Disclaimers:Masashi Kishimoto
Lepas pantai Konoha, pada sebuah siang. Sebuah kapal nelayan dengan tiga orang awak sedang berlayar di perairan yang tenang.
"Itu dia!" seru Naruto sambil menunjuk ke sebuah titik di tengah hamparan air laut yang biru. Naruto segera menyambar harpun, lalu membidik titik tersebut.
"Sebentar. Kau yakin harus melakukannya?" cegah Yamato, "apa kau tidak melihat apa yang ada di dekatnya?"
"Lalu harus bagaimana lagi?" sergah Naruto, "jika kita sampai gagal, habislah kita."
"Tapi…."
"Berikan padaku!" kata Kakashi sambil merebut harpun dari tangan Naruto, "biar aku saja yang bertindak. Kita tidak punya pilihan. Aku tidak ingin kita kehilangan apa yang kita miliki."
Sebelum Yamato sempat mencegah, Kakashi telah menembakkan harpun ke titik yang ditunjuk oleh Naruto. Yamato membuang muka, tak tega melihat penderitaan obyek yang menjadi sasaran Kakashi.***
Keesokan harinya, tidak jauh dari Konoha.
Hinata bergegas mengenakan jaketnya, lalu setengah berlari ke luar kamarnya. Ia nyaris bertabrakan dengan sepupunya, Neji, yang baru saja keluar dari kamar mandi.
"Maaf, Kak Neji!" kata Hinata tanpa menoleh pada Neji.
Neji hanya geleng-geleng kepala. Namun ia memaklumi tingkah Hinata. Seolah tak terjadi apa-apa, Neji kembali berjalan menuju ke kamarnya.
Hinata menuruni tangga tanpa mengurangi kecepatannya. Di lantai bawah ternyata masih lengang. Artinya, selain dirinya dan Neji, penghuni rumah keluarga Hyuuga masih terlelap di balik selimut mereka masing-masing.
Hinata tersenyum tipis, melangkah menuju pintu. Saat ia membuka pintu tersebut, terhampar sebuah pemandangan yang berbeda. Hamparan pasir pantai dan… pantainya sendiri. Bunyi gemuruh ombak masih terdengar, bersamaan dengan hembusan angin pantai yang cukup kencang.
Pagi masih gelap. Dingin. Namun Hinata tidak peduli. Ia berlari menyusuri hamparan pasir pantai dengan wajah ceria. Kemudian, ia duduk. Membiarkan kedua kakinya yang telanjang dibasahi oleh air yang menyapu bibir pantai. Dingin, namun Hinata tak peduli.
Hinata menunggu dengan sabar. Tak lama lagi matahari akan terbit.
Dalam hal ini, Hinata memang agak berbeda dengan gadis sebayanya yang lebih memilih menyaksikan matahari terbenam. Kata mereka, menyaksikan matahari terbenam di balik hamparan laut biru itu romantis.
Namun tidak demikian bagi Hinata. Baginya, menyaksikan terbitnya matahari adalah pengalaman yang selalu menggugah hati. Layaknya menyaksikan terbitnya sebuah harapan baru, seperti itulah sensasi menyaksikan matahari terbit.
Akhirnya, peristiwa yang Hinata nantikan tiba juga. Matahari perlahan mengintip di ufuk timur, seakan mengucapkan salam padanya. Menit-menit berlalu, merambat bersama keindahan sang surya yang merambat naik. Hinata tersenyum lebar. Rasa bahagia menyemai hatinya. Rasa dingin yang tadi melingkupi tubuhnya kini perlahan terusir oleh kehangatan.
"Hari ini hari baru," kata Hinata pada dirinya sendiri.
Hinata berdiri dan merentangkan kedua tangannya lebar-lebar. Menghirup segarnya udara pagi.
Sekarang, saatnya kembali ke rumah dan memulai hari baru. Hinata bergerak, hendak berbalik arah. Namun, sesuatu segera menarik perhatiannya.
