"Uhhrrr." Aku mengerang. Dadaku terasa seakan ada orang membukanya dan menutupinya lagi. Pandanganku berkunang-kunang dan kaki gemetar tak karuan.
"Naruto!" Inori membungkuk di atasku.
"Apa yang terjadi?" Suaraku terdengar asing di telinga, menggema. Hidungku dingin di bagian dalam-ada tabung yang meniupkan udara ke dalamnya.
"Aku rasa kau sedikit mati," kata Inori. Dia mencoba tertawa, tapi suara tawa itu teredam oleh tangannya. Matanya merah, seakan-akan dia terlalu banyak menangis atau malah ingin menangis saat ini.
Aku berbaring diam sejenak, mencoba memahami kondisiku. Aku berada di gereja, sekelilingku terdapat benda-benda tajam yang menancap di dinding. Darah berceceran di atas lantai dan beberapa cipratan di dinding. "Aku buruk sekali" aku menyimpulkan.
"Ya, itulah yang terjadi kalau kau sedikit mati"
Inori mulai beranjak ke pintu, tapi aku menyambar pergelangan tangannya. "Jangan pergi."
"Aku harus mencari tempat untuk kita menetap," katanya. "Beberapa menit lagi pasti akan banyak iblis yang akan datang kemari."
"Nanti dulu," cetusku. Aku melepaskan tabung di bawah hidung dari wajahku.
"Jangan," sergah Inori. "Itu oksigen."
"Sudah cukup, Inori-chan." Aku menunjuk kearah dadaku yang terlihat normal. Kutarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya pelan dan membebaskan diri dari tabung itu.
Dahi Inori berkerut, tapi dia diam saja saat aku menariknya turun sampai dia duduk di pinggir tempat tidur. Aku menggigit bibir, lalu melepaskannya. Aku bisa mengecap rasa tembaga ataupun magnesium di sepanjang daging bibirku yang lembut.
"Kupikir aku bakal kehilanganmu." Inori berbisik. Jemarinya membelai pipiku, dengan lembut menyentuh bagian wajahku yang masih kotor dan memar akibat pertarungan yang terjadi beberapa saat yang lalu. Sentuhannya begitu halus sampai aku nyaris tak merasakannya.
"Aku baik-baik saja," Aku tersenyum lebar. "Selama kamu berada di sisiku, aku baik-baik saja."
Matanya terbelalak saat dia menyadari perkataanku. Setiap kali sudah sedekat ini dalam hal berbicara tentang kami, Inori biasanya langsung menghindari topik tersebut. Tapi sekarang, bukannya menjauh, dia malah membungkuk mendekatiku. Mahkota merah mudanya menjuntai melewati bahu, menyapu dadaku saat dia membungkuk.
"Aku akan selalu bersamamu," dia berkata, suaranya lirih. "Karena tak akan ada artinya tanpa dirimu."
Lenganku terjulur, melingkari pinggang Inori dan menariknya mendekat sehingga dia nyaris berbaring di atasku. Aku bisa merasakan setiap senti tubuhnya, jantungnya berdebar begitu kencang sampai-sampai aku heran tempat tidur tidak ikut bergetar.
Inori tampak ketakutan kalau dia akan menyakitiku, tapi dia tidak menarik diri.
Cup.
Ciuman Inori halus dan lembut, hanya sedikit menekan bibirku yang memar. Ada kemanisan di dalamnya, dan keluguan serta janji.
"Ekhem."
Aku hanya sekilas melihat wajah kaget Inori, lalu dia bergegas kembali ke kursi di dekat dinding, wajahnya merah padam.
"Bagaimana keadaanmu, Naruto?" Nampak seorang pria paruh baya dengan enam sayap hitam di punggungnya, pria itu mengerutkan dahi melihat selang oksigen yang dicopot. Dia memeriksa denyut nadiku, melambaikan senter di depan mataku.
"Aku tak apa-apa, Azazel." tegasku.
