Shion Kaito; siswa yang baru saja duduk di kelas 11 itu menyeka keringat di dahinya. Rambut birunya yang basah kuyup tampak berkilauan diterpa sinar matahari. Tentu saja basah kuyup, karena hampir setengah jam dia berdiri di lapangan bersama teman-teman seperjuangannya. Terlambat datang di pagi hari memang sebuah kutukan, apa lagi setelah ditetapkannya peraturan ketat oleh ketua OSIS tahun sebelumnya yang dilanjutkan oleh ketua OSIS baru.
Entahlah, sekalipun masa jabat Kamui Gakupo telah usai dan digantikan oleh teman seangkatan Kaito sendiri; Sakine Meiko, Kaito tetap saja tidak suka pada pemuda berambut ungu itu. Rasanya dia terlalu tegas dan membawa banyak aturan tak masuk akal, yang sialnya justru disetujui oleh para guru. Bahkan setelah tidak aktif pun, kakak tingkatnya yang kini sudah kelas 12 itu masih sering memantau kinerja penerusnya.
Tiba-tiba seseorang yang Kaito khayalkan datang. Entah sejak kapan, namun kini pemuda berambut ungu itu berjalan ke arahnya. Nafasnya tertahan saat sepasang iris biru itu menatap lurus padanya.
.
.
.
Disclaimer: semua karakter Vocaloid adalah milik Yamaha Corporation dan perusahaan lainnya.
.
Warning! Shounen-ai, Yaoi, dan sejenisnya, main pair (Gakupo/Kaito), ambigu, bahasa tidak baku dan tidak lulus EYD, typo(s), alur gaje, dll. Rate T for safe.
Jika ada kesamaan ide, mohon maaf itu hanya kebetulan ^^
.
.
A tale of Nasu and Aisu © Kayone Fiio.
.
.
.
Di sebuah kamar bernuansa kuning, Kaito dan teman sejatinya Kagamine Len tengah membolak balik lembar buku PR. Ya, itu adalah kamar Len, dan mereka berdua sedang mengerjakan tugas bersama. Maklum lah, Kaito yang tidak terlalu pintar biasanya harus meminta bantuan teman sebangkunya itu demi kelangsungan hidup dan nilai-nilainya. Beruntung Len adalah anak yang baik hati dan tidak sombong, jadi tidak sulit untuk meminta bantuannya.
Tapi untuk kali ini? Batin Kaito ragu.
"Oy! Kau kenapa, Kaito-san? Mikirin sesuatu ya?" Tanya pemuda berambut kuning yang terlihat imut imut itu. Sejak di sekolah tadi dia memang merasakan ada yang aneh pada diri Kaito. Biasanya sih pemuda biru itu ceria dan hyperaktif, tapi belakangan ini dia jadi pendiam.
"Hah, apa? Ngg.. Gak apa-apa kok, Len." Jawab Kaito gugup.
"Masa? Dari tadi juga kau kelihatan BT. Mau cerita?" Tanya Len lagi.
Kaito tidak menjawab, hanya menggeleng sambil mengemasi buku-bukunya.
Mengerti akan keadaan temannya yang tak kunjung membaik, Len pun mencoba mengalihkan topik. "Oh ya, haus nih. Kau mau minum apa?"
Kaito yang masih cemberut mendadak tersenyum sumringah. "Es krim es krim!"
Len tertawa kecil. Sebenarnya dia sudah bisa menebak permintaan temannya itu, tapi dia tetap bertanya, siapa tahu Kaito kini lebih memilih jus pisang daripada es krim. Lupakan!
Pemuda kuning itu pun beranjak dan keluar dari kamarnya, lalu tak lama berselang, dia kembali dengan segelas jus pisang dan semangkuk es krim matcha.
Tak tahan akan godaan makanan manis itu, Kaito segera menyendok es krim di depannya, lalu melahapnya dengan tergesa. Seketika wajah kusutnya berubah menjadi ceria.
"Oh jadi kau BT hanya gara-gara kekurangan asupan es krim?" Celetuk Len usai menyesap minumannya.
"Bukan sih." Jawab Kaito tanpa benar-benar menghentikan aktivitasnya.
"Terus apa?"
