The Way We Fall

.

BTS fanfiction by soonshimie

BTS is GOD'S, BIG HIT'S, THEIR PARENT'S, ARMIES, BUT THIS STORY IS MINE and (some) IKA NATASSA's

inspired by The Architecture of Love by Ika Natassa

NO PROFIT ARE TAKEN!

HOPE U LIKE IT!

.

.

.


Orang bilang, untuk membunuh suara-suara dalam pikiranmu, kau harus menemukan suara lain yang membantu meredam suara-suara itu.

Dan bagi Taehyung, those helping noises was New York.

New York dengan segala kesibukannya, sebuah kota yang tidak pernah tidur. Mungkin memang aneh, tapi dengan begitu Taehyung justru merasa terbantu untuk tidak mengingat lagi kejadian yang membuatnya begini; kabur dari Korea, menumpang tinggal di apartemen adiknya, luntang-luntung seperti pengangguran di New York, kemana-mana hanya membawa buku sketsa dan pensil. Semua yang ada di New York; orang-orangnya, kesibukannya, persimpangan jalannya, gedung-gedungnya, brownstones-nya, semuanya terlalu sayang untuk dilewatkan. Dan semuanya berhasil membungkam suara di kepala Taehyung.

Sudah satu tahun Taehyung 'mengungsi' ke New York, hanya mengandalkan pakaian-pakaiannya yang tidak seberapa dan kewarasannya untuk tidak terjun dari Brooklyn Bridge. Ingatan tentang kejadian itu tetap ada seberapa keras Taehyung berusaha untuk tidak mengingatnya. Serpihan-serpihan memori yang mampir sesekali dalam pikirannya, bergerak cepat seperti gulunganfilm.

Jika sudah seperti itu, Taehyung segera mengalihkan perhatiannya dengan menggambar. Arsitek sepertinya tidak susah membuat gambaran kasar sebuah gedung. Jadi, menjiplak juga mudah.

Hidupnya selama di New York hanya jalan-jalan, menggambar, jalan-jalan lagi, berkeliling, menggambar, sesekali mampir ke kedai kopi, dan besoknya pencet tombol repeat. Taehyung bukan jenis orang yang suka dengan keramaian bar. Disana ia hanya akan menemukan orang-orang susah yang sok bahagia, minum bergelas-gelas vodka dan berakhir teler. Tapi masalah hidup mereka juga tidak akan menghilang semudah menghabiskan alkohol.

Bahkan di tahun baru, ketika semua orang berpesta merayakan pergantian tahun dengan wine, musik yang menghentak dan tradisi kiss-someone-beside-you-at-NYE yang konyol, Taehyung tetap menyendiri di sebuah ruangan, memilih sibuk sendiri dengan buku sketsa dan pensilnya. Penthouse mewah milik teman Haejun, adiknya, sekaligus tempat diadakannya pesta tahun baru oleh komunitas warga Korea di New York memiliki pemandangan yang bagus. Tentu saja; apartemen mana di Central Park yang punya pemandangan jelek?

Dan disitulah juga tempat dirinya dan dia digariskan bertemu.

Seorang perempuan yang akhir-akhir ini membantu membungkam suara-suara berisik di kepalanya. Bukan hanya New York dan kebisingannya.


"Hyung, aku mau order Chinese, mau apa?"

Taehyung mendongak dari kasurnya, menatap Haejun yang berdiri di pintu sambil membawa ponsel. "Terserah," jawab Taehyung pendek, "aku mau jalan-jalan lagi hari ini. Mau titip apa?"

"Jalan-jalan lagi?" Haejun menatap kakaknya pandangan menggoda, "sering banget sih jalan-jalannya, hyung. Udah ketemu cewek ya?"

"Berisik," dengus Taehyung malas, tidak lupa menyelipkan ponsel di saku mantel, "mau titip apa?"

Haejun tersenyum lebar. "Titip ceweknya hyung aja," jawabnya riang, "bawa kesini. Kenalin ke aku sama Ibu. Nanti sore Ibu mau Skyping katanya."

"Cewek apa sih," Taehyung menyergah cepat. Kakinya dibungkus kaus kaki merah marun yang setiap hari dicucinya sampai warnanya hampir pudar. "Domino's buat cemilan oke ya? Nanti malam ada F1, kan?"

"Call!" kata Haejun riang, "hati-hati ya, hyung. Titip salam buat ceweknya hyung," sambungnya sambil tertawa jahil. Taehyung hanya membalasnya dengan lirikan malas sebelum melangkah keluar dari apartemen Haejun.

New York sudah musim semi. Ini artinya sudah satu musim Taehyung mengenal perempuan itu, yang ditemuinya secara tidak sengaja ketika malam tahun baru. Mereka bertemu di ruangan remang-remang dan sepi. Taehyung sedang menikmati kesendiriannya sambil menggambar gedung seberang namun 'dirusak' oleh kehadiran perempuan itu.

"Ada orang?"

Taehyung masih ingat suaranya. Jernih dan menyenangkan.

"Maaf kalau mengganggu," lanjut perempuan itu lagi, "aku hanya duduk disini karena kakiku keseleo. Lanjutkan saja kegiatanmu, aku bukan orang yang suka mengganggu orang lain."

Dia pikir dia ada disini tidak cukup mengganggu, pikir Taehyung saat itu. Ia boleh jadi dibilang cold city man, tapi Kim Taehyung tetap seorang laki-laki sejati yang melindungi perempuan. Jadi ia mendekat, menimbulkan pertanyaan "E-eh? Kenapa?" dari si perempuan namun Taehyung menjawabnya dengan sebuah gestur. Meletakkan kaki keseleo perempuan itu di atas pahanya dan mengurutnya perlahan.

"Aduh, tidak usah," kata perempuan itu, suaranya terdengar agak gugup, "ini keseleo biasa, kok. Besok juga sembuh."

"Siapa yang bilang kalau keseleo dari stiletto sepuluh senti ini besok sudah sembuh?" tandas Taehyung, tetap dengan nada datarnya yang biasa.

Si perempuan terdiam. Akhirnya memilih membiarkan seorang laki-laki asing mengurut kakinya. Taehyung betah dengan keheningan yang ganjil itu, ia juga tidak butuh banyak mengobrol, tapi si perempuan ini angkat bicara.

"Namaku Jeon Jungkook. Siapa namamu?"

Pertanyaan mendasar dalam sebuah percakapan. "Kim Taehyung," Taehyung menjawab pendek, bersamaan dengan tangannya berhenti memijat, "mungkin pijatan saya tidak sehebat tukang pijat, tapi saya harap bisa membantu meringankan sakit di kakimu."

Taehyung bisa merasakan keheranan dari perempuan bernama Jeon Jungkook itu karena sikapnya yang terlalu kaku dan formal, tapi Taehyung tidak cukup peduli untuk itu. Satu-satunya perempuan yang dengannya Taehyung bisa menggunakan 'aku-kamu' hanyalah—

Oh. Berhenti membicarakannya.