Akhirnya Azazel nampak sepakat denganku dan duduk di kursi di samping Inori. "Nah," dia berkata, ada ketegangan dalam suaranya yang biasanya datar. "Maukah kau memberitahuku apa yang terjadi?"
Aku membuka mulut, tapi tak ada jawaban yang keluar. Mataku melirik kearah Inori-seberapa banyak yang diketahui Azazel?-dan gadis itu menggeleng tak kentara.
"Jangan mencoba menyembunyikan apa pun dariku," tukas Azazel, suaranya meninggi satu tingkat. "Jelas sekali apa yang kalian berdua lakukan."
"Hn?"
Azazel melototiku. "Aku tahu pakaian yang kau kenakan sebelum pergi, dan kini pakaianmu sudah terbuka pada bagian atas dan pakaian Inori sudah robek sana sini. Dan kalian berdua nampak tegang, apakah kalian berpikir, 'Oh, ayo kita ke kamar dan bermain!"
"Bukan-" Aku memelototi Azazel, tapi Inori membelalakan mata kepadaku, wajahnya merona padam.
Azazel menghembuskan napas lelah. "Baiklah-baiklah, sebelum itu sebaiknya kalian pergi ke apartement ku. Aku tak yakin kalian akan menahan hasrat muda kalian," ujar Azazel, suaranya kembali bernada rendah dan monoton, seperti suara yang biasa dia gunakan saat menanyakan kondisiku. "Kulihat kau mendapatkan sesuatu yang kau cari." Azazel terdiam, mengamati dua bilah string baja yang tergeletak di atas meja. "Dengan sesuatu yang seperti itu, kau harus siap mengambil risiko yang terjadi. Kau terlalu berharga."
Azazel menutupi wajah dengan tangannya dan aku terkejut-aku belum pernah melihat dia terbawa emosi seperti ini.
"Aku tahu, paman."
Desclaimer ©Do not own Anything
.
.
.
Qwaser :: Draco
.
.
.
Warning:
Mungkin aneh. Mungkin jelek. Mungkin Ooc
.
.
.
Rating:
M
.
.
.
Pair:
[Naruto x Inori]
.
.
.
"Aku hanyalah makhluk…"
"…yang dicintai dan dibenci oleh Tuhan"
.
.
.
Sekiryuutei
Chapter 1
.
.
Start!
"Mengapa aku harus masuk kedalam sekolah bodoh itu?" Naruto bertanya dengan datarnya terhadap sosok yang tengah menenggak sebotol wine dengan dikelilingi oleh tiga wanita. "-Dan memata-matai seorang iblis disana, memangnya apa yang kudapat?" pemuda bersurai perak itu sudah menggenggam sebilah string baja yang panjang jika pria di hadapannya memberikan jawaban yang aneh-aneh. Jika sampai hal itu terjadi, Naruto tak mempermasalahkan jika harus menghancurkan klub malam ini dengan satu tebasan.
Azazel hanya tersenyum mesum. "Aku tahu kau akan menanyakan hal itu, terlebih lagi kau akan bersama Inori disana," Azazel memperhatikan reaksi dua remaja di depannya, tapi yang ia dapat hanyalah tatapan datar seperti batu. "Aku hanya memintamu untuk memberikan informasi tentang iblis muda disana, dan juga membantunya jika ada hal yang memang harus kau lakukan"
"Apa yang kudapat?" ulang Naruto menaruh kaki kanannya di atas kaki kiri sembari merentangkan kedua tangannya di atas sofa. "Aku tak mau menghabiskan waktuku hanya untuk hal yang tidak jelas seperti itu, Azazel."
Pria tua itu terdiam sesaat mendengar apa yang dikatakan Naruto. Namun, tidak berlangsung lama ia membuka mulut. "Aku telah menyiapkan tiga permintaan yang kau minta kepadaku"
"Oke kuterima," jawab Naruto tanpa ragu. "Dan jangan coba-coba untuk membohongiku."
