Cuap-cuap Su-chan→ Sejujurnya aku ingin sekali berpartisipasi untuk SHDL dengan fic ini namun aku tidak tahu bisa menyelesaikannya tepat waktu atau tidak , berhubung ini fic in-progress. Kuharap kalian bisa menikmati fic ini, seperti saat aku membuatnya. Oh ya, satu lagi, fic ini bergenre Parodi yang terinspirasi dari Sleeping Beauty produksi Disney Corp dan aku tidak pernah bermaksud, apa lagi dengan sengaja plagiat! Ini hanya terinspirasi dan memang idenya pasaran.
Warning → Standar Applied.
Disclaimer→ Naruto, selalu dan selamanya punya Masashi Kishimoto. Sleeping Beauty, hak paten selalu ada ditangan Disney corp dan Sleeping Handsome, punya saya!
Sekian lama putri cantik terlelap dalam tidur cantiknya, hingga sang pangeran impian datang dengan kecupan penuh cinta. Putri cantik terbangun, kehidupan yang mati kembali hidup. Semua orang bergembira menyambut hari bahagia putri dan pangeran impian tersebut. Yang akan menyatu dalam mahligai indah bernama pernikahan. Lantas apakah semua orang berbahagia atas pernikahan tersebut?
Ada yang bilang kalau ada orang baik, pasti ada juga yang tidak baik; kalau ada yang berlimpah harta, pasti ada yang kurang harta; jika ada yang rupawan tidak menutup kemungkinan ada yang kurang rupawan. Hal ini memang klise, maka pastilah dari semua yang bergembira ria ada pula yang bersusah hati, siapa lagi kalau bukan pangeran tidur. Pangeran yang menjadi limpahan murka sang penyihir atas telah bahagianya putri tidur.
.
.
.
Sugar Princess71
SasuHina Days Love
Proudly Present
.
.
.
Sleeping Handsome
.
.
.
"Bagaimana ini, pangeran sudah tertidur selama tiga ratus enam puluh hari! Itu artinya kita hanya punya waktu seratus tiga puluh lima jam sebelum pangeran tertidur selamanya. Lantas apa yang harus kita lakukan? Kita tak mungkin membiarkan pangeran meninggal begitu saja. Aku bingung, ini tugas yang berat sebagai penjaga pangeran."
"Kenapa kau selesu itu, Naruto, tidak biasanya."
Naruto tidak mempedulikan perkataan Iruka, hatinya begitu resah, beban berat sebagai penjaga pangeranlah penyebabnya. Bukannya Naruto menyesal karena pekerjaannya, justru ia tidak pernah menyesal menjadi salah satu penjaga pangeran, ia sangat senang dan bangga kala Raja Fugaku menunjuknya sebagai salah satu penjaga pangeran, apa lagi pangeran merupakan sahabatnya sejak kecil. Hanya saja ketidakberdayaannya menyelamatkan pangeran dari kutukan penyihir membuatnya begitu terpuruk.
"Jangan sedih kawan, kau tidak lupa kan apa pesan peri Sakura?" Iruka —penjaga pangeran sama seperti Naruto— menepuk bahu Naruto, menguatkan hati sahabatnya. Kekalutan juga melanda bapak satu anak ini namun ia percaya bahwa dibalik kegelapan pasti ada cahaya, sama halnya dengan pelangi yang muncul kala hujan reda.
.
.
.
"Iruka dari mana saja, raja mencarimu." Wanita yang sudah tidak muda lagi berlari tergesa dari arah Istana menuju setapak jalan yang menyambungkan Istana dengan hutan Larangan, melihat orang yang dicarinya hanya berjarak sekian meter darinya, ia langsung berteriak dan menghentikan larinya. Mengatur nafas yang tersengal, Nenek Chiyo memaksakan senyum ketika Iruka juga Naruto telah berada di hadapannya.
"Ada apa, Nek Chiyo, apa terjadi sesuatu?"Nenek Chiyo hanya menggeleng, Iruka mengetahui ada sesuatu, dia pun langsung pamit menuju Istana untuk bertemu baginda raja. Kepergian Iruka membuat Naruto bingung, pria belasan tahun itu bolak-balik memandang ke arah kepergian Iruka dan Nenek Chiyo. Nenek Chiyo menarik tangannya menuju ke arah sungai kecil yang berada di sudut kanan dan kiri pintu masuk hutan Larangan, hendak bertanya mengenai panggilan raja terhadap Iruka namun Naruto enggan dan memilih mengikuti nenek yang usianya hampir mencapai satu abad ini.
