A/n: Terinspirasi dari kata jarum, meja, dingin dan kejam

Happy reading Minna

10 Oktober 2011

"Kamu sudah mengerti kan apa konsekuensinya jika menolaknya?"

"D-Demo, ini tidak adil."

"Khe, apakah kamu pernah mendengar jika uang dan kekuasaan dapat mengendalikan segalanya, bahkan keadilan sekalipun?"

"I-ini ... ini pasti hanya salah satu lelucon--"

"Sepertinya kalian sudah salah mengenai semuanya, tidak mungkin kan jika aku berkorban sejauh ini tanpa mendapatkan apapun. Jadi, bagaimana?"

"Lalu, bagaimana? Bukankah kalau begini keadaannya aku sudah tidak punya pilihan lain?"

"Tenang saja, aku menjamin bahwa tidak ada satu orangpun yang akan mengetahui kesepakatan kita."

"Demo ... demo, hiks ... aku tidak menyangka bahwa orang yang telah kami anggap sebagai panutan--"

"Cukup! Hentikan omong kosong mu, atau aku akan berubah pikiran."

"Iie, kumohon jangan sakiti dia! Hiks, cukup dengan diriku--"

"Dirimu saja? Khe, memangnya gadis kecil seperti mu bisa apa? Jangan bercanda,"

"Apa maksudmu? Jangan-jangan..."

"Kau sudah mengerti kan maksudku? Jadi, tidak usah bertele-tele. Atau aku harus ucapkan secara gamblang bahwa kamu harus membawa serta teman perempuanmu yang berambut hitam, dia juga memiliki seorang kekasih di akademi kan?"

"Ah, demo--"

"Ssstt ... tidak ada bantahan, atau..."

"wakatta,"

"Bagus, gadis pintar."

.

.

.

.

16 Desember 2014

Putih. Satu warna yang paling mendominasi pada malam ini. Wajar saja karena sekarang sudah memasuki pertengahan bulan Desember. Jadi, tidak heran kalau salju telah menutupi hampir sebagian jalan dan toko-toko yang berada di sepanjang jalan.

Natal akan segera tiba, kira-kira itulah yang ada dipikiran beberapa orang yang sedang berlalu lalang untuk berbelanja ataupun hanya ingin melihat-lihat segala pernak-pernik Natal yang terpajang dihampir setiap toko. Bahkan sudah banyak toko-toko yang menawarkan diskon besar-besaran untuk menyambut malam natal yang tidak lama lagi datang.

Minato tersenyum, iris blue sapphire-nya ia arahkan pada butiran putih yang berjatuhan dari angkasa. Namun, segera ia alihkan kembali pandangannya kepada salah satu gaun pengantin merah yang terpajang pada salah satu toko yang dilewatinya.

Langkahnya terhenti, menghembuskan nafas berat saat kembali dirinya teringat tentang kenangan masa lalunya yang berhubungan dengan warna merah.

Merah. Warna dominan yang selalu dikaitkan dengan emosi dan kekuatan berlebih, juga selalu dikaitkan dengan seseorang yang memiliki surai merah alami. Hingga dijuluki dengan sebutan si habbanero.

Mengingat hal kecil tersebut membuat Minato tersenyum getir, dirinya kini sangat merindukan sang sahabat merah yang menghilang begitu saja tanpa ada kabar sedikitpun. Sang sahabat yang juga menjadi teman perempuan pertama dan tempat cinta pertamanya berlabuh hingga sekarang.

Menggelengkan kepalanya pelan, sebelum kembali melanjutkan langkahnya. Minato sudah lama bertekad untuk tidak terus tenggelam dalam kesedihannya, lagipula ini sudah hampir 3 tahun berlalu dan tidak ada satupun petunjuk mengenai keberadaan sang sahabat.

Duk

"Ah..." Minato tersentak saat sisi tubuhnya bersinggungan cukup keras dengan tubuh seorang gadis yang sedang berjalan terburu-buru, hingga membuat sang gadis sedikit oleng.

