Something Hidden
Disclaimer: Masashi Kishimoto (but fic real mine)
Pair: Nagato Uzumaki & Tenten
Rate: T
Genre: Find your self
Hehe, inilah Fic pengganti Give Me Your Heart :p Hehe, baru kali ini ya nemu fic Indonesia pair Nagaten? Gk tau lagi deh klo ada yg lain selain fic ini. Jarang bgt fic Tenten dgn crack pair. Makanya author coba2 bkin crack pair, hihihi. Sebenernya ini fic mau author jadiin Crossover. Pair nya Tenten sma Light Yagami (Death Note) Tpi krna stiap nulis fic ini, author slalu ingt Nagato, yaudah. Nagato aja yg author masukin :D #dasar bego… Chap pertama emng pndek. Sperti biasa, author mau liat brp review msuk. Kalo bnyak, insyaallah author update cepet. Kalo enggak,, author rada gak semngat. Setelah baca, pling enggak tinggalin jejak like, or follow, atau review. Biar author semngt lnjutin ^_^
So, gk mau bnyak bicara. Happy read aja semua.. ^-^
(Maaf jika ada typo bertebaran :p Author gk seteliti itu ^-^)
Ribuan orang telah memadati halaman istana ketika menyambut jenazah orang yang mereka cintai dan mereka hormati. Tangis mereka pecah seketika saat prajurit istana mengumumkan bahwa raja mereka telah tiada. Bahkan di antara mereka beberapa ada yang pingsan karena belum bisa menerima kenyataan yang sebenarnya bahwa raja yang sangat mereka cintai telah meninggal karena suatu penyakit misterius yang menjangkitinya.
Peti mati yang terbuat dari kayu jati lengkap dengan lapisan emas di setiap sisinya telah di keluarkan dan siap untuk di antar ke tanah pemakaman keluarga kerajaan yang membutuhkan waktu satu hari untuk sampai ke sana. Tangis para penduduk makin pecah ketika prajurit kerajaan berjalan melewati mereka dengan peti mati berada di atas bahunya.
.
.
.
.
Tiga hari telah para penduduk lewati tanpa pemimpin yang terkenal dengan kedermawannannya, baik, dan sangat menicintai rakyatnya. Setiap rumah menggantung kain berwarna merah yang di kaitkan ke tiang setinggi dua meter guna menandakan bahwa mereka masih dalam keadaan berkabung atas kematian sang raja.
Dukk….
Suara benda keras terdengar oleh satu keluarga yang tengah menikmati makan malam sederhana mereka. Pemuda berusia 24 tahun itu lantas beranjak dari duduknya dan segera membuka pintu rumahnya. Lelaki itu berjongkok guna memungut satu gulungan yang tergeletak di bawahnya. Tanpa banyak pemikiran untuk memikirkan hal apa yang kira-kira tertulis di sana, ia segera membuka gulungan berukuran tiga puluh centi itu dan membaca barisan huruf yang tertera di dalamnya. Setelah membaca pesan yang ada di gulungan itu, pemuda tampan itu hanya menaikkan kedua bahunya menandakan dia siap melaksanakan tugasnya esok hari.
"Suara apa tadi?" Ibu pemuda itu bertanya saat wanita tua itu mencuci piring sisa makan malam barusan.
"Hanya tugas wajib yang harus aku lakukan Kaasan." Jawabnya seraya meneguk air putih yang ada di meja makan.
"Apa berbahaya?" Ibunya bertanya sekali lagi. Kini wanita tua itu menampakkan wajah cemasnya di depan anak lelakinya.
"Tidak Kaasan, mereka hanya menyuruhku untuk mengamankan keadaan sekitar saat raja yang baru datang esok hari. Kaasan tidak perlu mengkhawatirkanku." Lelaki itu tersenyum penuh arti pada ibunya.
"Nagato, Kaasan hanya tidak ingin mengulangi kesalahan yang sama. Sudah cukup Kaasan kehilangan ayahmu karena kebodohan Kaasan. Kaasan tidak mau kehilangan dirimu lagi. Kau sangat berarti untuk Kaasan." Sebulir air mata turun membasahi pipi wanita itu.
"Kaasan, jangan terlalu mengkhawatirkan aku. Aku baik-baik saja." Lelaki berambut merah itu memeluk ibunya.
"Berjanjilah pada Kaasan kalau kau tidak akan pergi sebelum Kaasan." Wanita itu memeluk Nagato lebih erat.