"Untuk apa kita ke sini Nek, kau tidak hendak memarahiku karena telah mengunjungi hutan Larangan, padahal kau selalu melarangku ke sini. Hei, bahkan meski ini hanya sungai di pinggir hutan, kau tetap akan memarahiku karena telah berada di tempat ini. Kenapa kini kau malah mengajakku ke sini?" Chiyo tidak menjawab pertanyaan Naruto, ia mengisyaratkan dengan tangannya menyuruh Naruto duduk di sebelahnya. Meski bingung Naruto tetap duduk di sebelah nenek tersebut, Naruto menatap ke depan, sebuah sungai dengan arus begitu deras menjadi pemandangannya. Naruto menajamkan penglihatannya, ada yang aneh dengan apa yang dilihatnya.
"Kau menyadarinya, itulah yang terlihat bahkan sungai yang biasa tenang pun menjadi kalut. Keadaan pangeran kritis, waktu tidaklah banyak, entah pangeran masih bisa bertahan atau tidak." Raut sedih tergambar di wajah peramal istana tersebut, dia tidak menyangka nasib putra mahkota yang telah lama dinantikan kehadirannya harus berakhir secepat ini padahal usianya belum genap delapan belas tahun —usia kedewasaan sekaligus pengukuhan status sebagai calon raja—.
"Keh, sepengecut itukah nenek yang diagung-agungkan sebagai peramal agung?" Naruto tidak terima dengan perkataan Chiyo, ia berusaha melempari batu bahkan apa saja yang bisa ia lempar ke arah sungai yang memperlihatkan kematian Pangeran Sasuke.
"Aku yakin Sasuke bisa bertahan, orang seperti dia tidak mungkin mati karena hal konyol, hahaha mana mungkin."Naruto tertawa hampa, semua yang melihat dirinya pasti tahu bahwa teman baik pangeran itu tengah putus asa. Chiyo diam, tidak mengucapkan sepatah kata pun, sama halnya dengan Naruto, ia tak mempercayai, pangeran bermulut pedas itu akan meninggalkannya begitu cepat. Tidak, Chiyo tidak akan rela jika itu terjadi, pangeran yang begitu ia kasihi layaknya cucunya sendiri harus tiada karena suatu dendam sepihak, padahal dalam kaitannya dengan pangeran, ia tidak bertanggung jawab akan hal demikian.
.
.
.
"Ada apa gerangan, Baginda memanggil hamba?" Raja Fugaku menghela nafas, berat rasanya harus mengatakan hal yang begitu sulit kepada Iruka yang notabenenya adalah Kepala Penjaga Pangeran. Iruka menyadari hal yang akan dibicarakan menyangkut pangeran, Iruka menghela nafas mendapati firasat buruk.
"Nampaknya kau mengerti apa yang akan kukatakan, jujur aku tak sanggup mengatakannya bahkan permaisuri pun tak sanggup menyaksikan perkataanku."Sorot sedih tergambar jelas di wajah pria empat puluh tahun itu, ditatapnya jendela dengan pandangan begitu terluka. "Kejahatan apa yang telah aku lakukan hingga Tuhan tega menghukumku seperti ini." Tiada lagi raja yang tegar penuh wibawa, semuanya lenyap kala tahu waktu putranya tidak lama lagi. Putra yang selama empat tahun pernikahannya baru hadir dikehidupannya, kini ketika delapan belas tahun berlalu atas penantiannya, dia di hadapkan lagi pada kenyataan pahit, putranya akan segera pergi dari hadapannya untuk selama-lamanya.
"Baginda harus tegar, masih ada waktu, hamba yakin kami bisa menemukan penawarnya di sisa waktu yang singkat ini." Iruka beranjak dari duduknya dan menghampiri raja, tatapan sungguh-sungguh terukir di wajahnya, ia berusaha memberikan harapan kepada raja yang begitu dihormatinya. Fugaku tersenyum, ditepuknya bahu Iruka, "Kau memang orang yang bisa kupercaya namun jangan berusaha untuk menguatkanku Iruka. Harapan memang masih ada namun kemungkinan terburuk pun juga ada. Kita harus berusaha untuk menciptakan hal yang kita inginkan, tunjukkanlah harapan itu padaku. Aku percaya, kau, Izumo dan Naruto bisa mencapainya."