"Hhh, hontou ni gomennasai!" Minato menangkap sebelah lengan sang gadis agar tidak jatuh ke tumpukan salju yang mulai memenuhi trotoar, lalu dengan segera dibantunya sang gadis agar bisa berdiri.

"Ano, daijobu ka?" Minato bertanya dengan sopan kepada sang gadis yang sedang membenahi mantel dan topinya yang agak berantakan. Kini Minato bisa melihat sedikit wajahnya yang tertutupi syal karena sedang menunduk.

Deg

"Ha'i, daijobu desu. Aku permisi," sang gadis menjawab pelan sambil membungkuk sesaat dan setelahnya pun ia langsung bergegas meneruskan langkahnya kembali.

Minato terkaku, matanya melebar sempurna, pikirannya sudah terlanjur kosong karena terkejut, sampai ia tidak menyadari bahwa gadis dihadapannya sudah pamit dan hilang ditengah kerumunan manusia yang sedang berlalu-lalang.

"M-Masaka," Minato berbalik berniat untuk kembali memanggil gadis tersebut. Namun, sayang seribu sayang. Sepertinya ia telah melewatkan kesempatannya karena sang gadis kini sudah tidak terlihat lagi.

Drrt

Baru saja Minato ingin berlari untuk mencari dan mengejar sang gadis yang pasti belum begitu jauh, tapi sebuah panggilan masuk dari salah satu bawahannya telah membuatnya mengurungkan niatnya. Minato mengerang kesal, sebelum merogoh saku jaketnya untuk mendapatkan ponselnya yang berdering dan mengangkat panggilan untuknya.

"Mosi-mosi," ucap Minato menahan kesal sambil mengusap pelan rambut pirangnya agar ia sedikit tenang. Namun, bukannya tenang malah yang ada kekesalannya menjadi-jadi saat mendengar ucapan bernada gusar dari sebrang telepon.

"I-inspektur, kita kembali mendapatkan korban. Kali ini korbannya dari pihak kita, ia adalah komandan Shimura Danzo,"

.

.

.

.

27 November 2014

"Argh..."

"Hrkk, hhh..."

"Ssshh..."

Kushina tersenyum senang sambil menggoreskan ujung pisau lipatnya pada bagian lengan sang korban yang sudah tidak berdaya. Kikikan-kikikan kecil pun turut mengisi keheningan ruangan 3x4 m yang sudah dimodifikasi sedemikian rupa agar kedap suara, saat telinganya menangkap suara ringisan maupun jeritan dari sang korban yang berada di hadapannya.

Kushina menaruh pelan pisau lipatnya kedalam kotak peralatan saat dirasa dirinya sudah mulai bosan, lalu dengan segera diambilnya sebuah jarum yang biasa digunakan untuk menjahit.

"Sudah Kushina, kita disini bukan untuk bermain-main melainkan untuk mencari sebuah kebenaran!" Tangan Kushina yang sedang memegang jarum pun terhenti tepat satu sentimeter di depan dahi sang korban yang sedang terikat pasrah di sebuah bangku.

Kushina merenggut, ia kembali menaruh jarum tersebut ke dalam kotak peralatan dan mencari sebuah suntikan yang didalamnya sudah terdapat cairan berwarna kuning terang. "Padahal aku kira kita bisa bermain-main sebentar," ucap Kushina sambil beranjak dari posisi bersimpuhnya dan sedikit merenggangkan otot-ototnya, masih dengan sebuah jarum suntik di tangannya.

"Dia tidak bersalah," ucap Mikoto kalem, ia pun segera menghampiri sang korban yang berada di tengah ruangan. Dengan pelan ia bersihkan bekas-bekas luka sayatan kecil yang dibuat oleh Kushina, membuat sang korban yang tidak terima pun segera mengeluarkan segala sumpah serapah untuk Kushina dan Mikoto.

"Lihat bahkan dia tidak punya sedikitpun sopan santun," ucap Kushina jengkel, "lagipula dia juga bawahannya, sudah sepantasnya ia mendapatkan setidaknya kenang-kenangan dariku." Tambah Kushina dengan seringai sadis yang cukup untuk membuat sang korban mengatupkan mulutnya dan terdiam ketakutan.