Di bibir pantai, tak jauh dari tempatnya berdiri, Hinata melihat pemandangan yang berbeda dengan pemandangan yang biasa ia lihat. Hinata yakin, apa yang ia lihat itu adalah pemandangan yang sebenarnya tidak aneh. Hinata melihat seseorang di sana. Namun, apa yang membuatnya menjadi aneh adalah keadaan orang tersebut.
Hinata berlari menghampiri sosok tersebut. Ia yakin, sosok tersebut bukanlah seseorang yang sedang berjemur atau berenang pada hari sepagi ini. Ada yang tak beres!
Dugaan Hinata benar adanya. Sosok itu tertelungkup mencium pasir. Tak bergerak.
Wajah Hinata sempat memerah saat menyadari bahwa sosok tersebut sama sekali tak mengenakan sehelai pakaian pun. Namun sekarang bukan saatnya untuk malu.
Hinata berusaha membalik tubuh tak berdaya tersebut. Ia memekik tertahan saat melihat wajah orang malang—seorang pria muda belia—itu terluka. Luka akibat sayatan benda tajam, melintang di bawah mata dan menyeberangi bagian tengah hidungnya. Lukanya masih baru, namun tampaknya air laut telah menghapus darah di sekitar lukanya tersebut.
Hinata menggunakan jaketnya untuk menutupi tubuh pria itu.
"Tunggu sebentar. Aku akan memanggil ayah dan kakakku!" kata Hinata meski tak yakin apakah pria malang tersebut bisa mendengarnya atau tidak.
Hinata berlari secepatnya kembali ke rumahnya, meninggalkan pria malang tersebut.
Di bibir pantai, pria yang ditolong tersebut membuka matanya. Sorot matanya lemah, namun pandangannya tak lepas dari Hinata.***
"Ayah, kakak ini bukan berasal dari kota ini, ya?" tanya Hanabi sambil memandang pemuda yang baru saja mereka tolong.
Pemuda yang ditemukan oleh Hinata tersebut kini sedang terbaring di salah satu kamar di rumah keluarga Hyuuga. Ia masih tak sadarkan diri, namun luka di wajahnya sudah diobati. Menurut dokter yang dipanggil oleh ayah Hinata dan Hanabi, Hiashi, kondisi pemuda asing tersebut tidak separah yang terlihat. Ia hanya kelelahan karena terlalu lama berada di laut.
"Kita tunggu saja sampai dia sadar, barulah kita bisa menanyainya dan menghubungi keluarganya," jawab Hiashi. Ia mengisyaratkan agar putri bungsu dan keponakannya tersebut meninggalkan pemuda tersebut di kamar.
"Barangkali dia adalah nelayan dari daerah lain yang mengalami kecelakaan dan terdampar di sini. Kita harus melaporkan kejadian ini, siapa tahu ada informasi mengenai orang hilang yang dapat kita cocokkan dengan ciri-cirinya," usul Neji, setelah mereka bertiga berada di luar kamar.
"Ya. Setelah Hinata pulang dari berbelanja, kita berdua pergi ke kota untuk melaporkan perihal pemuda itu pada Fugaku," sahut Hiashi setuju.
"Tapi Paman, apakah tidak apa-apa membiarkan Hinata dan Hanabi bersama pemuda itu di rumah?" tanya Neji khawatir.
Hiashi tampak berpikir sejenak. Walaupun pemuda yang mereka tolong tersebut saat ini sedang berada dalam kondisi lemah, meninggalkan dua anak perempuan bersamanya tampak kurang bijaksana.
"Aku saja yang ikut dengan Ayah," sahut Hanabi sambil memeluk pinggang Hiashi.
Hiashi mengangguk sambil menyentuh rambut Hanabi. Hanabi tersenyum gembira. Sementara Neji menyaksikan keakraban ayah dan anak tersebut dengan tatapan penuh arti.***
Hinata mengintip dari balik pintu dan menemukan pemuda misterius yang ia tolong tadi pagi masih berbaring dengan mata terpejam.
Belum sadar juga, pikir Hinata, kuharap ia akan pulih dengan cepat.