"Mah mah… dasar anak muda. Kau pikir ada keuntungan yang kudapat jika membohongimu? Yang ada aku malah mendapat kerugian, ingat satu tahun yang lalu kau membakar semua majalah porno ku?"
Naruto tertawa terhibur mendengar itu. "Itu balasan yang kau dapat karena telah menculik Inori-chan dariku," wajah Naruto nampak menajam ketika mengucapkan kata terakhir. "Tentu saja aku akan melakukan hal yang sama jika kau membohongiku, dan mungkin akan memberikan beberapa efek."
"Lalu…kau ingin tinggal dimana?"
Naruto tidak menjawab, ia melirik ke arah Inori untuk meminta pendapat. Setelah mendapatkan persetujuan, Inori mengangguk sembari menekan beberapa tombol pada layar 3D yang muncul dengan sendirinya.
"Kami ingin tinggal di kawasan Akihabara, dekat dengan menara Tokyo," tutur Inori sembari melempar layar tersebut kearah Azazel yang langsung menangkapnya. "Semua alasannya sudah kutaruh disitu."
Azazel nampak mengangguk-angguk beberapa saat, sebelum ia menyuruh ketiga pelayannya untuk pergi. Kini wajah mabuk itu telah hilang, digantikan oleh ekspresi serius yang membuat siapapun terkejut melihatnya. Naruto melihat Azazel melempar kembali layar itu kepada Inori dan mengeluarkan layar 3D miliknya, menekan beberapa tombol yang sangat Naruto kenali siapakah pemiliknya.
"Daniel, aku butuh bantuanmu" ungkap Azazel. Nada bicaranya nampak netral dan tidak terlihat menyembunyikan apapun.
"Aku tahu apa yang kau inginkan" Monitor 3D itu menampilkan sosok pria yang dalam kondisi tidak memungkinkan. "Jadi, Naruto apa saja yang kau perlukan?"
Naruto menaikkan satu alisnya yang membuat Daniel tersadar.
"Ah gomen. Jadi, apa saja yang kamu butuhkan Inori?"
Inori kembali menekan beberapa tulisan di layar miliknya, kemudian mengirimnya kepada Daniel melalui pesan. Setelah mendapatkan apa yang diperlukan, Daniel mengangguk dan menghilang dari monitor milik Azazel.
"Ada lagi yang kau butuhkan?" Tanya Azazel dan meskipun dia hanya mengucapkan sepatah kata itu, nada suaranya nampak mengancam.
"Aku tak membutuhkan apapun lagi, paman." Ucap Naruto memutar mata bosan, sudah mengetahui apa yang ada dipikiran Azazel. "Aku bukan anak kecil lagi yang harus meminta hal-hal aneh kepadamu."
"Begitukah?" Azazel mengakui. "Kupikir kau akan meminta apapun kepadaku setiap menit."
"Dan kau malah memberikanku alat kontrasepsi!" dengus Naruto sebal.
Azazel menunjukkan wajah terhibur. "Tapi untung saja tidak ada Inori disana, kalau tidak pasti-Uhuk" Azazel menepuk-nepuk tengkuknya ketika sebuah tutup botol masuk kedalam tenggorokannya.
"Inori-chan" panggil Naruto, berdiri dengan satu tangan di kantung celananya. "Kita pergi."
Inori tidak banyak bicara, ia hanya mengangguk sembari membungkukkan badannya kearah Azazel yang masih mencoba untuk memuntahkan tutup botol yang sepertinya membentuk jakun di tenggorokannya. Tak henti-hentinya memberikan sumpah serapah yang hanya terdengar seperti geraman binatang.
"Semoga kau tenang di alam sana."
"Bhrehngshek."
…
.
Jika kau tidak bisa menyelamatkan dirimu sendiri,
Kau tidak layak untuk hidup
.
…
Ada yang salah.
Di kejauhan, Naruto melihat seorang laki-laki dan perempuan, dua insan yang menjadi pusat perhatiannya saat ini. Keduanya begitu antusias dalam berciuman, mencoba untuk menarik semua simfoni yang berada di sekeliling mereka yang bersinar melebihi bintang-bintang.
