A fanfiction project by MiracleUsagi
With Haikyuu's disclaimer Furudate Haruichi
'No Sun for Prince's Life!'
Writer do not take any profit from this fanfiction. Contain much OOC, TYPO(s), and dirt-jokes.
Enjoy!
.
.
.
.
Alkisah di satu masa sebelum Masehi memasuki dunia peradaban, nun jauh di Timur terdapat sebuah kerajaan megah nan mewah yang dihuni rajanya yang bijaksana dan ratunya yang cantik jelita. Kabarnya mereka dikaruniai seorang anak laki-laki yang sehat nan tampan . Pada hari kelahiran anak itu, raja dan ratu yang dermawan mengundang seluruh penghuni kerajaannya yang makmur untuk datang ikut menyambut sukacita yang melimpahi mereka kala itu. Pejabat tinggi, para pedagang, pengembara, serta fakir miskin turut diundang dalam pesta syukur. Raja hanya meminta doa untuk sang buah hati sebagai buah tangan. Sungguh baik hati. Satu persatu rakyat mulai mendoakan sang pangeran dengan segala hal kebaikan. Ketampanan, kemewahan, kebaikan hati, serta keberanian.
Satu kala, ketika pangeran telah tumbuh dengan semua karunia yang telah didoakan rakyatnya dahulu, datanglah seorang penyihir dengan tubuh tinggi menjulang dan ular merah bersisik api di kalungan lehernya. Ia baik, tenang saja. Wajahnya memanglah datar dan suaranya begitu dalam. Tetapi ia sungguh baik hati. Dengan tenang ia menyampaikan maksud kedatangannya. Rupanya ia terlambat untuk memberi sang pangeran hadiah karunia saat ia lahir. Sang raja yang baik hati, menyambut baik kedatangannya, walaupun bertanya-tanya di dalam hati karena sudah tujuh tahun si penyihir ini baru mengucapkan selamat pada anaknya.
(Rupanya ia terlambat mendapat kabar karena pondoknya berada di tengah hutan yang amat jauh dan tidak terjamah dunia luar ataupun sihir gugelmeps. Ya sudahlah.)
Raja itu mengantarkan penyihir berambut hijau lumut itu ke tempat putranya yang sedang berlatih pedang. Penyihir itu tersenyum melihat kelincahan sang pangeran yang membuatnya terkesima. Ular merah di lehernya (yang diberi nama Satori) itu mendesis pelan, seolah tahu tuannya sedang senang. Penyihir itu maju menuju pangeran kecil yang sekarang menatapnya kebingungan. Ia berlutut di depan sang pangeran lalu berucap.
"Yang mulia pangeran, sungguh anda telah tumbuh menjadi anak dengan semua karunia baik. Maafkan hamba yang pada waktu pangeran lahir, hamba tidak datang. Tetapi sekiranya jika hamba datang, sepertinya semua karunia telah anda miliki, pangeran. Maka dari itu, hamba hanya meminta kesediaan pangeran untuk belajar sihir dengan hamba di pondok hamba di tengah hutan. Hamba yakin, jika pangeran mampu-"
"Hah? Ke tengah hutan? Ih, pasti banyak serangga, aku tidak mau!"
Penyihir itu terdiam mendengar perkataan pangeran yang begitu membuatnya terkejut. Ternyata pangeran tidak memperoleh karunia rendah hati. Pangeran kecil itu menggelengkan kepalanya sembari cemberut khas anak kecil.
"No, lagipula aku tidak mau belajar bersama kakekini, Ayahanda!"
Seketika petir menyambar ganas ujung tiang bendera. Sang raja yang berdiam diri di belakang pucat pasi. Setengah hatinya tidak enak hati melihat tamunya diperlakukan tidak sopan. Setengahnya lagi merasa jengkel dengan tingkah anaknya yang kurang ajar. Sang pangeran kecil yang tingkat kepolosannya masih tinggi tidak merasakan hawa suram yang tiba-tiba datang. Ia dengan santainya mengupil, lalu menatapi penyihir tadi yang terlihat marah.
