Terinspirasi dari manga Halloween karya Watari Chie…
.
.
.
ELENA
.
.
.
SuLay
NoRen
.
.
.
BxB
.
.
.
-000-
Pemuda itu memperkenalkan dirinya sebagai Huang Renjun. Pertama kali melihatnya, Joonmyeon sempat tak percaya bahwa Huang Renjun sama-sama makhluk adam sepertinya. Yang benar saja! Dilihat dari sudut manapun, Huang Renjun itu lebih mirip gadis tomboy daripada pria tulen. Huang Renjun cantik, memiliki struktur wajah yang begitu feminin dan lembut. Garis rahangnya anggun, alisnya seperti dilukis, dan hidung maupun dagunya yang nyaris lancip terlihat begitu proporsional, sempurna layaknya dipahat. Gadis-gadis mungkin bakal nekat bertanya di klinik mana Renjun berhasil mendapatkan hidung dan dagu yang sempurna seperti itu, pasalnya selebriti sekelas Irene Red Velvet yang konon disebut-sebut sebagai yang tercantik di Korea pun tidak memiliki hidung dan dagu sesempurna milik Renjun.
Penampilan fisiknya yang rupawan memang menjadi nilai plus, sampai-sampai Jeno terlihat gelisah di tempatnya. Joonmyeon tahu sepupunya yang satu ini memang paling rentan pada pria cantik semacam Renjun, tetapi saat ini sama sekali bukan saat yang tepat untuk menggoda Renjun. Demi Tuhan, mereka benar-benar butuh uang dan Joonmyeon bertekad bahwa hari ini dia harus berhasil menjual rumah warisan leluhurnya ini kepada Renjun—bukan—tepatnya kepada Lay Zhang, jutawan muda Tiongkok yang berstatus bos pria muda nan cantik itu.
"Presdir Zhang bersedia membayar berapapun harga rumah ini," Renjun memberitahu Joonmyeon setelah dirinya diajak berkeliling rumah bergaya Korea klasik ini oleh Joonmyeon dan sepupunya yang gelisah—Jeno. Tak dipedulikannya Jeno yang terus-menerus berusaha mengirimkan isyarat lewat tatapan mata. Sesaat bibirnya mengulas senyum yang kelewat tipis hingga nyaris tak terlihat, tepat saat maniknya yang sebiru lautan Pasifik menangkap binar di manik cokelat milik Joonmyeon.
"Tetapi dengan satu syarat." Kalimat Renjun sukses mendatangkan raut waspada di wajah elok Joonmyeon dan kerutan di kening mulus Jeno.
"Syarat?" Alis tebal Joonmyeon sedikit terangkat, waspada. "Syarat apa?"
"Anda juga bersedia menjual lukisan perempuan Barat yang kabarnya dimiliki keluarga ini dari generasi ke generasi, juga buku catatan tentang perempuan yang ada di dalam lukisan itu," beber Renjun gamblang.
Baik Joonmyeon maupun Jeno terkejut mendengar jawaban yang diberikan Renjun. Sepasang sepupu yang berbeda usia hampir sepuluh tahun itu otomatis bertukar pandang, saling menatap dengan penuh tanya.
"Maksud Anda lukisan Elena Ricci?" Joonmyeon bertanya lagi setelah beberapa saat bertatap-tatapan dengan Jeno sebagai bentuk komunikasi lewat tatapan mata, semacam telepati sederhana. Manik cokelatnya kembali tertuju pada manik sebiru samudera milik Renjun.
Renjun mengangguk. "Itu yang saya dengar dari penduduk lokal saat bertanya tentang rumah keluarga Anda."
"Lukisan itu berhantu." Raut wajah Joonmyeon mendadak berubah serius, sangat serius. "Keluarga kami mengeramatkannya dari generasi ke generasi. Saya rasa lukisan itu bukan barang bagus untuk dijadikan koleksi Presdir Zhang."
"Sama sekali tidak." Renjun lagi-lagi menyunggingkan senyum yang kelewat tipis. "Justru lukisan itu sangat cocok dijadikan koleksi Presdir Zhang, karena…," Renjun tiba-tiba mencondongkan tubuhnya, mendekatkan bibirnya ke telinga kanan Joonmyeon hingga Jeno mendelik sambil menahan napas kaget, "Presdir Zhang gemar mengoleksi benda-benda yang dianggap keramat, eksotik menurut istilah beliau," dia membisiki Joonmyeon.
Sekarang kening Joonmyeon berkerut seperti Jeno barusan. Keraguan tiba-tiba menyaput sepasang maniknya yang cemerlang.