Sugar Princess71
"Hinata, jangan lupa angkat semua kayu bakar ke gudang penyimpanan setelah kau selesai memberi makan sapi-sapi itu."
"Baik ayah." Kehidupan Hinata memang selalu seperti ini, tinggal di pedesaan terpinggir dari pusat kota dan berada dalam lingkup keluarga peternak sederhana membuatnya harus bekerja keras tiap harinya. Terlebih lagi dengan pekerjaan rumah yang begitu banyak karena dirinya hanya tinggal berdua dengan ayahnya —Ibunya telah meninggal.
Hinata langsung bergegas mengangkut kayu bakar yang baru saja dicari ayahnya setelah melepas celemeknya yang penuh dengan kotoran sapi dan noda lumpur. Hinata hanya gadis desa yang tidak tahu-menahu tentang segala urusan selain cara berternak, memasak, membersihkan rumah bahkan ia pun tidak tahu kalau seluruh penduduk yang berada di bawah naungan Istana Konoha tengah mengalami kecemasan mengenai kondisi sang putra mahkota.
.
.
.
Di tengah hutan dan teriknya mentari siang, Hiashi masih tetap bergelut dengan kampak dan bongkahan kayu tua yang hendak ia jadikan kayu bakar. Musim dingin memang masih lama namun kayu bakar merupakan penggerak utama warga, baik di desa maupun di kota. Kayu bakar sangat dibutuhkan untuk kehidupan sehari-hari misalnya untuk memasak, salah satu dari beragam fungsinya.
Kegigihan pria berkepala empat ini memang patut diacungi jempol, tidak ada sedikit keluhan pun dari beratnya pekerjaan yang ia lakukan, ia begitu serius menekuni pekerjaannya tanpa mengeluh. Hiashi bahkan tidak menyadari jika di belakangnya berdiri seseorang selainnya, "Hiashi, apa kau akan terus menyembunyikan kebenaran ini?" Hiashi terkejut dengan suara seseorang, dia yakin ia hanya sendirian di hutan. Hiashi menyimpulkan suara ini adalah suara kawan lamanya meski ia tidak menatap ke arah belakang.
"Itu bukan urusanmu, Danzou. Jika kau berada dalam posisiku, kau pasti akan mengerti, kenapa aku bersikap seperti ini." Danzou mendecih mendengar penuturan kawan lamanya, yang tidak memuaskannya. Hiashi tidak mempedulikannya, ia memilih meninggalkan Danzou tanpa melihat sedikit pun ke arah kawan lamanya dan hal itu hanya menguatkan persepsi bahwa dirinya adalah seorang pengecut.
Danzou tetap diam, sejujurnya dia begitu kecewa dengan sikap sahabatnya yang terus-menerus melarikan diri. Matanya menerawang ke langit, senyum kecil tertera di wajahnya, "Terserah kau saja kawan, aku pun tak mengerti sampai kapan langit akan secerah ini di kala siang."
Sugar Princess71
"Naruto, cepat kau cari Izumo kita akan berangkat malam ini." Naruto terkejut dengan kedatangan sahabatnya yang tanpa permisi ke dalam ruangan sempit di atas pohon, yang selalu bocah pirang akui sebagai rumah terindah di dunia. Jangan lupakan keadaannya yang nyaris tersedak sup hangat akibat kedatangan sahabatnya yang tanpa permisi.
"Kenapa terburu-buru, ada apa dan kita mau ke mana?" Naruto telah menghabiskan sup hangat tersebut tanpa sisa sedikit pun, walaupun sempat tersedak bahkan dirinya tidak menawari Iruka.
"Aku tak punya banyak waktu untuk menjelaskannya, cepat cari Izumo dan temui aku di depan hutan larangan. Jangan lelet, waktu kita tinggal seratus sebelas jam lagi!" Iruka telah menghilang dari hadapan Naruto, Naruto pun merapikan perlengkapannya. Dirinya tahu hal ini pasti terkait dengan Pangeran Sasuke, hanya saja dirinya tidak percaya bahwa Iruka begitu rajin mengonversikan hari ke jam mengenai detik-detik terakhir kehidupan sahabatnya.
