"Kaito-kun, ini kertas apa?"

Sang pemuda lantas tersentak mendengar suara itu. Shion Kaito menoleh perlahan pada sang ibu.

"... Ibu tadi ke kamarku?" Pertanyaan yang salah. Kaito pikir seharusnya dia bilang bahwa itu adalah kertas coretan. Tapi sebagai anak yang baik dan jujur, Kaito sama sekali tidak bisa melakukannya.

Dan diamnya sang ibu adalah pertanda buruk bagi Kaito.

Benar saja. Keesokan harinya, dia disuruh ikut les bimbel. Tidak. Dia dipaksa ikut.

"TIDAAAAAAAAKKKKKKKK!"

Kaito tiba-tiba mendengar suara panci berjatuhan dari luar kamar. Oh, itu pasti gara-gara dia menjerit malam-malam begini.

.

.

Gue Bukan Humu! 3 : Si Es Krim Ulang Tahun

Semua karakter VOCALOID yang ada di sini merupakan hak cipta milik Yamaha Coorporation beserta perusahaan lainnya.

WARNING : Lemon nanggung (lagi). Disarankan untuk membaca GBH dan GBH 2 biar gak bingung. Sedikit bahasa meme dan beneran, bahasanya agak aneh. For KAITO's Birthday. SEMI-NTR ALERT.

/Blablabla/ = Pesan teks.

.

.

happy reading.

.

.

13 Februari.

/Len, kau harus tahu bahwa aku dipaksa ikut les bimbel gara-gara nilai IPS-ku ketahuan jeblok :v/

Masih di hari yang sama, Kaito memutuskan untuk mengungkapkan kegalauannya melalui BBM pada Kagamine Len, kawan sejawatnya, ketimbang pada sang pacar, Kamui Gakupo. Pacar? Ya, mereka masih pacaran kok. Meskipun kabar mereka lama gak kedengaran gara-gara author kelamaan hiatus.

Tidak lama setelah pesannya di-read, Kaito langsung mendapat balasan dari Len.

/OH TRUS/

/Jadi aku gak bisa datang di gath* minggu ini :v/

Kaito rasanya mau nangis aja. Apa-apaan ini, memangnya dia Siti Nurbaya apa? Jadi dipaksa-paksa?

Tunggu. Kaito bukan mau nikah, tolong.

/HAHAHAHAHA Kasian deh lu :P/

/Kamvret :v/

/Haha, oke, nanti aku bilang sama ketua kalo kau dipaksa nikah sama seseorang/

/HEH/

/Eh, bercanda. Hehehe, aku bakal bilang kau dipaksa ikut les =))/

Kalau Len sedang ada di hadapannya, mungkin Kaito akan menabok cowok ini.

/Yaudah/

Seusainya, Kaito pun melempar telepon genggamnya di atas tempat tidur dan ikut berbaring di sampingnya. Dia pun menghela napas, lalu berbalik menghadap telepon genggam miliknya.

"Kenapa ini harus terjadi padaku...," bisik Kaito lanjut galau. "Aku malas banget, beneran."

Dia meraih telepon genggam sekali lagi, untuk melihat kalender. Oh, inilah yang dinamakan revolusi zaman. Dia tidak lagi harus bangun untuk sekedar melihat kalender yang tertempel di dinding karena pada dasarnya kalender tersebut hanya ada di ruang tengah.

"Besok tanggal 14 Februari... Valentine?" Kaito tiba-tiba terdiam. Dia teringat akan satu hal. "Coklat ya? Haruskah aku memberinya coklat?"

Tapi besok dia harus ikut les bimbel atau apapun yang diberitahukan ibunya tadi siang kalau dia tidak ingin kena damprat. Baiklah, demi berbakti kepada orang tua, Kaito harus merelakan hari yang katanya spesial bagi orang-orang itu.

"Aku harap Gakupo gak tersinggung."

Mematikan telepon genggam yang akhirnya diletakkan di atas meja bupet seberang tempat tidurnya, Kaito lantas bangun untuk mematikan lampu, lalu membaringkan dirinya kembali di atas tempat tidur dan terlelap.

.

.

14 Februari.

/Oh, gak apa-apa. Valentine itu cuma sekedar nama hari. Kalau aku mau sayang-sayangan sama kamu juga bisa di lain hari kok 3/

Kaito tiba-tiba eneg membaca pesan BBM yang dia terima setelah dia meminta maaf bahwa dia akan sibuk hari ini. Dan apa-apaan emot itu?