Hinata masuk, melangkah dengan hati-hati, seolah khawatir akan membangunkan pemuda tersebut. Ia duduk di kursi di sisi ranjang, lalu menatap wajah pemuda tersebut. Perban masih melingkar menutup luka di wajahnya, namun parasnya cukup jelas terlihat.
Manis juga, pikir Hinata. Barangkali Kak Neji benar, pemuda ini korban kecelakaan di laut. Jangan-jangan hanya ia sendirian yang selamat dan terdampar di sini.
Terdengar erangan lemah yang berasal bibir pemuda itu. Hinata tersentak saat melihat kedua mata pemuda itu kini terbuka.
"Kau… sudah sadar?" tanya Hinata hati-hati. Sebuah senyuman tersungging di bibirnya.
Pemuda itu tak menjawab. Masih terlalu lemah, bahkan hanya untuk sekadar membalas senyuman Hinata.***
Kediaman keluarga Hyuuga, di kamar tempat pemuda misterius yang ditemukan oleh Hinata dirawat.
"Siapa namamu?" tanya Fugaku. Kepala kepolisian Konoha itu bertanya dengan nada—seperti biasa—dingin.
Pemuda yang ditanya hanya menggeleng lemah.
"Kau tidak ingat namamu? Tempat asalmu?"
Lagi-lagi Fugaku hanya mendapatkan gelengan kepala sebagai jawaban.
"Apakah kau ingat, apa yang terjadi padamu hingga kau bisa terdampar di pantai?" tanya Fugaku lagi.
"Maaf…."
Fugaku menghela napas, lalu menoleh pada Itachi yang berdiri di dekatnya.
"Sejauh ini belum ada pihak yang melaporkan kehilangan orang dengan ciri-ciri fisik seperti dia. Tapi kita sudah memperluas perimeternya. Kita harapkan hasilnya dapat diperoleh dalam satu atau dua hari ini," jelas Itachi.
Fugaku hanya mengangguk pada polisi baru yang juga merupakan putra sulungnya tersebut, lalu berpaling pada Hiashi.
"Jadi, apakah kau bersedia menampung pemuda ini sampai kami menemukan keluarganya?" tanya Fugaku.
"Tidak masalah bagiku. Kuharap kalian dapat segera menemukan keluarganya."
Fugaku tampak puas, lalu mengajak Itachi meninggalkan kamar. Hiashi mengikuti mereka sambil membicarakan perihal pemuda asing tersebut.
Di luar kamar, ketiga pria tersebut berpapasan dengan Hinata yang membawa perban dan obat-obatan.
"Ayah, saya mau mengganti perban Kak Iruka," kata Hinata.
Ketiga pria di depan Hinata keheranan. Iruka?
Hinata buru-buru menjelaskan, "Iruka itu nama pemberian dari saya dan Hanabi. Dia 'kan muncul dari laut. Jadi, kami sebut saja dia Lumba-lumba Laut, UminoIruka. Bagaimana pun, kita harus memberinya nama agar mudah memanggilnya."
"Ah, ya… Iruka… nama yang bagus," komentar Itachi setuju, sementara dua pria paruh baya yang bersamanya hanya geleng-geleng kepala.
Hinata segera memasuki kamar. Ia tertegun sejenak saat melihat Iruka sedang memandang ke luar jendela. Memandang pantai dengan pandangan penuh arti. Kerinduan akan sesuatu tersirat di sepasang matanya.
"Kak," tegur Hinata.
Iruka tersentak dan menoleh pada Hinata sambil tersenyum canggung. Iruka beringsut, sedikit menjauh saat Hinata duduk di sisi ranjang.
Barangkali dia memang pemalu, pikir Hinata, mirip denganku dulu.
"Kalau Kak Iruka bosan di dalam kamar, kita bisa berjalan-jalan di luar. Itu juga kalau Kak Iruka sudah merasa lebih baik," ajak Hinata ramah.
"Terima kasih," balas Iruka pendek.
Hinata memandang Iruka. Ia mengira-ngira, bagaimana bisa pemuda yang barangkali berusia awal dua puluhan itu bisa terdampar di pantai tanpa dapat mengingat apa pun. Juga… luka di wajahnya itu. Luka itu tampak disengaja.