.
.
.
"Iruka, ada apa sih, kau menggangu kebersamaanku dengan istriku! Kami kan masih pengantin baru." Naruto terkikik mengingat bagaimana kedatangannya yang mengakibatkan kegagalan Izumo melaksanakan misinya.
"Salah sendiri, kenapa menikah di tengah prahara." Iruka memang benar-benar berubah begitu menghadapi misi, jika ia tengah menghadapi misi maka jangan harap mendapati keramahan apa lagi belas kasihan darinya.
"Kau tidak mengerti sih, kenapa aku dan Ayame memutuskan untuk menikah di tengah prahara, Ayah Teuchi yang menuntutku untuk menikahi putrinya secepatnya dengan alasan dia ingin melihat putrinya menikah sebelum dia sama sekali tidak bisa melihatnya. Aku sudah menjelaskan mengapa aku tidak bisa menikahi Ayame di saat-saat seperti ini namun akhirnya aku menyadari maksud dari keinginan paman. Jika tidak menikah sekarang maka kemungkinan menikah di lain hari pun kecil kemungkinannya. Terlebih masalah putra mahkota adalah hal kompleks dengan berbagai dampak di dalamnya. Aku benar-benar bersyukur telah menikah, setidaknya aku telah merasakan malam yang indah itu." Izumo mencurahkan segala isi hatinya dengan hati berbunga-bunga bahkan ia tidak mempedulikan tatapan sebal yang mengarah kepadanya.
"Baka! Kau mau pamer ya, mentang-mentang udah nikah." Naruto mengerucutkan bibirnya dengan tampang super bête.
"Sudahlah, kalian jangan bercanda terus, waktu kita tidak banyak. Sebelum matahari terbit kita sudah harus sampai di air terjun. Jika tidak, kita tak punya kesempatan untuk menyelamatkan pangeran." Semuanya terdiam mendengar penuturan Iruka, tanpa banyak bicara mereka meneruskan perjalanan.
Baru beberapa langkah di hutan Larangan, suasana aneh menyelimuti langit yang tadinya damai kini dipenuhi oleh kilatan-kilatan, angin pun bertiup begitu kencang, gemuruh saling bersahutan. Satu lagi, jangan lupakan suara-suara aneh yang senantiasa menghantui pendengaran ketiga pria tersebut. Meski demikian ketiga penjaga pangeran tetap dalam keadaan tenang dan terus bergegas menuju air terjun yang terletak di tengah hutan Larangan.
Srettttt, dash, darah mengalir begitu deras dari lengan kiri Izumo, ia begitu terkejut atas serangan dari sampingnya yang begitu tiba-tiba sementara kedua sahabatnya tidak menyadari keadaannya. Izumo tetap berjalan mengikuti sahabatnya, menahan rasa sakit yang maha dahsyat akibat koyakkan di bahunya. Nampaknya perjalanan Izumo harus terhenti, dari arah belakang, bayangan yang tak terdefinisi —karena begitu cepatnya— berhasil melukai bahu kanan pria dua puluh tiga tahun tersebut, darah langsung menodai baju kebesarannya sebagai penjaga pangeran. "Ahhhh!" Izumo menjerit begitu keras, semuanya terjadi begitu cepat dan spontan, tidak memberikan sedikit pun celah untuk berpikir, apa lagi melindungi diri. Lengan kiri, bahu kanan serta paha bagian kanannya telah terkoyak dengan darah yang tak henti mengalir. Izumo jatuh, tenaga untuk menopang tubuhnya hilang. Seluruh tubuhnya bagai mati rasa, jantungnya berdetak begitu lemah.
Teriakkan Izumo menyadarkan Iruka dan Naruto yang terlalu fokus dengan pemandangan di depannya. Mereka begitu shock mendapati Izumo yang menatap mereka dengan keadaan yang begitu lemah. Padahal mereka berada sangat dekat dengan Izumo namun tidak menyadari keadaan yang tengah dialami kawannya. Naruto beranjak dari diamnya dan menghampiri sahabatnya, hanya saja pergelangan tangannya ditahan Iruka, "Apa-apaan ini, lepaskan aku Iruka." Iruka mengacuhkan Naruto, dirinya malah menyeret pemuda itu untuk terus berjalan.