"Ya Tuhan, kenapa aku bisa bertahan dengan orang ini."

Lalu Kaito mengangkat tas ransel miliknya. Memanggulnya dan berjalan menuju pintu—hendak keluar rumah.

"Aku berangkat," serunya pelan, tangan sudah berada di kenop pintu. Tanpa menunggu jawaban dari siapapun yang ada di dalam rumah, Kaito keluar dan menutup pintu. Dia berjalan dengan langkah yang santai sementara kakinya yang mengenakan sepatu boots itu bergesekan dengan salju yang masih tersisa di pinggir jalan raya.

Ya, ini masih musim salju. Musim semi di awal Maret memang sudah terbilang sebentar lagi, tapi salju masih menghiasi jalan. Kaito tidak ambil pusing karena pada dasarnya dia menyenangi es.

Dia memutuskan untuk hanya berjalan kaki karena tempat tujuannya dekat dengan rumahnya. Dan tempat tujuannya itu adalah perpustakaan.

Apa? Perpustakaan? Sejak kapan Kaito jadi pinter?

"Kaito? Mau ke mana?"

Kaito tersentak. Dia kenal suara ini.

Menolehkan kepalanya, dia tidak langsung menjawab, "Oh, hai. Gakupo."

"Kamu mau ke mana? Mau kutemani?" Rupanya Kaito berpapasan dengan Gakupo yang datang dari arah berlawanan dengannya. Tapi anehnya, Kaito sama sekali tidak menyadari kedatangan Gakupo tadi. Entahlah.

"Uhm. A-aku sibuk. Maaf, aku tidak bisa menemanimu."

"Kenapa? Oh, iya. Tadi di BBM kau bilang kau sibuk," ucap Gakupo. "Aku paham sih tapi—kau mau ke mana?"

Kaito awalnya ragu untuk menjawab, tapi dia berpikir untuk apa dia menyembunyikannya? "Aku mau ke perpustakaan kota."

"Perpus?" Gakupo mengulang dengan alis terangkat. Jelas sekali bahwa dia takjub sekaligus tidak percaya bahwa Kaito sang otaku ternyata juga bisa BELAJAR.

Itu juga kalau bukan buat meminjam komik atau novel.

"S-sudah ya. Aku pergi dulu." Kaito segera meninggalkan Gakupo yang ternganga.

Dia berjalan sebentar sampai akhirnya dia sadar kalau ternyata Gakupo diam-diam mengikutinya dari tadi.

"Apa... kenapa kau mengikutiku, Gakupo?" tanya Kaito bingung.

"Kau mau ngapain di perpus?" Gakupo malah balik bertanya. Sekilas, Kaito terlihat terkejut.

"H-hah? A-aku mau mengerjakan PR." Lalu mata Kaito melebar. Dia menggeleng dan menunduk. "T-tidak, aku lagi mencari referensi."

"Minjam komik?"

"Hah—Ah, iya! Aku mau minjam komik!" Kaito tiba-tiba berseru, tapi kelihatan banget bohongnya.

"... Kaito, kau harus tahu bahwa kau ini sangat tidak berbakat dalam berbohong pada orang lain. Apalagi padaku." Gakupo pun menghela napas.

"Y-yang pasti aku gak mau tidur di sana." Kaito mulai berjalan lagi. "Maaf. Tapi aku beneran sibuk. Sampai nanti."

Sekali lagi Gakupo hanya menganga saat Kaito berjalan meninggalkannya. Tapi kali ini dia tidak mengejar—dia berpikir kalau dia membuntuti Kaito sekarang, itu hanya akan membuatnya terkesan kekanakkan atau malah dianggap terlalu posesif.

Dia tidak mau menjadi pacar yang seperti itu. Dia ingin memberikan kebebasan pada Kaito. Yah, Gakupo memang harus belajar mempercayai Kaito. Dia harus percaya bahwa Kaito tidak mungkin "pindah hati" ke orang lain.

Setidaknya dia mencoba menanamkan pikiran itu di dalam benaknya.

"Tapi aku khawatir juga—dia itu orangnya terlalu polos. Semoga saja dia bakal baik-baik aja."

Ciee, Gakupo cemas sama Kaito. Cieee...

.

.

Kaito sudah duduk di sini selama satu jam.

