A Fanfiction by Blooming Gypsophila

Kuroko no Basuke by Tadatoshi Fujimaki

.

Notice Me, Lolita-chan!

.

Romance, Hurt/Comfort, Fluff, Slight Humor — Akashi Seijuurou x Kuroko Tetsuya

WARNING: Alternate Universe. Freshman Campus x Boy!Lolita. YAOI.


.

.

.


"Ayolah cepat sedikit, Sei-chan!"

Pemilik suara berisik setengah manja itu menarik-narik lengan Seijuurou yang terbungkus jaket kulit khas musim gugur. Diluar saja angin sudah sebegitu dinginnya apalagi di dalam mall yang selalu dipenuhi berpuluh-puluh pendingin ruangan. Lagipula, kenapa juga ia harus mengikuti kemauan senior-satu-tingkat-di-atasnya begini?

Seijuurou sendiri sedang enak-enaknya bermain shogi bersama salah satu pelayan pribadinya ketika dering ponselnya berteriak-teriak agar segera diangkat. Raut wajahnya yang sudah datar, semakin datar lagi ketika melihat nama kontak 'Mibuchi Reo' menari-nari dilayar ponselnya. Rasanya bertatap muka kurang lebih lima kali seminggu tidak cukup membuat Reo puas untuk mengganggu ketenangan pemuda bersurai crimson itu.

"Na—ah! Itu dia, di sana! Di sana panggungnya!"

Reo semakin semangat menarik Seijuurou yang sudah menyembunyikan wajah ke dalam kerah jaketnya. Selang beberapa langkah, kerumunan orang-orang mulai menelan mereka berdua. Seijuurou memperhatikan keadaan sekitar. Hampir seluruh pasang mata berkelap-kelip kagum sambil sesekali memotret apa yang ditampilkan di atas panggung, entah dengan kamera ponsel ataupun kamera mahal.

Seijuurou menghela nafas. Ia memperhatikan para kontestan yang semuanya gadis-gadis belia putih mulus sedang berlenggak-lenggok dengan manisnya di atas panggung, lengkap dengan baju-baju cosplayer khas Lolita ataupun dewi-dewi di kerajaan kuno. Ia ingat, minimal satu bulan sekali selalu diakan kontes adu kecantikan khas cosplayer seperti ini. Delapan dari sepuluh acara Seijuurou pasti menontonnya. Tanpa terkecuali. Terima kasih pada Reo yang kerap menyeretnya setiap bulan.

"Reo, sepuluh menit lagi kita pulang," sahut Seijuurou dengan suara yang tertimbun kerah jaketnya.

"Aaahh… Sei-chan tunggu dulu! Kau belum lihat semua kontestan yang imut-imut. Tuh, lihat saja! Yang keluar baru sepuluh orang tapi mereka semua manisnya sudah melebihi madu!" ujar Reo berapi-api, sesekali kedua tangannya terkepal erat, menandakan keantusiasannya. "O—oh! Nomor sebelas! Siapa ya namanya? Hmm... ku rasa dia pendatang baru." dan... Reo pun mulai tenggelam dalam dunianya.

Mereka semua memang cantik-cantik. Seluruh lelaki normal pun pasti dengan mudahnya meneteskan saliva setiap melihatnya. Tapi itu terkecuali untuk Seijuurou. Seluruh gadis-gadis cosplayer itu sangat standar untuknya. Ia sudah khatam mencicipi apa rasanya berkencan dengan gadis-gadis cantik, tua, muda, ataupun sepantaran. Efek terlalu sering dijodohkan oleh ayah kandungnya memang seperti ini.

Seijuurou memalingkan wajah. Benar-benar acara tak berguna, pikirnya. Ia masih sibuk menjelajah tiap sudut mall sampai teriakan kelewat heboh menarik perhatiannya kembali ke atas panggung.

"KYAAAAAAAA! Itu Tetsu-chan! Tetsu-chan!"

"TETSUYA-CHAAAANNN!"

"Astaga! Manis sekali seperti biasanya! Tetsu-chan memang hebat!"

"Tetsuya-chaaan! Menikahlah dengankuuuu!" Kali ini suara Reo yang terdengar.

Seijuurou sampai harus menjinjit sedikit untuk melihat siapa Tetsuya-chan itu. Beberapa longokan kepala akhirnya terlihat. Nampak seorang gadis belia berkulit putih mulus, berparas melebihi cantik, sedang berdiri di atas panggung sambil membungkuk sopan. Tidak ada gaya-gaya khusus untuk menarik perhatian penonton, ataupun flying kiss yang biasanya terjadi. Hanya satu bungkukan sopan dan lambaian tangan ringan sudah cukup membuat lantai dua mall ini meledak karenanya.

"TETSU-CHAAANNN!"

Heterokrom tajan Seijuurou mendelik, menandakan bahwa pemiliknya sedikit tertarik. Tubuh gadis itu mungkin tidak jauh berbeda darinya, mungil, manis, sangat pas dengan dandanannya hari ini. Gaun panjang Lolita berwarna babyblue, lengkap dengan renda-renda cantik membalut pas tubuh rampingnya. Dadanya proporsional, tidak terlalu besar, tapi juga tidak bisa dibilang kecil. Rambut panjangnya yang dipastikan memakai wig yang senada dengan warna gaunnya, menjuntai indah sampai ke batas punggung. Lengkap dengan hiasan batu safir dan pompom babyblue di atas kepalanya.