Taehyung menghela napas, menyandarkan punggungnya ke dinding toko tempat biasanya ia menunggu Jungkook untuk turun dari apartemen. Setelah pertemuan tidak jelas di tahun baru itu, ada dua kali cosmic encounter yang membuat Taehyng meminta nomor ponsel Jungkook dari Haejun dan memutuskan untuk jalan-jalan keliling New York setiap hari. Dengan Taehyung yang banyak menggambar dan Jungkook yang sibuk dengan kameranya. Setelah meminta nomor telepon dari Haejun, Taehyung baru tahu kalau Jungkook adalah seorang penulis sekaligus ilustrator yang kebetulan suka fotografi.

"Maaf menunggu lama."

Jungkook muncul dalam setelan musim seminya yang kalem; blus hijau tanpa lengan berkerah V yang cantikdan celana tiga per empat warna putih. Senyumnya lebar dan ceria. Taehyung sampai berpikir kalau perempuan di depannya ini semalam mimpi indah.

"Senang sekali kelihatannya."

Jungkook tertawa. "Setiap hari kan aku memang begini," cetusnya, "yuk, pergi. Kemarin kan, aku sudah ikut kamu, sekarang giliranmu yang menentukan perjalanan hari ini."

Taehyung menatap perempuan yang tingginya hanya sampai sedagunya itu dengan tatapan ragu. "Kamu yakin mau ikut saya?"

Jungkook mendongak. "Iya. Memangnya kenapa? Dari awal kita sudah begitu kan?"

"Saya nggak tahu kamu suka pilihan saya atau nggak. Soalnya saya mau ngajak kamu ke parade."

"Parade apa sih memangnya?" tanya Jungkook, matanya berkilat-kilat penasaran, "kamu ngasih tahu aku supaya pakai baju warna hijau. Kamu juga pakai. Paradenya pakai dresscode segala ya?"

Taehyung tersenyum kecil, memulai langkahnya lebih dulu diikuti Jungkook di sebelahnya. "Kamu nggak ingat sekarang hari apa?"

"Hari Jum'at kan?" nada Jungkook tetap terdengar bingung, "ada parade apa di hari Jum'at?"

"Coba lihat sekarang tanggal berapa?"

Kening Jungkook dikerutkan heran. Sejak tadi Taehyung membuatnya merasa sangat penasaran. Tapi alih-alih mendesak pria tinggi itu untuk menjawabnya, Jungkook mengecek sendiri tanggal di jam tangannya. "Tanggal 17 Maret. Memangnya ada apa sih?"

Taehyung menyunggingkan senyum kecilnya lagi. "Masa lupa?"

"Ih Taehyung!" tidak tahan dengan sikap Taehyung yang sok misterius—atau memang sedikit misterius sejak awal—Jungkook memekik kesal dan memukul bahu Taehyung. Menimbulkan tawa kecil dari yang dipukul dan cemberut kesal dari yang memukul. "Tinggal jawab pertanyaanku apa susahnya sih."

"Katanya sudah lama tinggal di New York," goda Taehyung masih sambil tertawa, "masa nggak ingat sekarang ada peringatan apa."

"Baru setahun juga disini, mana ingat," kata Jungkook mendengus, menatap sekeliling sambil bersungut-sungut. Semua orang yang melintas memakai baju warna hijau, atribut warna hijau seperti bandana, topi dan sebagainya. Jungkook juga menangkap sekilas gantungan shamrock di mobil yang melintas. "Semuanya hijau. Dimana-mana hijau," gerutu Jungkook, kembali mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Matanya tertumbuk pada seorang laki-laki gendut yang sedang mengunyah sandwich di depan outlet Subway. Kaus yang dipakai laki-laki itu warnanya hijau dan tulisannya berwarna putih. Kaus itu berbunyi "Keep Calm and Happy St. Patty's Day".

"Ah!" Jungkook terkesiap, menoleh pada Taehyung yang sejak tadi tersenyum menatapnya, "sekarang St. Patrick's Day!"

"Nah, itu tahu."

"Oh, pantas saja!" seru Jungkook, menatap blusnya dan kausTaehyung yang sama-sama berwarna hijau, "pantas saja kamu memberitahuku supaya pakai baju warna hijau!"

Taehyung mengangguk. "Jangan dikira saya sengaja minta couple ya."

"Ih siapa yang ge-er!" gelak Jungkook, "tapi memangnya kenapa harus pakai baju warna hijau?"

Taehyung berdeham kecil, memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. Effortlessly cool. "Ada tradisi dimana kalau kamu memakai warna selain warna hijau, orang-orang akan mencubitmu seperti yang dilakukan Leprechaun," terangnya, "saya nggak mau kita jadi bahan cubitan orang-orang karena memakai warna selain warna hijau. Bayangin aja, dicubit orang asing sekian banyak."

Jungkook refleks memeluk kedua lengan atasnya yang terbuka. Merasa agak menyesal memakai blus tanpa lengan seperti ini.

"Kamu takut dicubit?" kata Taehyung, "kan sudah pakai baju warna hijau, jadi nggak akan dicubit," lelaki itu tersenyum. Melepas blazer-nya untuk dipakaikan di tubuh Jungkook. "Pakai blazer saya aja kalau gitu."

Jungkook mengerjap menatap Taehyung yang baru saja memakaikan blazer di kedua bahunya. Pikiran Jungkook serasa kosong beberapa detik karena perlakuan lembut dari Taehyung. "E-eh, nggak perlu," kata Jungkook buru-buru, "aku nggak takut dicubit kok. Lagipula kita kan sudah pakai warna hijau. Tadi itu cuma refleks."

"Betulan tidak apa-apa?"

Jungkook mengangguk, melepas blazer hitam Taehyung dari bahunya. "Pakai aja. Dingin juga kan."

"Dingin?" Taehyung masih menatap Jungkook, tetap dengan senyum lembutnya, "kamu pakai baju kayak gitu pasti merasa lebih kedinginan dari saya."

Jungkook terdiam, menutup mulutnya dengan tangan. Merasa malu sekaligus mati kutu di tempat. Duh, begonya. "I-iya, pokoknya pakai aja blazer-mu. Aku nggak apa-apa," kata Jungkook sambil menyorongkan blazer Taehyung. Taehyung sendiri hanya tertawa kecil dan memakai blazer-nya lagi.

"Parade marching band-nya St. Patrick's Day dimulai dari 44th Street sampai 86th Street. Selama hari festival ini, ada banyak restoran yang menjual makanan tradisional Irlandia," terang Taehyung, menoleh pada Jungkook yang tampak mendengarkan penjelasannya baik-baik.

"Kita juga ikut parade?"

"Nggak. Kalau ikut parade, kakimu bisa pegal-pegal. Rutenya jauh," jelas Taehyung, "kita lihat aja dari pinggir. Kamu bisa dapat banyak foto bagus nanti."

Mata bulat Jungkook berbinar-binar. Taehyung bisa melihat antusias yang besar di kedua mata itu.

Di 5th Avenue, semua orang berkumpul dan bersemarak merayakan St. Patrick's Day. Festival yang awalnya hanya tradisi warga Irlandia itu kini menjadi tradisi seluruh warga Amerika mengingat banyak warga Irlandia yang bermigrasi kesana. Boston dan New York menjadi pusat perayaan St. Patrick's Day di Amerika. Tidak sedikit orang-orang yang bersemangat merayakan festival ini dengan cosplay kostum Leprechaun, sejenis peri yang diyakini pernah mendiami tanah Irlandia. Atau bahkan mengecat seluruh tubuh mereka dengan warna hijau dan oranye.

