Ringkasan: Sasuke bertemu Sai. Mereka melukis, menghabiskan waktu dan tidur bersama. Dan jatuh cinta.
Warning: shounen-ai/BL, SasuSai implisit GaaSai, OOC. Alternative Universe.
Disclaimer: Naruto belongs to Masashi Kishimoto
SUMMER SKIES
Story © Kenzeira
.
.
Chapter I : Hello Goodbye
.
.
Sasuke melirik jam di tangan kirinya. Sudah pukul sepuluh malam.
Ia berjalan pelan setelah memarkirkan mobil. Berjalan melintasi papan bertuliskan Bar Blue Organ dan masuk ke ruangan yang tak pernah sepi itu. Sebenarnya sudah dua minggu terakhir ia ingin berkunjung ke bar langganannya, tapi pekerjaan di kantor yang membludak memaksa ia untuk terus menunda niatnya itu.
Bar Blue Organ adalah sebuah bar elit khusus kaum LGBT—meski didominasi oleh lelaki. Perempuan kadang malu-malu berkunjung ke tempat semacam itu mengingat siapa tahu mereka bertemu dengan orang tak terduga—kakaknya misal, yang kemudian sama-sama tahu bahwa ternyata mereka sama-sama kelabu. Oke, ini hanya cerita sekilas yang tiba-tiba muncul di kepalanya.
Sudah lama ini Sasuke mengakui hasrat seksualnya yang tak biasa, barangkali sekitar delapan-sembilan tahun lalu. Mula-mula ia mengelak, menepis kuat-kuat dan berusaha menjadi normal. Ia berpacaran dengan adik kelas yang manis dan mungil, hubungannya bahkan berjalan setengah tahun. Tapi Sasuke nyatanya tetap tak mampu menampik kalau ia lebih tertarik pada teman laki-lakinya. Hingga kemudian ia merasa hubungannya dengan gadis mungil itu tidak berjalan normal—ia merasa berpacaran dengan perempuan tidaklah normal.
Dari situlah konflik normal dan ketidak-normalan saling beradu dalam friksi. Sasuke sempat terpuruk. Dan semakin terpuruk setelah ia merasa jijik pada gadis-gadis yang setia mengekorinya di SMA dulu. Di tahun-tahun suram itu, ia mempertanyakan eksistensinya sendiri. Sasuke mulai merokok dan yang lebih buruk adalah ia pernah mengonsumsi obat-obatan sampai overdosis dan dilarikan ke rumah sakit. Marga sementereng Uchiha tercemar gara-gara ulahnya.
Ia dipaksa pindah ke Tokyo dengan alibi menenangkan diri—meski ia tahu ia sebenarnya disembunyikan, dibuang, apapun. Nama Uchiha harus bersih. Tak peduli walau harus membuang darah daging sendiri. Sasuke tidak marah. Ia mengerti dan mencoba memahami bagaimana seandainya apabila ia berada di posisi kedua orangtuanya. Meski kadang—lebih sering—ia berpikir bagaimana seandainya orangtuanya berada di posisinya.
Sasuke mengikuti saran Itachi. Ia benar-benar menenangkan diri di Tokyo, kontradiksi dengan kota besar yang tak pernah tenang itu. Ia mencari suasana baru, menemukan teman-teman baru dan hidup damai seolah-olah tak pernah terlibat dengan narkoba serta hal-hal negatif lainnya. Sampai sebuah pertanyaan lama muncul kembali. Ia mempertanyakan eksistensinya.
Untuk apa ia bernapas selama ini?
Pertanyaan itu ia kubur dalam-dalam. Sasuke tidak mau hidup dibebani dengan pertanyaan semacam itu. Ia harus menikmati hidup. Harus. Itu adalah kewajiban mutlak. Sebab, rantai Uchiha sudah tak lagi membelenggunya. Sasuke mau hidup sebebas-bebasnya dan memproklamirkan diri sebagai manifestasi angin; berhembus membelai dedaunan, ranting pohon, kelopak bunga hingga rumput ilalang.
Sampai suatu hari di tahun pertama kuliahnya, ia memutuskan untuk menggunting friksi antara normal dan ketidak-normalan. Bar Blue Organ adalah bar LGBT pertama yang ia kunjungi—ia berterima kasih pada koneksi internet dan oh, tentu saja, keberaniannya. Sasuke tidak mau dikurung dalam adat kebiasaan orang-orang yang memisahkan normal dan tidak normal. Dengan mengikuti lajur orang-orang umum—ia lebih senang menyebut begitu dan menyebut dirinya sendiri minor—ia belum tentu bisa bahagia. Tapi jika ia mengikuti lajur hidupnya sendiri, bahagia atau tidak itu urusannya karena ia yang memilih.