Tapi Naruto tidak menatap bintang itu.
Dia menatap mereka.
Karena pada saat itu juga Naruto pun tahu dan sudah bisa membayangkan apa yang terjadi selanjutnya. Salah satu dari mereka mencoba untuk memisahkan penyatuan bibir, sedikit air liur terbawa oleh sang wanita. Sekilas Naruto melihat wanita itu menampakkan senyuman, bukan senyum kepuasan tetapi senyuman yang terhibur.
"Yuuma-chan, bibirmu… sangat manis"
Wanita itu hanya tersenyum, sebelum sudut bibirnya terangkat keatas membentuk seringaian. Dan pada saat itu juga, sang remaja bisa melihat kilas-kilas cahaya-semburan warna ungu di tengah kegelapan, dan remaja itu berpikir: apakah itu malaikat?
Naruto bisa melihat ekspresi yang terukir dari wajah remaja tersebut setelah kilasan cahaya itu memudar, menampakkan bulu-bulu hitam melayang. Daratan hijau yang tersebar di sekitarnya berubah menjadi gelap, bahkan air mancur menghentikan semburan airnya.
Naruto tidak berniat untuk menolong, meskipun tatapannya tetap kepada dua insan tersebut. Melihat bagaimana kedua insan itu tanding kontak mata satu sama lain, namun pemenangnya adalah sang remaja dengan mata coklat bergetar. Yuuma mengangkat satu tangannya ke atas, bersamaan dengan itu tercipta [Lightspear] dengan warna semerah darah tepat ditelapak tangannya.
Naruto sudah bisa membayangkan jika dirinya yang berada disana, menjadi seorang manusia yang rapuh. Tak bisa berbuat apapun selain tenggelam dalam kesedihan, omong kosong dan keputusasaan.
Ise ingin menjerit.
Tapi udara sudah menipis.
Terlalu tipis.
Ise terlalu lama memandangi tubuh indah Yuuma.
Tiba-tiba Ise merasakan pandangannya menggelap. Kepalanya berdenyut seirama detak jantung, yang terdengar sama kerasnya seperti alarm tadi pagi. Ise panik sekarang dan berjuang untuk tetap sadar, mencoba untuk menghisap udara, tapi tidak ada yang diisap. Ise tenggelam dalam kehampaan, jantungnya mulai berdetak tiga detik sekali. Tubuhnya mengejang dan terhuyung kedepan, tangannya tergelincir dan ambruk bersamaan dengan hilangnya benda bercahaya yang berhasil menembus tubuhnya.
'Tapi jika aku harus mati', pikirnya, 'setidaknya aku bisa mati sambil meremas Oppai'. Apakah ini yang dipikirkan Ise? Apakah dia bisa meremas sesuatu yang ia banggakan sebelum dia mati? Apakah pikiran akhirnya adalah hawa nafsu-bahwa dia malah melemparkan dirinya ke dalam omong kosongan belaka?
Ise menunduk memandangi darah yang mengalir dari perutnya dengan bingung. Kapan Ise mulai meletakkan satu tangan di atas perut saat tubuhnya terjatuh?
Yuuma tertawa. "Hahaha, itulah yang akan kau dapatkan. Keberadaanmu sangat membahayakan bagi kami, pergilah dengan tenang…" ia menampilkan pose imut. "…Ise-kun"
Klang! Klang!
Rantai hitam berpijar berterbangan dari permukaan tanah, membentuk sebuah pola hewan buas disana. Dan tiga detik kemudian, rantai itu mengacung kearah Yuuma berada.
Otot-ototnya gemetar, matanya terbelalak selebar-lebarnya, sayapnya menekuk kebawah menandakan bahwa ia sedang ketakutan saat ini. Merasa jiwanya terancam, Yuuma mengembangkan sayap-sayap hitamnya dan terbang menjauh dari tempat yang akan menjadi eksekusinya. Namun, semua itu tidak terjadi ketika satu kakinya terikat oleh satu rantai tersebut dan membanting tubuhnya ke atas permukaan tanah.