Suara drum dan terompet memenuhi langit New York. Sebarisan penuh anggota marching band membawakan lagu tradisional Irlandia diikuti teriakan antusias pengunjung festival. Di belakangnya, orang-orang yang mengikuti parade melambai-lambaikan bendera bergambar shamrock. Warna hijau dan beberapa oranye tumpah dimana-mana.

"Permisi," Jungkook mengeraskan suaranya untuk berhasil mencapai deretan pertama. Suaranya jelas lebih kalah dibanding marching band dan para penonton itu.

Di belakangnya, Taehyung tersenyum. Kedua tangannya membentuk gestur melindungi dengan tetap memberikan beberapa jarak agar tidak bersentuhan langsung dengan Jungkook. "Hati-hati kalau berdesakan."

"Sempit!" keluh Jungkook.

Tubuh orang-orang Barat itu tinggi besar. Sementara tubuh Jungkook tergolong mungil dibandingkan mereka. Taehyung yakin seandainya Jungkook memaksa berdesakan sendiri, perempuan itu akan berakhir terinjak-injak.

"Permisi!" Jungkook memekik lagi, membuat dua orang di depannya bergeser sedikit dan Jungkook memisahnya dengan sekuat tenaga. Matanya membulat senang ketika ia berhasil maju ke barisan paling depan. "Waaaah!"

Barisan marching band itu sangat keren. Mereka membawa drum-drum besar dan terompet-terompet yang Jungkook yakin membawanya berat sekali. Kostumnya juga keren; mirip kostum penjaga Istana Buckingham dengan topi tinggi. Semuanya didominasi warna hijau, warna lambang negara Irlandia sebagai The Emerald Land.

"Ini keren banget!" Jungkook memekik senang, mendekatkan lensanya ke ke mata dan mulai membidik.

Melihat Jungkook yang tampak gembira, mau tak mau Taehyung tersenyum. Mengamati Jungkook yang tampak antusias dengan parade St. Patrick's Day. Taehyung yakin ini pertama kalinya Jungkook melihat festival seperti ini secara langsung. Sambil menyimpan dua tangan di dalam saku celananya, Taehyung ikut menikmati parade orang-orang berbaju hijau di depannya.

"Senang?" tanya Taehyung, mengintip hasil jepretan 600D Jungkook tanpa perlu susah-susah melongok.

"Iya! Senang banget!" jawab Jungkook riang, "nih lihat hasil fotoku! Bagus nggak?" ujarnya semangat seraya menunjukkan foto-fotonya pada Taehyung.

Taehyung manggut-manggut sambil mengusap dagu. "Bagus, kok."

Jungkook tersenyum lebar. Matanya masih tidak lepas dari hasil foto di kamera. "Kayaknya bakatnya Annie Leibovitz nurun nih ke aku."

"Iya, iya. Terserah deh," Taehyung tertawa, "yuk balik. Makin siang bisa makin panas disini."

"Yaaah, kok buru-buru?" protes Jungkook, "paradenya belum selesai. Aku masih mau disini."

"Paradenya masih panjang kalau kamu mau nungguin buntutnya," kata Taehyung, meraih pergelangan tangan Jungkook, "balik aja. Sudah dekat waktu makan siang juga."

Ketika Taehyung menarik pergelangan tangannya, kembali menerobos agar bisa keluar dari kerumunan, Jungkook hanya diam tidak menolak. Matanya menatap punggung lelaki itu yang dibungkus blazer hitam.

Di depannya, Taehyung mengeratkan genggamannya di pergelangan tangan Jungkook. Melirik sekilas sebelum membuang pandangan.

Selepasnya dari kerumunan, Taehyung masih menggenggam pergelangan tangan Jungkook yang terasa pas dalam genggaman tangannya. Sampai Jungkook menyentuh tangan Taehyung, lelaki itu tersadar dan refleks melepasnya begitu saja.

"Ehm."

Jungkook melirik. Taehyung sedang membetulkan kerah kausnya dengan gerakan canggung yang menimbulkan senyuman simpul di wajah Jungkook. Itu tadi pengalihan rasa gugupnya ternyata.

"Sudah lapar, kan? Makan yuk."


Di antara restoran Irish lainnya yang bertebaran di New York, Landmark Tavern adalah yang terbaik. Tempatnya nyaman, harganya tidak semahal Neary's dan cita rasa makanannya lebih kaya. Bagi orang-orang Irish yang tinggal di New York, Landmark Tavern adalah little Irlandia.

"Biar saya yang traktir," Taehyung menawarkan, "kamu harus icip Irish soda bread-nya. Saya jamin kamu bakal suka."

Jungkook hanya menurut. Membiarkan Taehyung memesan banyak makanan yang Jungkook tidak tahu. Irish soda bread, champ, corned beef, dan minumnya yang bagi Jungkook cukup aneh; misty mint. Taehyung bilang, minuman itu campuran dari green creme de menthe dan light rum.

"Rasanya enak, dingin-dingin mint."

"Kamu tahu banyak soal St. Patrick's Day, ya," komentar Jungkook setelah pelayan pergi membawa kertas pesanan mereka.

Taehyung tersenyum. "Saya punya darah Irlandia sedikit-sedikit, dapat dari Nenek. Karena itu saya pengin menunjukkan ke kamu budaya nenek moyang saya," jawabnya tenang. Tidak ada maksud merendah dalam nada jawabannya bahwa ia memiliki keturunan Irlandia.

Jungkook manggut-manggut. Darah Irlandia dalam diri Taehyung sudah menjelaskan kenapa baginya lelaki itu terlalu tampan untuk ukuran orang Korea. "Taehyung, sebenarnya kenapa kamu pakai kata ganti 'saya'?" Jungkook bertanya, "itu sudah kebiasaanmu ya karena sering mengobrol sama klien?"

Taehyung menggeleng lantas tertawa. "Sebenarnya tidak juga. Tapi mungkin kamu benar, 'saya' terlalu kaku," ia tersenyum, "'aku' lebih baik, kan?"

Jungkook ikut tertawa. "Begitu lebih enak," sahutnya, "kadang kalau ngobrol sama kamu, aku jadi merasa kayak bicara sama operator. Kaku banget."

"Begitu, ya? Maaf," Taehyung nyengir, "sudah satu musim dan kamu baru bilang ke aku sekarang."

"Ya mau gimana. Kamunya kayak sudah terbiasa pakai 'saya'. Aku juga mikir-mikir, mungkin aja kamu nggak mau pakai 'aku' karena... yah..." Jungkook menggantung ucapannya sementara, kedua bahunya dikedikkan, "kadang ada beberapa orang yang menganggap kalau menggunakan 'aku-kamu' antara laki-laki dan perempuan berarti mereka punya satu hubungan spesial."

"Oh ya? Aku baru tahu," Taehyung tersenyum pada Jungkook, "sama aja sih, kalau menurutku."

