Disclaimer: Naruto milik Masashi Kishimoto. Saya hanya meminjam karakter dan tidak memperoleh keuntungan bersifat materi dari fanfiksi ini.

.

.

Berdasar prompt: "aku melihatmu tersesat di tengah padang bunga matahari" oleh Strelitzi

untuk #NHFD9/2018 - NaruHina AU - Fluff/Romance

.

.


Cahaya matahari berpendar dari ufuk timur. Sinar keemasannya membasuh pucuk pepohonan ginko dan willow. Titik-titik embun tergelincir jatuh di muka dedaunan. Dahan dan reranting menghalangi pandangan. Bunyi gemerisik daun semakin jelas ketika tangan seorang pria menyibak ranting, dan kakinya menginjak semak basah. Sepatu bots hitam dibercaki noda tanah liat. Dia dapat mendengar cicit burung gereja dan dekut burung merpati seolah berada tepat di atas kepala.

Pria itu berjalan dengan hati-hati. Ranselnya penuh bagai punuk membebani punggung, dengan kamera Nikon terkalung di leher. Ia seperti pelancong. Rambut pirang tersembunyi di balik topi koboi cokelat. Ia mengenakan celana jins belel. Jaket parka warna oranye terikat di pinggang. Otot-ototnya tampak liat di balik kaus polo putih yang basah oleh bekas keringat.

Sang pria mengerjap-ngerjapkan mata. Cahaya terang menyilaukan pandangannya. Tetesan peluh di dahi, disiram cahaya hangat mentari. Terpana, ia baru saja melangkahi tapal batas hutan. Itu berarti akhir petualangan panjang menuruni lereng dan menembus belantara. Ia mengatur napas yang terengah-engah. Mengempaskan tubuh ke tanah atau meneguk botol minum adalah pilihan paling masuk akal, tetapi dia memilih untuk mengangkat kamera, dan mengambil beberapa bidikan.

Di hadapannya adalah hamparan bunga matahari sejauh mata memandang.


.

Dia sedang tiarap di tengah-tengah padang bunga seraya mengangkat kamera dan mengambil beberapa bidikan. Tangkai-tangkai cagak itu menopang bunga matahari yang mekar seperti mahkota. Dedaunannya yang lebar berayun-ayun seperti perisai yang melindungi setiap sisi tangkai. Ia tak kuasa menahan diri untuk tidak mengabadikan angle foto yang berhasil ditangkap lensa kamera.

Gemerisik semak-semak semakin keras ketika tersibak. Dia merangkak ke depan. Dia tak peduli apabila pakaiannya ternoda bercak tanah liat. Dia dapat merasakan dinginnya embun yang membasahi kulit lengan, aroma belukar dan tumbuhan yang menyegarkan, serta sensasi tenang yang membuatnya seakan tersesat di dunia lain.

Dia memusatkan perhatian pada layar monitor kamera digital. Selarik cahaya berpendar dari langit. Cahaya jatuh menyusup melewati sela-sela kelopak bunga, berkilauan seperti sulur-sulur keemasan.

Dia membidik sekali.

Dalam layar yang tertangkap lensa kamera, dia terpana melihat efek flare yang membiaskan kilau cahaya.

Dia baru saja akan merangkak maju, mencari potongan keindahan yang lain, ketika tiba-tiba, dari sela-sela tangkai bunga matahari itu, pandangannya menangkap sesuatu.

Mulutnya setengah menganga. Dia menggumamkan decakan kagum.

Berdiri tepat di tengah-tengah padang di sisi yang lain, dia mengira itu hanya bayang-bayang kabur yang didominasi warna violet, hingga dia yakin dirinya melihat siluet tubuh wanita.

Dari tempat persembunyian, dia bergegas mencuri bidikan. Kamera dinyalakan pada fitur on, dan tombol shutter siap ditekan. Kejadian berikutnya berlangsung seperti adegan slow-motion: rambut panjang berkibar diterpa angin gunung, rok sifon warna lilac mengembang bagai balon, hamburan kelopak bunga matahari menari-nari, dan sinar pagi berpendar menerangi siluet tubuh gemulai.

Wanita itu bagai malaikat jatuh dari langit. Untuk sesaat, sang pria melupakan keindahan padang bunga di sekelilingnya.

Dengan jantung berdebar-debar, dia tersadar kembali dari sensasi melayang. Mengamati hasil bidikan foto yang terpampang di layar kamera, dia puas atas keberhasilan membidik wajah si perempuan.

Tampak samping, pipi wanita itu chubby. Dia penasaran akan parasnya. Apakah warna bibirnya semerah buah cherry? Apakah matanya lentik dan berseri-seri? Ketika dia mendongak guna kembali mengintip melalui celah-celah tangkai bunga matahari, dia mendapati jalan setapak tadi kosong. Bidadari itu sudah pergi.