Jemarinya mencakar-cakar, berusaha mencengkeram tiang listrik yang tinggi. Jika dilihat, sebuah cairan tengah keluar di antara kedua pahanya, tepat selangkangannya.
"Naruto… kumohon lepaskan aku!" teriaknya dengan penuh frustasi, wajahnya sudah pucat pasi ketika mengetahui siapakah dalang dari peristiwa ini. "A-aku akan ikut denganmu! Kau boleh melakukan apapun yang kau mau!"
"Kamu ingin merayu kekasihku?"
Tubuhnya menjadi semakin gemetar ketika mendengar suara yang tak asing di telinganya, mendongak menatap kearah pemilik bayangan yang menutupi tubuhnya.
"I-inori."
Ekspresi yang terlihat dingin, ketat dan memancarkan es hanya dengan melihat wajahnya. Kecantikan memang tak perlu dipertanyakan lagi, tapi mata hijau itu tengah menyala terang di ikuti oleh partikel-partikel cahaya membentuk sebilah pedang yang panjang.
"Void," ucap Inori ketika partikel itu sudah sepenuhnya menjadi sebuah pedang. "Sepertinya aku harus memberikanmu apa itu rasa sakit, bukan begitu Naru?"
Pandangan Yuuma serasa menghitam sesaat, menatap sosok yang berada di atas atap perumahan disampingnya. Kontak mata yang tak pernah ia kira membuatnya belum siap akan apa yang terjadi. Namun entah kenapa dirinya serasa membeku menatap mata dari Naruto.
Mata itu… simbol itu… Yuuma sudah bergetar ketika melihat simbol yang berada di bawah mata kiri Naruto tengah menyala terang, merah darah yang menginginkan sebuah tumbal. Bagaikan seekor Ghoul yang akan memangsa musuhnya dalam satu gigitan.
"Mungkin ini akan terasa sakit…" Naruto menjawab dengan dingin. "…tapi kalau kamu takut, kita bisa menunda.."
"Tidak, itu tidak perlu Naru." Inori mewakili Yuuma yang hanya mampu diam ketakutan. Mata tetap lurus kearah mangsanya yang sudah pasrah akan ajal yang menunggunya. Tiba-tiba tanpa komando, Inori mengayunkan pedangnya tepat dimana leher Yuuma berada.
Namun Naruto tahu pasti kalau Inori takkan melakukan itu tanpa perintah darinya, Naruto menyeringai puas dan meluncur dari atas atap ketempat dimana Inori tengah mengacungkan pedangnya tepat dikulit leher Yuuma.
'Dia nyaris membunuhnya', pikir Naruto.
Tangannya terangkat tanpa dapat ia cegah dan ia mengangguk.
Terpenggal.
Inori tidak memikirkan tindakannya, ia hanya melakukannya. Apakah semua ini benar?
Ya.
Semua yang mereka lakukan selalu benar dan dipenuhi oleh pertimbangan yang matang.
Dan simbol yang menyala terang itu meredup, seiring dengan tubuh Yuuma yang berubah menjadi bulu-bulu hitam yang berterbangan. Inori berjalan mendekat, menatap lurus kearah Naruto yang tersenyum.
"Aku lapar."
Gadis cantik itu mengangguk dan mengalungkan tangannya di leher sang pemuda. "Sebaiknya kita pulang," baru saja mereka ingin pergi, sebuah suara menghentikan mereka. "Aku akan membuatkanmu Borsch."
"Tunggu sebentar!"
Inori mendengus sebal, Naruto mengusap garis simbol dibagian bawah matanya. Angin dibuat bergelombang ketika simbol itu kembali menyala, bahkan lebih terang dari yang tadi. Hingga pada akhirnya terangnya itu berubah menjadi darah.