Barangkali kapalnya dibajak dan dia dibuang ke laut, pikir Hinata iba. Kalau benar seperti itu kejadiannya, kasihan sekali dia.
Dipandangi oleh Hinata membuat Iruka menjadi jengah dan salah tingkah. Ia tertunduk sambil sesekali mencuri pandang ke arah Hinata.
Hinata malah tersenyum melihat tingkah Iruka. Membuat Iruka semakin salah tingkah.***
Pantai pada sebuah pagi, di sebuah lokasi yang jauh dari perumahan penduduk. Sehari setelah Hinata menemukan Iruka.
Saat itu, air laut mulai mengalami pasang naik. Segalanya tampak biasa saja. Normal seperti pada hari-hari lainnya.
Tapi… tunggu! Air laut tampak sedikit bergolak di sebuah titik. Bergerak dalam irama yang teratur selama beberapa saat. Kemudian, perlahan, sesuatu muncul dari bawah permukaan air.
'Sesuatu' tersebut ternyata menyerupai sosok seorang manusia… atau barangkali memang sesuatu yang hanya mirip dengan manusia. Sebab, ada yang agak berbeda dengan penampilannya. Sosoknya menjulang dengan wajah yang jauh dari kata menarik. Bahkan, tampak menyeramkan karena menyerupai wajah seekor hiu.
"Ck," suara sosok itu, "aku tidak bisa bertransformasi dengan sempurna karena ulah nelayan-nelayan bodoh itu."
Dengan tertatih, ia mencapai bibir pantai. Sambil memandang ke sekelilingnya, ia mendesis, "bocah sialan itu tidak akan kubiarkan lolos lagi."
Sosok itu beranjak meninggalkan pantai. Ia tampak sangat tidak senang dengan keberadaannya di pantai itu.***
Naruto menguap lebar-lebar. Ia masih mengantuk, namun bisnis harus terus berjalan. Ikan-ikan segar yang mereka tangkap harus segera dijual. Mereka tidak boleh menderita kerugian yang lebih besar lagi. Jika terlambat sedikit saja, mereka bisa kehilangan kesempatan mendapatkan pengumpul yang bersedia membeli hasil laut tangkapan mereka.
Hiruk pikuk suasana pelelangan ikan di dekat pelabuhan membuat Naruto jenuh. Ia membiarkan Kakashi dan Yamato yang bertransaksi dengan para pengumpul, sementara ia sendiri menunggu agak jauh dari lokasi pelelangan sambil duduk di bak belakang truk tua milik Kakashi. Melamun.
Seandainya hiu itu tertangkap, kami pasti akan mendapatkan keuntungan yang lumayan, pikir Naruto, harga daging hiu 'kan sangat mahal.
Naruto mengenang insiden dua hari sebelumnya di laut lepas. Kala itu, ikan hiu yang menjadi buruan Naruto dan kawan-kawan berhasil lolos meskipun harpun yang Kakashi tembakkan berhasil mengenai satu titik di daerah ekornya.
Hiu itu tangguh sekali. Naruto belum pernah melihat hiu yang begitu gigih melawan nelayan yang hendak menangkapnya. Meskipun sudah terluka, hiu itu masih dapat berenang dengan kecepatan tinggi hingga berhasil lolos dari penangkapan.
"Memikirkan apa, Sayang?"
Naruto tersentak. Ia tidak menyadari bahwa Hinata sudah berdiri di dekat truk.
"Ah, kau…. Ke sini bersama siapa?" tanya Naruto.
"Kak Neji. Dia sedang berada di bank. Aku bosan, jadi aku ke mari karena aku tahu, hari ini kapal kalian akan merapat."
Naruto tersenyum miring saat Hinata menyebut kata 'bank'. Baginya, institusi tersebut mempunyai satu nama lagi : perampok.
Naruto melompat turun dari truk, lalu tanpa canggung memeluk pinggang Hinata.
"Hei… kalau dilihat orang, bagaimana?" tegur Hinata sambil melepaskan diri.