"Kaasan bicara apa? Tidak akan ada yang pergi terlebih dahulu atau belakangan. Aku akan menjaga Kaasan bahkan jika itu membunuhku." Nagato melepas pelukannya dan menatap lembut ibunya. "Jadi, jangan pernah mengatakan hal seperti itu lagi. Aku akan merasa bersalah pasa Tousan jika Kaasan mengatakan hal itu. Itu artinya aku gagal menjalankan tugasku sebagai seorang anak. Aku sudah berjanji pada Tousan tidak akan membuat Kaasan menangis. Aku mencintai Kaasan. Kaasan adalah alasan untukku hidup hingga sekarang."
"Hmh, maafkan Kaasan. Kaasan tidak akan berkata seperti itu lagi." Wanita itu menyentuh bahu anak lelakinya. "Tidurlah, sudah hampir malam. Kau harus sehat untuk pekerjaanmu besok."
"Kaasan juga tidurlah. Jangan terlalu lelah."
.
.
.
.
.
Dua tandu mewah dari kayu jati yang di angkat oleh sejumlah prajurit telah terlihat oleh kedua bola mata Nagato. Pemuda berambut merah itu mengikuti semua prajurit yang lainnya yang telah bersimpuh terlebih dahulu guna menghormati raja baru mereka. Tak ketinggalan pula para penduduk yang sangat gembira menyambut kedatangan pemimpin baru mereka. Antusiasme para penduduk jelas terlihat ketika dua tandu telah memasuki halaman istana. Mereka bahkan melempari dua tandu itu dengan ribuan kelopak bunga setelah dua tandu tersebut telah di turunkan.
Satu kaki berukuran cukup besar telah menapak di atas tanah Negeri Gedo. Riuh seluruh penduduk semakin terdengar ketika Raja baru mereka telah benar-benar menampakkan wujudnya. Lelaki paruh baya dengan tubuh sedikit tambun. Bola mata berwarna hitam pekat dan juga potongan sederhana untuk rambut hitamnya. Seperti itulah wujud raja baru yang terlihat oleh mata Nagato. Setelah beberapa saat memperhatikan lelaki paruh baya itu, mata Nagato ia larikan ke arah tandu yang berada tepat di samping tandu milik sang raja. Nagato mengernyitkan dahinya bingung karena pemilik tandu yang ia pandang belum juga menampakkan dirinya.
Wushh….
Angin sepoi-sepoi yang melintasi halaman istana membuat kain-kain baju yang di kenakan oleh semua manusia yang berada di istana mengayun pelan. Begitu juga gorden berwarna jingga yang sengaja di pasang di sisi tandu yang di letakkan tepat di hadapannya, terayun pelan. Tidak perlu waktu lama bagi Nagato untuk terkesiap ketika bola matanya sekilas menangkap helain rambut panjang berwarna cokelat lengkap dengan hiasan rambut di letakkan begitu rapi di sana.
"Apa yang kau lihat ?" Seorang teman menyikut pelan bahu Nagato.
"A-ah. Ti-tidak ada." Nagato gagap mencoba mengelak.
"Perkenalkan. Aku adalah raja baru kalian. Kalian bisa memanggilku Raja Suzugaoka. Aku akan memipin negeri ini lebih baik dari raja kalian sebelumnya." Pada akhirnya sang raja mengeluarkan suaranya yang menggema di seluruh sudut istana dan membuat riuh dan tepuk tangan penduduk semakin jelas terdengar.
Dua mata berbeda warna bertemu tanpa sengaja ketika seorang gadis keluar dari tandu. Ratusan pasang mata khusunya para laki-laki, tak ketinggalan para prajurit istana membelalak sempurna ketika seseorang di dalam tandu yang satunya menampakkan dirinya. Gadis berkulit putih susu, bermata cokelat, dan rambut panjang mencapai pinggang terlihat oleh mereka. Gadis muda itu menyibakkan pelan helaian rambutnya yang menutupi mata kanannya karena hembusan angin yang menerpanya. Dan tentu saja, Nagato adalah pemuda pertama yang beruntung karena ia adalah satu-satunya lelaki yang berhasil mencuri perhatian gadis itu ketika ia keluar dari tandu yang membawanya.
"Dia anak gadisku. Dia adalah anakku satu-satunya. Dan aku sangat mencintai kalian seperti aku mencinta anakku." Sang raja merangkul pelan bahu anak gadisnya yang terlihat seperti tidak nyaman dengan keadaan saat ini.
"Tousan, apa belum cukup Tousan memuji Tousan sendiri. Ini terlalu berlebihan." Gadis bernama Tenten itu berbisik pelan.
"Diamlah. Kau tidak tau apa-apa. Aku melakukan ini demi dirimu juga. Jadi, lebih baik kau tutup mulutmu." Balas Suzugaoka dingin.
oOo
Gadis berusia 19 tahun itu melangkahkan kakinya lemah menuju kamar barunya. Ya, baru saja dayang istana menunjukkan kamar yang sudah seharusnya ia tempati. Setelah dayang istana meninggalkannya, Tenten segera menutup pintunya dan menguncinya menandakan dia tidak ingin ada yang menganggu.