Benak Rias berputar selagi angin di sekitar mereka menampar-nampar kepalanya saat ia melakukan tindakan bodoh. Ia ingin sekali memutar kejadian dan membiarkan kedua orang yang menurutnya berada di level 'berbahaya' itu pergi. Dan ia tidak perlu berurusan dengan mereka.
"Sepertinya aku yang harus turun tangan, Hime." Naruto mencoba untuk melepas rangkulan dari Inori, namun ditolak mentah-mentah oleh gadis itu. Bahkan Naruto diberikan tatapan tajam oleh Inori ketika ia berniat untuk mengubah struktur tiang disebelahnya menjadi besi panas yang merupakan salah satu kemampuannya.
"Dia yang dikatakan oleh paman Azazel, Naru-kun." Inori berbisik. Mata hijau itu melembut bersamaan dengan simbol yang berada dibawah mata Naruto mulai meredup. "Rambut merah crimson, bukankah dia bagian dari keluarga Gremory?"
Naruto tidak menjawab, ia memutar kepalanya untuk melihat penampilan dari sosok yang menjadi misinya. Benar…rambut merah itu hanya satu yang memilikinya, yaitu Klan Gremory dari Underworld. Dan juga [Demonic Power] yang sangat ia kenali ini, tentu saja mirip dengan milik Sirzech.
"Sebenarnya siapa kalian!" Rias berseru sambil mengacungkan jari telunjuknya kepada Naruto. "Aku takkan membiarkan penyusup masuk kedalam teritori Gremory."
"Tidak masuk akal," kata Naruto. Apakah memang ada sistem kolonialisme seperti itu didunia modern ini? Siapa yang kuat akan menguasai yang lemah? "Kau menganggap bahwa Bumi milik kalian, bangsa iblis?"
"Sudah kuduga, kalian bukan makhluk sembarangan," cetus Rias tetap mempertahankan ketegarannya dalam menghadapi situasi yang cukup rumit. Apalagi ia harus menahan dirinya untuk tidak pingsan ketika merasakan aura yang mematikan menguar dari tubuh Naruto. "Sebaiknya kalian pergi dari sini, sebelum kulenyapkan kalian."
"Oh?" Naruto nampak tertarik dengan ucapan tersebut. "Apakah aku harus berhadapan dengan [Power of Destruction] untuk kedua kalinya?"
Rias memalingkan muka, ia belum ingin menghadapi kenyataan akan berhadapan dengan sosok manusia. Apalagi ucapan keluarganya untuk tidak membunuh seorang manusia ketika berada di dunia manusia. Tiba-tiba ia tersentak ketika mengingat kembali ucapan pria didepannya barusan.
"K-kau! Apa maksudnya dua kali, hah?!"
Naruto mengorek-ngorek telinganya sambil memutar mata bosan. "Kau pikir, aku adalah seorang pemula dalam bertarung gitu? Aku sudah menemukan beberapa kekuatan yang bahkan lebih hebat dari milik kakakmu."
"K-k-k…"
"-Yah, meskipun aku kalah dengannya"
Rias menatap tak percaya pada Naruto saat ini. Tapi baru saja ia ingin berbicara, mulutnya ia biarkan terbuka ketika melihat Naruto berjalan kearah tubuh Ise. "Kau pasti tahu, fisik iblis lebih kuat daripada manusia."
Rias mengacuhkan ucapan itu, yang lebih penting adalah dimana Naruto mengangkat tangannya tanpa ragu, dan bersamaan dengan itu juga cahaya berwarna biru menyelimuti sebagian tangannya. Beberapa detik kemudian, Naruto menghunuskan tangannya tepat di perut Ise.
Jleb!
"Dapat!"
Rias tersentak kaget melihat Naruto yang saat ini sedang memegang sebuah bola merah dengan ukiran naga. Tidak salah lagi, itu…[Sacred Gear]. Wajahnya terkesiap melihat betapa mudahnya Naruto mengambil [Sacred Gear] milik orang lain dan tanpa harus bersusah payah.
"Inikah yang kau cari, Gremory?"