Tapi tidak ada sama sekali tanda-tanda di mana guru lesnya itu berada.

Didengar dari ucapan ibunya tadi pagi, ternyata ibu dan ayahnya memutuskan untuk memanggil guru privat ketimbang membiarkan Kaito berbaur dengan 20 orang di dalam sebuah kelas bimbel karena dianggap pelajaran yang diterima akan lebih efisien meskipun harus mengeluarkan biaya yang lebih besar.

Kaito juga mendengar bahwa guru privatnya itu adalah cowok dan umurnya kira-kira tidak jauh berbeda dengan cowok berambut biru itu. Kaito bertanya orangnya seperti apa, tapi mereka cuma bilang bahwa Kaito pasti bisa menemukannya di perpustakaan.

Yee, emangnya Kaito paranormal apa!

/Bu, orangnya mana? Kok gak ada dari tadi?/

Kaito memutuskan untuk mengirim SMS pada ibunya. Siapa tahu ada clue lainnya yang terlewatkan olehnya.

/Tadi Ibu SMS, katanya dia duduk di pojok. Coba kamu cari./

Kaito pun memutar matanya. Kenapa dia jadi disuruh mencari lagi sih? Dan kenapa harus pojok? Emangnya orang tuanya memanggil guru privat hantu?

Daripada membuang-buang waktu, Kaito berdiri dan berjalan untuk mencari guru privatnya yang misterius ini. Ternyata tidak sulit menemukannya.

Tapi sebenarnya Kaito tidak yakin.

Persis di pojok perpustakaan yang tidak jauh dari pintu utama, dia mendapati seorang cowok berambut perak yang mengenakan setelan kasual dengan jaket tebal abu-abu yang semua kancingnya terbuka, menampakkan kaos biru di baliknya. Kepalanya sedikit bergoyang mengikuti alunan lagu yang terdengar dari headphone. Kacamata hitam terpaut di antara hidung.

Kaito mengerutkan dahi.

"Oh, hei. Kau yang namanya Shion Kaito?"

Tanpa Kaito yang bertanya lebih dulu, ternyata orang itu mendongak dan berinisiatif bertanya padanya sambil mengangkat kacamata hitamnya sehingga dia bisa melihat matanya yang beriris emas. Kaito bingung apakah dia bisa membaca buku novel di depannya sambil memakai kacamata hitam begitu.

"Kau...," desis Kaito menyipitkan matanya. Orang itu malah tertawa mendengar ketidakpercayaan yang tergambar jelas dalam suara Kaito.

"Aku yakin kau pasti gak percaya. Aku adalah guru privat yang dipanggil orang tuamu." Orang itu menyelipkan bookmark di sela lembaran novel, meletakkan kacamata hitamnya di atas meja, dan berdiri menghadap Kaito. Tapi tanpa melepas headphone. "Kenalkan. Namaku Dex Raleighski. Salam kenal!"

Kaito bingung memperhatikan tangan kanan yang cowok itu ulurkan, mengajak salaman. Orang ini jelas bukan orang Jepang. Logat bicaranya juga terkesan agak "berbelit". Jadi demi menghormatinya, Kaito membalas uluran tangan itu. "Shion Kaito. Salam kenal."

"Oke. Hari ini kita belajar di sini aja ya." Dex Raleighski duduk lagi setelah melepas salaman tangan mereka dan mulai membuka ranselnya. Kaito sendiri duduk di bangku hadapan cowok itu dan masih menatap Dex dengan bingung.

Kaito bingung apakah dia harus pakai bahasa formal pada Dex. Pasalnya dia akan terdengar sangat aneh kalau misalkan ngomong pakai "saya" sama orang yang berpenampilan anak muda seperti dia.

Tapi sudahlah. Bagaimana pun penampilannya, cowok di depannya ini adalah guru privatnya.

"Ano. Saya harus panggil apa?"

Kaito merasa lidahnya tiba-tiba pahit. Beneran, ini semua aneh. Aneh banget!

"Hum?" Dex menoleh dan menatap Kaito. "Oh. Sebenarnya aku mau kita ini berbincang kasual aja, soalnya perbandingan umur kita pasti gak jauh. Tapi karena aku ada di sini sebagai guru privatmu, jadi... uhm, panggilan guru dalam bahasa Jepang itu sensei ya, jadi panggil aku Dex-sensei aja!"

Tuh, lebih aneh lagi.