Kaito menggaruk pelipisnya. "Ano. Aku mau minta bantuanmu, Len. Tapi- tapi, aku gak begitu yakin kau mau bantu."
Kedua mata Len melebar dengan alis yang ikut terangkat. "Bantu apa memangnya?"
"Bantu ngasih pelajaran sama seseorang."
Len mengernyitkan dahi. "Maksudnya? Terus seseorang siapa? Yang jelas dong, aku kan gak ngerti."
Kaito menghela nafas. "Uhm, kau bisa kan minta nomor HP Kamui Gakupo dari kakakmu?"
Len yang masih kebingungan hanya mengangguk. Tentu saja bisa, karena kakak kembarnya, Kagamine Rin adalah pengurus OSIS. Merupakan hal yang wajib bagi mereka untuk memiliki kontak sesama anggota bahkan senior.
Kaito menyeringai. "Baguslah. Aku cuma minta tolong itu aja kok."
"Uhm, jadi kau benar-benar mau ngerjain dia?" Tanya Len sedikit cemas.
"Iya." Jawab Kaito mantap. "Kau tahu kan dari dulu aku gak suka sama dia? Lagi pula kau kan tahu aku punya rencana semacam ini dari dulu, tapi belum pernah terwujud?" Lanjutnya sambil memainkan sendok.
Len mengangguk. "Tahu sih. Tapi aku fikir kau sudah melupakan semua kejadian itu. Uhm, maksudku soal Gumi-san yang-"
Belum selesai Len bicara, Kaito tiba-tiba tersedak es krim.
"Ehh, kenapa?" Len segera menepuk-nepuk punggung temannya dengan penuh rasa iba.
"Uhuk uhuk. Bukan masalah itu, baka!" Bentak Kaito. "Aku tidak suka karena dia sok berkuasa di sekolah! Sekarang pun dia masih sering hukum orang, kan?"
Len menggaruk tengguknya. "Ooh. Jadi gara-gara sering dihukum? Itu sih salah kita sendiri yang gak taat aturan."
"Iya tapi kan dia berlebihan. Inget gak gimana dia mempermalukan kita waktu kelas 10? Udah di suruh hormat bendera setengah jam, di suruh minta maaf ke tiap kelas pula, cuma gara-gara bolos piket mingguan. Aku sama Leon bahkan pernah di skors 3 hari gara-gara dilaporin ke kepala sekolah karena ketahuan ngerokok." Cerocos Kaito dengan wajah memerah.
Len tertegun. "Iya juga sih. Tapi itu kan udah lama, dan sekarang dia gak sebangke itu kok. Malahan galakan Meiko-san loooh."
"Ah tetep aja Len, aku gak bisa lupa kejadian itu. Kejadian kemarin, dan kejadian lainnya. Pokoknya aku benci Kamui Gakupo itu, Titik!"
"Ck ck ck. Jangan berlebihan gitu kalau benci." Len menahan ucapannya sejenak lalu menatap Kaito dengan serius. "Nanti jadi cinta lho." Lanjutnya.
Sontak saja Kaito terlompat. "Apa katamu? Kau fikir aku ini apa?!" Tanpa fikir panjang, pemuda biru itu langsung menerjang pemuda yang lebih pendek darinya. Dengan amarah yang meluap-luap, Kaito mulai menggelitiki Len dengan buas.
"AMPUUUUUN! HAHAHA. AMPUN! JANGAAAAAN, KAITO! LEPASIIIIIINNNN! AMPUUUUN!" Suara cempreng itu menggema di seluruh ruangan.
Sementara itu dari luar kamar, terlihat Rin yang tengah berdiri sambil mengunyah salad jeruk. Kedua matanya menyipit sejak suara nista itu lolos dari kamar adik kembarnya. Dengan mengendap-endap, gadis imut itu berjinjit menuju pintu kamar Len. Dalam hati dia menghitung 1, 2, 3 dan KLIK. Pintu terbuka, menampakkan Len dan Kaito yang tengah duduk manis sambil membaca buku.
"Eh?" Rin menggaruk pita di kepalanya. Kedua mahluk itu hanya menoleh lalu nyengir dan melambaikan tangan, membuat Rin semakin bingung.
Setelah memastikan bahwa tidak ada yang salah, dia pun kembali dan menutup pintu. "Mungkin tadi itu efek manga Yaoi yang aku baca." Gumamnya sambil berlalu, meninggalkan aroma jeruk yang amat sangat memabukkan.