"Mohon maaf, tapi jika itu lukisan Elena, saya… Tidak bisa menjualnya."
Huang Renjun mendadak mengangkat satu alisnya, bertepatan dengan Jeno yang tiba-tiba berseru tertahan pada Joonmyeon.
"Hyung! Jangan bodoh! Buat apa mempertahankan lukisan berhantu semacam itu? Bikin sial saja!"
Kim Joonmyeon tak merespon, memilih diam tanpa melepaskan tatapannya dari manik sebiru lautan Pasifik milik Huang Renjun.
-000-
"Kim Joonmyeon tidak bersedia menjual lukisan maupun buku catatan tentang Elena, Gege," Huang Renjun melapor pada sosok yang berdiri membelakanginya di balkon ini. Sosok ramping yang hanya mengenakan bathrobe berwarna putih.
Yang disapa 'gege' terkekeh pelan mendengar laporan Renjun. Satu tangannya yang tengah memegangi gelas berisi wine melakukan gerakan mengocok perlahan, mempermainkan cairan berwarna pekat di dalam gelas itu.
"Sayang sekali." Suaranya lembut, merdu, tetapi di saat bersamaan dingin, menggigit. "Ternyata dia menaati wasiat para pendahulunya untuk menjaga lukisan itu."
Alih-alih takut, Renjun justru tersenyum manis, benar-benar berbeda dengan senyum kelewat tipis yang diperlihatkannya pada Joonmyeon beberapa jam yang lalu. Bahkan pemuda cantik ini tanpa sungkan mendekati Sang Gege, menjejerinya persis di sebelah kanan.
"Begitulah, Yixing Ge," Renjun menanggapi dengan nada lembut dan riang seperti bernyanyi. "Dia tetaplah seorang Kim yang taat asas."
"Anak berbakti, benar, 'kan?" Yixing—sosok yang mengenakan bathrobe putih—menoleh.
Siapapun yang melihatnya—kecuali Renjun—mungkin bakal ternganga detik ini juga. Yixing, laki-laki muda itu memiliki paras yang sulit diterima nalar. Bagaimana mungkin bisa diterima nalar jika wajah itu menawarkan pesona kecantikan yang bahkan tak bisa dideskripsikan lewat tuturan kata?
Jika Renjun sangat cantik dengan bentuk dagu dan hidung yang sanggup membuat gadis-gadis Korea menjerit-jerit iri, maka Yixing terlalu cantik, seakan-akan kecantikannya itu tidak berasal dari dunia ini. Struktur wajahnya sempurna, feminin dan lembut menjadi satu. Garis rahangnya bukan main anggun, ditunjang bentuk hidung dan dagu yang lebih lancip dari Renjun. Bahkan dengan rambut basah yang berantakan dan wajah yang benar-benar polos tanpa pulasan tata rias apapun, laki-laki itu terlihat bercahaya, seakan-akan memerangkap sinar milik rembulan yang saat ini tengah bertakhta di langit malam Seoul. Sepasang maniknya yang berwarna hijau menciptakan ilusi tentang hijaunya dedaunan beech di musim semi. Dia terlalu cantik, terlalu memikat!
"Coba Gege baca ini terlebih dahulu. Aku cukup beruntung untuk mendapatkan foto-foto ini dari Lee Jeno." Alih-alih menjawab, Renjun justru memberikan saran seraya merogoh ponselnya di saku, kemudian menyodorkannya pada Yixing.
"Jeno?" Kening Yixing sedikit berkerut.
"Jeno. Kim Jeno. Pemuda kecil yang selalu menemani Kim Suho," Renjun memberikan petunjuk.
"Ah, Jeno." Kerutan di kening mulus Yixing seketika lenyap. "Ya, aku ingat dia. Pemuda kecil yang menyimpan senyum di matanya, benar?" Tangan kanannya yang bebas dari gelas wine mengambil alih ponsel yang disodorkan Renjun.
"Tepat sekali." Senyum teramat manis kembali terukir di bibir merah delima milik Renjun.
"Ini benar-benar keberuntungan kita, Rebecca."
Kali ini Renjun tertawa kecil. "Rebecca. Ah, tiba-tiba saja aku merindukan nama itu. Sudah terlalu lama."
Yixing tersenyum. Siapapun yang melihat—kecuali Renjun—mungkin takkan sanggup berpaling karena senyuman Yixing… Terlalu indah! Terlalu indah, lengkap dengan lesung pipit yang menambah pesonanya hingga berkali-kali lipat.