Naruto menyentakkan tangannya yang dicengkram Iruka, didorongnya Iruka, "Apa-apaan kau, Izumo terluka! Kita harus menyelamatkannya." Naruto berteriak, ia tidak habis pikir dengan sikap Iruka yang begitu tidak peduli. Padahal yang terluka adalah Izumo, sahabat baiknya.
"Waktu kita tidak banyak." —plakkk, Naruto menampar Iruka begitu keras hingga mengakibatkan luka tipis pada sudut bibirnya. Suasana yang tercipta di antara mereka begitu panas meski angin terus-menerus bertiup kencang bahkan kilat dan gemuruh saling beriringan menyambut butiran-butiran air yang mengalir begitu deras. Izumo hanya memandang mereka dengan pandangan yang menyulitkan, ia berusaha menyampaikan sesuatu kepada mereka namun rasanya tak sanggup. Ditambah hujan deras yang membuat tubuhnya luar biasa perih, bajunya pun kuyup oleh darah, kesadarannya menghilang tanpa sempat mengucapkan sepatah kata pun.
"Terserah kau, Naruto, yang jelas aku akan tetap meneruskan perjalanan. Hutan Larangan adalah hutan yang penuh dengan misteri. Kita tidak tahu apakah kita bisa bertahan di dalamnya atau tidak. Kita pun tidak akan tahu apakah kita bisa menemukan jalan keluar karena hutan ini bagaikan sebuah labirin tanpa pintu keluar. Terlebih lagi di detik-detik bulan sempurna seperti saat ini, tentu kau tahu tentang dongeng "itu" kan? Sejujurnya aku sama sepertimu, menghawatirkan Izumo namun keselamatan Pangeran Sasuke adalah amanah yang dipercayakan baginda kepada kita, kurasa Izumo juga berpikir demikian. Kita berdoa saja semoga kawan kita masih bisa melihat mentari di keindahan esok dan semoga kita juga demikian. Aku duluan, pikirkan baik-baik kata-kataku: hidup tidak selamanya indah kawan, pilihan itu pasti ada namun apa yang kita pilih tidak selalu berakhir bijak." Pasca bertutur panjang lebar, Iruka langsung berjalan tanpa menghiraukan Naruto atau pun menengok ke arah Izumo. Tanggung jawab terhadap amanah membuatnya bersikap tegas dan cenderung egois terhadap kawannya namun apa mau dikata, ini demi kemaslahatan bersama.
Naruto diam, dunianya serasa mati, segala macam pemikiran terlintas di otaknya, hingga dia bingung harus menerjemahkan yang mana. Di menit sepersekian kesadaran Naruto kembali, setelah pikirannya beranjak dari alam sadar, ambang sadar sampai ke kesadaran. Naruto langsung menghampiri tempat Izumo tergeletak. Keterkejutan kembali melandanya, Izumo sudah raib dari penglihatannya. Naruto mondar-mandir memanggil Izumo bahkan langit yang kini penuh dengan bintang pasca hujan yang telah reda, tak luput dari pandangannya.
Naruto berlari ke arah perginya Iruka, seraya memanggil-manggil nama kedua kawannya namun hasilnya nihil. Ia tidak menemukan keduanya atau pun jejaknya. Keputusasaan melandanya, ia tahu, ia sudah berjalan terlalu jauh. Walau pagi hendak menjelang namun semuanya tetap terlihat gelap di hutan ini, terlebih dengan kerimbunan pohon yang anehnya seperti tengah menertawakannya.
Naruto telah kembali menjadi sosoknya yang pantang menyerah. Ia begitu gigih menelusuri hutan ini dengan berbekal satu arah, yaitu berjalan terus ke depan dengan berbagai harapan dan tujuan. Satu tujuan utamanya kini, air terjun.
Sugar Princess 71
"Hinata, apa yang kau rasakan saat ini?" Hinata menatap ayahnya dengan pandangan bingung. Tidak biasanya ayahnya mengajaknya bicara setelah selesai sarapan, apalagi menanyakan perasaannya. Hinata jadi khawatir kalau-kalau ayahnya salah minum ramuan.