Rias menggeleng, memaksa dirinya untuk mengelak dari pernyataan yang memang benar apa adanya. Tetap melihat kearah Naruto yang sepertinya mencoba untuk menjadikan Sacred Gear itu miliknya. Pikiran Rias tersentak ketika melihat bola merah itu memasuki tubuh Naruto dengan sendirinya, seolah-olah memang sudah menjadi pemilik aslinya.
Rias jatuh terduduk, seakan kedua kakinya terperangkap dalam gravitasi yang sangat besar. Sekarang, ia bisa memikirkan kata itu dan tidak merasakan apa pun selain kepedihan samar, semua keinginannya gagal total hanya karena seorang manusia.
"Aku akan memberitahumu satu hal, Gremory." Naruto berjalan menjauh, membiarkan Rias yang menundukkan kepalanya dalam-dalam. "Akulah yang mengalahkannya, akulah yang menyegelnya di dalam benda ini. Kupikir menitipkannya sementara akan membuatnya kuat, tetapi dia hanyalah orang bodoh yang terlalu terhanyut dalam pemikiran nafsu."
"K-kenapa… kenapa kau melakukan semua ini!"
Naruto berhenti tepat satu meter di depan Inori, menolehkan kepalanya kebelakang dan menatap kearah keturunan iblis muda itu dari sudut matanya. Hembusan angin yang kencang menerbangkan helaian surai perak miliknya, membuat Rias terpaksa mendongak karena hal itu.
"Aku hanya ingin membuatmu tidak bergantung pada artefak milik Ajuka, jadilah seperti kakakmu. Dia tidak membutuhkan Peerage sebagai kekuatan ataupun pelayan, tidakkah kau menyadarinya jika dulu ia hanya memiliki Grayfia sebagai ratu?" Naruto tertawa sinis, menyindir kehidupan Rias yang menyedihkan. "Aku terpaksa harus berbohong jika aku kalah dengan kakakmu, kami imbang pada saat itu. Karena kami harus bertarung ditempat yang membuat kekuatanku menurun."
Rias hanya diam mendengar apa yang dikatakan oleh Naruto. menambah kembali pengetahuan yang ia miliki tentang pemuda yang berada di depannya. Dirinya tidak tahu sudah berapa lama mereka berbicara, hingga bintang-bintang sudah berkilauan. Hanya ada segelintir lampu penerangan jalan yang menerangi taman ini.
"Kenapa aku melakukan semua ini?" ucap Naruto menebak apa yang ada didalam pikiran Rias. "Karena memang seperti itulah diriku, namun satu hal yang harus kau ingat. Rias."
Rias menatap kearah Naruto yang mengangkat satu tangannya ke atas sebelum melihat pemuda itu menunjuk dadanya dengan mata safhire menyala dari balik gelapnya malam.
"Jadilah dirimu sendiri."
.
.
Keheningan
Dan
Bintang-bintang
.
.
To be Continued~
Aahahaha, fic baru lagi.
Iya, iya. Hamba tahu ini fic milik orang lain, dan sudah pernah di publish. Tapi bukan berarti hamba memplagiatnya. Hamba sudah mendapatkan amanat untuk melanjutkan fic ini dari sang author, jadi jangan berburuk sangka dulu. Oke?
Berikan pendapat kalian tentang Fic ini, jika kalian tidak suka saya akan menggantinya dengan Fic yang lain.
(A/N: Hyoudou Issei di Fic hamba tewas, dengan kata lain Sekiryuutei saat ini adalah Naruto).
.
Nama : Naruto Wisemann
Umur : - (Saat ini 15 tahun)
Tinggi : 150 cm
Penampilan : Memiliki rambut perak/silver yang berantakan, mata biru safhire dan menggunakan satu anting berwarna merah di telinga kirinya.
Kekuatan : Alkimia
Senjata : Sabit panjang dengan bagian bawah berbentuk salib runcing
Kekasih : Yuzihira Inori
Fraksi : -
.
Draco, Out!