"Beberapa temanku begitu. Tapi menurutku juga nggak penting, hehe," kata Jungkook sambil menyeringai, "dan satu lagi, aku boleh memanggilmu 'Tae'?"

"Hah? 'Tae'?"

"Iya. Kalau Taehyung kepanjangan. Nggak efisien."

"Dasar. Memangnya kamu pikir 'Jungkook' juga tidak kepanjangan?" Taehyung tertawa.

"Ya sudah ya! Punya panggilan masing-masing aja gimana?" potong Jungkook ikut tertawa, "aku manggil kamu 'Tae', kamu terserah manggil aku apa."

"Terserah, ya?" tanya Taehyung, mencomot kentang goreng yang disediakan lebih dulu sebagai welcome snack sambil bertopang dagu menatap Jungkook, "bagaimana kalau... Dwaeji?"

"Heh!" gelak Jungkook, "Taehyung nyebelin ya ternyata! Kasih nama yang bagus dong, masa babi!"

Taehyung ikut tergelak. Tawa yang dimiliki Jungkook adalah jenis tawa yang menular. Susah untukmu menahan senyum ketika mendengar suara tawa yang mengalir keluar dari belah bibirnya dan melihat gigi kelincinya yang lucu.

"Bercanda tadi. Pemanasan," kata Taehyung, "aku nggak tahu harus panggil kamu apa. Aku panggil 'Jungkook' aja ya. Simpel."

"Ya kan tadi aku bilang terserah mau manggil apa," Jungkook tersenyum, "oke, deal ya? Aku manggil kamu 'Tae', kamu manggil aku namaku. Bagus deh."

Pelayan datang lima menit kemudian, membawa lunch ala Irlandia yang membuat mata Jungkook berbinar-binar. Ia mengaku tidak pernah mencicipi makanan khas Irlandia meskipun ada banyak pub dan restoran Irish yang bertebaran di sudut-sudut kota New York. Baginya, Shake Shack dan Patron sudah cukup mengganjal perut dan membuatnya merasa seperti New Yorkers sejati.

"New Yorkers apanya. Ikut festival St. Patrick aja baru sekarang ini," ledek Taehyung.

Jungkook merengut. "Suka-suka aku dong," balasnya sewot, namun segera menguap begitu saja setelah mencicipi misty mint, "rasanya lucu ya. Dingin-dingin manis gimanaaa gitu."

"Enak, kan?"

"Nagih ini kayaknya."

"Mau coba punyaku?" tawar Taehyung sambil menyodorkan gelasnya yang berisi minuman berwarna hijau cemerlang. Jungkook mengamatinya sebentar.

"Apa ini namanya? Aku lupa."

"Gold emerald shooter," jawab Taehyung, "rasanya agak unik karena dia campuran dari vodka, Midoridan Goldschläger. Ada manisnya ada pedasnya juga. It's not something everyone gonna like, but this is one of those drinks you've got to taste, at least once."

Sejenak Jungkook menatap Taehyung dengan pandangan menelisik. "Are you a beer snob?"

Kontan Taehyung tertawa. "Beer snob sounds so ridiculous. Aku cuma penikmat biasa, kok."

Selanjutnya adalah Jungkook yang terkagum-kagum merasakan segala jenis makanan Irlandia yang dipesan Taehyung. Irish soda bread-nya yang nagih kalau diolesi selai jeruk, corned beef-nya yang lezat, champ-nya yang lebih enak daripada mashed potato -nya Wendy's.

"I feel like I'm the truly New Yorkers," cetus Jungkook, "kurang pakai Tiffany & Co. aja, terus jalan-jalan di 5th Avenue sambil nenteng tasnya branded stuffs."

"Baru makan Irish aja bangganya selangit," tawa Taehyung, membuka pintu Landmark Tavern supaya Jungkook bisa keluar lebih dulu.

Jungkook menyeringai. "Kan cuma ungkapan, Tae. Aku juga masih bangga jadi orang Korea," kilahnya, "sekarang kita kemana?"

"Mmm..." Taehyung mengintip jam tangan. Jam setengah dua siang. Kalau didasarkan jadwal jalan-jalan mereka yang biasanya, jam lima sore Taehyung baru mengantarkan Jungkook pulang ke apartemen, "sebenarnya aku cuma mau ngajak kamu ikut festival ini sih. Jadi nggak tahu mau kemana lagi."

"Aku usul boleh?"

"Terserah."

Senyum Jungkook mengembang lebar. "Ke Whispering Gallery yuk."


New York have many cool places to go besides Central Park or Time Square. One of them are Grand Central Terminal, which has many secrets.

Just for starters, Franklin Delano Roosevelt, presiden Amerika ke-32 itu, dan beberapa tamu VIP lain pernah melalui jalur bawah tanah yang membawa mereka ke Waldorf-Asteria Hotel. Seperti jalur rahasia, ya kan? Tapi yang paling keren diantara rahasia-rahasia itu adalah Whispering Gallery.

It's an unmarked archway, tapi semua orang beramai-ramai datang kesana dengan pasangan hanya untuk berdiri secara diagonal dan mendengar 'bisikan' yang diucapkan menembus melalui dinding. Funny yet romantic.

Taehyung pernah mengajak Jungkook ke Whispering Gallery ini ketika musim dingin lalu. Pertama kali datang kesini, Jungkook terkesima berkali-kali. Katanya dia langsung jatuh cinta pada Whispering Gallery, pada Grand Central Terminal ini, dan food concourse-nya (termasuk Shake Shack ternyata).

"Ini mau ke Whispering Gallery atau mau ke Shake Shack?"

"Hehehe," Jungkook menyeringai, melahap 'Shroom Burger-nya sampai keju cheddar-nya meleleh mengotori sudut bibirnya, "aku ngidam Shake Shack lagi, Tae."

Taehyung geleng-geleng kepala, menghabiskan sosis hotdog-nya yang dibaluri mayones dan saus keju. Basic menu, karena tidak ingin terlihat menganggur duduk di dekat Grand Central Terminal sementara Jungkook asyik menghabiskan burger jamur portobello.

"Jadi ke Whispering Gallery atau nggak?"

"Kayaknya sih enggak. Udah ketutup sama ini."

Taehyung mendengus kemudian berdiri. Berniat untuk membeli Shake Shack saja daripada harus memutar ke Domino's.

"Lho, Tae? Mau kemana?" tanya Jungkook, matanya mengikuti gerak Taehyung yang beranjak pergi.

"Beli lagi, bungkus buat di rumah."

"Aku juga dong! Dua 'Shroom Burger ya!"

Taehyung menoleh kaget. "Lagi? Mau dimakan sendiri?"

"Ya nggaklah!" tukas Jungkook cepat, "gendut dong aku nanti kalau makan dua-duanya sendiri. Buat loft-mate kok."

"Loft-mate cuma satu tapi beli 'Shroom Burger-nya dua."

Jungkook menyeringai.

Taehyung geleng-geleng kepala lagi tapi akhirnya juga memesan dua 'Shroom Burger untuk Jungkook dan dua SmokeShack untuknya dan Haejun. Setelah jalan-jalan ke Grand Central Terminal musim dingin lalu dan Jungkook mengajak Taehyung untuk makan di Shake Shack, Taehyung harus mengakui kalau fast food chain yang awalnya hot dog cart itu enak juga.