Sekarang, Sasuke merasa ia benar-benar berhasil menjadi angin.
Bar Blue Organ tidak banyak berubah. Dekorasi dan tata letaknya masih sama seperti tahun-tahun lalu. Barangkali yang membedakan adalah banyaknya pengunjung yang datang dan stripper baru. Kali ini ada penari perempuan.
Pada langkah kelima tatkala ia memasuki bar, seorang teman lama di balik konter bar melambaikan tangan. Sasuke acuh tak acuh tapi ia tetap berjalan ke arah teman lamanya itu.
"Sudah lama sekali kau tak berkunjung kemari," kata pria berambut oranye dengan otot yang lumayan besar. Pria itu empat-lima tahun di atasnya.
Sasuke berdeham. "Hanya setengah tahun. Kau berlebihan, Juugo."
"Kemana saja kau? Setengah tahun itu lama, tahu!"
"Pekerjaanku dipindah-tugaskan ke Akita. Tadinya bisa sampai dua tahun, ternyata aku kembali lebih cepat dari perkiraan."
Juugo mencibir. "Hehh… tadinya aku mau mengenalkanmu pada seseorang. Dia tampan dan mungkin satu tahun di bawahmu. Kau tahu, dia masih baru. Maksudku, dia baru mengakui dirinya sendiri bahwa dia ternyata bagian dari… err—dari kita."
"Kenalkan padaku sekarang."
"Enak sekali kau! Salahkan dirimu yang lenyap setengah tahun itu. Dia sudah ada pemiliknya. Pria protektif bermata lavender! Kau bisa repot kalau berhadapan dengan pria semacam itu."
"Tch."
Juugo kadang gemas ingin menjitak kepala Sasuke yang sok keren itu.
Sasuke yang duduk di kursi di depan konter bar memilih membalik badan. Memperhatikan orang-orang berdansa-dansi dengan muka memerah. Ia berpikir, sebagian besar orang yang berada di lantai dansa masih didominasi kaum laki-laki.
Ruangan besar itu bising oleh suara musik ambience. Tapi Sasuke merasa tak mendengar apapun selain suara-suara dalam kepalanya. Ia tidak terlalu dekat dengan Juugo, tapi kata-kata dari pria itu yang membuat ia menjadi dirinya sekarang ini.
'Kau tidak bisa memilih benar atau salah pada normal atau tidak. Cukup jalani hidupmu dan kau akan temukan jawabannya. Tapi, Sasuke, sesuatu selalu baik jika itu menyangkut pilihanmu sendiri. Sebab, apabila kau salah, kau akan belajar.'
Juugo benar. Kini Sasuke merasa telah memantapkan pilihan yang benar dengan menggunting normal dan tidak normal lalu meleburkannya menjadi satu. Tanpa sadar, garis bibirnya melengkung sedikit hingga sebuah suara lembut membuyarkan lamunannya.
"Ano… apakah Anda ingin memesan minuman?"
Sasuke berbalik menghadap konter bar dan sepasang matanya langsung membelalak—begitupun seseorang yang menawarinya minuman.
"Sasuke!"
"Sai!"
Mereka bicara berbarengan. Sai—lelaki yang menawarinya minuman dengan suara lembut dan mengenakan pakaian bartender—refleks menutup mulut. Sasuke terkejut bukan main. Bertemu teman SMA—yang bahkan pernah satu kelas dengannya—sama sekali tak ada dalam pikiran Sasuke. Ia bertanya-tanya, jangan-jangan ini semua karena cerita sekilas yang tiba-tiba muncul di kepalanya itu.
Melihat Sai di Bar Blue Organ berarti menyimpulkan bahwa lelaki itu juga termasuk kaum minor. Walau bisa saja hanya bekerja sebagai bartender.
"Kau…?"
Sai mengalihkan pandang dan meremas pergelangan tangannya sendiri. Sasuke yakin ia melihat semu merah di pipi lelaki itu.
Manis. Sasuke bergumam tanpa sadar.
"A-ah, aku ingin tequila sunrise saja. Aku sedang tidak ingin mabuk."