"Hinata, kau mendengar apa yang aku katakan tadi, kan?" Ughh tatapan Hiashi benar-benar membuat orang yang melihatnya menjadi meremang seketika, kini Hinata yakin, ayahnya bukan salah minum ramuan melainkan kesambet setan hutan.
"A… ano ada apa ya ayah, emm e… etto maksudnya apa ya?" Takut-takut Hinata menatap mata ayahnya, ia tahu ayahnya paling tidak suka ketika seseorang tengah berbicara dengannya namun tidak menatap matanya.
"Ah sudahlah, cepat cuci piring kemudian bantu ayah menjual kayu bakar ini ke kota." Hiashi langsung meninggalkan putrinya tanpa mendengar persetujuan putrinya. Hinata hanya menghela nafas melihat sikap ayahnya yang semenjak kematian ibunya menjadi begitu dingin. Dipindahkannya piring-piring kotor itu ke dalam bak kayu ukuran sedang dan dibawanya menuju sumur kecil yang terletak di halaman rumah.
.
.
.
Terbangun dari tidur, Iruka mengucek matanya untuk menyesuaikannya dengan cahaya mentari yang begitu terik. Perlahan-lahan ia bangkit dari posisi tidurnya, raut kecewa tergambar jelas di wajahnya. Semuanya menjadi sia-sia, niat hati mengejar waktu agar bisa menyelamatkan pangeran. Sampai rela meninggalkan kedua sahabatnya namun apa yang dia dapat? Air terjun tidak ia jumpai dan parahnya, ia malah kehilangan kedua kawannya.
Rasa bersalah terus menghantuinya, terbayang bagaimana kesakitannya Izumo, kebingungan Naruto juga Shikamaru —putra semata wayangnya— yang memandangnya dengan pandangan kecewa karena kecerobohan ayahnya dalam mengambil sikap. Pria dua puluh enam tahun ini tidak henti-hentinya menghela nafas bahkan suara perutnya tak diacuhkannya. Matanya menerawang ke langit yang begitu cerah meski terhalang oleh rindangnya pohon, ia tersenyum, mengerti kenapa putranya begitu suka memandang langit.
Iruka terus-menerus memandang langit dan tidak menyadari keanehan di sekitarnya. Pohon-pohon yang semula tenang kini dapat bergerak, dahan-dahannya yang semula diam, dilemparkannya ke sana ke mari. Trakkk, brakk! Nyaris saja Iruka terkena serangan dahan tersebut, beruntung ia cepat sadar lalu melompat menyelamatkan diri. Iruka belum bisa bernapas lega, dari segala penjuru, puluhan dahan berterbangan ke arahnya dengan sigap ia melompatinya. Begitu seterusnya, Iruka selalu melompati tiap dahan yang menyerangnya hingga tanpa disadarinya ia berada dalam puncak tertinggi.
Tampaknya pohon tersebut tidak bergerak karena keinginan sendiri namun ada yang menggerakkannya, buktinya ketika Iruka berada di atas pohon, pohon tersebut kembali diam dan mengakibatkannya terjatuh. Naas bagi Iruka, ketidaksiapannya membuatnya gagal melakukan pendaratan dan anehnya tanah yang semula tenang, tiba-tiba terbuka membentuk sebuah jurang yang amat curam. Iruka pun terperosok ke dalam Jurang yang seolah tak berdasar. Jurang pun kembali menutup menjadi tanah seperti semula, yang berbeda hanyalah Iruka yang raib ditelan bumi. "KEKEKE KAU PIKIR SEMUDAH ITU BISA MENAHLUKKAN SIHIRKU, SELAMANYA PANGERAN SASUKE TIDAK AKAN TERBANGUN, SELAMANYA… BWAHAHAHAHA." —dari segala sisi hutan Larangan, suara itu bergema yang entah dari mana asal suaranya.
To Be Continued
Pasti mengecewakan ya, minna? Aku masih dalam proses pembelajaran buat fic, khususnya genre adventure maka dari itu aku butuh banget bantuan minna mengenai fic ini. Dinantikan kritik dan sarannya untuk pengembangan fic ini, akhir kata: REVIEW!