Sungguh sempurna. Seakan-akan belum cukup, sepasang mata bulat dengan iris babyblue juga kian menyempurnakan penampilan figur feminim itu. Tidak peduli ekspresinya yang sedatar papan penggilasan, Tetsuya-chan benar-benar terlampau manis.

Diam-diam timbul rasa ingin memiliki gadis itu dalam hati Seijuurou. Oh—tidak, tidak. Tetsuya-chan harus menjadi miliknya, tidak peduli bagaimanapun caranya. Berlian seperti itu tidak boleh diacuhkan begini saja!

Reo yang tak sengaja menangkap tatapan mengerikan Seijuurou hanya bisa mendengus sambil geleng-geleng kepala. "Wah, wah… Sepertinya Sei-chan juga tertarik dengan Tetsu-chan," sahutnya sambil terkikik.

Seijuurou menarik kerah jaketnya sedikit, "Tetsu? Tetsuya?" sahutnya sambil memandang Reo dari sudut matanya. "Seperti nama laki-laki."

"Siapa peduli? Yang penting Tetsu-chan sangat manis. Tuh, lihat—" Reo menunjuk kerumunan orang-orang yang mereda karena Tetsu-chan sudah kembali masuk ke belakang panggung, "hampir semua orang yang datang hanya ingin melihat Tetsu-chan."

Seijuurou terdiam. Memang benar. Bahkan beberapa penonton ada yang sudah pergi entah kemana.

Reo kembali menatap Seijuurou. Sedikit membungkuk untuk menyenggol bahu pemuda itu. "Mau mengunjunginya? Pasti seusai acara ini banyak orang-orang yang meminta foto bersama. Tetsu-chan paling laris, lho!"

"Dimana aku bisa menemuinya?"

Reo menunduk, mengecek arloji hitam yang melingkari pergelangan tangannya. "Kira-kira setengah jam lagi, nanti kita ke belakang panggung bersama. Sei-chan mau?"

Seijuurou berdeham, nampak berpikir sesaat. Selang beberapa menit ia hanya mengedikkan bahu sambil lalu. Samar-samar, Reo bisa melihat sudut bibir Seijuuoru yang melengkung sedikit. "Aaaahh…" Kedua mata lentiknya semakin berbinar-binar, "Senang sekali rasanya bisa bertemu Tetsu-chan~"

Sepertinya ini akan mudah, menaklukan seorang gadis belia seperti Tetsu-chan. Dilihat dari penampilannya tadi Seijuurou yakin Tetsu-chan pasti lebih muda darinya. Seijuurou berani bertaruh kalau Tetsu-chan masih duduk dibangku sekolah.

Lagipula, tidak ada salahnya mengencani gadis SMA, 'kan?

.

.

Benar saja, sekitar 30 menit acara selesai, bagian backstage ramai sekali. Beberapa di antaranya berdesakan meminta foto dengan para cosplayer tadi, beberapa juga ada yang mengobrol basa-basi. Mayoritas para bujang yang nampak sekali aura ke-wibu-annya.

Seijuurou sendiri sedikit kesulitan mencari sosok Tetsu-chan. Pikirnya, ia akan mudah menemukan Tetsu-chan karena kepopulerannya. Tapi nihil, sampai sekarang sudah tiga kali putaran ia masih belum bertatap muka dengan Tetsu-chan. Abaikan Reo, si jangkung itu sedang sibuk menggoda beberapa cosplayer imut.

Seijuurou menghela nafas. Ia mendudukkan dirinya di salah satu kursi kosong backstage yang dihuni oleh segelas vanilla milkshake, lengkap dengan sedotan. Seijuurou mengangkat cup itu lalu celingukan sebentar. Setelah dirasanya tidak ada tanda-tanda makhluk hidup yang memilikinya, ia pun lekas membuangnya ke kotak sampah terdekat.

"Permisi, minuman itu punya saya. Saya masih ingin meminumnya," potong suara rendah yang tiba-tiba saja muncul.

Seijuurou tersentak. Ia mengangkat wajahnya untuk bertatap muka dengan seorang gadis yang sedari tadi dicarinya. Padahal sedari tadi, Seijuurou yakin tidak ada siapa-siapa di dekatnya. Sosok itu dengan kalemnya mengambil alih minuman itu dari genggaman Seijuurou lalu menyeruputnya lugu. Tatapan mata besarnya tak luput memandang Seijuurou, setengah heran campur aneh.

Sungguh ilegal, Seijuurou sampai harus menelan saliva karena tidak kuat menyaksikan keimutan dari penampakan di hadapannya.

Sosok itu membuang cup bekas minumannya sebelum pergi meninggalkan Seijuurou. Namun dengan cekatan Seijuurou menahan lengan gadis manis itu.

"Tunggu—"

Gadis itu berbalik, menatap Seijuurou dengan tanda tanya.

"Akashi Seijuurou. Mahasiswa semester dua di Universitas Tokyo," sahutnya sambil mengulurkan tangan.

Tetsu-chan menerima uluran tangan Seijuurou, menjabatnya lembut, "Kuroko Tetsuya."

Kelembutan tangan Tetsu-chan benar-benar membuat Seijuurou mabuk kepayang. Baru dipegang sedikit seperti ini saja tubuhnya sudah bergetar tidak jelas, bagaimana kalau tiba-tiba bibir merah muda itu menciumnya?

Tidak, tidak. Seijuurou berdeham. Dia ini absolut. Tidak ada sejarahnya tunduk sedemikian rupa terhadap wanita, yang ada para wanita yang tunduk sedalam-dalamnya padanya.