Sai tidak banyak bicara. Lelaki berambut hitam tersebut segera meracik minuman yang dipintanya. Tangan-tangan pucat itu terampil memainkan botol dan menambahkan sesuatu yang tidak dimengerti Sasuke. Lihai sekali. Seperti sudah terbiasa. Gelas ditaruh di atas meja. Sai belum selesai. Lelaki itu menambahkan sirup grenadine dan maraschino cherry. Sebelum menyodorkan pada Sasuke, Sai sempat membaui minuman itu terlebih dahulu.
"Sankyu." Sasuke bahkan tak menyangka ia akan berterimakasih.
Sai hanya mengangguk lalu meraih kain dan mengelap meja yang basah akibat grenadine yang sedikit tumpah. Tak lama Juugo kembali dan merangkul bahu Sai. Lelaki berkulit pucat itu tersentak kaget dan segera melepas rangkulan Juugo. Sasuke mengangkat sebelah alis menyaksikan kejadian itu.
"Naa, Sasuke, dia bartender baru di sini, sekitar empat atau lima bulan lalu. Namanya Shimura Sai." Juugo memperkenalkan Sai tanpa tahu mereka sudah saling mengenal.
Sasuke memandang Sai. Intens. Yang dipandang bergerak gelisah. Lucu sekali.
Tiba-tiba saja Sai mengulurkan tangan. Sasuke terkejut.
Oh. Jadi kau lebih memilih berpura-pura tak mengenalku begitu, eh?
Sasuke merasa kesal. Apa salahnya saling menyapa sebagai teman lama. Mendadak, ia menyadari sesuatu. Barangkali Sai malu memiliki teman yang pernah overdosis narkoba. Tak heran lelaki itu memilih pura-pura tak mengenalnya. Bagus. Sasuke semakin kesal saja.
Ia menerima uluran tangan Sai. Ketika Sai hendak menyudahi salaman, Sasuke justru menarik tangan lelaki itu hingga perutnya menabrak konter bar dan punggungnya melengkung condong ke arah Sasuke. Sai menahan napas. Juugo memandang bingung.
"Jadi, Sai … apakah kau bisa disewa?"
Kedua mata Sai membola. Juugo menengahi.
"Hey, tak biasanya kau seagresif ini, Sasuke! Sopanlah sedikit atau setidaknya bersabarlah dalam menangani nafsumu itu!" Juugo tampaknya kurang senang pada perlakuan Sasuke terhadap Sai.
Melihat lelaki kurus itu meringis, akhirnya ia melepas cengkramannya. Sasuke berdecih pelan. Ia ingin menyalurkan kekesalannya pada siapapun yang bisa ia sewa malam ini. Sai menunduk dalam-dalam. Juugo memandang Sasuke tak senang.
Sai tampaknya ingin bicara. Tapi suaranya tercekat di kerongkongan. Lelaki itu mengusap-ngusap bagian belakang lehernya sendiri. Entah kenapa.
"Y-Ya."
Kini kedua mata Sasuke yang membola—Juugo juga.
"Apa?!" suara itu berasal dari mulut Juugo.
"Untukmu aku bisa."
Sasuke mengerjap. Kekesalan yang memenuhi dada mendadak lenyap tidak tahu ke mana. Juugo tak percaya. Pria itu menarik pundak Sai, meminta penjelasan. Sialnya, lelaki pucat itu tak menjelaskan apa-apa. Bibir tipisnya bungkam seribu bahasa.
.
.
Sasuke menyetir mobil dengan Sai di samping kemudi.
Sedari tadi mereka bisu, membiarkan keheningan merajai sekitar atau suara-suara klakson dan orang-orang berlalu-lalang. Sasuke mendesah. Ia cukup mengenal baik bagaimana Sai. Lelaki itu memang pendiam dan agak menyebalkan—terlalu sering tersenyum meski ia tahu benar itu hanya senyum palsu atau sekadar formalitas saja.
Sejujurnya ia bergurau ketika bertanya apakah Sai termasuk bartender sewaan atau bukan. Sasuke terbawa emosi dan tanpa pikir panjang bertanya demikian dengan maksud merendahkan harga diri Sai. Tapi rupanya batu yang ia lemparkan kini dilempar balik—tepat mengenai kepalanya. Ia merasa brengsek di depan Sai dan itu bukan hal bagus.