Manik hijaunya yang menyuguhkan ilusi hijau dedaunan beech kini memusatkan tatapan pada layar ponsel Renjun. Tampak olehnya foto sebuah kertas yang sudah menguning, bertuliskan aksara Hanzi dengan tinta hitam dan kentara benar digoreskan dengan bantuan kuas.
Orang-orang menyebut nama itu dua bersaudari Elena dan Rebecca Ricci dari negeri Italia. Keduanya putri Tabib Alessandro Ricci, seorang Katolik yang turut mendirikan tempat sembahyang Katolik di Namwon. Konon luar biasa cantik paras itu nona-nona hingga ada diciptakan puisi untuk mereka yang berbunyi 'kecantikan yang diperoleh dari bulan, lenggang dari angsa, dan merdu suara burung kalavinka*, dialah Elena yang bermata hijau dan Rebecca yang bermata biru samudera.' Tiada yang pernah benar-benar melihat wajah mereka kecuali itu orang-orang Katolik, tetapi desas-desus kecantikan keduanya perlahan tersebar ke seluruh Namwon, menjelma misteri yang mengundang penasaran.
Senyum masih setia menghiasi bibir Yixing ketika jemari lentiknya menggeser layar ponsel Renjun. Sebuah foto yang lain gantian menghiasi layar. Sama seperti foto sebelumnya, foto yang ini masih memperlihatkan kertas menguning bertuliskan Hanzi dalam tinta hitam.
Atas permintaan isterinya, Tuan Kim Suho membawa gadis yang bernama Elena. Untuk pertama kalinya wajah itu nona terlihat di depan keluarga Kim. Rupanya tiada berbohong kabar yang tersiar. Nona Elena cantik luar biasa seperti bidadari, itu matanya berwarna hijau seperti warna dedaunan musim semi. Itu nona tiada bisa bahasa Joseon. Semua orang sulit bicara pada itu nona, tapi tiada demikian dengan Nyonya Bae Joohyun selaku isteri Tuan Kim Suho. Tiada bisa bicara dalam bahasa yang sama bukan berarti akhir dari segalanya. Tampak bertumbuh perasaan senang Nyonya Bae Joohyun pada Nona Elena. Dijadikannya itu nona sebagai kawan karena Nyonya Bae Joohyun menyenangi hal-hal yang berbicara tentang Barat, negeri asal Nona Elena.
Lagi, jemari lentik Yixing bergerak dan berdampak pada kemunculan foto lain di layar, tetapi masih setia memperlihatkan kertas bertuliskan Hanzi.
Semua orang geger. Nyonya Bae Joohyun ditemukan tiada bernyawa pada pagi di awal musim panas bersama bayi di dalam perutnya. Kematiannya sangatlah ganjil, tiada jejak apapun tertinggal di tubuhnya. Selama ini Nyonya Bae Joohyun diketahui berbadan sehat, bahkan saat mengandung pun tiada suatu penyakit dia derita. Para pelayan mengaku tiada tahu-menahu sebab Nyonya Bae Joohyun meregang nyawa, tetapi tiada demikian dengan adinda Tuan Kim Suho, Nona Kim Yerim. Nona Kim Yerim bersaksi bahwa kematian Nyonya Bae Joohyun ada hubungan dengan Nona Elena. Menurut kesaksian Nona Kim Yerim, Nona Elena melakukan sihir. Itu nona dari Italia adalah pemuja setan. Rupanya tiada berbohong kesaksian Nona Kim Yerim karena Nona Elena kedapatan menyimpan benda-benda aneh di kamarnya yang disediakan khusus oleh Nyonya Bae Joohyun, semacam simbol pemujaan setan.
Jemari lentik itu kembali bergerak, membuka foto yang berikutnya di layar ponsel.
Kematian Nyonya Bae Joohyun yang dicinta masyarakat Namwon mengundang amarah banyak orang. Semua sepakat bahwa Nona Elena harus dihukum mati karena sudah melakukan sihir yang membunuh Nyonya Bae Joohyun. Atas kesepakatan masyarakat Namwon, Nona Elena ditangkap di rumah Tuan Ricci selaku ayahandanya. Sia-sia saja itu orang-orang Katolik mencoba menolong Nona Elena. Nona Elena ditangkap dan diseret menuju alun-alun. Semua orang setuju bahwa hutang nyawa harus dibayar nyawa. Nona Elena harus mati dengan cara dibakar di kayu salib, simbol itu orang-orang Katolik, untuk memberi itu orang-orang Katolik peringatan.