Taehyung kembali dengan dua tas kertas Shake Shack di tangan. Jungkook menyambutnya dengan senyum girang. "Kalau ada kartu pelanggan tetap, kayaknya kamu punya deh ya."

Jungkook hanya tertawa menanggapinya.

"Jadi? Pulang?"

"Iya," cetus Jungkook, "perut kenyang, tidur senang."

"Katanya takut gendut," sindir Taehyung.

"Makanya jalan kaki dari sini ke halte," balas Jungkook kalem, "sehat, sekalian membakar lemak biar nggak jadi gendut."

Taehyung mencibir. "Tahu begini beli di Subway kan juga sama."

"Dibilangin ngidam Shake Shack," Jungkook cemberut, "kalau nggak ikhlas bilang deh."

"Tahu aja."

"Taehyung jahat!"

Pekikan Jungkook dibalas kekehan tawa dari Taehyung. Diikuti cubitan di lengan Taehyung dan erangan kesakitan karena Jungkook mencubit cukup keras.

"Leprechaunmarah soalnya di St. Patrick's Day ada yang nggak ikhlas membantu orang lain."

Taehyung tersenyum geli, menyusul Jungkook yang sudah berjalan lebih dulu.


"Ibu, kalau makan ddakgalbi jangan didepan Haejun, dong."

"Makanya pulang, Nak. Nanti Ibu buatin banyak ddakgalbi buat kamu."

"April besok aku udah selesai ujian, Bu. Aku pulang, ya."

Pemandangan itu yang pertama kali dilihat Taehyung sesampainya ia di apartemen. Haejun yang sedang Skyping dengan Ibu, sesuai jadwal. Dua minggu sekali Ibu menghubungi dua putranya. Skype Ibu menyesuaikan waktu di Amerika—biasanya jam delapan malam, tapi hari ini masih jam empat sore dan Ibu sudah Skyping. Jam empat sore di Amerika sama dengan jam satu malam di Korea.

"Bu, hyung sudah datang!" kata Haejun, lengkap dengan senyum usilnya, "tadi dia jalan-jalan lagi, Bu. Udah nemu cewek."

"Hus!" sergah Taehyung, mengibaskan tangan pada adiknya gestur untuk menggeser tempat duduk. Senyumnya muncul begitu melihat wajah teduh Ibu yang dirindukannya. "Halo, Bu. Kok Skype-nya jam segini? Ibu harusnya sudah tidur."

Ibu tersenyum. Senyum yang menjadi favorit Taehyung selamanya. Ibu punya jenis senyum yang lembut dan mendamaikan. Dulu, ketika Taehyung masih kecil dan dimarahi oleh ayahnya karena nakal, Ibu akan masuk ke kamarnya dan menenangkannya, mengelus kepalanya sambil tersenyum serta berbisik lembut agar Taehyung tidak mengulangi perbuatannya lagi. "Ibu nggak bisa tidur. Rumah sepi nggak ada Haejun sama kamu."

"Ayah kemana?"

"Ada simposium dokter di Jerman. Baru pulang lusanya."

Taehyung manggut-manggut. Ayahnya memang sudah berusia lebih dari lima puluh tahun, tapi fisiknya masih kuat dan banyak rumah sakit di Korea yang membutuhkan beliau disana.

"Nak, Ibu boleh tanya?"

"Tanya apa, Bu?"

"Benar kamu tadi jalan-jalan sama perempuan?"

Taehyung menghela napas. Tahu cepat atau lambat ibunya pasti bertanya hal yang serupa.

"Haejun yang bilang ya, Bu?" tanyanya balik, melirik Haejun yang sudah tertawa tanpa suara di pintu kamar. Tidak mungkin kan Taehyung berteriak hendak memiting leher adiknya itu sementara ada Ibu yang melihat di laptop? "Cuma teman, Bu. Nggak usah percaya. Haejun kok dipercaya," tambahnya dengan tawa.

"Tapi Ibu senang, Nak."

"Eh?" Taehyung menatap wajah Ibu, terkejut.

"Ibu senang. Kamu akhirnya bisa tertawa seperti tadi. Kamu akhirnya mau membuka hati lagi, meskipun kamu bilang perempuan itu cuma teman."

Taehyung terdiam, menggaruk pipinya canggung. Apakah sampai segininya Ibu ingin Taehyung bisa berhenti menutup diri dari perempuan lain? "Ibu, betulan. Dia cuma teman saya, nggak sengaja ketemu di pesta tahun baru," kata Taehyung pelan.

"Bohong dia, Bu! Teman kok, jalan-jalannya tiap hari," potong Haejun mengompori. Membuat Taehyung melirik tajam pada adiknya yang sudah melahap SmokeShack lebih dulu.

Ibu tertawa mendengar kata-kata Haejun. "Iya, Ibu tahu. Tapi kalau sudah siap, kenalkan temanmu itu ke Ibu, ya. Ibu pengin tahu siapa perempuan yang bikin anak Ibu ini bisa kembali seperti dulu lagi."

Ibu tahu, sangat tahu, bagaimana terpukulnya Taehyung setelah peristiwa dua tahun yang lalu. Bagaimana Taehyung yang berubah 180 derajat, memilih pergi dari Korea ke Amerika demi menghapus semua kenangan itu.

"Nak," Ibu berbicara lagi, memecah keheningan karena Taehyung sejak tadi hanya diam, "kapan kamu pulang? Ibu kangen sama kamu."

Taehyung terhenyak. Seluruh tubuhnya merinding karena dua kalimat dari wanita yang paling dicintainya di dunia ini. Sekejap Taehyung merasa sangat berdosa; apakah pantas seorang anak sepertinya membuat ibu sendiri meminta dengan nada memohon?

"Satu tahun lebih kamu ada di Amerika. Ibu sudah kangen buatin samgyetang buat kamu."

Taehyung gemetar. Baru sadar bahwa sejauh inilah jarak antara Amerika dan Korea yang memisahkan ia dengan ibunya. "April, Bu," ujar Taehyung, menatap mata Ibu dengan sorot meyakinkan yang lembut, "April nanti saya pulang."

"Benar, Nak? Syukurlah," Ibu tersenyum lega, wajahnya berseri-seri. Taehyung bahkan baru memberitahu kapan ia akan pulang tapi Ibu tampak sangat bahagia. Lelaki itu sadar ia memang terlalu lama meninggalkan Korea, meninggalkan biro arsiteknya, dan yang terpenting, meninggalkan ibunya.

Skypeitu ditutup setelah beberapa obrolan tentang banyak hal, termasuk betapa bedanya Taehyung dengan Ayah kalau diajak Ibu belanja ke mall.

"Kan saya nggak mau jadi anak durhaka, Bu. Ya jadi saya nurut ke Ibu. Aslinya sih saya juga nggak jauh beda dari Ayah," kata Taehyung sambil menyeringai ketika ibunya mengomel tentang Ayah yang selalu mengeluh setiap Ibu belanja keliling mall.

"Oh gitu ya ternyata!" gelak Ibu, diikuti tawa Taehyung.