Sasuke membuka kaca jendela lalu meraih sebatang rokok. Ia sudah berhenti mengonsumsi obat-obatan tapi untuk yang satu ini ia tidak bisa. Rasanya terlalu candu. Sasuke dapat mendengar jelas Sai yang terbatuk-batuk. Ia tak acuh, memilih untuk terus menghisap nikotin itu dan menyebarkan partikel-partikel beracun ke udara—terbawa angin lewat kaca jendela yang terbuka, sebagian masuk ke dalam mobil.
Susah payah Sai menekan tuas di pinggir pintu guna membuka kaca jendela. Sasuke diam-diam memperhatikan. Ia merasa pemandangan itu lucu entah karena alasan apa.
Sudah sekian hotel terlewati tapi mereka belum juga berhenti. Sai bingung, Sasuke juga.
"Di mana kau biasa melakukan pekerjaan ini?"
Sai tampaknya sedang melamun sebab tiba-tiba kepalanya mendongkak kaget ke arah Sasuke. Lelaki itu menggigit bibir bawahnya sendiri. Kelereng hitamnya melirik ke kanan, ke bawah lalu ke kiri. Kali ini bibirnya terbuka sedikit. Sasuke gemas.
"Itu … di Paradise." Sai menjawab dengan suara kecil. Kedua telapak tangannya menggosok-gosok celananya sendiri. Barangkali terlalu gugup.
"Paradise?"
Sai menunjuk ke arah depan. Sasuke mengikuti arah yang Sai tunjuk. Tepat di depan mereka terdapat hotel sederhana yang bertuliskan Paradise Hotel dengan slogan enjoy your making love. Sasuke tersendak air liurnya sendiri.
Mereka benar-benar berhenti di hotel itu. Sasuke tidak tahu apa yang ia pikirkan. Ia bisa saja memilih hotel yang lebih bagus. Tapi sebenarnya, sejak mereka berada satu mobil, Sasuke sama sekali tak bisa membayangkan mereka akan berhubungan seks. Tidak, ia tak bisa membayangkan apalagi Sai sebagai partner-nya. Sasuke merasa terjebak dalam lelucon murahan yang sama sekali tak membuat ia tertawa.
Sekarang, Sasuke bahkan merasa semakin bingung setelah mendapatkan kunci kamar. Seorang pegawai hotel mengantarkan mereka. Ketika berada dalam lift, ia melirik ke arah Sai dan kebetulan lelaki itu juga sedang melirik ke arahnya. Sai adalah yang pertama kali memutus kontak mata. Sasuke menghela napas.
Kamar mereka berada di lantai tiga. Jendela tepat berhadapan dengan jalan raya ditambah balkon kecil yang terdapat dua kursi saling berhadapan. Ada pot berisi tanaman plastik yang tergantung di pagar pembatas.
Sasuke membiarkan Sai berbuat sesuka hati di kamar ini. Ia sendiri masih senang memandang jalan raya yang tak pernah sepi. Membiarkan semilir angin memainkan rambutnya. Samar-samar ia mendengar Sai memangil namanya.
"Apa kau mau aku mandi dulu?"
Sasuke mengibas-ngibaskan sebelah tangan. "Terserah kau saja."
Sai menyingkir dan hilang, barangkali ke kamar mandi.
'Sasuke … kenapa kau menyukai lukisanku?' tiba-tiba bayangan Sai ketika SMA terlintas dalam kepalanya. Ia sendiri bertanya-tanya kenapa ia berkata ia menyukai lukisan-lukisan Sai. Sasuke ingin tahu. Ia agak lupa alasannya—bahkan gambaran lukisan yang dibuat lelaki pucat itu. Sejauh ini ia tidak begitu senang pada seni, apapun. Walau ayahnya Fugaku Uchiha sangat gemar mengoleksi lukisan.
Sasuke menyentuh kepalanya sendiri. Ia harus berhenti mencari jawaban.
"—suke … Sasuke!"
Ia terperanjat lalu segera menoleh ke arah sumber suara. Sai berdiri di pintu masuk balkon hanya mengenakan handuk putih yang menghalangi pinggangnya. Tetes-tetes air terlihat dari rambut hitam lelaki itu. Dadanya terekspos sempurna. Sasuke menelan ludah.
Tidak, tidak. Ia sama sekali tak bisa membayangkan akan bersetubuh dengan Sai. Baginya, lelaki itu hanya teman SMA yang menyebalkan dan selalu berusaha bersosialisasi dengan baik meski tidak berakhir baik. Sai itu munafik.