Dapatkah dia (paling tidak) melihatnya lagi? Akhirnya, pria itu membiarkan jawabannya diredam kebisuan angin gunung.


.

Dengan hati-hati, Hinata meletakkan baki berisi teko, toples gula, dan dua cangkir keramik di atas lantai parket. Pintu geser shoji terbuka di belakangnya. Cahaya pagi menerangi lantai tatami dalam ruang washitsu. Angin sepoi-sepoi meniupkan aroma manis bunga matahari dari seberang beranda rumah. Di kaki langit, Matahari bersinar hangat, menyiram lereng gunung.

Seorang pria duduk berjuntai dekat undakan di tepi roka. Matanya terpejam. Hinata tersenyum hangat memandangi sang pria. Ia tak berniat mengusik ketenangannya. Dia tahu pria itu telah menyadari kehadirannya. Mungkin, ia sedang terlena menikmati kesejukan pagi Desa Iyashi.

Hinata mengambil tempat duduk di sisi baki. Dia belum ingin memecah keheningan, ketika tatapannya diarahkan lurus ke depan. Gunung Fuji menjulang seolah terpancang di atas permadani bunga matahari.

Ada tanaman pagar membatasi padang bunga, kolam ikan yang menyenandungkan suara gemericik, dengan bunyi tik-tok saluran bambu. Hinata yakin dia mendengar kicau burung dari hutan dekat lereng.

"Potongan surga dunia ya ..." Sang pria bersuara. Kelopak mata itu terbuka, menampakkan kilau biru jernih yang tersembunyi. Ia menoleh, melempar senyum ke samping.

Sepersekian detik, Hinata terpaku. Dia dapat menangkap kilat jenaka dan binar lembut dari bola mata sebiru langit. Tatapannya memabukkan.

Hinata cepat-cepat menggulirkan mata ke arah lain. Tatapan sang pria tak baik untuk kesehatan jantung.

"Bahkan untukku yang sering melihatnya," jawab Hianata setelah berhasil menekan kecanggungannya, "pemandangan itu masih terlalu ajaib rasanya, Naruto-kun." Dengan isyarat, dia menunjuk gunung Fuji yang gagah merajai langit. Selimut es abadi di puncaknya seolah menyimpan misteri.

Naruto-kun ... Ah, rupanya Hinata masih harus belajar membiasakan diri dengan panggilan itu, meskipun kenyataannya, Naruto tak pernah keberatan dengan suffiks apa saja.

Hinata menuangkan kopi dalam cangkir, yang segera mengepulkan aroma manis.

Satu cangkir untuk Naruto.

Gerak-gerik sang gadis tak luput dari perhatian sang pemuda. Cara duduknya anggun; dengan kedua betis tertekuk di bawah paha. Cardigan-dress warna violet membalut tubuh langsing yang menambah aura kecantikannya. Dan sanggul di kepala menggantikan kilauan rambut panjangnya.

Sembari menyesap kopi, Naruto membayangkan tangannya menyentuh helai-helai poni yang jatuh lembut di dahi Hinata.

Naruto belum pernah bicara soal pertemuan pertama─sebab hanya dirinya yang menganggap kejadian di padang bunga matahari tempo lalu sebagai perjumpaan. Ia tak perlu menunggu waktu lama sampai keinginannya yang terpendam di bawah semak dan tangkai bunga matahari itu bertunas sungguhan.

Itu adalah pagi yang malang─sekejap kemudian beralih menjadi hari keberuntungan─ketika Naruto terpisah dari rombongan hiking. Ia tersesat di hutan, yang kelak diketahui sebagai hutan terdekat menuju Desa Iyashi. Desa dengan keasrian dan tradisi yang bagaikan oase terlindung, kontras dengan hiruk-pikuk Tokyo dan denyut nadi urbanisasi-nya.

Ketika gadis beraura amethyst lenyap dari pandangan, tampak di depan mata Naruto ialah pondokan bergaya tradisional Jepang, berdiri di pinggang bukit. Rumah kayu beratap jerami itu mengingatkannya pada rumah-rumah dalam lukisan Abad Pertengahan.

Naruto melupakan rencana mencari teman-teman seperjalanannya. Siapa pula yang berani ambil risiko hiking tengah malam, selain gerombolan pemuda tak waras yang tergabung dalam rombongan itu?

Dan, di sinilah Naruto sekarang, duduk bersisian dengan gadis serupa matahari, yang ternyata adalah puteri pemilik penginapan. Kebetulan yang sempurna, bukan?