Sambil mengangkat sebuah buku dari dalam tas yang membuat Kaito tiba-tiba berfirasat buruk, Dex tertawa. "Hahaha, namaku jadi terdengar aneh."

"Err, baiklah. Dex-sensei," ucap Kaito dengan suara gak yakin. Yah, Kaito sendiri juga merasa aneh ketika memanggil Dex seperti itu. Jangankan Kaito, author dan readers pasti merasa aneh juga.

"Trus aku berpikir kalau Raleighski-sensei, aku takut kau susah mengucapkannya," lanjut Dex berhenti tertawa dan menyisakan senyuman. "Hei, kau kelas 2 SMA?"

"Iya."

Dex hanya mengangguk-angguk sambil membuka buku yang diambilnya tadi dengan asal. Dan sekali lagi, tanpa melepas headphone dari kepalanya.

Kaito memutuskan untuk mencairkan suasana dengan menanyakan perihal itu. "Sensei, apa sensei bisa konsentrasi sambil mendengarkan lagu begitu?"

"Mendengarkan lagu? Sebenarnya ini hanya hiasan kok. Aku gak selalu memakainya untuk mendengarkan lagu." Lalu Dex tertawa. "Oke, Shion. Kau bawa buku tulis, 'kan? Soalnya setelah ini ada latihan soal."

"Oh, bawa, bawa."

.

.

Kaito menggigil panas-dingin gara-gara di musim salju begini, dia harus belajar PKN! Pelajaran teori blas!

"Shion, kau gak apa-apa?" Dex bertanya pada Kaito yang ekspresinya "buram".

"Saya... lapar," ucap Kaito lirih. Ya, kebanyakan konsentrasi memang bisa bikin lapar.

"Oh, maafkan aku. Ibumu bercerita bahwa beliau menemukan nilai IPS-mu jatuh, tapi beliau bilang aku harus mengajarimu semua pelajaran. Yah, aku bilang ini supaya kau gak salah paham."

"..."

"Tapi tenang aja. Kita cuma ketemu tiga kali seminggu kok. Err, sebenarnya karena ini masih liburan, orang tuamu minta setiap hari sih."

"..."

"Hei, bagaimana kalau kita mampir makan sebentar? Ada restoran yang makanannya enak di dekat sini loh." Setelah jeda, Dex melanjutkan lagi, "Dan untuk salam perkenalan, aku traktir deh."

"... beneran?"

"Iya!" Lalu Dex bisa melihat adanya sinar terbesit di dalam beningnya mata Kaito. Ya, cowok itu terlihat senang. "Ayo, kita ke sana."

Dari sini, Dex bisa mendeskripsikan, bahwa Kaito termasuk orang yang senang dengan hal yang gratis.

Sesampainya di restoran cepat saji yang dimaksud, mereka duduk di salah satu meja yang berada di samping jendela. Kaito duduk menunggu di meja, sedangkan Dex memesankan makanan mereka.

Kaito pun terdiam sambil memperhatikan pemandangan di luar jendela. Para pejalan kaki berjalan lalu-lalang di trotoar, meskipun cuaca sedang dingin sekalipun.

Dia berpikir, kenapa bisa-bisanya dia harus berurusan dengan orang aneh yang merupakan guru privatnya itu. Dia tidak pernah terpikir untuk ikut les segala karena menurutnya itu lebay.

Yee, sok pinter banget lu, Cuk!

"Shion?"

Suara Dex menyadarkannya. Kaito menoleh untuk mendapati Dex sudah kembali dengan tangan membawa nampan makanan. Lalu cowok bermata emas itu duduk, memindahkan makanan mereka ke atas meja, dan menaruh nampan di atas kursi sebelahnya.

"Shion, kau suka sop kacang merah ya?" tanya Dex basa-basi ketika mereka sudah mulai makan. Dia sendiri hanya pesan kentang goreng dan ice cappucino.

"Uhm, saya cuma lagi mau makan sop kacang merah aja."

"Trus, cuaca lagi dingin gini ngapain makan es krim juga? Meskipun ada teh hangat juga sih."

"Lah, sensei sendiri minum ice cappucino?" Kaito balik tanya dengan heran. Tapi akhirnya sebuah senyuman lebar tersungging di wajah Kaito. "Dan memang suka es krim."

Dex sempat terdiam sebentar melihat cowok itu, sebelum bertanya lagi, "Sukanya rasa apa?"