Tenten menggeser kursi yang berada di antara meja make up dan lemarinya. Setelahnya, ia memandang lemah dirinya melalui pantulan kaca. Satu persatu hiasan rambut ia lepas dari kepalanya. Kemudian ia menghapus make up tipis yang sejak tadi pagi menempel di wajah cantiknya. Benar sekali. Tiga hari waktu yang ia tempuh untuk sampai di desa ini. Bisa di bayangkan, betapa lelah yang Tenten rasakan, tiga hari harus duduk di dalam tandu dengan luas tidak lebih dari satu meter. Ia hanya akan beristirahat di sebuah penginapan ketika hari sudah mulai malam.
Tenten tidak pernah berpikir bahwa dia adalah gadis keturunan bangsawan. Kalau boleh jujur, ia lebih memilih menjadi rakyat biasa daripada menjadi seorang putri. Selama ini, ia tidak pernah bisa menjadi dirinya sendiri. Ia di tuntut menguasai berbagai macam hal, bersikap ramah pada orang yang bahkan ia tidak kenal, di larang melangkahkan kakinya dari luar istana lebih dari sepuluh kaki. Jika kebanyakan orang meyebut kehidupan seperti Tenten bagaikan burung dalam sangkar emas, maka Tenten lebih suka menyebut dirinya adalah segumpal air, yang mau tidak mau harus mengikuti bentuk wadah yang sudah di sediakan.
Tok..tok..
Suara ketukan yang Tenten dengar membuatnya otomatis melarikan pandangannya ke arah pintu kamarnya. Ia beranjak dari duduknya dan segera membuka pintu kamarnya. Seorang dayang telah berdiri anggun di depan Tenten. Tenten menatap sebuah nampan berisi makanan di tangan dayang itu.
"Silahkan makan Tenten-sama. Saya tau, Tenten-sama tidak akan nyaman makan di tempat asing seperti ini. Jadi saya menyarankan pada pelayan istana agar mengambil makanan secukupnya untuk Tenten-sama nikmati di dalam kamar." Lirihnya sembari menundukkan kepalanya.
"Terimakasih banyak…."
"Ino.. Tenten-sama,"
"Oh ya, Ino-san. Terimakasih banyak." Tenten mengulum senyum.
"Sudah menjadi tugasku Tenten-sama." Ino membungkukkan tubuhnya.
"Ta-tapi Ino-san. Bisakah kau memanggilku Tenten saja? Aku sangat tidak nyaman jika di panggil dengan embel-embel 'Sama'." Tenten berbisik.
"Kalau masalah itu saya tidak bisa melakukannya Tenten-sama. Kami para dayang telah di sumpah untuk melayani dan menghormati tuannya." Ino berkata ragu.
"Hm, baiklah. Kalau begitu, di mana letak kamar mandi ? Sepertinya aku harus mandi." Tenten menyapukan pandangannya ke sekeliling istana.
"Apa saya boleh memberi saran Tenten-sama," Ino melirihkan suaranya.
"Silahkan," Tenten mengulum senyum.
"Lebih baik Tenten-sama mandi di kolam air hangat di kaki gunung yang tidak jauh dari sini. Suzuki-sama biasa berendam di sana untuk menenangkan diri." Ino mendongakkan wajahnya sedikit.
"Ide yang sangat bagus. Tapi, aku takut Tousan tau." Tenten berbisik.
"Tenten-sama tenang saja. Kolam itu masih berada di wilayah istana. Bahkan tembok istana masih mengelilingi kolam itu. Saya hanya memberi saran. Maaf jika saya lancang." Ino tertunduk.
"Masuklah. Aku akan mengambil baju-baju dan peralatan mandiku terlebih dahulu." Tenten menarik pelan Ino masuk kekamarnya.
"Ba-baik.." Ino melangkah masuk.
oOo
Siang menjelang sore. Gadis bermata hazel itu lebih memilih mengikuti dayangnya ke kolam yang tadi ia ceritakan daripada harus menemani ayahnya bercengkrama dengan para petinggi dari negeri seberang. Tenten memejamkan matanya menikmati kenyamanan yang alam berikan padanya. Kemudian ia menggosok kedua bahunya pelan untuk menghilangkan debu-debu yang menempel setelah perjalanan panjang kemarin. Setelahnya, gadis itu melayangkan pandangannya pada dayang berambut pirang dengan baju khas dayang kerajaan berwarna putih tulang dengan sabuk berbentuk menyerupai pita di bagian pinggangnya tengah duduk di atas sebuah batu di bibir kolam. Tenten mengulum senyum kecil dan membuka mulutnya.