"Bukankah semua orang di kota ini sudah tahu mengenai hubungan kita?" balas Naruto santai.
"Bagaimana kalau ayahku yang melihat?"
Naruto mendengus. Menyadari bahwa nelayan sederhana seperti dirinya tidak 'pantas' bersanding dengan gadis dari keluarga 'terpandang' seperti Hinata. Padahal, apalagi yang dapat dibanggakan dari kota kecil Konoha, termasuk keluarga Hyuuga? Kota kecil ini sudah nyaris mati. Sudah bertahun-tahun tidak ada perkembangan menuju kemajuan. Yang ada hanya kemunduran dan kemunduran….
"Hinata, kudengar dari Sasuke yang baru saja ke sini, kau memungut seorang pria dari pantai, ya?" tanya Naruto, "apa tidak berbahaya? Dia 'kan orang asing."
"Ayah Sasuke sudah bicara dengannya dan ayahku juga bersedia menampungnya. Kurasa tidak akan ada masalah. Kami sekeluarga hanya menolongnya."
"Oh, begitu. Asalkan kau tidak sampai jatuh cinta padanya saja, ya."
"Kenapa? Kau cemburu?"
Naruto mendengus lagi. Tanpa perlu menjawab, ia yakin bahwa Hinata sudah tahu perasaannya.
"Aku boleh bertemu dengannya?" tanya Naruto lagi, "hanya ingin tahu, seperti apa rupanya. Siapa tahu, aku mengenalinya."
"Kalau dia sudah lebih sehat, aku akan mengajaknya jalan-jalan ke kota, juga ke rumahmu. Nanti kalian bisa berkenalan."
"Dengan berkenalan dengannya, kau pikir aku akan langsung percaya bahwa kau tidak akan jatuh hati padanya?" tanya Naruto sambil tersenyum badung.
"Makanya, kalian harus bertemu dulu."
Hinata tahu, Naruto tidak serius dengan kata-katanya. Ia hanya menggoda Hinata, gadis yang sudah menjalin hubungan khusus dengannya selama dua tahun terakhir ini. Bukan hubungan yang mulus karena Hiashi tidak menyetujui hubungan mereka. Namun sejauh ini, Hinata menikmati hubungannya dengan Naruto.
Bagi Hinata, Naruto adalah sosok yang mampu mengubahnya menjadi lebih baik. Setelah mengenal Naruto, tidak ada lagi Hinata yang pemalu, rendah diri dan peragu. Naruto telah mengilhami Hinata untuk menjadi lebih berani, percaya diri dan kuat. Hal inilah yang menjadi awal ketertarikan Hinata pada pemuda berambut pirang itu.
Kemudian, pada saat cinta mulai menjalar di setiap sendi kehidupan mereka, adalah hal yang wajar jika kemudian Hinata memilih Naruto. Demikian juga sebaliknya….
"Asyik, pacaran…. Jangan membuat kami yang sudah tua-tua ini iri, ya?" suara Kakashi terdengar dari belakang Naruto dan Hinata, menggoda pasangan belia tersebut.
Naruto dan Hinata menoleh dan melihat—kedua saudara angkat Naruto—Kakashi dan Yamato sedang menghampiri mereka. Walaupun senyuman tersungging di bibir Yamato, Naruto dan Hinata dapat membaca bagaimana sebenarnya perasaan Yamato saat ini. Bukan rasa iri, namun perasaan yang dampaknya tak kalah buruk. Hal itu pasti berhubungan dengan hasil yang mereka bertiga dapatkan setelah pulang melaut.
"Kami hendak pulang. Bagaimana Naruto, mau ikut dengan kami atau tinggal di sini?" tanya Kakashi sambil membuka pintu truk. Yamato bahkan sudah duduk di dalam truk. Raut wajahnya yang lelah seperti memohon agar diberi kesempatan untuk tidur saat itu juga.
Naruto menoleh pada Hinata. Sebenarnya ia masih ingin berduaan dengan Hinata. Namun, rasa lelah yang ia alami tak dapat diajak berkompromi lebih lama lagi.