"Fyuhh. Hampir saja. Bisa berabe kan kalau Onee-chan sampai lihat." Gumam Len sambil mengipas-ngipas hidungnya.
.
.
.
.
Suatu sore di sekolah.
Bel pulang berbunyi. Kaito yang terlihat sangat bersemangat segera keluar dari kelasnya, disusul Len yang terlihat gelisah.
"Kaito-san..." Ujar Len sambil berjalan lambat. "Kau yakin kita tidak akan kena masalah?"
Kaito berhenti, membiarkan Len menyusulnya. "Masalah apa ya?"
"Soal Gakupo-san itu. Soal pesan yang kau kirim tadi." Bisik Len, memastikan bahwa tidak ada orang lain yang bisa mendengarnya.
Kaito tertawa sambil melanjutkan langkahnya. "Tenang Len. Yang dapat masalah itu dia, bukan kita. Lagi pula semua jejak pesan sama nomornya udah gak ada."
"Aku tahu. Tapi- apa itu gak keterlaluan?"
Kaito menghela nafas. "Len.. Len.. Kita kan cuma bikin dia bolos, apa yang keterlaluan? Dan lagi dia juga sering keterlaluan sama orang lain."
"Dia kelihatan panik tadi. Kau lihat kan? Gimana kalau terjadi sesuatu dan-"
"Udahlah Len, tenang! Kalaupun iya ketahuan, aku gak bakal libatin kamu kok." Potong Kaito sambil membuang muka.
Pemuda biru itu mulai tidak nyaman dengan sikap temannya yang tidak terlalu mendukung. Sementara itu Len mulai celingukan melihat beberapa kakak kelasnya berkerumun di hampir sepanjang jalan menuju parkiran.
"Eh, ada apa ya?" Kaito mulai merasa tidak enak.
Len yang menemukan titik terang akhirnya berlari kecil menuju gadis berpita yang mirip dengannya. "Oy, Onee-chan!"
Rin menoleh. 'Sekedar informasi, mereka berdua memang beda kelas karena alasan kembar'. "Hey, Len."
"Ada apa ini rame-rame?" Tanya Len yang mendekati kakak kembarnya, sementara Kaito tampak cengo di belakang.
Wajah Rin berubah serius. "Itu. Ada kabar katanya Kamui-san kecelakaan tadi siang. Jadi kita mau jenguk dia, kalian ikut?" Tanya Rin ragu, karena dia tahu kalau keduanya tidak terlalu suka pada Gakupo. Dan lagi, dia merasa tidak enak jika harus mengajak Kaito nebeng di mobil Gumi, mengingat keduanya pernah pacaran di kelas 10.
Seketika, kedua pemuda di depan Rin tercengang. Kecelakaan? Tadi siang?
Melihat kediaman keduanya, Rin pun berinisiatif untuk pergi. "Ya udah aku duluan ya."
Kaito tampak shock. "Len!"
Len tidak menjawab, hanya menatap tajam ke arah Kaito.
"Len aku gak bermaksud-"
Tanpa mendengarkan Kaito, Len segera berlari menjauh meninggalkan Kaito yang terlihat sangat panik. "Onee-chan, tunggu!"
.
.
.
.
Esoknya harinya.
Kaito terduduk di ruang tunggu sebuah rumah sakit dengan penampilan rapi. Sebenarnya hari masih sangat pagi, tapi rasa bersalahnya membuat dia ingin segera melihat keadaan Kamui Gakupo. Ya, ini semua salahnya. Dan rasa bersalahnya terus bertambah setelah Len mengirim pesan yang menyudutkannya. Pemuda kuning itu bahkan mengancam tidak akan bicara lagi dengannya jika Kaito tidak meminta maaf pada Gakupo.
Kaito mengacak rambut birunya yang semula rapi lalu menarik-nariknya. Dia benar-benar gugup, dan bingung harus berbuat apa. Tidak mungkin dia diam di sana seharian, tapi untuk masuk ke ruangan rawat Gakupo pun dia tidak berani. Dia berfikir dan terus berfikir hingga akhirnya memutuskan untuk melangkahkan kakinya yang terasa melayang-layang.