"Ino-san, kenapa kau tidak ikut masuk ?"
"Maaf Tenten-sama, tapi kolam ini khusus untuk para raja dan keturunannya. Kami para dayang serta seluruh prajurit istana di larang untuk mandi di kolam ini." Ino menjelaskan singkat.
"Kenapa ?"
"Kami juga tidak tau alasannya Tenten-sama. Yang pasti peraturan itu sudah di ketahui sejak pendahulu Tenten-sama memimpin negeri ini. Bahkan raja Suzuki sendiri tidak tau apa alasan leluhurnya membuat peraturan semacam itu." Ino menundukkan kepalanya.
"Apa yang akan terjadi jika peraturan itu di langgar ?" Tenten bertanya sekali lagi.
"Maaf sekali lagi Tenten-sama, untuk masalah itu saya tidak mempunyai hak untuk menjelaskannya. Hanya mereka yang mempunyai darah para leluhur saja yang berhak atas itu." Jawab gadis itu tersenyum.
"Ternyata ada peraturan seaneh itu di negeri ini." Tenten mempoutkan bibirnya.
Tenten menyapukan kembali pandangannya ke setiap sudut tempat ini. Seolah ia tidak ingin melewatkan pemandangan satu pun. Gadis itu menatap intens ke arah sebuah objek yang ia rasa benda itu adalah sesuatu berwana abu-abu menjurus ke warna gelap berdiri kokoh di belakang sebuah batu besar. Tenten memicingkan matanya untuk memastikan benda apa yang di lihatnya.
"A-ada apa Tenten-sama?" Ino bertanya setelah ia melihat ekspresi aneh dari raut wajah Tenten.
"Apa yang ada di sana?" Tenten menunjuk ke objek yang ia tatap dari tadi.
Ino mengalihkan pandangannya ke arah objek yang Tenten tunjuk dan memicingkan matanya. "Itu adalah pintu yang para leluhur siapkan untuk raja melarikan diri jika tiba-tiba ada peperangan."
"Pe-perang?" Tenten membulatkan matanya terkejut.
"Iya. Tapi Tenten-sama tenang saja. Itu terjadi sudah beratus-ratus tahun yang lalu. Semua petinggi, kini sudah membuat perjanjian agar tidak lagi ada perang antar sesama negara jika satu dari negara tersebut tidak ada yang berkhianat." Jelasnya.
"Semoga saja." Tenten melirihkan suaranya. "Ino-san, bisa kau meniggalkanku sebentar? Aku mau mengenakan bajuku." Tenten memungut bajunya yang ia letakkan di atas sebuah batu.
"Baik Tenten-sama. Aku ada di sana jika Tenten-sama sudah selesai." Ino menunjuk sebatang pohon berukuran besar berdiri tak jauh dari kolam. Tenten membalasnya hanya dengan sekali anggukan kecil.
Setelah Tenten mengenakan pakaiannya, ia melarikan pandangannya ke arah Ino yang masih setia menunggunya di bawah pohon yang gadis pirang itu tunjuk tadi. Ia kemudian memicingkan matanya ke arah pintu yang dari tadi berhasil membuatnya penasaran. Tenten melirik Ino sekilas untuk memastikan kalau gadis pirang itu tidak melihatnya berjalan menuju pintu itu.
Tenten berjalan selangkah demi selangkah memperhatikan sekitarnya. Sesekali ia harus meringkuk di belakang batu ketika Ino kembali menyapukan pengelihatannya pada sekeliling. Setelah ia sampai di depan pintu yang ia tuju. Tenten meletakkan tangannya di atas sebuah gagang pintu berbentuk bulat dan segera memutarnya. Meski ia harus sedikit menekan energinya utuk memutar benda itu, Tenten tetap berusaha. Karena rasa penasarannya mengalahkan itu semua. Beberapa saat kemudian, gadis itu membuka pelan pintu di hadapannya untuk menghindari suara decit karena gesakan antara besi dan batu yang di gunakan sebagai penopang benda berat itu.
Tenten membulatkan matanya takjub ketika melihat sesuatu di balik benda kokoh itu. Gadis itu memalingkan pandangannya ke sisi kanannya, terdapat air terjun indah berukuran cukup besar di sana. Kemudian ia mendekati air terjun itu dan memasukkan tangan kanannya ke dalamnya.
"Hangat," Gumam Tenten mengulum senyum. 'Sepertinya ini akan menjadi satu -satunya alasan mengapa aku betah tinggal di sini.'
Clep..