"Ehm… Akashi-san?" Tetsu-chan memberi kode pada genggaman tangan mereka.

Seijuurou bergeming sesaat sebelum melepas genggaman tangannya. -san? Apa dia bilang? Gadis ini tentu dua atau beberapa tingkat di bawahnya. Pandangan Seijuurou dalam meneliti kaum wanita memang sudah terlampau dewa.

Tetsu-chan baru saja ingin berbalik namun Seijuurou kembali menahannya.

"Sehabis ini kau mau kemana?" tanya Seijuurou.

Sepasang iris babyblue membulat polos, "Pulang," jawabnya seraya memperhatikan genggaman Seijuurou pada pergelangan tangannya.

"Tidak mau kemana-mana dulu?"

"Tidak. Aku tidak suka menghambur-hamburkan uang, Akashi-san."

Kikuk, Seijuurou bertanya lagi, "Mau ku antar pulang?"

"Tidak perlu, Akashi-san."

"Oh—" Seijuurou menahan dirinya untuk tidak segera menjedakkan kepala pada dinding terdekat. Kedataran Tetsu-chan benar-benar tidak ada duanya. "Omong-omong kau boleh memanggilku Akashi-kun, atau Sei-kun juga boleh," goda Seijuurou dengan menaikkan sebelah alisnya. Namanya juga usaha.

Sesaat Tetsu-chan sempat ragu-ragu. Genggaman Seijuurou yang tidak mau lepas sedari tadi juga semakin membuatnya menghilang lebih cepat. Ia pun menghela nafas kalah, "Baiklah, Akashi-kun."

Seijuurou hanya melempar senyumannya yang paling menawan.

Setelah dirasanya kalau sosok di hadapannya ini tak ingin membuka mulut lagi, Tetsu-chan segera melepaskan diri dari genggaman Seijuurou lalu pergi menuju tasnya, berniat merapikan beberapa barangnya sedikit. Ekor matanya sesekali melirik pada Seijuurou. Pemuda aneh itu kerap mengikutinya sedari tadi, nampak sekali urung melepaskan pandangan barang sedetik saja dari Tetsu-chan.

Tetsu-chan abai. Ia mengganti heels tingginya dengan sandal rumahan, berpamitan dengan beberapa temannya, lalu memasuki lift. Disusul dengan Seijuurou.

"Akashi-san."

"-kun," potong Seijuurou.

"Akashi-kun, apa keperluanmu?" tanya Tetsu-chan, sedikit jengkel.

"Memastikanmu baik-baik saja sampai ke rumah nanti," jawab Seijuurou tak kalah jengkel.

"Tapi aku bukan bayi, Akashi-kun. Akashi-kun juga tidak perlu repot-repot seperti itu."

"Aku tidak merasa direpotkan dan siapa yang bilang kau bayi?"

"Itu Akashi-kun sendiri yang bilang," jawab Tetsuya sekenanya.

Seijuurou menahan nafas, sedikit menjedakkan belakang kepalanya pada dinding lift. Terlalu lama berurusan dengan gadis ini berdampak buruk pada tempurung kepalanya.

"Dengar, Tetsuya. Aku akan mengantarmu pulang. Suka atau tidak." Seijuurou menatap lurus-lurus pada sosok yang tidak tingginya tidak berbeda jauh darinya. Tidak ada penjelasan lebih rinci kenapa tubuhnya bergerak begitu saja mengikuti langkah Tetsu-chan. "Satu yang perlu kau tahu, aku ini absolut. Aku tidak menerima penolakan," sambungnya tegas, layaknya memberi komando pada bawahan.

"Tidak mau. Uangku masih cukup untuk membayar taksi, Akashi-kun."

Pintu lift terbuka. Seijuurou mengambil alih tas jinjing Tetsu-chan lalu menggenggam jemari kanan gadis itu, mengabaikan berbagai macam penolakan yang dilempar Tetsu-chan padanya. Seijuurou membuka pintu kanan mobil, meisyaratkan agar Tetsu-chan duduk di sana. Tetsu-chan sendiri hanya bisa misuh-misuh sambil menurutinya. Seijuurou membuka pintu belakang mobil, melempar tas Tetsu-chan lalu mendudukkan diri di belakang kemudi.

"Akashi-kun tidak akan dapat untung apa-apa kalau menculikku," ujarnya. Refleks kedua tangan terkepal di depan dada.

"Aku tidak berminat menculikmu, Tetsuya. Diamlah sedikit."

Sepasang iris babyblue Tetsu-chan mendelik kesal, kontras dengan raut wajahnya yang datar-datar saja. Sisa-sisa perjalanan pun diisi dengan keheningan, keduanya urung melukis aksara basa-basi di udara. Pun, tanpa alunan lagu atau percakapan kecil. Hanya penunjuk arah seadanya dari Tetsu-chan.

Tiga puluh menit kemudian Seijuurou memberhentikan mobilnya di depan rumah mungil. Pagarnya tidak terlalu tinggi dan halaman kecilnya dipenuhi banyak bunga. Sejauh mata memandang Seijuurou yakin rumah mungil ini nampak paling bersahabat dibandingkan rumah tetangga-tetangga Tetsu-chan yang lain.

"Akashi-kun." Tetsu-chan menolehkan pandangannya, memandang Seijuurou lamat-lamat. Perlahan, jemari halusnya terangkat, mengambil sebelah tangan Seijuurou untuk disandarkan di depan dadanya.