"Sungguh, ternyata anak ini tidak mendapatkan karunia rendah hati, hamba tarik kata-kata hamba tadi yang menilai pangeran memiliki semua karunia baik. Karena pangeran ini tidak bisa menghormati orang lain, aku mengutuknya mulai detik ini pangeran tidak akan pernah bisa keluar dari ruangannya untuk bertemu dengan sinar matahari. Sekali bertemu, pangeran akan terkena kudis, kurap, dan semua penyakit kulit sampai akhir hidupnya! Tidak ada sihir lain yang bisa mematahkan sihir ini, hanya aku yang bisa mematahkannya! Tetapi dengan syarat, pangeran harus mengikuti kelas sihirku di hutan Shiratorizawa!"
Awan gelap turun vertikal menutupi penyihir itu. Sampai saat itu sang pangeran masih berusaha menggali emasnya seorang diri. Petir mulai berhenti menyambar dan matahari kembali bersinar ketika gumpalan awan itu menghilang. Terdiam selama beberapa sekon karena synchronizing, sang raja segera sadar ketika sang putra mulai garuk-garuk pantat.
"Ayahanda, kutukannya manjur, AKU GATEL-GATEL!"
=00=
"IBUNDA TOLONG TOORU, BADAN TOORU GATEL SEMUAAAA!"
Sang ratu, Koushi, kini mengerti kenapa ibunya dulu suka berteriak 'hah-hah' ketika ia berbicara. Kematian pendengaran temporer. Bedanya kalau ibunya dulu karena faktor usia, kalau dia karena faktor anaknya yang sering durhaka. Wanita dengan rambut abu-abu pendek itu memijit keningnya lelah, sudut kedutannya bertambah lagi. Lima puluh persen kekesalannya pada anaknya yang mulai suka tebar pesona, dan lima puluh persen pada suaminya yang seenak jidat menumpahkan semua masalah kutukan itu pada dirinya.
"Makanya udah Bunda bilangin kamu itu dikutuk, jangan keluar-keluar istana cuma buat godain anak-anak cewek di taman." Ratu Koushi mengoleskan salep anti gatal buatan tabib istana yang paling manjur ke ruam merah-merah di tangan dan pipi putranya.
"Habis, aku udah godain semua yang di istana, bibi tukang masak, bibi tukang cuci sama anaknya, oh ya Bun, aku juga godain Iwa-chan anak jenderal kesayangan Ayahanda itu lho!"
Sang ratu mulai merasa ingin menjejalkan botol salep itu ke mulut putranya. Apakah sebegitu charmingnya putranya sampai-sampai bikin malu begini. Godain anak jenderal Iwaizumi yang terkenal garang itu. Duh.
"Oh, pantas saja. Kemarin Bunda lihat nak Hajime itu teriak-teriak panggil nama kamu, ternyata karena kamu godain.."
"Habis, dia ngejek aku terus gara-gara aku lemah latihan berpedang, ya udah aku godain sekalian." Sang ibu sweatdropped mendengar kepolosan anaknya yang mulai ngawur.
Ratu cantik itu menutup botol salep yang telah selesai dipakainya, dan berdiri menuju pintu keluar kamar anaknya itu. "Udah selesai. Sekarang gak usah keluar-keluar lagi ya, nanti kudisan baru tahu rasa, nak Hajime gak bakal mau main sama kamu lagi nanti!"
"Ih Bunda jahat!" dan sang ratu langsung melipir sambil cekikikan.
=00=
Sudah sepuluh tahun sejak kutukan penyihir berkalung ular itu terjadi. Tooru, sang pangeran yang tampan, baik hati, (tapi sayangnya suka durhaka sama ibu sendiri) serta rajin menabung telah tumbuh menjadi pemuda yang benar-benar (super) tampan, sekali lirik pasti menarik. Tooru sendiri antara bersyukur dan tidak dengan wajahnya yang terlalu tampan seperti karakter komik fiksi di internet abad keduapuluhsatu. Bersyukurnya karena sekali para gadis meliriknya, pasti langsung memujanya bagai dewa matahari. Tidak bersyukurnya, karena…
SETIAP KELUAR DIA HARUS PAKE TANDU BERKORDEN TEBAL BUAT MENGHINDARI TERIK MATAHARI.
Mending gak usah dikasih wajah ganteng.. batinnya ngilu.
Sang ibu yang prihatin melihat putranya galau uring-uringan di kamar tidak bisa ke mana-mana akhirnya membuat sayembara lisan. Langsung disampaikan di balkon istana! Yang menonton cuma burung pipit dan tukang kebun serta pelayannya! Nah.