Tenten diam di tempat. Ia memalingkan sedikit wajahnya hanya untuk memastikan apakah ada seseorang di sana selain dirinya. Ia akhirnya memutuskan untuk menghampiri sumber suara tersebut. Gadis itu sempat menginjak beberapa ranting kering yang menghasilkan suara kecil menganggu.
Setelah beberapa meter berjalan, satu pohon menarik perhatian gadis itu. Bukan hanya karena ukurannya yang cukup besar dan juga daunnya yang lebat, tapi juga sepertinya ada sesuatu yang menggantung di sana.
Perlahan ia mendekati pohon yang sedari tadi ia tatap. Setelah sampai di depan pohon, Tenten tidak melihat ada siapapun di sana. Yang ia lihat hanyalah anak panah yang tertancap pada sebuah papan berbentuk lingkaran.
Ia lantas mencabut salah satu anak panah yang tertancap di sana kemudian menyentuh ujung runcing anak panah tersebut yang terasa masih hangat. Sejauh yang ia tau, jika sebuah anak panah yang ujung runcingnya masih terasa hangat, itu tandanya anak panah tersebut baru saja di gunakan. Tapi siapa? Ia tidak melihat seorangpun di sini.
Wussh... Clep!
Kembali anak panah melesat menembus rambut Tenten melalui lekukan leher kirinya. Nafas Tenten terhenti, degup jantungnya juga berpacu lebih cepat, dua bola matanya melebar karena terkejut setengah mati. Jika saja ia berdiri sedikit ke kiri, mungkin anak panah yang baru saja melesat itu, sudah pasti akan melubangi lehernya. Tapi Tuhan masih memberinya kesempatan untuk hidup. Buktinya, anak panah itu menancap tepat di tengah papan yang berada tepat di belakang tubuh Tenten.
Srek…
Seseorang keluar dari semak-semak. Orang itu segera bersimpuh di hadapan Tenten setelah ia tau ketika anak panahya hampir mengenai putri negeri ini.
"Maaf.. Maafkan saya Tenten-sama. Saya benar-benar tidak tau kalau Tenten-sama berada di tempat ini." Kata pemuda tersebut.
Kedua kaki Tenten terasa begitu lemas hingga membuatnya jatuh terduduk di tempat yang sama. Kedua tangannya mencoba menahan berat badannya agar tidak tersungkur kedepan. Ia mencoba bernafas perlahan agar ia bisa sedikit lebih tenang. Tangan kanannya menahan dadanya berharap degup jantung yang berpacu tidak sebagaimana mestinya bisa kembai normal.
Setelah di rasa cukup tenang, Tenten memalingkan matanya pada lelaki di hadapannya. Ia memicingkan matanya melihat pemuda berambut merah yang tengah menunduk tanpa berani menatap matanya. Tenten beranjak berdiri dan mendekati lelaki itu meski jalannya sedikit terhuyung karena keterkejutannya belum sirna sepenuhnya.
Ia melipat kedua kakinya kebelakang, duduk di hadapan pemuda itu. Lelaki tersebut masih belum berani mendongakkan kepalanya ketika Tenten sudah berada di depannya. Merasa lelaki tersebut tidak akan menatapnya, Tenten berinisiatif untuk mengulurkan tangannya, menaikkan dagunya, dan menatap matanya.
"Ternyata dugaanku benar. Aku tidak asing denganmu. Apa kita pernah bertemu sebelumnya?" Tenten menggosokkan jari telunjuk kirinya ke dagunya.
"Te-Tenten- sama, ti..tidak seharusnya Tenten-sama melakukan ini." Lelaki tersebut melirikkan matanya kebawah.
"Oh maaf..."
"Aku masih penasaran. Apa kita pernah bertemu sebelumnya?" Tenten bertanya kemabali.
"Jika Tenten masih penasaran dengan jawaban tersebut, saya akan menjawab 'Iya.' Tapi bukan bertemu, lebih tepatnya pernah melihat." Pemuda itu menunduk.
"Ah, ya.. Aku ingat. Aku melihatmu tadi. Bersimpuh dengan prajurit yang lain ketika aku dan Ayahku datang bukan? Jadi kau seorang prajurit?" Tenten menjentikkan jarinya.
"Iya Tenten-sama. Dan aku sungguh menyesal soal tadi. Maafkan aku. Aku sungguh minta maaf."
"Lupakan saja. Bukankah sekarang aku baik-baik saja? Yah, meskipun aku sempat terkejut. Tapi tidak masalah." Tenten mengulum senyum. "Ah.. ya.. Siapa namamu?" Tenten menatap lelaki tersebut.
"Nagato, Tenten-sama. Uzumaki Nagato." Nagato sedikit mendongak.