"Bagaimana, Naruto-kun? Masih merasa tersesat?"

Ada tawa kecil menghambur. Hinata meletakkan cangkir tersisa setengah kopi di atas baki.

"Mmhh ..." yang ditanya menggumam. "Bisa iya bisa tidak," jawabnya mengambang.

Hinata tergelak halus. Ia mengingat saat perjumpaan pertama dua minggu lalu, pria ini memperkenalkan diri sebagai domba yang tersesat.

"Pagi ini bukan ocha?" tanya Naruto sedikit keheranan.

Cangkir kosong diletakkan bersisian.

"Kukira, supaya tidak bosan, diperlukan sedikit variasi." Biasanya, Hinata menyuguhkan ocha, tetapi pagi ini yang terbesit di pikirannya adalah bubuk kopi dan mesin espresso. Tiba-tiba, Hinata terenyak. "Ah, Naruto-kun tidak suka kopi?"

"Tidak. Bukannya aku tak suka kopi," ujar Naruto. "Hanya saja, ketika berada di suatu tempat yang asing, kau pasti ingin menikmati kekhasan daerah itu sebanyak mungkin."

"Pasti. Itu tidak aneh," komentar Hinata, "kecuali kalau Naruto-kun ingin lebih banyak minum sparkling water." Dia mengingatkan pemuda itu akan tingkahnya di hari pertama menginap. Naruto minta supaya persediaan botol-botol minuman bersoda digandakan.

Pemuda itu menggaruk pipinya yang tidak gatal. "Yah, yah ..." ia mengangguk-angguk, "terkadang, kita sulit menghilangkan kebiasaan."

"Ceritakan padaku tentang Jerman," celetuk Hinata, menyebabkan Naruto hampir tersedak. Pemuda itu terenyak saat bibirnya menyesap cangkir kopi kedua.

Hinata terkejut menyadari reaksi ganjil Naruto. Dia ingin mengenal pemuda ini lebih jauh, tetapi sadar jika kalimatnya tadi terdengar lancang, seolah ia ingin menggali sesuatu dari tanah orang tanpa permisi.

"K-kalau Naruto-kun tidak keberatan,"ralat Hinata, Ia mendadak gugup. "Ano ... dari dulu, aku sangat ingin mendengarnya. Cerita-cerita petualangan dunia langsung dari penakluknya."

Setelah Naruto mengendalikan diri, dia melempar cengiran lebar khas dirinya. Tangan dikibas-kibaskan seolah reaksinya tadi bukan sesuatu yang besar. "Tak perlu sungkan, Hinata," katanya. Ia meninju udara dengan kepalan tangan. "Aku tak ingin waktumu terbuang hanya demi ocehan makhluk pengangguran sepertiku. Asal kau tahu, aku bukan penakluk." Naruto mengelak sebutan yang baru dicetuskan. "Itu julukan yang berlebihan."

"Ah, maaf. Bukan seperti itu maksudku. Aku siap mendengar cerita Naruto-kun, sepanjang apapun. Tak usah khawatir. Aku pun sama menganggurnya dengan dirimu."

Giliran Naruto yang terenyak. Ia hendak menanyakan maksud kalimat terakhir, tetapi Hinata memotong: "Betul, Naruto-kun. Aku ini pengangguran. Kau tahu, semacam penulis yang sedang kebingungan mencari lahan subur untuk menggali inspirasi."

"Ah, sou, kau seorang penulis? Hebat!"

Naruto sesungguhnya telah merekam banyak catatan perjalanan, tetapi terus terang saja, olah kata dan goresan pena bukan bidang yang mahir dikuasainya.

Hinata tidak menyetujui gagasan Naruto yang merendahkan diri sendiri itu. Setelah mengoreksi opini Naruto, bahwa dirinya hanya penulis amatir yang baru saja merangkak dari titik nol, dia bertanya dengan nada antusias, apakah buku-buku catatan perjalanan Naruto boleh dipinjam?

"Tentu," kata Naruto. "Kau boleh pinjam. Dan lihat, kau juga jangan rendah diri begitu. Segala sesuatu pasti bermula dari titik nol, bukan?"


.

Note: Shoji: pintu geser. Washitsu: ruang santai berlantai tatami. Roka: lorong penghubung ruangan. Semua adalah gaya rumah dalam arsitektur tradisional Jepang.

Desa Iyashi atau Iyashi no Sato: sebuah desa di kaki gunung Fuji. Desa itu menjadi spot terbaik menikmati kemegahan gunung Fuji. Salah satu desa yang masih menjaga keasrian lingkungan dan tradisi.

Ada kata 'titik nol' terselip di sini. Ya. Itu terinspirasi dari buku Titik Nol-nya Agustinus.W