Seijuurou terkejut. Nampaknya Tetsu-chan tidak selugu yang dia kira, eh? Dadanya terasa lembut sekali. Maunya ia ajak ke apartemennya saja tadi. Kalau begini kan repot, bolak-balik dari rumah Tetsu-chan sampai ke apartemennya. Kalau sudah begini—

"Akashi-kun. Jangan mengelak, aku tahu Akashi-kun menyukaiku. Tapi…" sorot babyblue itu datar seperti biasanya, namun jantung Seijuurou berdetak lebih cepat dengan sendirinya, "—aku laki-laki, Akashi-kun."

Oh

Seijuurou terkejut bukan main. Mulutnya refleks membuka dan menutup, engap-engapan seperti ikan koi. Beberapa lipatan muncul menghiasi dahinya. Reo pasti tertawa terpingkal-pingkal melihat Seijuurou yang seperti baru saja mengintip nenek-nenek mandi.

"Lihat?" Tetsu-chan mengambil sumpalan dadanya lalu menunjukkannya pada Seijuurou dengan santainya. "Ini hanya sumpalan, Akashi-kun. Jadi tolong jangan mengejar-ngejarku seperti ini," sambungnya datar seraya kembali memasukkan sumpelan itu ke dalam gaunnya.

Tetsu-chan meraih tasnya di kursi belakang lalu keluar dari mobil. Sedetik, ia menahan pintu agar bisa melihat wajah melongonya Seijuurou, "Tapi terima kasih, Akashi-kun. Sudah mau repot-repot mengantarku pulang. Selamat sore." Pintu mobil tertutup sempurna.

Seijuurou yang masih dalam kondisi syoknya, melihat cara jalan Tetsu-chan yang benar-benar anggun seperti seorang wanita sampai sosok itu tertelan pintu rumah. Ia menelan saliva susah payah sambil mengangkat tangan kanannya yang sedari tadi bersandar di dada empuk Tetsu-chan yang ternyata hanya sumpalan busa.

Gemetaran. Sinting. Hatinya juga entah kenapa masih doki-doki tsuru tidak jelas seperti ini.

"Reo…" geramnya penuh kekesalan.

Besok Seijuurou akan benar-benar membunuh seniornya yang satu itu.

.

.

"Kau tidak bilang padaku kalau dia seorang laki-laki!"

Satu gebrakan di atas meja kerja Reo menghentikan gerakan tangannya yang sedang menulis jurnal. Ia mendongak, melihat juniornya yang baru saja datang langsung kebakaran jenggot.

"Siapa?" tanyanya polos.

"Tetsu-chan! TET—" Seijuurou menampar pipinya sendiri sebelum melanjutkan, "TETSUYA!"

Sepasang emerald Reo masih setia dengan ekspresi polosnya. Ia meletakkan pulpen sambil bertopang dagu memandang Seijuurou. Hening sempat memenuhi ruang kerja BEM yang kini hanya dihuni oleh mereka berdua. Otaknya yang cemerlang nampaknya butuh beberapa detik untuk mencerna apa yang sedang terjadi pada junior sekaligus rekan organisasinya itu.

"OH!" Reo tersedak, "Iya! Aku lupa memberitahumu, Sei-chan!" Satu kekehan tanpa dosa lolos dari bibirnya, "Aku sendiri baru tahu dari Megumi-chan, kalau Tetsu-chan itu laki-laki. Omong-omong Megumi-chan itu teman Tetsu-chan dikalangan cos—"

Seijuurou kembali menggebrak meja.

"Kenapa tidak memberitahunya padaku?!"

"Buuu—" Reo memajukan bibir, "Sei-chan sendiri yang meninggalkanku seorang diri di sana. Beruntung Junpei-chan bisa datang menjemputku. Kau keasikan berduaan dengan Tetsu-chan, ya?"

Seijuurou mengabaikan pertanyaan seniornya. Lekas ia pijit keningnya yang sudah berlipat tiga. Jangan samakan dirinya dengan Reo yang biseksual, yang bisa dengan tenangnya menyukai wanita atau pria sekaligus. Satu-satunya penerus tahta pentolan keluarga Akashi ini normal. Normal garis keras!

Benar-benar. Untung saja Tetsuya kemarin membocorkan jati dirinya. Kalau tidak, mungkin Seijuurou sudah terjatuh sedalam-dalamnya. Dan dipastikan, akan sangat sulit untuk bisa bangkit lagi. MUNGKIN.

Dasar gila, Seijuurou membatin.

Pemuda bermarga Akashi itu menghela nafas kusut. Ia membuka dua kancing kemeja teratasnya dengan kasar lalu membanting tubuh di atas kursi putar tak jauh dari Reo. Satu cup vanilla milkshake yang sedari tadi bertengger di atas meja Reo menarik perhatiannya, Seijuurou menyambar minuman itu lalu meneguknya dengan rakus. Cairan manis itu dengan tenangnya mengaliri tenggorokan Seijuurou, membuatnya terpejam sesaat sambil secara tidak sengaja, memikirkan seseorang yang pernah meminum minuman ini.

Seijuurou pun tersedak karenanya.

"Pelan-pelan, Sei-chan." Reo geleng-geleng kepala sambil menyodorkan tisu pada Seijuurou.

"Sejak kapan kau minum vanilla milkshake, Reo?!"