"Apa aja suka sih," jawab Kaito kemudian terdiam karena berpikir. "Tapi mungkin paling suka vanila."

"Oh, vanila ya," gumam Dex meminum minumannya.

Dan karena Kaito bingung juga mau jawab apa, jadi dia cuma mengangguk. Sembari meminum teh hangatnya, dia mengedarkan pandangan ke sekeliling. Dan dia langsung sweatdrop.

Banyak orang pacaran di sini! Cowok-cewek gitu!

Oh, Kaito tiba-tiba teringat. Ini hari Valentine.

"Wah, banyak pasangan di sini ya," Dex bergumam pelan dengan suara polos. Dia meminum ice cappucino-nya, lalu menyenderkan punggungnya di senderan kursi. "Oh iya, maaf ya kalau kau malah harus les hari ini. Mungkin kau sudah punya janji dengan pacarmu sebelumnya."

Jantung Kaito pun mencelos. Ups, Dex mulai ngomong tentang pacar. Topik yang sebenarnya sangat sensitif bagi Kaito. Dia harus berhati-hati di sini.

"D-dia gak keberatan kok, jadi sensei gak usah minta maaf." Kaito berusaha agar suaranya tidak terdengar aneh saat menjawabnya. Dan untunglah, mungkin Dex tidak menangkap adanya kejanggalan. Terbukti dari ekspresi wajahnya yang tidak berubah dari tadi.

Tapi, hei. Dia baru kenal Dex hari ini. Dia belum tahu bagaimana Dex yang sebenarnya. Jadi dia tidak bisa menilai cowok yang tinggi badannya tidak jauh darinya itu dengan sembarangan. Siapa tahu Dex adalah orang yang bisa menyembunyikan ekspresinya yang sebenarnya?

"Oh, hahaha. Pacarmu itu orangnya sabar ya."

"Uhm, gak juga. Kadang-kadang kami bisa berantem cuma gara-gara masalah sepele." Kaito pun gelisah. Dia takut kalau Dex akan bertanya lebih jauh lagi. Jadi dia berusaha untuk mengalihkan topik pembicaraan. "Uhm, ruangannya dingin banget ya."

PINTAR.

"Iyalah. Kan ada AC di sini."

Usaha pengalihan pembicaraan oleh Kaito; GAGAL TOTAL.

Kaito mengkeret di tempat duduknya, sebelum dia mendengar Dex kembali membahas topik tadi. "Tapi sebenarnya aku juga berpikir, apa orang sepolos kau ini benar-benar bisa punya pacar?"

JLEB.

Itu pertanyaan yang sangat sangat kamvret! Dex berani meremehkan pesona memikat milik seorang Shion Kaito!

"Buktinya, saya punya pacar kok."

"Uhm, iya ya." Dex memangku dagu. Dia menaruh gelas minumannya, dan menatap lurus pada Kaito. Entah apa ini hanya perasaan Kaito saja, atau Dex memang terlihat tertarik padanya? "Aku penasaran pacarmu itu kaya apa."

O-ow.

Kaito harus menjawab secepat dan selogis mungkin tanpa harus menyebutkan spesifikasi dari diri Gakupo!

"Dia orangnya pemalu dan jarang keluar rumah jadi kami juga sebenarnya jarang jalan-jalan."

Dalam hati, Kaito merasa geli. Bayangkan Gakupo mendadak jadi orang yang pemalu, gimana ceritanya!

"Oh, gitu. Sayang ya." Dex mengalihkan tatapannya pada meja kasir yang terlihat dari tempat duduk mereka. "Tapi justru bagus juga kalau cewek begitu. Gak suka keluyuran dan lebih senang di rumah."

"Iya..."

Setelahnya, Dex tidak bertanya apa-apa lagi. Matanya masih terus memperhatikan Kaito, tapi dia tidak bicara apapun. Mulai dari titik ini, Kaito merasa sangat lega.

Setidaknya dia tidak harus membeberkan hubungan nistanya dengan Gakupo pada orang asing seperti Dex. Sebuah keajaiban bagi Kaito yang selama ini terkenal polos dan gak pintar bohong!

Ayolah. Apa yang akan dipikirkan oleh seorang cowok normal ketika mengetahui bahwa cowok yang baru saja dia kenal ternyata adalah seorang homo?

.

.

* gath : (gathering) Istilah buat "nongkrong" atau "ngumpul bareng".

17022016. GBH3 : SEKUT1. YV