Akhirnya sayembaranya menjadi tertulis setelah melakukan persetujuan dengan sang raja.
Beribu-ribu pamflet, brosur disebarkan dan ditempel di sudut-sudut kota. Macamnya masa kampanye pada pemilu yang luberjurdil. Brosur bergambar wajah pangeran yang mengerling sambil menggigit bunga mawar malah jadi incaran kaum hawa. Satu hari brosur dan pamflet dibagikan, satu hari pula brosur dan pamflet tersebut habis tak bersisa diincar makhluk bergunung dua. Sang ratu memanggil pelayannya (yang kedapatan menyimpan brosur gambar pangeran juga) lalu bertanya siapa yang memilih desain brosur sayembaranya.
"Pangeran sendiri yang memilih, pangeran sendiri yang ambil fotonya."
Sang ratu mengucapkan terima kasih pada pelayannya itu lalu segera menyambangi hunian putranya yang ternyata penuh dengan cetakan foto dirinya yang bertebaran. (memangnya jaman dulu bisa cetak foto buat pamflet?)
"Eh, Bunda, lihat deh, akhirnya Tooru nemuin cara supaya bisa tebar pesona ke Juliet-Julietku di luar sana…" putranya itu menepuk-nepuk tumpukkan foto-fotonya yang tampak dalam beberapa pose.
"Anak Bunda yang paling ganteng…"pangeran Tooru tersenyum ganteng mendengar sang ibu. "GAK USAH PAKE FOTO SEGERA SEBAR SAYEMBARANYA!" lanjut wanita yang sudah memasuki mode gaharnya itu.
"S-Siap Ibunda Ratu!"
Tooru milih ngalah aja deh buat ibu yang sudah marah.
=00=
Halaman istana sudah penuh sesak oleh ribuan orang yang menyambangi sayembara buatan sang ratu yang adil dan bijaksana. Suara-suara berisik; orang-orang yang bergosip tentang kutukan, gadis-gadis yang berteriak-teriak histeris melihat pangeran yang sudah kayak buronan (pakaian panjang, topi, cadar, sarung tangan, dan kacamata hitam), dan satu dua yang bergosip tentang lainnya.
Sang raja yang bijaksana berdehem untuk memecah keramaian di antara rakyatnya. "Terima kasih atas kedatangan kalian semua di sini," ujarnya ramah. "saya tidak menyangka akan sebanyak ini yang datang membantu pangeran kita."
"Uhm, yang bersedia membantu yang tiga di depan itu Yang mulia.." ralat penasihat kerajaannya yang brewokan.
Raja Daichi melongok melihat tiga makhluk tak kasat mata yang saling bertentangan sifat berdiri menatapnya penuh hormat.
"Kandidat pertama, Hinata Shouyo, penyihir." Ujar penasihatnya lagi. Penasihat bernama Asahi itu menunjuk seseorang yang sedari tadi berteriak sambil meloncat-loncat padanya.
"Yang mulia, hamba akan membuat cuaca menjadi mendung supaya pangeran tidak bertemu dengan matahari selamanya!" ujar pemuda yang lebih mirip bocah itu sambil meloncat semangat. Loncatannya menyamai tinggi pemuda berambut gelap di sebelahnya. Serius dia ini manusia atau peranakan kutu?
Perkataan penyihir Shouyo ini membuat raja Daichi tertarik. Raja itu tersenyum ramah. "Baiklah, nak Penyihir aku ingin lihat bagaimana caramu melindungi pangeran."
Shouyo bergidik semangat, jubah oranye-hitamnya berkibar-kibar saat tongkat sihir dengan misterius muncul di tangan kanannya. Dengan suara sedikit dikecilkan, ia mengucap mantra sihir,
"Wahai langit dan seluruh penghuninya, mereduplah sedikit menjadi mendung demi pangeran kita!"
Seketika selarik cahaya menembus langit cerah, membuatnya menggelap perlahan-lahan. Akhirnya langit menjadi mendung dan gelap sewarna beri hitam.
"Wuoh!" rakyat yang masih menonton berteriak takjub menyaksikan. Raja, Ratu, dan sang Pangeran sendiri ikut terkesima menyaksikan sihir Shouyo. Shouyo sendiri melipat tangannya seolah-olah menunjukkan 'aku ini hebat kan?'.