"Nagato… Ya..ya, aku pernah mendengar nama itu. Aku juga memiliki buku tentang seseorang yang bernama Nagato. Apa kau tau? Di buku tersebut di kisahkan, Nagato adalah ksatria pemberani dan pantang menyerah. Dia baik, setia kawan, dan sangat adil. Yah, meskipun di awal cerita, dia di gambarkan sebagai figure yang misterius dan juga pengecut. Apakah kau seperti Nagato yang ada dalam bukuku?" Tenten memandang Nagato dengan tatapan polos.
"Mungkin yang bisa di gambarkan oleh buku itu akan diriku adalah seorang yang pengecut." Nagato tertawa renyah.
"Siapa bilang kau pengecut? Buktinya semua anak panahmu menancap tepat pada sasaran. Kau juga ada di barisan depan ketika menyambut kedatanganku dan Ayahku tadi siang. Kau tau, para menteri hanya menugaskan pada prajurit yang pemberani dan berdedikasi tinggi untuk berada di gardu paling depan. Jangan bilang kau tidak tau akan hal itu?" Bibir Tenten sedikit maju.
"Aku tau Tenten-sama. Dan terimakasih atas pujiannya." Nagato kini berani menatap wajah Tenten meski tidak di mata gadis itu.
"Itu bukan pujian. Aku hanya membicarakan fakta. Kau memang pemberani." Tenten menepuk bahu kanan Nagato dan beranjak dari duduknya.
Tenten berjalan menjauhi Nagato. Sedangkan Nagato juga beranjak dari posisinya dan menunggu sang putri menghilang dari pandangannya. Gadis itu menghentikan kakinya dan membalikkan tubuhnya kembali ke arah Nagato. Gadis itu sempat memanggil nama Nagato sebelum ia membuka mulutnya hendak berbicara,
"Apa kau tau tempat apa ini?"
"Ini adalah tempat…."
"Tunggu.." Tenten menghentikan perkataan Nagato sebelum lelaki itu menyelesaikan kalimatnya. Ia lantas mengarahkan telunjuknya ke arah Nagato dan menatap lelaki itu lekat. "Kau akan menjelaskan semuanya padaku besok. Karena kau yang akan menemaniku mengelilingi tempat ini." Tenten melipat kedua tangannya di depan dada.
"Ta-tapi Tenten-sama, tempat ini sangat luas. Dan lagi, aku tidak berhak untuk melakukan hal itu. Para menteri Istana sudah menyiapkan seseorang yang akan membimbing Tenten-sama mengelilingi seluruh negeri ini jika Tenten-sama mau." Nagato menurunkan busur panahnya.
"Aku tidak mau mengelilingi tempat seindah ini bersama mereka. Aku tidak mengenal mereka semua." Tenten melempar muka ke arah kirinya.
"Tenten-sama.."
"Apa kau bermaksud menolak permintaanku?" Tenten mengerutkan dahinya.
"Ti-tidak Tenten-sama. Mana mungkin aku menolak permintaan Tenten-sama. Semua yang di katakan oleh Tenten-sama dan Raja Suzugaoka adalah perintah untukku." Nagato kembali bersimpuh.
"Bagus. Kau tidak perlu mengkhawatirkan tentang ijin. Aku akan mengurus semuanya. Yang harus kau lakukan hanyalah, kau harus berada di sini pukul 8 pagi besok. Dan aku harap, kau tidak mengingkari janjimu."
"Ba-baik Tenten-sama." Nagato membalas dengan nada tegas.
oOo
Jamuan makan malam yang megah dan mewah tengah di gelar di pelataran istana guna menyambut raja baru Negeri ini. semua petinggi dari berbagai Negara juga datang untuk menghormati kerabat baru meraka. Hampir ada 40 orang menghadiri jamuan ini. Termasuk para keturunan raja-raja tersebut dan tak lupa juga menteri-menterinya. Dari sekitar 15 Raja yang ada di sini, hanya Raja Suzugaoka lah yang memiliki anak seorang gadis. Yang lainnya, sudah pasti laki-laki.
Tenten duduk di sebuah bangku yang letakknya tepat di sebelah ayahnya. Jujur saja, ia sangat tidak menyukai suasana seperti ini. Yang sedaritadi di perbincangkan hanyalah soal Negeri dan sedikit merembet ke urusan lelaki. Apa yang Tenten tau tentang itu semua? Sungguh, jika ia bisa memilih, ia pasti akan lebih memilih membantu para dayang memasak di dapur. Daripada harus bertahan di tempat yang membuat dirinya menjadi orang lain.