"Tadi ada yang jual di lantai satu," Reo menjawab polos, "Kenapa? Sei-chan mau?"

"Jangan pernah pesan minuman sialan ini lagi! Errr…" Seijuurou misuh-misuh sambil menuju meja kerjanya sendiri, tak begitu jauh dari meja Reo.

Reo hanya melongo. Pikirnya, sedang kemasukan setan apa Seijuurou yang minim ekspresi sampai bisa seperti itu? Junior kesayangannya itu memang sudah masuk ke taraf 'setan', tapi, terlalu banyak mengeluarkan emosi khas manusia bukanlah pribadi alami Seijuurou.

Namun yah, biarlah, nanti juga diam sendiri, pikirnya. Lekas Reo kembali tenggelam pada jurnalnya, mengabaikan Seijuurou yang tengah menendang kursi tak berdosa yang tak sengaja menghalangi jalannya.

.

.

Seijuurou mengemudikan mobilnya dengan tenang. Kontras dengan pikirannya yang sangat penuh campur keruh sedari tadi. Ia benar-benar tidak mengerti, kenapa kehadiran satu orang asing bisa membuatnya setengah kacau seperti ini. Tidak terhitung berapa banyak helaaan nafas atau kerutan di dahinya yang sedari tadi muncul tak hilang-hilang.

Dalam diam, sesekali ia melirik Reo yang sedang membaca majalah idol mingguan di sampingnya. Lengkap dengan gaya duduk yang kelewat feminim. Tanya, tidak, tanya, tidak, tanya…

"Tanya saja Sei-chan," potong Reo kalem.

Seijuurou hampir menginjal pedal rem. Ternyata baru saja mulutnya menyuarakan mantra yang sedang menari-nari di dalam kepalanya.

"Apanya, Reo?"

Reo terkikik geli, "Kau mau megorek informasi Tetsu-chan dariku, 'kan?"

Seijuurou memilih diam, mengabaikan eksistensi Reo yang sedari tadi cengar-cengir tidak jelas. Ia pun kembali memusatkan pikiran pada jalanan di hadapannya. Egonya terlalu tinggi untuk mengiyakan tuduhan seniornya itu.

Beberapa lampu merah pun berlalu, tapi rasanya jengah sekali. Seijuurou menyumpahi dirinya sendiri sebelum membuka percakapan kembali dengan Reo.

"Reo."

Reo bergumam, masih tenggelam dalam lembar demi lembar majalah yang dihiasi figur-figur imut. Tak berbeda jauh dengan teman sejawatnya dulu yang selalu mengimani majalah porno sebagai kitab sucinya. Bedanya, Reo masih sedikit lebih waras.

"Dimana sekolah Tetsuya?" tanyanya Seijuurou kemudian, tak lupa dengan wajah lempeng seperti biasa.

Majalah idol yang berisi gadis-gadis imut dan cantik pun ditutup. Lekas Reo menengok pada sosok sekeras batu yang sedang menyetir, pemuda itu mengabaikan arti pandangan Reo terhadapnya.

"Seharusnya," Reo berdeham, "—seharusnya, ya, Tetsu-chan sudah kuliah, Sei-chan. Kalau dihitung-hitung pun…" Alis Reo berkedut, mencoba mengingat percakapan terakhirnya dengan Megumi-chan, "—dia seumuran denganmu."

Alis Seijuurou terangkat, "Kuliah?"

"Ya, kuliah. Tapi dia tidak bisa melanjutkan pendidikannya lantaran masalah ekonomi." Melihat Seijuurou yang nampak terkejut tapi urung membuka mulut, Reo kembali melanjutkan, "Dengar-dengar, Tetsu-chan hidup seorang diri. Orangtuanya sudah meninggal beberapa tahun yang lalu, kalau neneknya meninggal sekitar satu tahun yang lalu."

Hati Seijuurou tersentuh. Itu menjelaskan kenapa keadaan rumahnya yang minimalis namun hangat itu sedikit memancarkan emosi kesepian dari pemiliknya. Kemarin juga tidak ada sepatu-sepatu atau sendal-sendal yang berjejer acak di depan pintu rumah Tetsuya, pemandangan normal khas rumah berkeluarga.

Namun satu fakta penting mengerutkan kening Seijuurou, "Dia tidak terlihat seperti anak yang memiliki masalah dengan ekonomi."

"Apanya, Sei-chan?" tanya Reo, sedikit terperangah.

"Gaunnya yang kemarin terlihat sangat mewah dan aku tahu itu gaun mahal. Motifnya sangat rumit dan aku sering melihat model gaun seperti itu di butik kolega Ayahku. Kalau dia punya masalah ekonomi, seharusnya dia pergunakan uang untuk sesuatu yang lebih berguna."

Reo menghela nafas, sedikit sendu untuk membawa topik yang menurutnya sedikit sensitif.

"Gaun itu, nampaknya Tetsu-chan membuatnya sendiri."

Seijuurou menatap seniornya lamat-lamat, menunjukkan keraguannya yang tercetak jelas.

"Tetsu-chan cukup terampil, Sei-chan. Kalau yang ini, aku tahu dari Junpei-chan. Dulu dia senior Tetsu-chan semasa SMA. Junpei-chan juga yang menyarankan Tetsu-chan untuk ikut kontes cosplayer dimana-mana. Hadiahnya lumayan, katanya, setidaknya bisa mengisi keuangannya." Reo bersandar pada sisi kanan kaca, melihat bangunan-bangunan tinggi yang sedang berlarian di luar sana. "Aku tidak tahu apakah gaun mewah itu memang dibeli Tetsu-chan atau bakatnyalah yang bisa membuat lembaran kain menjadi pakaian mewah dan terlihat mahal," terang Reo sambil menempelkan telunjuknya pada kaca, "Memang kami-sama selalu berpihak padanya. Tetsu-chan hampir selalu memenangi berbagai macam kontes yang diikutinya."