"Chibi-chan, terima kasih berkatmu aku bisa melepaskan semua benda ini!" Tooru berteriak dari balkon. Para gadis juga berteriak, menyaksikan secara keseluruhan pangeran mereka yang tampan tanpa korden dan cadar hitam.
"Terima kasih nak Penyihir! Kerajaan berhutang banyak padamu, Hinata Shouyo." Raja Daichi membungkuk hormat di balkon. Shouyo yang tambah senang semakin meningkatkan kekuatan loncatannya hingga hampir menyentuh balkon tempat sang raja berdiri. Sementara kedua orang kandidat yang ikut berpartisipasi dalam sayembara ratu hanya mendengus kesal.
Sang pangeran sudah memulai sesi jumpa fansnya yang selama sepuluh tahun kekurangan asupan karena sang pangeran memang selalu di rumah. (Awalnya sih karena takut kena amuk ibundanya yang kalau marah seisi istana serasa mendapat topan, tapi akhirnya Tooru takut juga kudisan. Kalau kudisan, cakep dia kurang dong? Begitu pikirnya.)
Belum ada lima menit sesi pidato dan bagi-bagi snack buat acara syukuran, Takahiro dan Issei, yang pangkatnya pengawal pribadi pangeran datang dengan tergopoh-gopoh menghadap sang baginda raja.
"B-baginda.." Takahiro si rambut entah pink atau cokelat itu tersengal. "rakyat protes, rakyat minta dikembalikan cuaca cerah.. tanaman mereka tidak bisa tumbuh kalau mendung" lanjutnya.
"Makki, no! sekarang aku sudah bisa keluar, seharusnya kamu senang dong gak perlu gendong tandu kalau aku mau keluar…" Tooru cemberut melipat kedua tangannya.
Takahiro hanya bisa manyun mengingat betapa nelangsa dirinya yang harus menggendong tandu berisi korden tebal yang beratnya mantab jiwa ditambah pangerannya yang semakin hari semakin bertambah berat.
"Makki, kamu mau bilang aku gendut?!" Takahiro mengelus dada sekaligus syok. Pangerannya dikit-dikit instingnya tajam juga. Padahal dia ngedumel dalam hati lho, serius.
"Wah, bagaimana ini? Sepertinya kamu memang harus dipingit deh, sampai akhirnya nanti ada pangeran yang mau ngelamar kamu.." ratu Koushi mulai ngawur. Konon katanya beliau ini ingin anak perempuan sebenarnya, tetapi apa daya, kromosom XX miliknya tak mampu mengalahkan kromosom XY Daichi yang super badass.
"Bunda jangan ngelindur plis."
"Anoo.."
"Bagaimana nak Penyihir? Apa kau ada solusi lain?" raja Daichi kembali berdehem.
"Permisi… baginda..?"
"E-eh.. anu, ah, apa ya..?" yang ditanya juga bingung sendiri.
"BAGINDA"
Sang raja menoleh kepada si sumber suara yang mulai gondok. Shouyo juga, pangeran juga, ratu juga, dan semua rakyat menoleh kepadanya. Siapa? Dia kandidat yang kedua, seorang penari pengembara yang iseng-iseng taruhan dengan kekasihnya yang berisik untuk ikut sayembara 'untung-untung berhadiah'.
(Dan ternyata pasangannya matre)
"Itu, Akaashi Keiji baginda.. seorang.. penari selendang." Penasihat Asahi berkata pelan dan terputus-putus. Nahan ketawa.
"Tuan Keiji, ya? Apa yang bisa kau lakukan demi melindungi pangeran?"
"Saya akan tunjukkan kalau baginda mengembalikan mataharinya." Keiji berkata kalem. Tapi membuat Tooru manyun lima senti. Terpaksa ia kembali ke dalam pakai baju panjang dan cadar dibantu Takahiro dan Issei yang masih dimusuhi Tooru karena menyebutnya gendut.
Padahal Issei kan nggak ikutan tapi dimusuhi, how cruel.
Padahal Takahiro kan ngomongnya dalam hati, how cruel(2).
"Baiklah. Nak Penyihir, tolong kembalikan cuacanya jadi cerah lagi.."