"Kushina..." Mikoto memperingatkan. Kushina memutar bola matanya malas dan segera bersimpuh di depan korban, tepat di samping Mikoto yang sudah selesai membersihkan luka sang korban.

"Sekali lagi kami tanya, dimana kalian menyimpan data-datanya?" Kushina bertanya dengan aura intimidasi yang menguar kuat di sekitar tubuhnya.

Sang korban mengeratkan giginya kuat-kuat hingga terdengar suara bergemeletuk. "Aku tidak akan mengatakannya meskipun--Argh, hhh..." kata-katanya terpotong oleh pekikan kesakitan akibat dari jarum suntik yang memaksa untuk menembus kulitnya.

"Ini suntikan kejujuran. Jadi, selamat menikmati..." Kushina mencabut kembali suntikan saat semua cairan kuning terang yang merupakan isi dari suntikan telah ia masukan kedalam nadi sang korban, lalu dengan segera meninggalkan sang korban menuju meja yang berada di pojok ruangan untuk menikmati apa yang selanjutnya akan terjadi.

"Aaaarrrkkkhhhh..."

.

.

.

.

23 Desember 2014

"Istirahatlah, setidaknya tubuhmu juga perlu itu untuk memecahkan kasus. Inspektur san," Shikaku menepuk pelan pundak Minato sambil sebelah tangannya menyodorkan segelas kopi panas yang masih mengepulkan uap, ia lantas mengambil alih kertas yang sedari awal hanya di pelototi oleh Minato.

Terkekeh sesaat sebelum mengambil posisi duduk tepat di kursi kerja sebelah Minato. Shikaku lantas segera memeriksa dengan asal kertas tersebut dan sedikit memecahkan kode demi kode yang tertera disana, menyamakannya dengan kode-kode yang sudah dipelajarinya saat di Akademi dulu.

Minato menghela nafas panjang, iris blue sapphire-nya ia arahkan untuk menatap uap tipis dari kopi yang sudah berada di genggamannya. "Aku bingung," ucap Minato memecah keheningan, ia dengan sengaja mencondongkan tubuhnya untuk bisa melihat kode yang sedang diperiksa oleh Shikaku.

"Kodenya tidak cocok dengan kode manapun," keluh Shikaku kemudian, saat otak jeniusnya terasa buntu dalam memecahkan kode-kode yang ditinggalkan oleh sang pembunuh berantai, "lagipula kenapa ia harus repot-repot meninggalkan kode-kode, padahal ia bisa saja langsung tertangkap karena kode-kode ini." jelas Shikaku menganalisis sambil menatap serius Minato.

Tidak lama kemudian sebuah lagu khas anak-anak mengalun lembut dari ponsel Shikaku, pertanda ada pesan masuk. "Cih, pasti ini ulah anakku. Jadi, jangan salah paham!" Shikaku buru-buru mematikan nada dering ponselnya dan menggantinya dengan nada dering standar, sebelum mengecek pesan masuk yang ternyata berasal dari operator.

Minato terhenyak, sebelum mengambil kertas kode tersebut dari tangan Shikaku yang masih asik mengutak-atik ponselnya. "Ah, aku mengerti." Minato mulai mengurai beberapa kalimat acak dan beberapa digit angka yang menjadi kode tersebut menggunakan sebuah nyanyian anak-anak yang sempat mengalun dari ponsel Shikaku.

"H-hei, apa yang--" Shikaku memperhatikan dengan keheranan setelah selesai berkutat dengan ponselnya, "bagaimana bisa?" Dan saat kode tersebut menjadi sebuah kalimat undangan dengan tempat dan waktu yang tertera jelas, Shikaku hanya bisa berdecak kagum atas pemecahan kode yang dilakukan oleh Minato.