Sasuke terdiam tatkala Sai mendekat. Lelaki itu menundukan wajah. Ia bahkan melihat jelas ada semu merah. Sasuke tak mengubah posisi ketika Sai mendongkak dan menempelkan bibir mereka. Ia tak mengira bibir Sai akan selembut ini, seperti bibir perempuan. Tanpa sadar, ia memejamkan mata. Tangan kanannya yang bebas ia gunakan untuk mendorong tengkuk Sai hingga mereka dapat berciuman lebih dalam, lebih intens.
Sai mengerang tatkala Sasuke memasukkan lidahnya ke dalam mulut lelaki itu. Ia sendiri terkejut, tak menyangka suara erangan Sai akan seseksi ini. Sasuke tiba-tiba ingin mendengar Sai mengerang lebih banyak. Mengerang memanggil namanya. Suara kecipak basah terdengar akibat ciuman liar mereka. Sai mencengkram bahu Sasuke. Sesak.
Kemudian ciuman mereka lepas. Lelaki berkulit pucat itu terengah-engah dengan semu merah yang semakin jelas terlihat, menyebar dari kedua pipi hingga cuping telinga. Sasuke tak menyangka Sai bisa semenggoda ini.
Oh, terlalu banyak kejutan dari Sai yang baru ia ketahui.
Sasuke mengusap bibirnya sendiri. Ia lalu memandang Sai, lelaki itu sedang melakukan hal yang sama. Tanpa pikir panjang, Sasuke menarik lengan Sai dan berjalan cepat ke dalam. Sai sulit mengimbangi hingga tersandung kaki meja. Sasuke tidak tahu apa yang sedang bergelut dalam pikirannya. Tidak biasanya ia kehilangan kendali seperti ini.
Ia melempar tubuh kurus Sai ke tempat tidur sampai menimbulkan bunyi decitan dari per kasur. Sial, hotel ini benar-benar mengecewakan. Sai menahan tubuhnya dengan kedua siku. Lelaki itu meringis pelan.
"Aku tidak tahu apa yang kau pikirkan," kata Sasuke, dalam.
Tidak. Sebenarnya aku sendiri yang tidak tahu apa yang kupikirkan. Tapi Sasuke tidak menyuarakan hal itu. Ia memandang Sai yang tak berdaya. Keduanya saling melempar pandang.
"Tapi…" jeda. Sasuke naik ke atas tempat tidur. "Aku kesal kau pura-pura tidak mengenalku. Apapun alasannya."
Sai menelan ludah dan pasrah ketika Sasuke mulai menjamah tubuhnya.
.
.
Sasuke melihat masa lalu.
Ia melihat dirinya sendiri tengah bergenggaman tangan dengan Hinata—gadis manis dan mungil kekasihnya semasa SMA. Hingga di ujung lorong, ia berpapasan dengan Sai. Lelaki pendiam itu tiba-tiba menyapa dan tersenyum padanya. Waktu seolah membeku kala itu. Sasuke maupun Sai tak mampu melepas pandang sampai mereka sama-sama hilang di balik tembok kelas.
Ada yang salah dari cara Sai memandang, begitulah yang ia pikirkan hingga memutuskan untuk mengintip kegiatan Sai di ruang kosong lantai atas. Kulit lelaki itu putih, terlalu putih menyerupai albino. Tapi Sasuke menyukainya. Baginya, warna kulit Sai indah seperti alabaster. Kadang ia sengaja menyentuh tangan lelaki itu untuk merasai kelembutannya.
Shimura Sai adalah anak penyendiri. Ketika pertama kali memasuki kelas yang sama, Sai orang yang mudah tersenyum dan berusaha bersosialisasi. Sampai kemudian lelaki itu lelah karena tak mampu memiliki teman yang diharapkan dan berubah menjadi pendiam—menjadi dirinya yang seharusnya.
Pada jam istirahat, Sai yang biasa berada di kelas tiba-tiba sering menghilang. Dan, Sasuke menemukannya. Tengah melukis sendirian di ruang kosong lantai atas. Saat itu waktu milik mereka. Sai terus melukis dan Sasuke tak lelah memperhatikan. Ia tidak begitu paham apa yang sedang dilukis Sai tapi ia terus memperhatikannya.
'Aku suka lukisanmu.'
Lelaki berkulit pucat itu terdiam lalu meletakkan kuas dan palet. Keduanya saling memandang.
'Sasuke … kenapa kau menyukai lukisanku?'
Ia tidak tahu bagaimana harus menjawab. Tatapan Sai menuntutnya.
'Karena … kupikir, mereka lebih hidup daripada kau.'