Bersama seorang suster, dia berjalan menuju kamar rawat Gakupo yang berada di lantai atas. Kamar yang terletak cukup jauh dari keramaian.
"Silahkan." Ujar suster dengan name tag Yuzuki Yukari seraya membukakan pintu kamar. Suster muda itu lalu pamit dan meninggalkan Kaito sendiri di ambang pintu.
Pemuda berambut biru itu sempat berdecak kagum melihat interior kamar yang mewah dengan fasilitas lengkap. Di sana terdapat tempat tidur pasien, tempat tidur tunggu, sofa yang cukup besar, juga beberapa kursi, meja dan rak. Mungkin kamar VIP atau semacamnya, karena dia tahu kalau Gakupo termasuk salah satu siswa kaya raya di sekolah. Biaya rawat yang tinggi tentunya tidak akan jadi masalah untuknya.
Kaito melangkah perlahan, khawatir akan membangunkan Gakupo yang tampak sedang tertidur. Pandangannya memindai seisi ruangan, tapi tidak ada tanda-tanda keberadaan seorangpun kecuali Gakupo sendiri. Entah ini baik atau justru buruk, mengingat tujuannya kemari adalah untuk meminta maaf. Mungkin mereka akan lebih leluasa jika bicara empat mata, tapi dia juga bingung karena Gakupo belum terbangun.
Karena merasa tidak enak, Kaito akhirnya berbalik dan berniat kembali tapi suara berat itu menghentikannya.
"Hi, siapa di sana?"
Dengan perasaan gugup dan sedikit kaget, Kaito berusaha untuk tenang dan kembali. "Uh, aku Shion Kaito. Teman sekelas Megurine Luka."
Entah kenapa Kaito malah menyebut nama Luka, padahal dia bisa mengatakan hal lain sepeti adik kelasmu, orang yang sering dihukum olehmu, dan sebagainya. Lagi pula Gakupo pasti mengenalnya, walaupun sebagai siswa yang sering berbuat onar. Satu-satunya alasan Gakupo bertanya tadi hanyalah karena dia tidak membuka mata.
Gakupo mengerjapkan matanya berkali-kali lalu mengatur posisinya. "Oh. Senang bertemu denganmu. Duduklah!"
Kaito tertegun. Baru kali ini dia mendengar suara Gakupo yang terkesan lembut dan merdu, tak seperti biasanya. "Ba-baiklah."
Kaito melangkah perlahan, lalu duduk di sebuah kursi yang terletak di samping ranjang tempat Gakupo berbaring. Letak kursi yang cukup dekat membuat Kaito merasa gugup karena posisinya kini sejajar dengan wajah Gakupo yang menoleh. Ya, pemuda ungu itu menoleh untuk menciptakan kontak mata dengannya. Terlihat jelas perban yang melingkari kepalanya juga luka memar di sebagian besar wajahnya.
Seolah bisa membaca kegugupan pada pemuda di sampingnya, Gakupo membuka pembicaraan. "Kau ke sini sendiri?"
"Uhm, iya. Maaf aku tak sempat ke sini kemarin." Jawab Kaito. Kedua tangannya menggenggam erat bingkisan yang dia bawa, untuk mengalihkan rasa gugup.
"Oh iya iya. Temanmu yang kembar itu kemarin kesini." Entah dari mana Gakupo tahu, yang pasti Kaito tidak pernah menyangka kalau orang seperti Gakupo bisa memperhatikan siapa saja yang berteman dengannya.
"Iya."
"Hmm, apa itu untukku?" Tanya Gakupo sambil menatap plastik berisi buah-buahan di tangan Kaito.
"Ah, iya. Maaf." Kaito beranjak untuk meletakan bingkisannya di sebuah meja yang cukup penuh dengan bingkisan lainnya. Dia lalu kembali duduk dan terdiam.
Menit berlalu namun suasana masih terasa hening. Kaito benar-benar kikuk, dan tidak tahu harus memulai semuanya dari mana. Dia hanya berharap ada sebuah keajaiban yang membawanya kembali ke waktu di mana dia akan mengirim pesan itu, lalu membatalkannya. Ah, andai saja.
"Jadi kau ada keperluan lain?" Tanya Gakupo memecah suasana.