Minato tertawa kegirangan. Namun, tawa tersebut langsung lenyap dan berubah menjadi sebuah wajah sendu saat ia ingat bahwa yang mengetahui kode anak-anak ini hanyalah dirinya dengan seseorang yang sudah lama menghilang.

"Semoga ini hanya firasat ku saja, atau memang dia pelakunya?"

.

.

.

.

3 Januari 2015

"Kushina, jangan bodoh. Ayo cepat kita lari atau kita akan tertangkap," teriak Mikoto dengan berlinang air mata, ternyata tempat persinggahan mereka telah ditemukan oleh polisi dan sedang dikepung. Sementara jalan satu-satunya untuk bisa kabur adalah melewati lorong bawah tanah dengan menggunakan seutas tali dan tali yang tersedia untuk kabur hanya cukup untuk satu orang, bahkan tali tersebut sudah terpasang rapih di tubuh langsing Mikoto.

"Iie, sudah cukup dengan semua ini. Aku sudah lelah, aku ingin segera mengakhirinya. Aku, aku..," Kushina tertunduk sesaat sebelum menunjukkan senyum tulusnya dan mendorong Mikoto untuk segera kabur melewati lorong bawah tanah dengan bantuan seutas tali. ".., aku ingin bisa menggapainya walau hanya sesaat dan melindungi dirimu, sekarang hiduplah dengan bahagia lupakan semuanya dan tempuh lah hidup baru. Jangan sia-siakan pengorbananku, sayonara Miko chan."

Mikoto terkejut, ia tidak menyangka bahwa Kushina akan mengorbankan dirinya begitu saja. "Kushina no bakka..." Mikoto berteriak pilu dengan suara serak, bahkan ia langsung saja meledakkan tangisannya saat ia telah sampai didasar lorong dan lubang atas lorong rahasia ditutup paksa dengan sebuah ubin yang sudah dibentuk sedemikian rupa agar tidak mengundang kecurigaan polisi.

Kushina tertunduk tepat diatas penutup lorong rahasia, badannya melemas bersamaan dengan setetes air mata yang mengalir melewati pipinya. Lalu sesuai perkiraan, tidak lama kemudian beberapa orang berseragam polisi mendobrak pintu kamar sederhananya sambil mengacungkan pistol ke arahnya.

"Aku menyerah," ucap Kushina pasrah sambil mengangkat kedua tangannya di atas kepala, iris violetnya yang sudah meredup dengan perlahan meneliti semua anggota polisi yang berada dihadapannya.

Nafas keduanya tercekat, saat kedua iris berbeda warna tersebut bersirobok. Baik Minato maupun Kushina merasakan perasaan membuncah yang membuat jantungnya mereka berdetak keras, setelah sekian lama tidak pernah bertemu.

Namun, hal tersebut tidak berselang lama. Karena Kushina yang sudah terlebih dahulu bisa mengendalikan perasaannya, langsung saja mengalihkan pandangannya ke arah salah satu rekan Minato yang ternyata diam-diam sedang mengeluarkan gas bius sambil menyeringai senang.

'itu dia, Ayato Kasagami.' inner Kushina saat melihat rekan Minato yang tidak lain adalah salah satu orang yang sedang diburunya selama ini.

Kushina menurunkan tangannya dan menyembunyikan kedua tangannya dibelakang badannya, lalu dengan cepat ia segera menggenggam erat pisau yang ia sembunyikan di belakang tubuhnya. "Apa kalian tidak aneh?" Kushina memecah keheningan mencekam dengan sebuah pertanyaan bernada sadis, lengkap dengan seringai misterius yang menghiasi bibir peach berbalut lipstik.

"Apa kalian pikir selama ini aku bekerja tanpa adanya penyokong?" Semua polisi menegang di tempat, termasuk Minato dan rekannya. Meskipun mereka tetap dalam posisi siaga yang mencondongkan pistol, tapi Kushina tahu bahwa hati mereka sedang dilanda gelisah dan ketakutan. Diam-diam Kushina tersenyum lemah, menyadari bahwa waktunya tidak lama lagi.