Setelah sambungan Skype diputus, Taehyung menutup MacBook Haejun dan beranjak ke dapur, membantu adiknya itu menata meja makan.

"Hyung."

"Hm."

Ini bukan karena Taehyung kesal dengan Haejun yang suka asal ngomong, tapi karena Taehyung memang pada dasarnya irit bicara.

"Jungkook itu cantik ya?"

Taehyung mendongak cepat. Menatap Haejun yang sedang meletakkan bihun goreng di salah satu piring. Alisnya naik sebelah. "Hah?"

"Aku tahu kok kalau hyung jalan-jalan sama dia tiap hari," Haejun tersenyum, "Jungkook itu, gimana menurutmu?"

Taehyung mengedikkan bahu. "Menurutmu?"

"Menurutku? Dia cantik. Kayaknya anaknya seru banget. Selalu punya bahan obrolan. Iya kan?" Haejun kembali melirik kakaknya yang diam sejak tadi, "hyung, jawab dong. Dari tadi diem terus. Sariawan?"

Taehyung menyunggingkan segaris senyum simpul. Hanya itu jawabannya. Tapi sudah cukup sebagai bukti bagi Haejun kalau kakaknya itu sedang bahagia. "Ibu bener. Hyung akhirnya bisa senyum lagi."

Mendongak lagi, Taehyung bisa melihat rasa tulus memancar dari kedua mata adiknya.

"Tiap hari wajah hyung itu ketat banget. Berasa hidup sama patung," tambah Haejun, "dan setelah kenal Jungkook, akhirnya hyung bisa senyum lagi."

"Jadi, buruan hyung," senyum Haejun yang penuh arti segera berubah menjadi seringai usil khasnya, "kenalin dia ke Ibu sama Ayah, keburu diambil orang. Ah, jangan jauh-jauh deh. Aku juga mau kok sama Jungkook kalau dia kelamaan dianggurin."

Taehyung mendelik tanpa sadar, membuat Haejun tertawa terpingkal-pingkal.

"Kidding, bro! Serius banget," gelak Haejun. Melenggang pergi membawa bekas kotak Chinese orderannya. "Eh tapi, kalau hyung beneran nggak ngaku kalau ada apa-apa sama Jungkook, berarti aku masih punya kesempatan."

Mendengus kecil, Taehyung berbalik untuk mengambil wine di kulkas. "Terserah," jawabnya acuh tak acuh.

"Serius terserah?"

Taehyung menoleh kaget. "Eh... yah..."

"Tantangan diterima!" Haejun bersorak senang, meninggalkan Taehyung yang melongo di dapur.


Somewhere between living and dreaming, there's New York. Kota megapolitan, the city that never sleeps. Kota yang menjadi pusat migrasi terbesar di dunia. Kota yang menjadi impian bagi mereka yang menginginkan hidup yang lebih baik.

Tidak bisa dipungkiri juga bahwa New York adalah kota yang berpengaruh. Shake Shack yang awalnya cuma gerobak dorong yang menjual hotdog di Grand Central Terminal kini sudah membuka gerai yang selalu ramai setiap hari terutama jam makan siang.

Dalam film, New York juga sering menjadi setting yang membantu menghidupkan cerita. Salah satu film ber-setting New York yang Jungkook senangi adalah The Devil Wears Prada. Menunjukkan betapa susahnya Andrea Sachs (Anne Hathaway) bekerja di majalah fashion New York 'RUNWAY' yang menjadi kiblat mode setelah Paris. CEO-nya, Miranda Priestly (Meryl Streep) adalah CEO paling menyebalkan sedunia—somehow, Miranda Priestly reminds Jungkook about Anna Wintour— tapi dia melakukan itu karena dia tahu New York berpotensi besar menjadi influencer. Karena New York adalah kota impian. Semua yang ada di New York adalah 'gula' bagi para 'semut'.

So does Jeon Jungkook.

Ia datang di New York satu tahun yang lalu. Disambut oleh Queensboro Bridge dan bangunan megah Grand Central Terminal. Langsung jatuh hati begitu menghirup udaranya. Hanya butuh 6 detik untuk Jungkook mencintai New York seperti 6 tahun ia tinggal disana. Jungkook percaya bahwa New York akan memberinya banyak inspirasi untuknya ditulis dan dilukis, dan banyak ide untuknya diceritakan dan dibagi. Seorang penulis sekaligus ilustrator sepertinya juga butuh inspirasi untuk menelurkan buku.

Kecantikan New York tidak bisa diabaikan. Setiap sudutnya menyimpan banyak cerita. Setiap bangunannya menyimpan banyak makna. Mulai dari Queens menyeberang hingga ke New Jersey, Jungkook menjelajah dan menjadikan New York sebagai "ruang kerja"-nya, mengabadikan setiap sudut New York dengan Canon 600D-nya, setiap hari ketika Seokjin berangkat kerja.

Jungkook pikir kisahnya di New York hanya itu-itu saja. Berjalan kaki setiap hari tidak tentu arah sambil mengalung kamera, berusaha mencuri dengar setiap percakapan di sekitarnya, mengorek rahasia dari mata orang yang berpapasan dengannya. Tapi New York punya keajaibannya sendiri—yang datang di musim dingin, tepatnya ketika tahun baru.

New York mempertemukan Jungkook dengan lelaki itu. Lelaki misterius yang hari ini membawanya berada di depan Flatiron Building, mau repot-repot menunggui si lelaki yang sibuk menggambar.

Lelaki bernama Kim Taehyung yang menjadi teman jalan-jalannya setiap hari.

Jungkook menyandarkan tubuhnya ke punggung kursi Madison Square Park, menyesap Starbucks lalu menggigit sandwich-nya. Hari ini Taehyung menjemputnya pagi-pagi, sekitar jam 8. Satu jam lebih cepat dari biasanya mereka bertemu.

"Kita kesini cuma buat ngegambar Flatiron?" tanya Jungkook pada awalnya.

Taehyung hanya menyeringai, mulai menggambar garis-garis dan membiarkan Jungkook duduk melongo di sebelahnya.

"Tae, serius deh."

"Apanya?"

"Kamu bikin aku kaget pagi-pagi, mandi buru-buru sampai nggak sarapan, cuma buat nungguin kamu ngegambar Flatiron?"

Ini ocehan kesekian dari Jungkook tentang Taehyung yang mengajaknya keluar terlalu pagi.

"Iya serius. Ini buktinya aku lagi ngegambar gedungnya," sahut Taehyung datar, menghentikan kegiatannya menggambar sebentar untuk menunjukkan sketsa Flatiron Building yang hampir selesai.

Kalau biasanya Jungkook langsung memuji gambar yang dibuat Taehyung, hari ini Jungkook bersungut-sungut meskipun tidak tahan untuk tidak segera bilang, "Bagus."

Taehyung tersenyum menatap Jungkook agak lama sebelum kembali menyelesaikan gambarnya.

"Pokoknya makan siang nanti ke Patron ya," kata Jungkook, nadanya kedengaran bossy, "dan kamu yang traktir aku."

"Nggak Shake Shack lagi?" tanya Taehyung menggoda.