"Aku tahu kau pasti lelah. Pulanglah. Nanti aku telepon," kata Hinata, memahami kebimbangan Naruto.
"Baiklah. Aku pulang dulu, ya," pamit Naruto. Ia mencium pipi Hinata dan sebelum Hinata sempat menyadarinya, Naruto sudah melompat ke dalam bak belakang truk.
Hinata tersipu, sama sekali tidak marah. Sementara itu, Kakashi yang melihat adegan tersebut dari kaca spion, geleng-geleng kepala.
"Dasar remaja," gumamnya sambil menghidupkan mesin truk.
Truk tua tersebut akhirnya bergerak meninggalkan area pelabuhan, meninggalkan Hinata yang membalas lambaian tangan Naruto.***
"Mau lari ke mana kau? Kau tidak bisa ke mana-mana, bocah sialan!"
Air bergolak. Gelembung-gelembung udara melayang tak beraturan. Dua hal yang timbul karena adanya gerakan cepat dan tak beraturan di dalam air. Gerakan 'sesuatu' yang berusaha melepaskan diri dari 'sesuatu' yang lainnya.
"Serahkan dirimu!"
'Sesuatu' bergerak dengan cepat, menukik tajam. Pandangan yang sebelumnya kabur, kini menjadi lebih jelas. 'Sesuatu' yang menukik itu ternyata adalah memiliki penampilan yang mengerikan : bertaring dengan sorot mata tajam yang siap membunuh. Hiu!
"Kau milikku sekarang…." seringai hiu tersebut, lalu membuka mulut selebar-lebarnya.
Kemudian, terasa perih di wajah. Air di sekeliling berubah warna menjadi merah. Darah.
Darah itu semakin lama semakin banyak, hingga menutupi pandangan mata….
Iruka membuka matanya. Napasnya agak terengah dan bulir-bulir keringat menghiasi keningnya. Jantungnya berdetak lebih cepat, seolah baru saja berlari cukup jauh.
Padahal saat itu Iruka menemukan dirinya tengah terbaring di ranjang di kamar yang sudah ia tempat dua hari terakhir ini.
Iruka bermimpi, itu hal yang pasti. Mimpi buruk. Namun, Iruka tak dapat menjelaskan, mengapa ia sampai bermimpi seburuk itu dengan ingatan yang hingga kini nyaris tak tersisa dalam benaknya.
Rasa haus memaksa Iruka duduk dan meraih gelas berisi air di meja di dekat ranjang. Setelah menenggak habis isinya, Iruka merasa lebih tenang. Namun, mau tak mau ia tetap memikirkan mimpi yang baru saja ia alami.
Apa yang sebenarnya terjadi padaku? Mengapa aku bisa berada di sini?
Iruka memegang kepalanya. Terasa berat. Ada sesuatu yang mengganjal di benaknya, namun ia tidak mengetahui, apakah sesuatu yang mengganjal itu.
"Aku ini siapa?" desisnya.
Namun tak ada yang menjawab. Iruka harus mencari sendiri jawaban pertanyaannya.***
TBC
A/N:
Fic dengan pair yang tidak biasa ini saya tulis berdasarkan permintaan Ai Hinata Lawliet yang tergila-gila pada chara Hinata. Heran deh, kok ada ya, orang begitu tergila-gila pada satu chara?
Hehehe, look who's talking? Saya juga cinta setengah mampus pada chara lumba-lumba eh Iruka, makanya nekad memasangkan Iruka dengan Hinata yang—kebetulan juga—merupakan satu dari lima cewek Konoha kesayangan saya.
Dua chara ini memiliki sifat yang mirip, sehingga sulit mengharapkan adanya konflik yang timbul karena perbedaan karakter mereka. Makanya, Iruka di fic ini didesain sebagai sosok yang latar belakangnya misterius, supaya bisa menggali konflik dari kondisinya ini. Ya sudah, saya kebanyakan bicara. Tunggu saja kelanjutannya yang semoga bisa saya kerjakan secepatnya ;D