Kaito yang tengah menunduk kemudian mengangkat wajahnya. Tanpa dia duga, tatapan Gakupo tertuju tepat ke arahnya sehingga mata mereka bertemu. Jantungnya berdegup lebih kencang saat iris birunya terkunci beberapa saat dengan iris berwarna senada di depannya.
"Uhm, ya. Sebenarnya, aku mau- minta maaf."
Gakupo menyipitkan matanya. "Huh? Untuk apa? Untuk kesalahanmu minggu lalu yang kesiangan itu?" Tebaknya asal.
Kaito ternganga sejenak. "B- bukan!" Jujur saja dia merasa kesal karena di saat seperti ini pun seniornya masih saja ingat akan hukuman.
"Lantas apa? Aku rasa kita gak punya masalah."
Kaito menelan ludah. "Pesan singkat itu." Gumamnya dengan wajah pucat.
Gakupo semakin bingung. "Pesan? Pesan apa? Yang jelas bicaranya!"
Menyadari kejengkelan yang tersirat dari ucapan kakak kelasnya itu, Kaito kembali mengumpulkan keberanian. Setidaknya dia sudah siap jika Gakupo akan menendangnya keluar setelah ini. Tentu saja dia siap, karena Gakupo sendiri tidak mungkin bisa menendangnya dalam keadaan selemah itu.
"Aku yang kemarin mengirim pesan tentang ajakan bertemu di sebuah cafe atas nama pacarmu, Luka." Kaito menunduk, tak sanggup menatap Gakupo.
Gakupo terdiam sejenak. "Terus?"
Pertanyaan macam apa itu? Batin Kaito frustasi. Tapi dia masih berusaha untuk kembali bicara dan menatap seniornya. "Aku sengaja melakukan itu karena ingin mengerjaimu."
"Hmm, terus?" Lagi-lagi Gakupo melayangkan respon yang terdengar cuek.
Kaito kembali menunduk- malu. "Maafkan aku, tapi aku melakukannya karena kau sering menghukumku. Aku tahu hari itu kau ada rapat OSIS, dan aku juga tahu betul hukuman apa yang akan didapat oleh siswa yang bolos sejak jam istirahat. Lalu aku memutuskan untuk berpura-pura sebagai Luka dan mengatakan bahwa ada hal darurat, karena aku fikir hanya dengan cara itulah aku bisa memancingmu untuk keluar dari lingkungan sekolah." Kaito menghentikan kalimatnya lalu menatap Gakupo yang masih memasang ekspresi datar.
"Sebelumnya, aku juga tahu kalau Luka hari itu tidak masuk karena ada kepentingan mendesak dan aku tidak yakin jika dia akan mengirim pesan padamu dalam keadaan sibuk. Lalu- sesuai harapanku, kau ternyata pergi tergesa, tak lama setelah aku mengirimkan pesan itu." Kaito kembali tertunduk dengan perasaan malu. Matanya mulai berkaca-kaca.
"Tapi sumpah, aku tidak bermaksud mencelakaimu seperti ini. Aku hanya ingin kau bolos, dan dihukum. Itu saja." Kaito mulai terisak tanpa menatap Gakupo. Dia benar-benar lega dan sudah siap atas apapun yang akan terjadi setelah ini.
Suasana berubah hening untuk beberapa saat, hingga tak lama kemudian suara tawa pelan terdengar. Kaito mendongak dan heran setengah mati melihat Gakupo yang tengah tertawa. Tidak ada tanda-tanda kebencian di wajahnya.
"Jadi hanya karena itu kau meminta maaf?" Tanya Gakupo menahan tawa.
Kaito terdiam.
"Shion. Harus ku akui kalau kau sangat jantan karena berani menceritakan kesalahanmu. Tapi sayangnya, kau ataupun pesanmu sama sekali tidak ada hubungannya dengan kecelakaanku."
DEG!
Kaito ternganga. "Apa? Apa maksudmu?"
"Soal pesan itu? Haha, aku bahkan tidak sempat mengecek pesan masuk saat itu."
Kaito benar-benar terkejut. "Lalu kenapa kau terlihat panik dan pergi dari sekolah dengan terburu-buru?"