"Yaudah kalau nggak mau Patron ke Spotted Pig aja."

"Irish pub mau nggak? Tavern lagi."

"I'm the Boss."

Taehyung tersenyum mendengar Jungkook yang seperti merajuk. Jadi lelaki itu menyimpan pensilnya di sela-sela buku sketsa, menutup buku sketsanya lalu berdiri. Jungkook sudah mengulurkan tangan, seperti biasa menyimpan buku sketsa Taehyung di dalam tasnya. "Yuk udah," kata Taehyung, "Bu Bos mau kemana? Masih tiga jam lagi sebelum waktu makan siang."

Satu musim Jungkook mengenal Taehyung, lelaki itu memang tidak sekaku yang Jungkook kira. Taehyung cukup menyenangkan dan seru untuk diajak mengobrol. "Barnes & Noble, oke? Aku udah nemenin kamu kayak orang bego di sini dan sekarang ganti kamu yang ikut aku. Ada bukunya Bill Hayes yang baru terbit dan aku nggak mau ketinggalan."

"Kenapa tadi nggak hunting foto aja? Aku ngajak kamu kesini biar bisa hunting foto selagi nunggu aku ngegambar Flatiron."

Mendesah, Jungkook berbalik menatap Taehyung yang berdiri di belakangnya. "Taehyung, please. Kamu kira aku belanja baju disini nggak bolak-balik lewat Flatiron?"

"Cool, New Yorkers asli," ledek Taehyung lalu tertawa.

"Nggak lucu," dengus Jungkook, melangkah lebih dulu. Taehyung menutup mulut rapat-rapat, mengulum senyum menahan tawa sambil menyusul Jungkook tanpa perlu kesusahan mengejarnya.

Jarak dari Madison Square Park ke Barnes & Noble tidak terlalu jauh. Dengan pepohonan di tepi jalan yang rindang setelah gundul di musim dingin serta bangunan-bangunan yang aesthetically pleasing, Jungkook bahkan sudah lupa dengan rasa dongkolnya terhadap Taehyung. Perempuan itu sudah mengarahkan lensa 600D-nya kemana-mana.

"Apa genre fotomu?"

Jungkook menoleh sebentar pada Taehyung. "Maksudnya?"

"Genre foto," ulang Taehyung, "human interest atau architectural atau candid atau cewek-cewek fashion street atau sekadar memotret..."

"Cerewet ya kamu," gelak Jungkook, "aku sih nggak fokus di satu genre aja."

"Berarti asal jepret dong?" Taehyung tersenyum.

"Asal jepret tapi bagus kan nggak masalah," tukas Jungkook lalu mengarahkan lensa kameranya pada Taehyung. Memotret lelaki itu ketika sedang tersenyum. Tampan dengan senyum tipisnya dan T-shirt putih yang dilapisi sweater tipis warna biru. Jungkook hampir lupa kalau lelaki di sebelahnya ini sudah 29 tahun.

"Stalker," goda Taehyung, dibalas pelototan kesal dari Jungkook.

"Hmmm..." sambil bergumam, Taehyung meraih ponsel di saku celana, membuka pemberitahuan berita yang muncul di layar notifikasinya, "ada pameran lukisan di The Met. Mau kesana setelah dari Barnes & Noble?"

"Apa, apa?"

Taehyung berjengit kaget karena tanggapan yang antusias tiba-tiba dari Jungkook. Perempuan itu berhenti tepat di depan Taehyung dan wajahnya begitu dekat dengan wajah Taehyung. "Eh... pameran lukisan. Di The Met."

"Kesana aja!" pekik Jungkook kegirangan, menarik tangan Taehyung untuk berbalik arah, "ke exhibition aja yuk Tae! Barnes & Noble-nya nggak jadi!"

"Bener nggak jadi ke BN? Nanti bukunya keburu sold out lho."

"Ada Amazon, bisa beli disana," tukas Jungkook cepat, menatap Taehyung dengan kedua matanya yang berbinar-binar, "pameran lukisan punya banyak inspirasi daripada toko buku!"

Satu musim Taehyung mengenal Jungkook, ekspresi yang paling disukainya dari perempuan itu adalah ketika Jungkook sedang bersemangat. Jungkook memiliki dua bola mata yang cantik, berbinar-binar seperti anak rusa. Juga senyumnya yang kelewat ceria sehingga membuat kedua matanya menyipit. Taehyung baru tahu kalau Jungkook punya lesung pipi. Samar, tapi jika dilihat dari dekat tetap manis.

Taehyung memandangi tangannya yang digenggam erat oleh Jungkook. Tangannya, bukan pergelangan tangannya. Jungkook terlalu bersemangat setelah Taehyung memberitahu ada art exhibition di The Metropolitan Museum of Art—colloquially "The Met", mungkin karena namanya kepanjangan—lalu menarik tangan lelaki itu dan tidak melepaskannya bahkan ketika bus bernomor BxM3 tiba.

Taehyung tersenyum, balas menggenggam tangan Jungkook. Membuat Jungkook tersentak kaget lalu melihat tangan mereka yang masih bertautan.

"Tanganmu kecil juga ya."

Jungkook menggerutu, melepaskan tangan Taehyung begitu saja. "Tanganmu aja yang kegedean."

Taehyung tertawa, membiarkan Jungkook naik bus lebih dulu dan Taehyung yang membayar tarif busnya.

Dari Madison Ave 29 St. ke Madison Ave 84 St. tempat The Metropolitan Museum of Arts berada memakan waktu setengah jam. Jungkook agak menyesal karena tarif busnya agak mahal, apalagi Taehyung yang membayarnya.

"Udahlah nggak apa-apa. Kalau nekat jalan kaki satu jam ke Metropolitan Museum kakimu bisa pegal," Taehyung berujar menenangkan lengkap dengan senyumnya yang kalem, "apalagi pakai sepatu kayak gitu."

Jungkook melirik kedua kakinya yang dibalut wedges Manolo Blahnik lalu menyeringai lebar pada Taehyung.

Tiba di perhentian Madison Ave 84 St., The Metropolitan Museum of Art bisa dijangkau hanya dengan waktu lima menit. Jungkook melihat ada banyak pengunjung pameran yang memadati bangunan museum bergaya antik yang cantik itu, membuatnya bersemangat untuk segera masuk ke art exhibition yang ternyata gratis.

"New York kalau gratisan enak ya, Tae," celetuknya ringan, membuat Taehyung tertawa.

Karya yang dipamerkan di art exhibition itu bergaya kontemporer. Mereka karya seniman-seniman berbakat di seluruh dunia yang dipamerkan dalam pameran hetero. Bukan hanya lukisan, tapi juga patung.

Jungkook menyukai seni. Kontemporer ataupun murni, tulis ataupun gambar, lukis ataupun patung. Keluarganya mewarisi darah seni yang kental. Sejak kecil ia sudah berteman dengan seni dan selalu bersemangat tiap datang ke pameran atau bedah buku. Maka ketika Jungkook melihat banyak sekali lukisan dan patung yang dipamerkan, Jungkook hampir lupa ada Taehyung bersamanya.