Tenten memalingkan wajahnya pada ayahnya yang masih terlibat perbincangan seru bersama raja-raja yang lainnya. Sedetik kemudian, wajah masam tampak jelas di wajah gadis itu. ia menyenggol pelan bahu ayahnya agar pria tersebut memperhatikannya.
Tenten telah berhasil mendapat perhatian dari ayahnya yang tidak lain adalah tuan rumah di istana ini. ia mengyunkan tangannya agar lelaki itu mendekat padanya. Setelah dirasa cukup dekat, Tenten kemudian berbisik,
"Ayah, bisa kita bicara sebentar?"
"Bicara apa? Katakan di sini saja." Perintahnya.
"Aku hanya meminta waktu ayah 3 menit. Tidak bisakah ayah mengabulkannya?" Kata Tenten dengan sedikit memberi penekanan nada di setiap kalimat yang ia lontarkan dari mulutnya.
"Baiklah, kau menang." Suzugaoka menatap malas Tenten. Pria itu lantas menyapukan pandanagannya ke seluruh orang yang berada di ruangan ini kemudain berkata, "Silahkan kalian semua teruskan perbincangan kalian. Aku butuh waktu sebentar untuk putriku." Suzugaoka mengulum senyum.
"Habiskan waktumu sebanyak yang kau butuh. Kami bisa mengerti." Salah satu Raja yang usianya sekitar 50 tahun membalas perkataan ayahnya.
"Baiklah. Kami permisi dulu." Suzugaoka menarik tangan kanan Tenten menjauh.
Sebelum Tenten pergi, ia juga sempat melempar senyumnya ke semua orang yang ada di ruangan tersebut. Semuanya membalas senyuman Tenten. Namun hanya satu pria yang membuat Tenten tak dapat melepas pandangannya. Seorang lelaki dengan senyuman manisnya. Sungguh, ia tak dapat mengartikan arti dari senyuman tersebut. Yang pasti, ia yakin, kalau senyuman tersebut memiliki arti yang berbeda dari senyuman yang biasa orang lain lontarkan padanya.
"Baiklah, apa yang akan kau katakan sekarang?" Suzugaoka melipat kedua tangannya di atas perutnya yang buncit.
"Emh, ayah.. Mungkinkah kalau aku besok pergi keluar istana?" Tenten bertanya ragu.
"Untuk apa?"
"Yah, seperti yang semua orang tau. Aku adalah orang baru di sini. Jadi sebagai seorang Putri, bukankah hal yang sangat menggelikan jika seorang aku tidak mengetahui apapun tentang negeri ini?"
"Baiklah, ayah akan mengutus menteri istana untuk menemanimu. Apa kau sudah puas sekarang?"
"Ah.. Tidak, tidak, tidak. Tidak perlu ayah. Aku sudah memiliki seseorang untuk menemaniku berkeliling." Tenten membalas cepat.
"Siapa?" Suzugaoka memicingkan matanya.
"Yah.. salah satu prajurit yang bertanggung jawab." Tenten mengulum senyum.
"Ayah tidak akan mempercayai siapapun untuk menjagamu. Bahkan prajurit yang berdedikasi tinggi sekalipun!"
"Tapi ayah, aku sama sekali tidak mengenal menteri-menteri itu." Tenten sedikit merengek.
"Tapi Tenten…" Tenten menatap ayahnya dengan puppy eyes miliknya. Jika sudah mengeluarkan tatapan seperti itu, Suzugaoka tidak akan pernah bisa menolak. "Yah… Baiklah, kau menang lagi. Jika kau memang yakin parjurit itu bertanggung jawab, sebelum kau pergi, bawa dia ke hadapan ayah." Suzugaoka memijat kecil pelipisnya.
"Baiklah." Tenten meloncat kecil sembari melangkahkan kakinya menjauhi ayahnya.
Suzugaoka menahan lengan kanan Tenten yang hedak pergi. Gadis itu membalikkan badannya dengan tatapan penuh tanya.
"Kau mau kemana?" Suzugaoka menaikkan kedua alisnya.
"Tentu saja ke kamar."
"Kamar kau bilang? Kau tidak ingat kita memiliki banyak tamu yang harus di jamu?"
Tenten memutar kedua bola matanya malas. Ia lantas menatap ayahnya malas sembari berkata, "Ayah.. mereka semua tamu-tamu ayah. Aku tidak pernah mengundang mereka datang kemari. Jika ada seseorang yang harus menjamu mereka semua, tentu saja orang itu adalah Ayah. Sungguh, aku sangat bosan berada di sana Ayah. Lagipula, aku merasa sedang tidak enak badan."
"Kalau begitu cepatlah kau masuk ke kamar. Ayah akan memanggil para dayang untuk merawatmu. Dan untuk rencanamu besok, lebih baik kau batalkan saja dahulu." Suzugaoka berkacak pinggang.