"Apa kalian bisa menjamin, kalau kalian akan keluar dari sini hidup-hidup? Tanpa ada satu goresan luka sedikitpun?" Kushina berteriak mengertak, ia melakukan hal tersebut untuk menggoyahkan mental polisi di hadapannya. Tanpa disadari oleh siapapun, Kushina mengambil ancang-ancang untuk berlari. Dan saat beberapa orang polisi di hadapannya mulai lengah, ia langsung berlari menerjang sambil menghunuskan pisau yang disembunyikannya.

"Ini yang terakhir," Kushina berucap cukup lantang, sesudah ia mulai mendekati tubuh Ayato.

Jleb

Dor

Dor

Csshh

"Masaka, omae wa..." Ayato tercekat, iris hitamnya membulat kaget. Apalagi saat ia sadar bahwa benda yang sedang menancap erat di dadanya adalah pisau ditancapkan dengan sengaja oleh Kushina.

Ayato meringis, sebelum akhirnya tumbang dan menghembuskan nafas terakhirnya karena luka tusukan tepat di jantungnya. Sementara para anggota polisi masih saja bergeming, mereka semua masih terlalu syok. Apalagi salah satu junior Minato, ia sudah jatuh bersimpuh lemas setelah melepaskan dua tembakan beruntun pada tubuh ramping Kushina karena dilanda panik.

"Sudah selesai," ucap Kushina sambil tersenyum senang, mukanya kini telah dipenuhi dengan bercak-bercak darah milik Ayato. Dirinya pun masih kuat berdiri tegak meski nyatanya dua buah peluru sedang bersarang di punggung dan samping tubuhnya.

Darah merembes keluar dari luka tembakan yang menganga, Kushina menggeram sakit. Sepertinya ia sudah diambang batas kekuatannya, lantas tidak lama kemudian ia pun mulai tumbang diiringi dengan senyuman yang tidak pernah luntur dari bibirnya.

"Kushina..." Minato yang melihat tubuh Kushina mulai goyah pun tersentak, tanpa aba-aba ia langsung saja berlari mendekat untuk menangkap tubuh Kushina yang mulai ambruk. "Kushu chan..." Minato memanggil lirih nama sang sahabat saat ia sudah bisa menangkap tubuh sang sahabat dan mulai membaringkannya dengan perlahan.

Kushina mendongak, melihat dengan seksama wajah putus asa seorang yang sedang memangkunya. "Inspektur Namikaze kun, ka? Ogenki desu, rasanya sudah lama sekali semenjak terakhir kita bersama?" Kushina tersenyum mengejek saat menyebut pangkat yang Minato sandang saat ini.

Minato terdiam, apalagi saat telapak tangannya tidak sengaja menyentuh luka Kushina yang masih mengeluarkan darah. "Hei, kalian apa yang sedang kalian lakukan cepat hubungi tim medis!" Minato berseru marah saat dirasanya luka tembakan pada Kushina mengeluarkan darah yang cukup banyak.

Semua orang panik, bahkan sudah ada beberapa polisi yang menghampiri tubuh tak bernyawa Ayato Kasagami untuk memberikan pertolongan pertama, yang pastinya akan sia-sia.

Kushina terkekeh lemah, tangannya kini sudah mulai mendingin. Tapi, meskipun sudah sekarat Kushina masih memiliki semangat hidup hingga bisa bertahan sampai setidaknya ia bisa mengucapkan kata-kata perpisahan.

"Kushina, demi aku kau ... kau ..," Minato tercekat, matanya memanas melihat orang yang paling berharga di hidupnya sedang sekarat. Lalu, dengan segera didekapnya tubuh lemah Kushina. ".., kenapa harus kamu yang berkorban? Ini tidak adil!"

"Gomen, hontou ni gomennasai." Kepala Minato terangkat, lalu menempelkan keningnya dengan kening Kushina. Sementara Kushina terus saja mengucapkan kalimat maaf, yang membuat dada Minato sesak.

