TWD, Carl Grimes bukan milik saya, mereka milik Robert Kirkman. Saya tidak mengambil keuntungan apapun dari ini.

.

.

.

Hanya sekumpulan Drabble dari raga manusia bernama Carl Grimes, dia hanya berbagi, hanya padamu.

Getting Lost Somewhere

.

.

Udara terasa lebih sejuk di banding 10 tahun lalu, lebih sepi dan tenang, terjauh dari klakson dan orang marah-marah yang memilukan. Dulu, polusi di mana-mana, rasanya terlampau pahit tapi tidak bisa dilupakan, bagai memadu kasih terlampau romantis.

Setelah semua yang terjadi, ketika semua kegaduhan itu menghilang, aku menjadi merindukan itu semua. Termasuk tetangga yang hobi menguping dan mencuri permen.

Aku tidak terlalu ingat apa yang terjadi, semua kerusuhan ini, orang-orang yang mati dan beberapa mahluk aneh di jalanan. Rencana Tuhan sungguhlah tak masuk di akalku dan kuasa Illahi-Nya seolah berusaha menjaga jarak dari umat-Nya.

Membuat jati diri baru dan berubah, menjadi hal mengerikan di dunia ini. Berubah menjadi sesuatu yang terkesan berbeda sekarang.

Dunia yang kini aku pijak, dunia yang dulunya banyak orang berdoa dan meminta. Kini telah musnah.

Aku berteman dengan Carl dalam langkah kaki yang sakit. Kami bertemu di era milenium yang aku sendiri tidak mau terjun di sana. Aku berharap mati saja, hidup bagaikan kutukan sekarang.

"Kita tersesat, Letkol." Carl menunjuk langit. "Selatan, tadi Ayahku bilang kita harus ke selatan 'kan?"

"Sure." Kutepuk bahunya. "Terus berjalan, kita akan kedinginan dan Walker, apa mereka akan mengejar?"

"Nope." Carl menatap letih, ia mungkin akan menangis. Tapi aku tidak menanyakan soal ini, dia sudah lelah. "Senang rasanya ada kau di sini, Letkol. Aku bakal mati barusan."

"Tadinya aku berlari mengejar Maggie, lalu aku melihat kepalamu di ilalang. Jadilah aku di sini"

Ia tertawa aneh. "Cute."

Kulihat jalan yang kami lalui semakin dikuasai kabut, takut jika para Zombie mulai menggertak atau secara tidak sopan menyerang dari titik buta. Kami kehabisan amunisi, pistol, pisau bahkan segenggam batu. Carl berjalan dengan cara aneh, sedikit pincang akibat terjerembab ke jebakan beruang.

Aku harus membantunya, setidaknya memberikan bahu untuk lengannya, membantunya agar ia tetap berjalan. Setidaknya aku punya alasan jika sang ayah menanyakan soal Carl padaku.

Tersesat dan lelah, tepatri jelas diwajah. Dia baru saja membunuh beberapa zombie, aku ikut, tapi dalam hitunganku dia yang paling banyak. Dia memang hebat dalam membantai, terbukti dari rambut panjangnya yang menari-nari serupa hidupnya yang kesana-kemari.

"Carl..."

"Ya?"

"Pernah tersesat?"

Carl menatap keheranan, memorinya berenang luas. "Pernah saat Pramuka. Aku tidak mau melakukan itu lagi."

Aku tertawa. "Jika sudah dewasa, kau ingin menjadi apa?"

Kali ini, ia menatapku dalam kecanggungan yang kuat. Ia berhenti sejenak, meregangkan leher dan berpaling. "Aku bertanya-tanya apa enaknya menjadi dewasa. Aku tidak punya cita-cita sejak sekolah, ayahku Polisi dan dia selalu sibuk. Aku ingin jadi Letkol, sepertimu."

"Yang terjadi padaku itu hal yang rumit, bodoh. Lagi pula... semua orang memanggilku Letkol sejak aku memperkenalkan diri, aku lupa nama asliku."

"Kita semua kehilangan itu, 'kan?"

"Maaf?"

"Jati diri, keluarga, kekuatan dan kepercayaan. Aku tidak religius seperti orang-orang. Tapi, kurasa Tuhan memiliki selera humor yang tidak biasa."

Aku berbisik. "Kau atheis, Carl." Tapi aku cukup yakin ia mendengarnya dengan jelas.

Serasa, kaki ini linu, bengkak dan sakit, oksigen yang masuk ke dada semakin menyempit. Aku kelelahan dan butuh istirahat.

Carl memulai. "Sini, kita duduk di sana dan membakar sesuatu."

Ditunjuknya sebuah pohon lumayan besar dengan lubang di sana. Nampak berlumut dan basah ada beberapa jamur beracun dan kotoran tupai.

Kulirik Carl dari samping. "Carl, kau yakin? Dengan para Wal-"

"Home sweet home."

Carl mengutuk beberapa jamur yang tak mau disingkirkan, tapi untunglah masih ada tempat untuk berlindung. Kami menyalakan api walau kecil, takut menarik perhatian zombie.

Ia tersenyum. "Aku suka kelopak bunga yang jatuh ke jemariku, warnanya merah muda seperti gurat sebuah mimpi. Air dari langit yang jatuh ke telapak tangan tetaplah air. Bumi selamanya akan menjadi bumi, meski hanya tinggal setengahnya. Kita akan selamat."

"Sekarang kau jadi jago membuat prosa, ya?"

"Aku hanya mencoba untuk terus bicara, Letkol. Kau tahu 'kan, apa yang terjadi jika kau terlalu lama di tempat dingin?"

Aku berbisik. "Radang dingin."

"Kita tidak bodoh, Letkol. Meski kita sama-sama putus sekolah."

Aku mengangguk. "Yah, kau benar..."

"Lain kali. Lain kali. Lain kali... jika dunia ini masih utuh dan menyisakan kita berdua, kau mau 'kan memberitahu nama aslimu?"

"Tentu, Carl. Jika aku mengingatnya..."

"Yah, kau akan ingat. Kau gadis yang baik. Aku senang tersesat begini. Aneh ya?"