Shouyo hanya mengangguk menuruti perintah tanpa semangat yang berkobar-kobar seperti sebelumnya. Rupanya ia merasa bersalah karena tidak bisa menolong pangerannya. (Ternyata diketahui dia juga salah satu fans kecilnya pangeran, bersama temannya yang berambut mangkok muka jutek).
"Nah, saya akan menunjukkan tarian saya." Keiji mengeluarkan selendangnya yang berwarna gelap. Dengan luwes, dia meliuk-liuk menari dengan ketukan yang dihasilkan dari kakinya dengan tanah paving. Selendangnya berkibar-kibar, menghipnotis seluruh rakyat dan penghuni istana. (dan apa cuma Tooru yang sadar selendangnya tambah panjang? Damn.)
Selendang yang perlahan memanjang secara misterius itu naik mengambang menuju langit dan segera membungkus matahari yang bersinar terik. Tidak seperti Shouyo tadi yang membuat mendung, Keiji hanya membuat matahari tidak bersinar terik dan tidak terasa panas.
Pangeran membuka bajunya season 2. Para gadis menjerit season 2. Dan ternyata efeknya ampuh mengatasi gatal-gatal yang muncul. Tooru tersenyum lega mendapati pantatnya tidak gatal lagi. Keiji tersenyum bangga sambil mengepak selendangnya yang lain. Sekali lagi raja Daichi membungkuk hormat untuk kandidat.
"Ayahanda, dia aja yang dikasih hadiah sayembaranya. Liat deh, walaupun mataharinya masih ada, aku nggak gatel-gatel lagi!" Tooru mencelos dengan semangat. Saking semangatnya dia nggak sadar ayahnya sendiri kena sasaran guncangan super oleh tangannya sendiri.
Sang raja yang mabuk guncangan hampir muntah di tempat. Tetapi berkat sang istri yang perhatian, langsung nabok Tooru yang over act, sang raja langsung kembali ke bentuk bijaksananya.
"Baiklah, sepertinya kau yang berhasil menyelesaikan masalah ini tanpa membuat masalah lain. Jadi-"
Lagi-lagi ada yang mengganggu dengan mengguncang-guncang sang raja lagi.
"Tooru lepasin ayah!"
"Aku di sini kok.." sang pangeran melambai ganteng dari sudut balkon.
Terus siapa yang dengan mistik mengguncang sang raja?
"Baginda! Baginda!" Issei mengguncang-guncang raga sang baginda. Dia mau cari mati rupanya.
Tapi raja Daichi kan bijaksana, adil, dan merakyat, jadi kejadian ini cukup disimpan di dalam hati saja. Dia maafkan Issei kok. Tapi, ya habis selesai Issei harus cium tembok penjara, ya.
"Baginda, ada rombongan ibu-ibu protes.."
Sang raja sweatdropped. "Lalu..?"
"Raja, jangan berikan hadiah sayembaranya untuk penari ini!" dari bawah, benar kata Issei, serombongan ibu-ibu yang saling gandeng anak, menyeruak masuk tidak peduli dengan orang yang mereka tabrak ataupun yang mereka injak. Kelakukan ibu-ibu dari jaman megalitik sampai metropolit memang tidak berubah, ckckck.
"Sebenarnya ada apa? Mohon dijelaskan dahulu.."
"Hah semua laki-laki sama saja! Semua minta dijelaskan, padahal semua sudah jelas di depan mata." Semua perempuan jaman manapun sama saja, berbelit-belit mengutarakan perasaan. Ingin dimengerti. Sang raja sweatdropped season 2.
"Baginda, mereka protes karena langitnya labil. Mereka tidak bisa mengajari anak mereka kapan siang kapan malam."
Udah, cuma gitu doang? Terus demo ramai-ramai? Sang raja bertekad sehabis ini akan membuat buku berisi hal-hal yang laki-laki ketahui tentang perempuan. Dan isinya kosong empat ratus halaman.
"Ahaha.." raja Daichi tertawa garing, "Baik, baiklah, kupertimbangkan usul para ibu sekalian. Tetapi apa benar hanya itu permasalahannya?"
"Hanya itu?" duh, apakah the power of ibu-ibu itu dari dulu sudah sekuat ini? Kok rasanya di sini sang raja berubah jadi babu?
