"Aku mandiri. Tiap hari mandi sendiri. Makan sendiri."
"Wajahmu tidak tampak sedih."
"Aku capek menangis."
Capek berdiri, Levi mencari tanah banyak rumput. Ogah celana bagian bokong banyak ditempeli pasir, Levi duduk di atas rumput tanpa duri.
"Siapa namamu?"
"Seijuurou."
"Umur?"
"Apa gunanya tahu?"
"Jawab saja."
"Seingatku 20."
"Aku orang baru. Mulai kapan rumah itu dilempari sampah?"
"Umurku delapan tahun kali pertama mencium bau menusuk dan dilempari apel busuk."
Bungkus cokelat dibuka. Levi memperhatikannya makan dengan tenang. Satu yang tidak membuat tenang, nyamuk ngung-ngung sana-sini. Si merah cuek saja, aneh nyamuk tidak menotis, Levi yang dikerubungi. Tepok sana, tepok sini, satu berhasil menciumi sebelum menghisap darah.
Bam!
Satu nyamuk paling besar dan berperut merah penuh darah mati ditampar.
"Nyamuk keparat."
"Lain kali pakai autan kalau mau keluar."
Oh, pantas nyamuk ogah dekat-dekat.
Dua gigitan cokelat masuk melewati kerongkongan. Bibir kotor cokelat dijilati.
Levi menarik hoodie melewati kepala dan menutup muka dengan masker, muak pada serangga penghisap darah. Ia teringat pelacur murahan sok manja bokongnya digigit nyamuk jantan.
Bego, mana ada nyamuk jantan menghisap darah. Darah manusia penting untuk telur-telur nyamuk. Memang nyamuk jantan bisa bertelur?
Curiga orang yang suka melempari sampah sembarangan pun sama dengan si pelacur, otak dan selangkangannya terbalik.
Sepotong cokelat dikulum. Seijuurou iseng melempar batu ke dalam sungai.
"Kau tidak berminat keluar dari kampung ini?"
"Lima kali gagal, cerita gaib di sini menghalangi."
"Pernah dengar sains?"
"Nenek tabib selalu menyarankan mandi ritual ketimbang buku filsafat dan buku sejarah filosofis di hari ulang tahunku."
Levi mengakui baru saja merasa amat lega orang di sebelahnya juga punya alergi yang sama.
"Aku punya buku filsafat."
Kepala merah menoleh.
"Barusan itu apa? Mau membuatku sirik?"
Eh, dia bisa iri dan penasaran juga ternyata.
"Dua buah buku tepatnya."
Kepalanya diluruskan lagi. Pertengahan jidat berkerut tidak suka.
"Kau mau baca?"
"Maksudnya aku harus meminjam?" Kepalanya digerak-gerak dan mata menyipit dan melebar. Entah apa maksudnya.
"Kuberi kalau mau."
"Aku tidak yakin itu bagus."
"Oh, benarkah, Nak? Coba bilang alasannya."
"Sebut saja aku trauma. Nasib orang yang bergaul denganku, kecuali Nenek Tabib, selalu tidak baik."
"Sial maksudmu?"
"Enggak. Dijebak jadi sial baru iya."
"Aku tidak yakin mengerti maksudmu."
"Aku punya teman. Dua di antaranya dipukuli karena membelaku. Tiga orang berselisih dengan orangtuanya, katanya aku mencemari otak mereka. Satu lagi langsung dikirim keluar kota, dalihnya untuk belajar di sekolah ternama."
"Keadilan hanya berefek pada mayoritas dan uang."
"Tahu sekali kamu."
"Umurku tiga puluh enam, Nak."
"Baiklah. Anda."
Batang cokelat tersisa 2/3 dari ukuran asli. Hari semakin dingin. Levi hangat karena memakai jaket. Anak di sebelahnya mulai menggigil.