Ketika menjawab seperti itu, Sai tiba-tiba tertawa. Tawa yang sesungguhnya. Begitu cerah seumpama langit musim panas. Sasuke terpesona. Ya, ia terpesona pada lelaki pendiam dan menyebalkan itu. Dulu. Hingga ia menyadari bahwa yang ia sukai bukan lukisan Sai, tapi Sai sendiri.
Lelaki itulah yang membuat ia tertarik jauh dan semakin jauh, melupakan Hinata dan rencananya membangun kehidupan normal. Sampai kemudian ia mendapati dirinya sendiri mengalami tekanan. Depresi. Mempertanyakan eksistensinya sendiri dan jatuh ke lubang tempat orang-orang memanfaatkan obat-obatan demi terhindar dari problematika memuakkan. Nyaris tewas overdosis dan diasingkan ke Tokyo oleh keluarganya sendiri.
Sasuke menyalakan rokok.
Bagus sekali. Sekarang ia bisa mengingat semuanya secara rinci.
Ia menghisap kuat-kuat rokok dalam genggaman lalu menguarkan partikel-partikel beracun yang menyerupai asap itu melalui hidung dan mulut. Berkeliaran di udara dan lenyap bergabung bersama asap kendaraan di bawah sana. Sepertinya balkon ini satu-satunya tempat yang paling bagus dari Hotel Paradise.
"Sasuke—"
Sasuke menoleh ke samping dan menemukan Sai berdiri di sana. Tubuh telanjangnya dilindungi selimut tebal. Sasuke tergelak membayangkan Sai berjalan mengenakan selimut yang mampu menyapu lantai itu. Seharusnya lelaki itu mandi terlebih dahulu, mengenakan pakaian yang pantas dan baru setelah itu menghampirinya di balkon.
"Kau tahu, seandainya dulu aku juga tahu kau sepertiku—maksudku hanya berhasrat pada sesama lelaki, aku takkan mengalami hal-hal buruk," kata Sasuke setelah mematikan rokoknya. Kali ini ia menghargai ketidak-sukaan Sai pada asap rokok.
Sai memandang.
Mereka terdiam menikmati udara pagi yang tidak sesejuk ketika tinggal di Sapporo. Sasuke merasa déjà vu. Mereka juga sering diam seperti ini di dalam ruang kosong di SMA. Diam bukan karena tidak tahu apa yang harus dikatakan melainkan diam karena menikmati ketenangan. Ia tersenyum tipis.
"Sasuke … boleh aku meminta uangnya sekarang?"
Sasuke menatap Sai tak percaya. Rupanya lelaki ini benar-benar menyewakan diri. Hah, bodoh sekali ia sempat berpikir tentang masa lalu mereka yang indah dan membayangkan pertemuan mereka kembali adalah takdir. Sasuke merasa bodoh. Barangkali ia terlalu naif.
"Berapa?"
Sai menyebutkan jumlahnya dan Sasuke segera mengeluarkan uang dari dompet lalu menyerahkannya pada Sai.
"Kenapa terburu-buru sekali? Kau bisa menikmati pagi ini dengan tenang sebelum meminta uang sewa padaku."
"Aku membutuhkan uang ini sekarang."
"Untuk membeli cat minyakmu yang harganya selangit itu…?"
Sai menunduk. Sasuke berdecih.
Sai hendak melangkah meninggalkan balkon tapi Sasuke sudah lebih dulu menarik pinggangnya. Mereka berciuman lagi. Sasuke sedikit terkejut Sai tidak menolak—mengingat seharusnya ciuman ini termasuk penyewaan yang harus dibayar lebih. Mereka berciuman dengan tubuh saling menempel. Sasuke melepaskan ciuman lebih dulu. Ia tidak mau kena candu.
Sai berjengit tatkala bibir Sasuke mendekati telinganya dan berbisik di sana.
"Aku harap kita tidak bertemu lagi."
Sasuke pergi meninggalkan Sai sendiri di hotel itu, pada pagi dengan langit musim panas yang cerah.
.
.
.
to be continued
A/N :
Adakah yang merasa tak asing dengan Bar Blue Organ? Ituloh, yang ada di manga Puchitto Hajiketa, bar khusus LGBT hohoho
Ngomong-ngomong, Gaara baru akan muncul di chapter depan /wink/
Review sangat dibutuhkan, lho, buat menyemangati saya ngetik chapter depan /teehee
Review?
Minggu Kliwon, 5 Juli 2015 — 12:12am