"Ya, pada akhirnya Elena mati dibakar di kayu salib dan menghabiskan waktu tiga hari sampai tubuhnya berubah menjadi abu."
Yixing tiba-tiba menoleh pada Renjun yang ternyata masih bertahan menatap ke arahnya.
"Dan Rebecca harus melarikan diri dengan air mata tanpa bisa menolong Elena. Dia harus lari ke hutan bersama orang-orang Katolik yang mulai dibenci masyarakat. Namwon tahun 1801 benar-benar neraka bagi orang-orang Katolik, terlebih pemerintah Joseon pada saat itu benar-benar tidak ramah pada Katolik," Renjun menanggapi. Suaranya terdengar penuh penyesalan, menyesuaikan raut wajahnya yang juga dibayangi penyesalan.
"Untuk apa menyesal, Rebecca?" Tak diduga-duga, Yixing justru terkekeh. "Toh Elena terlahir kembali dan kini berdiri di hadapanmu, berbicara denganmu. Sama seperti dulu. Ah, tidak. Belum benar-benar sama, kecuali kau bersedia mengubahku."
"Tidak akan, Elena." Renjun menggelengkan kepalanya dengan angkuh. "Menjadi abadi sangat membosankan dan meminum darah bukan aktivitas yang menyenangkan. Aku selalu menyesali diri kenapa aku tidak mencari kematianku pada saat kau dibakar dengan keji di kayu salib, memilih menuruti pesan terakhirmu untuk mengawasi Suho dan menantikanmu terlahir kembali." Sepasang mata Renjun berkaca-kaca. Ekspresinya berubah sendu.
"Dan penyesalanmu berbuah manis, Rebecca." Senyum memikat Yixing mengembang sekali lagi. "Betapa bahagianya aku ketika kau mendatangiku malam itu, menepati janji untuk menemuiku lagi sekaligus memberitahuku tentang apa yang terjadi pada Suho setelah kematian Elena."
Tatapannya beralih menatap langit malam yang gelap, terarah pada bulan pucat di atas sana. "Aku bahagia mengetahui Suho melukis Elena dan memasangnya dengan pigura dari kayu salib yang tidak terbakar meski tubuh Elena hangus menjadi abu. Semakin bahagia mengetahui dia berwasiat pada keturunannya untuk menyimpan lukisan itu dari generasi ke generasi. Ternyata dia benar-benar mencintai Elena dan menyimpan penyesalan atas ketidakmampuannya menyelamatkan Elena dari tiang salib," Yixing nyaris kedengaran menggumam.
"Berterima kasihlah pada ingatan akan kehidupanku sebelumnya. Aku bahkan belum melupakan raut wajah Suho saat dia menatap Elena yang terbakar di kayu salib. Untuk pertama kalinya aku melihat dia menangis. Bagiku itu sangat membahagiakan. Setidaknya aku tahu dia sungguh-sungguh mencintaiku."
"Suho laki-laki bodoh dan tidak setia, tapi kenapa kau masih mencintainya, bahkan hingga terlahir kembali sebagai Yixing?" Renjun mencibir sembari mengusap matanya yang basah. "Bahkan saat dia tahu istrinya meninggal akibat serangan jantung setelah tak sengaja memergokimu mengisap darah musang itu, tak ada sedikit pun upaya yang dia lakukan untuk menyelamatkanmu, Elena."
"Dia tidak setia karena dia tidak pernah mencintai Joohyun," sanggah Yixing dengan nada enteng tanpa mengalihkan tatapannya. "Dan dia tidak bodoh. Dia memang tak bisa menyelamatkanku karena keadaan. Suho sangat menyayangi Yerim dan dia tak sanggup menyalahkan adiknya yang menganggapku tukang sihir gara-gara anagram dan lambang heraldik itu. Selain itu," Yixing sekilas menoleh pada Renjun, "dia percaya bahwa aku akan lahir kembali untuknya, seperti dia yang lahir kembali sebagai Kim Joonmyeon untukku." Mata hijaunya tampak berbinar ceria.
"Kim Joonmyeon, pengusaha bangkrut yang merana," komentar Renjun sedikit sinis. "Dan sepupu bodohnya. Ah, Lee Jeno. Kenapa dia baru lahir kembali setelah ratusan tahun? Aku sudah terlalu lama menunggunya hingga mati rasa. Melihatnya malah membuatku kesal."