"Asahi, bagaimana ini?" sang raja frustasi. Para ibu yang di bawah menatapinya tajam, istrinya juga ikut-ikutan pula.
"Semakin kita menolak, kemungkinan mereka semakin marah baginda. Yang mulia ratu juga ikut terpengaruh, jadi sebaiknya kita penuhi saja usul mereka.." kata penasihatnya itu yang juga pucat dipelototi.
"B-baiklah! Para ibu sekalian, usul kalian semua saya terima.." mau tidak mau sang raja mengalah karena istrinya juga telah membisikinya dengan mantra sadis sejak tadi. Mungkin ini adalah salah satu dari kelemahan seorang raja. Takut pada istrinya.
Sang raja segera menatap pemuda bernama Akaashi Keiji yang tengah melipir cantik keluar dari keramaian demonstran. "Tuan Keiji, tolong tarik kembali selendangmu dari mataharinya.."
"Saya tetap dapat hadiahnya?" tanya Keiji polos.
"Tentu saja tidak."
Keiji dengan manyun, segera menarik selendangnya yang menyelimuti matahari. Hal serupa dilakukan oleh sang pangeran yang manyun misuh-misuh karena mataharinya dikembalikan lagi. Sang raja mulai lelah, ia tidak peduli lagi pada satu peserta yang berdiri melambai-lambai minta dinotis.
"Tooru, udah ya kamu dipingit aja.." kata sang raja yang mulai nggak waras.
"Yah, aku ini kan cowok!" Tooru manyun untuk yang entah berapa kali dia manyun hari ini. Keriputan gara-gara manyun mampus kau.
"Baginda! Baginda!" plis notis plis! Lanjut si kandidat ketiga kepada sang raja yang masih adu argumen dengan anaknya yang ngeyel.
"Baginda ada satu kandidat lagi." Asahi mengingatkan.
"Oh, ya, kamu bisa apa nak..?" tanya raja malas. Bau-baunya beliau mulai ingin tiduran ndlosor sambil minum smoothie ditemani istri tercinta.
"Anu, saya ini Iwaizumi Hajime, baginda." Jawab si kandidat ketiga dengan sopan.
"Eh, Iwa-chan?!" Tooru langsung teriak-teriak histeris melihat kawan lamanya itu yang menjadi kandidat sayembara untuk dirinya. Terharu sih, soalnya Tooru tahu Hajime itu tsundere, nggak pernah mau jujur kalau dia itu sebenernya sayang. Ya ampun, Tooru jadi ingat masa-masa di mana mereka cuma berdua sambil ditemani bola mainan yang selalu Hajime lempar ke kepalanya. Indah bukan?
"Iwa-chan ikut sayembara buat aku? Ya ampunn.." Hajime memandang najis pangeran pesolek yang berdiri di atas balkon itu.
"Baginda, saya datang bukannya ingin menjauhkan matahari dari pangeran," Hajime mengacuhkan sang pangeran yang lagi-lagi manyun mendengarnya."tetapi saya datang malahan untuk meminta persetujuan baginda raja.."
"Ya ya, persetujuan untuk..?" tuh kan, sang raja mulai memasuki mode pengen dielus istri.
"Yang mengutuk pangeran itu, penyihir dari hutan keramat Shiratorizawa, yakni penyihir Ushiwaka. Bukan begitu baginda?" sang raja mengangguk singkat.
"Mohon berikan saya pasukan untuk menyerang penyihir Ushiwaka itu, baginda!"
.
.
Bersambung…
=00=
A/N:
Lagi-lagi saia kumat, fanfik sebelah belum kelar udah nambah fanfik lagi. Cerbung lagi. Sudah begitu niat hati mau oneshoot, nyatanya bablas jadi chapteran. /gantungdiri
Ini ambil scene awalnya Maleficent, ada yang tau? Yang putri Aurora dikutuk sama Maleficent bahwa dia akan mati, eh tidur. Dan kujadikan Tooru Auroranya dan Ushiwaka Maleficentnya, haha. Tapi bukan kutukan tidur, melainkan kudis, haha(2). Entah kenapa saia suka nyampah kalau ada IwaOiUshi, haha(3). /cukup
Kalau begitu, terima kasih sudah berkenan membaca! Sampai ketemu di chapter depan!
Salam, Usagi.