Penjelasan yang diterima Seijuurou cukup membuat kedua iris tajamnya melembut. Jadi itu alasannya Tetsuya berdandan layaknya seorang gadis. Ternyata keadaan yang memaksanya untuk memakai baju-baju penuh renda itu.

"Yah—" Reo mengangkat bahu, "Tidak sopan rasanya aku menyebar luaskan latar belakangnya pada orang lain. Yang tahu jati diri Tetsu-chan pun hanya Megumi-chan seorang di kalangan cosplayer dan Junpei-chan tentunya."

"Dimana keluarganya yang lain?" tanya Seijuurou lagi.

"Kalau tidak salah…" Reo nampak menimang-nimang sejenak, "Kyoto. Tapi Tetsu-chan bersikeras ingin tinggal sendiri di Tokyo. Kalau ini, aku pun tidak tahu apa alasannya."

Seijuurou termenung. Pikirannya sudah terlampau penuh oleh sosok Tetsuya sekarang. Benar-benar tidak bisa diusir. Sinting.

"A-ah—" Reo menepuk pundak Seijuurou, "Aku turun di sini saja, Sei-chan. Jaa naa~" Sosok jangkung itu menutup pintu mobil dalam sekali sentakan, meninggalkan Seijuurou yang semakin terlarut dalam pikirannya.

Seijuurou kembali memijit keningnya yang nyut-nyutan sedari tadi. Itu berarti Tetsuya sudah tinggal seorang diri selama kurang lebih satu tahun. Apakah uang penghasilan dari kontes-kontes cosplayer yang diikutinya mampu untuk menghidupinya? Bagaimana jam makannya? Apakah dia bisa menerima kenyataan kalau dirinya tidak bisa melanjutkan program studi lagi?

Semakin banyak pertanyaan bermunculan di kepala Seijuurou yang tidak bisa dijawabnya sendiri. Seijuurou menghela nafas. Ia memutar mobilnya menuju pusat perbelanjaan terdekat, berniat membeli beberapa bahan makanan untuk mengisi kulkas apartemennya.

Daripada satu hari penuh dihabiskan untuk memikirkan orang asing yang baru saja dikenalnya kemarin, lebih baik Seijuurou melakukan sesuatu yang lain. Berbelanja, misalnya.

.

.

Hidup seorang diri di apartemen tentu mewajibkannya agar bisa mengolah makanan sendiri. Seijuurou memilih beberapa sayuran di lemari pendingin dengan telaten, yang paling banyak dibelinya setiap bulan yakni tofu. Entah kenapa, ia mampu menghabiskan bermangkuk-mangkuk makanan yang mengandung tofu dalam sekali duduk.

"Permisi," sapa suara asing yang sedikit bergema tak jauh di belakangnya.

Seijuurou memberi celah pada pemilik suara itu agar bisa meraih sesuatu di lemari pendingin. Setelah dirasanya selesai, ia berbalik, secara tak sengaja melirik sosok di sampingnya.

"Tetsuya?"

Sosok itu sedikit tersentak. Syal tebal dan topi musim gugur yang membalut kepalanya membuat pemuda beriris babyblue itu nampak hampir tak dikenali.

"Oh—" Tetsuya menarik syal tebalnya ke bawah sedikit, "Selamat sore, Akashi-kun."

Seijuurou memperhatikan nada bicara Tetsuya yang sedikit menggema, kedua pipinya juga nampak sedikit memerah. Bibir semerah buah stroberinya kini sedikit memucat. Pemandangan yang cukup untuk membuat punggung tangan Seijuurou berjalan sendiri menuju kening Tetsuya.

"Kau demam, Tetsuya. Mau apa kemari?"

"Aku hanya flu biasa, Akashi-kun. Makan sup ayam juga sudah sembuh sendiri nantinya," jawab Tetsuya seraya menjauhkan diri dari sergapan Seijuurou.

Kedua alis Seijuurou bertautan, bingung, "Sup ayam?"

"Ya, aku biasa dibuatkan itu oleh nenek…" sorot babyblue itu sempat meredup untuk waktu yang singkat, dan Seijuurou sendiri merasa tidak perlu bertanya lebih jauh. "—dulu."

"Jadi kau nekat menerobos dinginnya udara hanya untuk membeli bahan makanan di sini?"

Tetsuya menggangguk sebagai jawaban.

"Dan kau belum minum obat sejak kau demam?"

Tetsuya mengangguk lagi, sedikit protes, "Tapi aku tidak demam, Akashi-kun."

"Kenapa tidak beli obat?" tanya Seijuurou sambil mengabaikan sikap penuh protes Tetsuya. Saat ini ia sedang tidak ingin berdebat dengan pemuda itu.

"Jangan terlalu sering meminum obat untuk penyakit yang tergolong ringan, Akashi-kun. Kasihan ginjalku."

Seijuurou menahan diri untuk tidak memutar bola matanya, "Tapi kau tidak setiap hari demam, Tetsuya."