"Sama sekali bukan urusanmu." Jawab Gakupo santai. "Dan omong-omong soal pesan tipuan semacam itu, hmm bukan hal yang aneh untukku. Aku sering mendapatkannya. Kau tahu lah, banyak gadis di luar sana yang ngefans padaku." Gakupo terkekeh bangga.
Sebenarnya Kaito ingin sekali menjitak Gakupo jika dia adalah Len. Tapi dia tetap berusaha bersikap manis dan sopan. "Jadi, aku-"
"Ya. Dan jujur saja aku sedikit heran karena biasanya yang mengirim pesan semacam itu adalah perempuan." Gakupo kembali tertawa melihat wajah Kaito yang memerah.
Kaito mendengus antara kesal, bingung dan malu yang semakin menjadi. Ini konyol, batinnya. Jika tahu seperti ini, dia tidak akan pernah menceritakan tindakan konyolnya itu. Dia benar-benar menyesal!
"Kalau begitu aku harus pergi." Gumam Kaito sambil bangkit dan membuang muka.
Gakupo berusaha menghentikan tawanya. "Ti-tidak. Kau harus tetap di sini."
"Lho, kenapa? Kau bilang aku sama sekali gak ada hubungannya dengan kecelakaanmu, jadi aku tidak bersalah." Sikap sopan yang semula Kaito suguhkan perlahan berubah. Kini dia lebih seperti Kaito biasa yang membenci seniornya.
"Tentu saja kau bersalah! Biar bagaimana pun kau sudah berniat jahat padaku. Dan kau harus menebus kesalaan itu." Ujar Gakupo sedikit gemetar.
Kaito hanya menghela nafas lalu beranjak dari tempatnya- berniat keluar. Dia bahkan tidak menyadari wajah lawan bicaranya yang terlihat memucat.
Gakupo memegangi kepalanya yang terasa berat, namun tetap berusaha bicara. "Hey, Shion. Apa kau tidak mendengar- Khhh!"
Pekikian cukup keras dari pemuda ungu itu cukup untuk membuat Kaito menoleh. Matanya terbelalak kaget saat ia melihat Gakupo menekan dadanya sendiri dengan ekspresi kesakitan. Dia pun mendekat, memastikan bahwa seniornya itu tidak bercanda.
"Kau kenapa, Gakupo-san?" Tidak ada jawaban sama sekali kecuali erangan yang mulai melemah. "Aku- aku akan memanggil Dokter." Ujar Kaito panik. Baru saja dia berbalik dan hendak melangkah, sebuah tangan besar menahannya.
"Tetap di sini. Ku mohon." Bisik Gakupo tanpa membuka mata. Tangannya meremas kuat tangan Kaito dan menekankan tangan kecil itu ke dadanya sendiri, hingga pemiliknya meringis.
Kaito bisa merasakan suhu panas dari tubuh Gakupo, namun tangannya terasa sangat dingin. Ditatapnya wajah Gakupo yang terlihat sangat lemah, dan sungguh! Itu membuatnya merasa bersalah bahkan setelah dia tahu yang sebenarnya.
.
.
TBC
.
.
Author's note:
Hi semua! Fiio disini, salam kenal! *sungkem* salam kenal juga dari Kiyo yang katanya belum bisa nulis story di sini ^^ Sekedar info perkenalan, akun ini dikelola oleh sepasang saudari kembar yang kebetulan sama-sama suka menulis tapi dengan cara berbeda /siapayangnanya XD
Well, ini dalah story pertama Fiio yang baru saja dibuat dan dipublish begitu saja dengan maksud coba-coba. Sebenarnya ragu, tapi atas kecintaan Fiio sama si Ungu dan si Biru, jadilah fic gaje, dengan bahasa gaje, jalan cerita gaje, dan gaje lainnya.
Untuk rate di kasih T, karena sejauh ini gak ada adegan aneh-aneh. Tapi disarankan untuk baca warning di awal story ya, untuk beberapa hal yang harus Fiio sampaikan sebelum kalian benar-benar baca fic ini. ^^ Dan memungkinkan juga sih rate nya berubah kalau Fiio tiba-tiba ada ide buat bikin lemon *digampar*
Anyway, dikarenakaan Fiio adalah author baru, kritik dan saran kalian sangatlah berharga untuk kelangsungan hidup fic ini. Jadi mohon review jika kalian berkenan ^^ Tengkyu.