"Jangan jauh-jauh ya," Jungkook menoleh ke arah Taehyung ketika bahunya disentuh oleh lelaki itu, "museumnya besar. Kalau kita terpisah, nyarinya bakal repot."

The Met memang dipenuhi banyak orang saat itu, terutama rombongan turis-turis yang sepertinya menyamakan waktu jalan-jalan mereka kesini ketika ada pameran.

"Tahu lukisan ini?"

"Eh?" Jungkook menengadah, menatap lukisan kontemporer yang ditunjuk Taehyung. Meneliti sebentar sebelum memekik kecil. "Dua orang yang tidak berbaju?" tanyanya pelan, menatap Taehyung yang sedang tersenyum. "Salah ya?"

"Nggak kok. Kamu benar," jawab Taehyung, "tapi ada gambar lain di lukisan ini."

"Hah?" kening Jungkook dikerutkan heran, mengamati lagi lukisan di depannya, "gambar apa? Aku nggak lihat."

"Coba lihat lagi."

"Apa sih memang?" tanya Jungkook penasaran, bahkan mendekatkan wajahnya ke lukisan itu untuk mencari gambar lain di lukisan tadi.

Taehyung tertawa. "Segitunya ya," ujarnya geli, "gambar lain yang kumaksud itu adalah gambar sembilan ekor lumba-lumba. Kamu lihat?"

"Sembilan ekor lumba-lumba?" Jungkook membeo, mengamati lagi dengan lebih jeli sebelum berseru pelan, "ah! Aku lihat!"

"Lukisan ini karya Sandro del Prete. Judulnya Message d'Amour des Dauphins. Lukisan ini terinspirasi dari apa yang kita lihat pada sebuah objek, akan tergantung pada memori utama kita terhadap realitas yang kita alami sehari-hari. Orang dewasa pertama kali bilang kalau lukisan ini adalah lukisan dua orang yang nggak berbusana karena kita sudah tahu yang namanya hubungan intim. Tapi kalau anak-anak, mereka akan bilang kalau lukisan ini adalah lukisan sembilan ekor lumba-lumba karena mereka masih polos, mereka sering diajarkan tentang dunia satwa," terang Taehyung panjang lebar. Tersenyum pada Jungkook yang menatap lukisan itu dengan pandangan takjub.

"Keren!" gumam Jungkook antusias, kembali menengadah pada Taehyung, "kayaknya kamu tahu banyak soal lukisan ya."

"Nggak juga," tukas Taehyung sambil mengibaskan sebelah tangannya, "yuk keliling lagi."

Bagi Jungkook, mengerti tentang makna asli dibalik sebuah karya seni adalah suatu keharusan. Dari sana, ia memahami semua pesan yang disampaikan seniman kepada apresiator, mengambil nasihat yang ada di sana, yang terkadang membuatnya tertegun dan merinding sendiri. Bersama dengan Taehyung—yang entah kenapa hari ini menjadi tour guide pribadinya secara tiba-tiba—Jungkook memahami lebih banyak lagi pesan-pesan yang disampaikan seniman melalui karya mereka.

"Ini karya Pawel Kuczynski, seniman dari Polandia," Taehyung menunjuk tiga lukisan kontemporer yang dipajang berdampingan, "dia mengambil tema tentang bagaimana rusaknya dunia saat ini."

"It's obvious, though," komentar Jungkook, "lihat lukisan itu? Yang orang sembunyi dan ngintip ke dunia luar lewat teropong yang bentuknya lambang Facebook. Not to mention any brand names, ya, tapi jelas banget itu maknanya."

Taehyung menanggapinya dengan anggukan kepala.

Hari ini, lelaki itu berbohong tentang satu hal; bahwa ia tidak tahu banyak soal lukisan dan seni. Hampir semua lukisan ia terjemahkan untuk Jungkook yang manggut-manggut karena deep meaning di baliknya. Tapi Taehyung juga benar tentang satu hal; soal The Met yang terlalu besar dan beresiko kalau mereka terpisah. Jungkook baru sadar ketika mereka keluar dari museum.

"The Met sering mengadakan pameran," kata Taehyung ketika mereka mampir ke The Loeb Boathouse untuk makan siang, "koleksi-koleksinya juga bagus. Kalau penat, daripada belanja dan buang-buang uang, mending jalan-jalan kesana terus mampir ke sini, makan Turkey Burger-nya."

Jungkook menatap Taehyung dengan mata disipitkan sebelum melahap setangkup Vegetarian Burger.

Menghabiskan waktu seharian bersama Taehyung entah sejak kapan sudah menjadi rutinitas utama Jungkook. Ia bahkan lupa kapan terakhir kali ia belanja bersama dengan Seokjin, memburu diskon-diskon sambil memutari mall sampai malam. Taehyung dan jalan-jalan mereka mengelilingi New York, berhenti di depan bangunan-bangunan keren, keluar-masuk toko buku, duduk mengobrol di kedai kopi, atau sekadar menghabiskan waktu sendiri-sendiri di taman dengan buku sketsa dan kamera di tangan. Atau ketika Jungkook sedang mood, ia membawa serta buku notesnya yang bersampul gambar Tumblr untuk menulis sesuatu.

Sejak menjadi teman jalan-jalan, sejak saat itu pulalah mereka tahu tidak ada yang ingin hal ini cepat berakhir. Mereka membiarkan semuanya mengalir begitu saja, menganggap hal ini adalah yang lumrah terjadi.

"Makasih untuk jalan-jalannya hari ini ya Tae."

Taehyung tersenyum. Seperti biasa, ia mengantarkan Jungkook sampai ke depan loft. Ia harus memastikan Jungkook tiba dengan selamat sebelum dirinya sendiri. "Masuklah. Cepat istirahat, aku tidak yakin kakimu kuat berdiri lama-lama."

"Besok-besok, pakai saja keds atau sneakers. Baru sekarang aku melihat orang jalan-jalan pakai wedges," Taehyung menambahkan.

"Aku pulang dulu," pamitnya, melambaikan tangan sekilas pada Jungkook kemudian berbalik pergi.

Kalau biasanya, Jungkook langsung masuk ke loft setelah lelaki itu mengantarnya pulang. Tapi kali ini, entah kenapa ia tidak ingin beranjak masuk secepatnya seperti biasanya. Matanya masih terpaku pada punggung Taehyung yang mulai menjauh.

"Taehyung."

Jungkook tidak yakin bagaimana rupa suaranya ketika memanggil lelaki itu dengan nama aslinya. Ada sesuatu yang harus ia katakan, sesuatu yang hampir berkarat di ujung lidahnya karena ia tidak tahu kapan ia harus mengatakannya.

"Ada apa?"

"Can we stay like this?"

Jungkook bisa melihat Taehyung sempurna berbalik menghadapnya. Dari jarak lebih dari satu meter ini, Jungkook juga bisa melihat dengan jelas senyum Taehyung. Senyum yang menunjukkan seolah pertanyaan Jungkook tidak perlu dipertanyakan karena jawabannya sudah jelas.

"Tentu saja."

Taehyung tersenyum. Jungkook tersenyum. Lalu mereka berdua sama-sama tahu.

Mereka tidak akan saling meninggalkan.

TO BE CONTINUED