"Memang tidak," jawabnya sambil lalu. Kedua tangan kurusnya kembali memilih beberapa bahan di dalam lemari pendingin, kembali mengacuhkan eksistensi pemuda absolut di sampingnya.

Seijuurou menghela nafas. Pemuda di hadapannya ini sudah melebihi kerasnya batu. Namun bukan Seijuurou namanya kalau tidak bisa menaklukan batu yang bisa dikategorikan spesial ini.

"Kita pulang sekarang," Seijuurou melepas genggaman Tetsuya pada sekantung daging beku, menggantinya dengan genggaman tangannya yang hangat. "Kau akan ku antar."

"Akashi-kun!" Tetsuya sempat gelagapan sesaat, "Aku belum sempat membeli beberapa bahannya," sahutnya seraya berusaha menarik kepalan tangannya yang digenggam Seijuurou.

Seijuurou menunjuk dengan dagu ke arah trolinya yang sudah menggunung. "Diam saja dan jangan membantah. Kau itu sudah bukan flu. Demam."

Tetsuya nampak tak rela, namun ia tetap mengikuti langkah Seijuurou yang berjarak satu langkah di depannya. Dalam diam, sesekali Tetsuya melirik kedua tangan mereka yang saling bertautan satu sama lain. Hangat. Walaupun perbedaan tubuh mereka tak terlalu besar, namun telapak tangan Seijuurou setidaknya dua sentimeter lebih lebar dari miliknya. Dan juga, lebih hangat.

Genggaman itu putus saat Seijuurou mengangkut semua belanjaannya ke atas meja kasir. Tetsuya hendak membantu kalau tidak dilarang.

"Ini berat, Tetsuya. Kau sedang sakit. Diam saja."

Tetsuya mendelik, nampak tersinggung. "Jangan perlakukan aku seperti orang sekarat, Akashi-kun."

Seijuurou abai. Ia menghalangi gerakan Tetsuya sampai semua belanjaannya sudah berpindah tempat ke atas meja kasir. Tetsuya hanya mendengus, Seijuurou tersenyum geli. Sesaat setelah kasir sudah menghitung total belanjaannya, Seijuurou kemudian membayar sesuai jumlah yang tertera di mesin. Nominalnya benar-benar membuat Tetsuya sesak nafas. Pikirnya, ia tidak akan belanja selama dua bulan ke depan kalau ada di posisi Seijuurou.

Usai membayar, Seijuurou kembali menggandeng Tetsuya menuju mobilnya. Membukakan pintu depan untuk Tetsuya, menaruh semua belanjaan di kursi belakang, lalu mampir ke apotek terdekat sebelum menginjak pedal gas menuju rumah pemuda itu.

Di tengah perjalanan Seijuurou melirik Tetsuya yang selang beberapa menit kerap memejamkan matanya. Rona merah yang menghiasi wajah bulat Tetsuya bahkan belum hilang sedari tadi.

"Kenapa?" tanya Seijuurou.

"Kepalaku pusing…"

Seijuurou kembali meraba kening Tetsuya lalu menyelipkan jari ke belakang syal Tetsuya agar bisa mengecek pembuluh darah yang ada di leher pemuda itu. Rasanya sedikit lebih hangat dari yang tadi.

"Tahan sebentar, Tetsuya. Sedikit lagi kita sampai."

Namun nyatanya tidak secepat itu. Persetan dengan lalu lintas Tokyo yang akhir-akhir padat, mobil Seijuurou baru sampai di kediaman Tetsuya empat puluh menit kemudian. Tetsuya langsung menghambur keluar, sedikit tergesa-gesa memasuki rumahnya yang terkunci lalu menghilang dari balik pintu yang dibiarkan terbuka.

Berarti, Seijuurou diundang masuk… 'kan?

Seijuurou menghela nafas. Ia memarkirkan kendaraan roda empatnya agak ke pinggir jalanan. Tata kramanya masih berfungsi untuk tidak memonopoli satu jalanan yang tergolong sempit, agar memudahkan jalan kendaraan lain.

Pemuda dengan iris berbeda warna itu pun turun sambil menenteng dua kantung belanjaan super penuh, lalu melangkah menyusul sang empunya rumah yang sudah kabur duluan.

"Permisi—"

Satu ketukan klise dilakukannya.

Seijuurou celingukan. Tatapannya melirik kondisi ruang tamu utama mungil yang bergaya vintage. Beberapa kursi dengan bantal rajutan, hiasan ruang tamu yang sedikit kusam, dan beberapa lukisan bergaya vintage semakin mendukung suasana era 90an di rumah ini. Belum lagi dibagian ruang tv, nampak beberapa mannequin dengan berbagai macam baju Lolita yang manis-manis. Begitupun dapur kecilnya. Kabinet dan seperangkat meja kursinya pun bergaya 90an. Sederhana, namun sudah lebih dari cukup membuat atmosfer hangat mengapung di udara.

Seijuurou yakin, kalau Reo melihat ini semua, senior berisiknya itu pasti langsung memonopoli Tetsuya agar mengadakan fashion show dadakan khusus untuk dirinya.

Dalam hatinya, Seijuurou mengingat apartemen atau rumahnya sendiri yang serba modern, lengkap dengan perabotan kualitas terbaik, namun suasana yang menguar terasa begitu dingin.

Seijuurou hanya menggedikkan bahu. Jemarinya menaruh semua barang belanjaan di atas kabinet dapur. Kepalanya berputar, menguliti tiap-tiap sudut ruangan.

Jadi, kemana perginya si biru itu?