Yixing tertawa mendengar suara Renjun yang lebih mirip keluhan. "Tuhan berbaik hati mengatur waktu yang tepat, Rebecca, ah, bukan, Renjun," kata Yixing. "Dia mengatur agar kita bersama-sama bisa mengulang kembali kisah 217 tahun yang lalu, tentu dengan suasana yang baru dan kuharap menguntungkan di pihak kita meski sekarang ini kita sama-sama laki-laki. Kuharap kali ini aku cukup beruntung, bebas dari reinkarnasi Joohyun."
"Beruntunglah Kim Joonmyeon itu bangkrut," Renjun kembali berkomentar. "Setidaknya Irene Red Velvet tak akan meliriknya."
"Ya, kuharap seterusnya pun dia tak akan melirik Joonmyeon, bahkan kalau bisa tidak menemukannya," harap Yixing. "Baiklah. Sepertinya aku harus segera tampil, Renjun. Mulai dari meluluhkan hati Joonmyeon untuk menjual rumah dan lukisannya padaku."
"Ya. Mudah-mudahan saja dia masih memiliki ingatan akan kehidupannya sebagai Suho dulu, syukur-syukur dia akan teringat pada Elena Ricci yang dibakar dengan keji selama tiga hari tiga malam hingga darahnya diserap kayu salib tempatnya dipancang dan tubuhnya berubah wujud menjadi abu," Renjun turut berharap.
Yixing tak mengatakan apapun untuk memberikan respon, hanya memperdengarkan tawa merdu yang ceria, penuh pengharapan, menjelma melodi indah yang menembus udara sejuk milik Seoul malam ini.
-000-
Ratusan kilometer dari balkon apartemen tempat Yixing dan Renjun berdiri bersisian, Kim Joonmyeon justru tengah termenung di dalam kamarnya yang temaram. Laki-laki tampan berkulit seputih susu itu duduk menghadap sebuah lukisan berukuran 50x50cm yang dipasang di dinding dalam pigura kayu berwarna hitam kelam. Itu lukisan sosok wanita muda yang sangat cantik, memiliki mata hijau dan rambut cokelat madu. Menegaskan jati dirinya yang bukan Asia Timur adalah gaun Barat berwarna biru benhur yang membalut tubuhnya, memperlihatkan pinggang sempit khas efek korset. Tampak sosok wanita itu duduk di semacam taman. Pastinya lukisan itu memiliki harga yang teramat mahal jika dijual, pasalnya lukisan itu terlihat sangat hidup. Goresan kuasnya tegas, mantap, seakan-akan yang melukisnya sangat mengenal detail tubuh wanita yang menjadi objek lukisan.
Tatapan mata Joonmyeon tertuju tepat pada sepasang manik hijau milik wanita di dalam lukisan. Laki-laki itu seakan tersihir, tak sanggup berpaling dari manik yang seolah menghadirkan ilusi hijaunya dedaunan pohon beech di musim semi. Persetan dengan halusinasi, yang pasti Joonmyeon merasa manik hijau itu bergerak-gerak dan memetakan senyum di dalamnya.
"Elena," Joonmyeon sekonyong-konyong menyebutkan satu nama.
"Sampai kapan aku harus menunggumu?" Dia menggumam. "Sampai kapan aku harus menunggumu untuk melanjutkan apa yang tertunda di masa lalu? Elena, kumohon jangan membuatku menunggu terlalu lama. Aku sangat kesepian di dunia ini. Satu-satunya yang membuatku bertahan hanyalah lukisanmu, yang ternyata diinginkan calon pembeli rumah ini. Oh, Elena. Datanglah padaku. Secepatnya. Aku merindukanmu, sangat-sangat merindukanmu, Sayang."
Katakanlah Joonmyeon berhalusinasi sekali lagi, tetapi dia tak peduli. Baginya, saat ini Elena—wanita di dalam lukisan—mengulas senyum untuknya. Senyum yang sangat cantik, secantik Elena sendiri.
"Datanglah padaku, Elena. Sebagai manusia biasa atau vampir seperti dulu pun tak apa. Jika kau ditakdirkan kembali menjadi dia yang abadi, maka ubahlah diriku menjadi sepertimu. Kau dengar itu, Elena?"
Joonmyeon lagi-lagi menggumam, putus asa oleh kerinduan yang tak tertahankan.
.
.
.
FIN
.
.
.
*diambil dari salah satu bagian dari Prasasti Kayumwungan yang berisi deskripsi tentang kecantikan Sri Pramodhawardhani, putri Raja Samarattungga
.
.
.
Ydyakonenko