"Tidak apa-apa, tidak apa-apa. Kita akan memulainya dari awal," ucap Minato dengan suara bergetar menahan tangis, meskipun sudah ada beberapa tetes air mata yang tumpah. Sebisa mungkin Minato tidak menunjukkan sisi lemahnya dengan menangis terisak.

"Tidak," Kushina menggelengkan lemah, lantas mengusap pelan air mata Minato. Minato menangkap tangan Kushina yang sedang mengusap pipi tirusnya dan meremasnya. "Kita akan segera berpisah kembali," Kushina balik meremas lembut tangan Minato, "jangan menangis, tersenyum lah untukku. Bangkitlah, terus berjuang sampai akhir dan wujudkan semua mimpi-mimpimu." Kushina bangkit, melepaskan tautan tangannya dan menangkup perlahan wajah Minato sebelum mengecup cepat sebelah pipi Minato dan berbisik perlahan dengan nada penuh kasih. "Aku tidak pernah menyesal melakukan ini, karena aku mencintaimu. Namun, jika diperkenankan aku ingin kita bertemu kembali di kehidupan selanjutnya dengan cerita yang lebih bahagia. Daisuki Minato kun ... dan, sayonara."

Minato terpejam sesaat, sebelum mengusap kasar matanya yang berlinang air mata. Ia dengan perlahan membenarkan posisi Kushina yang sudah benar-benar melemah, dengan lembut ia berikan senyuman secerah mentarinya walaupun dadanya terasa sesak. Lalu, di dekatinya Kushina, dikecupnya kening Kushina. "Aku juga, berharap sama seperti dirimu Daisuki yo, Kushu chan..." bisik Minato lirih tepat sebelum Kushina mengembuskan napas terakhirnya di pelukan Minato.

.

.

.

.

.

"Kemungkinan Minato tidak akan lulus atau jika ia lulus pun, ia hanya akan menjadi brigadir tanpa bisa naik ke jabatan yang lebih tinggi."

"B-bagaimana mungkin?"

"Yah, itu mungkin saja ter--"

"Apa ... apa yang bisa aku lakukan agar bisa membantunya?"

"Kau ingin membantunya?"

"Ha'i,"

"Wakatta, bagaimana jika kita membuat kesepakatan?"

"Kesepakatan?"

"Ya, kesepakatan. Bahwa Uzumaki Kushina akan menjadi anggota ANBU yang siap melenyapkan siapapun tanpa belas kasihan, juga keberadaan mu yang akan dihapus dari dunia ini!"

"Nani?"

"Bagaimana, setuju?"

"Danzo sama, Aku ... aku menolak karena--"

"Kamu sudah mengerti kan apa konsekuensinya jika menolaknya?"

.

.

.

.

10 Februari 2055

Rambut merah tergerai indah dibawah pantulan sinar mentari pagi, sesekali ia melirik jam tangannya dengan tampang kesalnya.

"Apa saya terlambat?" Derap langkah kaki yang mendekat membuat sang gadis pemilik surai merah menoleh dan menatap kesal pemuda pirang di hadapannya.

"Kau robot?" Sang gadis bertanya tanpa basa-basi, membuat sang pemuda tersenyum senang.

"Bukan, saya manusia." Sang pemuda membalas cepat, tidak lupa dengan menunjukan kartu indentitasnya.

"Oh, maaf kalau sudah menyinggung. Tapi, kau tahu sendiri kan kalau sekarang sudah banyak robot yang dimodifikasi sedemikian rupa agar sama persis selerti manusia." ucap sang gadis menjelaskan.

"Saya mengerti, jadi bagaimana kalau kita langsung saja? Saya Minato dari divisi teknologi, salam kenal." Sang pemuda menjulurkan tangannya lengkap dengan cengirannya.

Sang gadis bersemu saat melihat cengiran dari sang pemuda yang bernama Minato tersebut. "Saya Kushina dari divisi perancangan sistem, salam kenal juga." Kushina meraih tangan Minato dan menggenggamnya erat.

"Yosh, saya harap dengan ini kita bisa jadi lebih akrab."

"A-ah, iya, saya harap juga begitu."

End