Seijuurou melangkah, menuju salah satu kamar yang pintunya sedikit terbuka. Diam-diam ia melongokan kepala, mengintip melalui celah sempit itu. Sepasang iris dwiwarna itu kontan mengerjap, langsung menerobos masuk untuk membantu Tetsuya yang sedang mengarahkan mulutnya ke lubang kloset.

"Tetsuya!"

Cairan masih berebutan keluar dari bibir pemuda itu. Tidak ada yang bisa dilakukan Seijuurou selain mengelus punggung mungil itu secara teratur. Benar-benar. Sudah seperti ini masih saja tidak mau minum obat, katanya?

"Keluarkan semua, Tetsuya."

Seijuurou dengan setianya memijit tengkuk Tetsuya sampai pemuda itu berhenti dengan sendirinya. Nafasnya tersengal, tubuhnya sedikit bergetar, sorot babyblue itu pun nampak lelah. Dengan susah payah, Tetsuya bangkit untuk menekan tombol flush lalu kembali jatuh terduduk sebelum ada sepasang lengan penuh otot yang menahan pinggangnya.

Dengan sigap Seijuurou meraih bagian belakang lutut Tetsuya dan menumpukan tangannya satu lagi dipunggung pemuda itu, berniat membawanya ke tempat tidur.

"Kau bisa…" Tetsuya tersengal, kedua tangannya memegangi keningnya yang terasa berdenyut, "—mem… membopongku seperti biasa, Akashi… kun."

"Lebih mudah seperti ini."

Seijuurou membaringkan tubuh mungil itu hati-hati. Kedua alisnya bertautan saat merasakan tulang-tulang yang begitu menonjol dalam dekapannya. Sekali lagi, kondisi pemuda asing itu begitu memprihatinkan untuknya. Lekas ia balut tubuh Tetsuya dengan selimut yang tersedia, namun sang pemilik menepis selimut itu dengan kakinya.

"Panas, Akashi-kun…"

Seijuurou pun menyalakan kipas angin di sudut ruangan lalu mendudukkan dirinya di pinggiran ranjang.

"Sudah makan?"

Tetsuya menggeleng.

"Ya sudah, tahan sebentar. Akan kubuatkan sesuatu untukmu," ujarnya seraya meraba kening Tetsuya yang semakin panas.

Sebagai jawaban, Tetsuya hanya mengangguk. Ia juga memberi izin pada Seijuurou untuk mengobrak-abrik isi dapurnya dengan bebas. Lekas Seijuurou pun menuju pintu.

"Tapi Akashi-kun…" Seijuurou berbalik, menatap sosok mungil yang kini nampak menyedihkan, "—jangan hancurkan dapurku."

Seijuurou geleng-geleng kepala seraya menutup pintu. Setelah dirasanya Tetsuya jauh dari pandangan matanya, Seijuurou terkekeh. Lepas. Tangannya sampai harus memegangi kening yang rasanya sudah konslet. Tetsuya benar-benar menarik. Tak dinyana, Seijuurou kian menikmati detik demi detik yang mengalir begitu saja di antara dirinya dan pemuda itu.

"Dasar…" gumamnya pelan.

Seijuurou melirik arloji yang terlingkar di pergelangan tangannya. Pukul empat lewat duapuluh menit. Reo akan berkunjung ke apartemennya sekitar beberapa puluh menit lagi. Seijuurou mafhum, seniornya satu itu memang suka bertandang ke apartemennya melebihi rumahnya sendiri. Reo bisa menunggu, pikirnya. Saat ini ada yang lebih penting yang harus ditanganinya.

Mantel tipisnya ia sandarkan di sofa ruang tamu, lengan kemeja yang selalu membalut tubuhnya ia gulung sampai ke batas siku, lalu kedua kancing teratasnya dibiarkan terbuka. Seijuurou mengerti, cita rasa masakannya standar, tidak buruk, namun tidak juga 'wah'. Setidaknya cukup manusiawi untuk dicerna.

Ia menggeledah isi belanjaannya lalu dengan gesit satu persatu dimasukan ke dalam kulkas Tetsuya. Isinya hampir kosong, hanya dua butir telur dan sekantung nugget yang isinya tinggal tiga butir. Seijuurou menggelengkan kepalanya berulang-ulang. Benar-benar. Bagaimana bocah itu tidak kurus?

Seluruh perabotan memasak yang sederhana pun nampak keruh. Seijuurou bersumpah akan membakar semuanya lalu mengganti dengan yang baru. Semuanya. Persetan kalau Tetsuya berani protes.

Baginya, Tetsuya seperti anak hilang yang butuh perlindungan walaupun pundak kecil itu nampak begitu kokoh. Namun setegar apapun Tetsuya, ia tetap tidak bisa menyembunyikan kesedihan dan kesepian yang terus menguar dari dirinya bahkan sesempurna apapun topeng yang selama ini ia kenakan. Dan Seijuurou yakin, ia mampu melindungi sosok itu dibalik punggung kokohnya yang tidak rentan terhadap apapun.

Seijuurou merasa, setidaknya untuk saat ini, ia akan berusaha menjadi perisai terbaik bagi pemuda itu.


.

Bersambung

.


A/N:

sepertinya tidak akan begitu panjang, mungkin 1-2 chapter lagi akan selesai dengan minim konflik. tapi mungkin juga bisa dipanjangkan sesuka hati (?)

always, let me know your thoughts! ^^

Love,

Shārī