"Kudengar dari pamanku yang gila, kampung ini punya tradisi mengorbankan tumbal hewan. Katanya beberapa tahun lalu sempat terjadi kesurupan massal. Karena hewan yang ditumbalkan keburu mati sebelum ritual."
"Aku ikut jadi penonton."
"Kepdes gadungan kesurupan penunggu kampung, mengaku marah besar pada penduduk. Menyerang siapa saja, lalu bersujud di depan anak kecil."
"Teman-temanku tak sempat menarik tanganku, aku diam karena tidak mengerti mengapa tiba-tiba Bapak itu bersujud di depanku."
"Pamanku lebay. Yang merasuki meminta maaf sambil gemetar katanya."
"Seingatku memang begitu."
"Memohon ampun."
"Dia menyebut nama leluhurku dengan 'tuan' berkali-kali."
"Lalu dikuak kalau anak itu keturunan emperor. Dielu-elukan."
"Dusta. Mereka cuma ingin dianggap hebat bisa berteman denganku. Aku tidak suka, lalu pergi. Sempat ada yang mengataiku sombong, lalu dia kerasukan."
"Selain itu, ada desas-desus kalau mata anak itu menukik tajam tidak suka pada seseorang, maka orang itu akan kesurupan."
Cokelat terakhir disodorkan pada Levi, tangan dikibas tanda menolak.
"Kata Nenek Tabib, itu karena penunggu di sini tidak suka ada yang macam-macam padaku. Dan mataku menguning tiap kali itu terjadi."
"Lucu sekali, Nak. Jangan bercanda. Mau bilang itu efeknya?"
"Tidak tahu. Aku tidak sudi percaya. Ingin kuperiksa ke dokter betulan di kota-kota besar, barangkali ada penyakit atau semacamnya. Tapi tiap keluar kampung, pasti mendekati gerbang, langsung terjadi kesurupan massal."
"Wah, kalau aku religius, pasti berteriak penunggu sialan itu tidak mau idolanya pergi meninggalkan rumah."
Bungkus cokelat diremuk-remuk, digulung-gulung, bola mungil dimainkan Seijuurou. Lutut dipeluk karena semakin dingin.
"Tapi Anda terlihat bukan religius. Kurasa?"
"Tepat sekali, Nak. Dan untuk menegaskan, aku malah bingung kenapa kau tidak meneruskan berjalan enyah keluar."
"Aku tidak mau teman-teman lamaku ikut kesurupan."
Tali persahabatan kuat. Sayang Levi sudah lupa caranya menangis, apalagi terharu.
Seijuurou menggigil hebat saat angin berhembus lebih kuat.
"Pulanglah, Nak. Angin malam tidak bagus untuk tubuh."
Dia menurut. Si merah itu berdiri, lalu merapatkan baju.
"Jangan tidur pagi, Nak. Buka pintu nanti kalau kuketuk dari luar." Levi menepuk-nepuk pasir di celananya.
"Mau berkunjung? Aku tak punya kudapan dan Anda bisa dilempari cangkang telur busuk."
"Nanti kupinjam sapu lidimu. Kusapu otak mereka dari tempurung tengkorak."
"Anda ngotot sekali."
"Aku tidak suka bocah naif yang mengaku mandiri tapi tidak bisa apa-apa. Tapi lebih benci pada manusia yang hobi cari mati. Padahal takut, tapi cari gara-gara berkedok sok berani."
"Anda keluar dari kediaman Ackerman seingatku."
"Benar sekali, Nak. Aku sudah tahu cara menguliti pejabat sebelum belajar membedakan mana kemiri mana jahe."
"Margaku Akashi."
"Salam kenal, Nak. Aku Levi Ackerman. Pengacara kepala desa. Uang yang dibayar untukku terlalu sedikit. Dia harus membayar 100 kali lebih banyak kalau mau keadilan dengan menyewaku."
Rambut merah ditepuk. Kening disentil saat Seijuurou berdehem geli sadar tubuhnya lebih tinggi.
xXx
The End
xXx