"Ah.. Tidak perlu berlebihan seperti itu Ayah. Yang aku butuhkan hanyalah istirahat setelah menempuh perjalanan jauh. Aku yakin, setelah aku tidur semua akan kembali normal."
"Baiklah kalau itu maumu. Istirahatlah. Ayah yang akan menjelaskan pada mereka." Suzugaoka mengelus lembut dahi Tenten dan berlalu pergi.
Tenten mengedarkan pandangannya ke seluruh sudut istana. Ketika ia mendapatkan apa yang ia cari, gadis itu segera menghampirinya.
"Ino-san," Tenten menyentuh bahu Ino yang kini membelakanginya.
"Ah… Tenten-sama, ada yang bisa saya bantu." Ini menundukkan kepalanya dan di ikuti oleh dayang-dayang lain yang juga berada di tempat yang sama.
"Ada yang ingin kubicarakan. Bisa kau ikut denganku?" Tenten sediki berbisik.
"Baik Tenten-sama."
Tenten menarik Ino menuju sebuah taman yang berada tak jauh dari kamarnya. Gadis itu lalu menyapukan matanya ke segala arah memastikan tidak ada siapa pun di sana selain dirinya dan Ino. Kembali Tenten membawa Ino ke sebuah kursi kayu di bawah pohon.
"Ada apa Tenten-sama? Kenapa Tenten-sama membawa saya kemari?" Ino menatap Tenten bingung.
"Apa kau tau, siapa saja para keturunan Raja yang hadir di jamuan malam ini?" Tenten mulai bertanya.
"Tentu saja Tenten-sama. Apa ada masalah?" Ino kembali bertanya.
"Apa kau tau, siapa lelaki yang menggunakan baju berwarna cokelat itu?"
"Apa maksud Tenten-sama lelaki yang berambut hitam lurus, tinggi, dan berkulit pucat itu?"
"Ya, kau benar. Siapa dia?"
"Dia adalah Sai-sama. Putra Raja Tetsuka dari keluarga Kaguchi. Ayahnya adalah seorang raja yang memipin Negeri Kaguchi yang juga di didirikan oleh keluarga mereka sendiri."
"Kaguchi? Aku tidak pernah mendengarnya." Tenten sedikit mengerutkan dahinya.
"Tentu saja Tenten-sama tidak pernah mendegarnya. Negara mereka ada di balik gunung Sutoshi yang jaraknya sangat jauh dari Negeri ini. Jangankan Tenten-sama, banyak di antara para menteri kerajaan yang juga tidak tau tentang Negeri itu." Ino menjelaskan.
"Lalu, bagaimana bisa paman Suzuki mengenalnya?"
"Sekitar 4 tahun yang lalu, negeri ini dengan negeri Kogume sempat mengalami perang dingin. Negeri Kogume dengan sengaja dan secara diam-diam memperluas wilayah mereka dengan meracuni pohon-pohon hutan di negeri ini sedikit demi sedikit. Kogume melakukan hal itu selama hampir 1 tahun, dan mereka berhasil memperluas daerahnya hampir setengah hektar. Para penduduk yang bekerja sebagai penebang kayu, suatu hari menemukan serpihan-serpihan bubuk racun yang biasa di gunakan untuk membunuh tanaman hama, menempel di hampir seluruh pohon-pohon yang ada di sana. Melihat peristiwa itu, penduduk desa menebang salah satu pohon dan membawa serpihan kecil pohon untuk di jadikan bukti ketika mereka bermaksud untuk menghadap pada para menteri istana. Setelah para menteri mengetahui apa yang terjadi, hari itu juga istana mempersiapkan para prajurit perang untuk bertempur guna mempertahankan wilayah milik mereka.
Raja Suzuki yang mengetahui akan terjadi peperangan, segera memerintahkan para prjurit untuk mundur. Beliau lebih memilih untuk membicarakan hal ini secara baik-baik daripada harus menyelesaikannya dengan peperangan.
Beberapa minggu kemudian, Pemimpin dari kerajaan Kogume yaitu Danzo-sama, memenuhi undangan Suzuki-sama untuk membahas masalah tersebut. Dan setelah membicarakan semuanya panjang lebar, akhirnya kedua negara memutuskan untuk membuat kesepakatan. Suzuki-sama merelakan tananhnya di miliki oleh Negeri Kogume. Dengan syarat, setiap para prajurit Negeri Gedo yang mengambil persediaan amunisi di pelabuhan Sigeru yang letaknya berada di Negeri Kogume, Negeri Kogume harus membebaskan pajak wilayah yang biasa para Prajurit Negeri Gedo alami selama bertahun-tahun."
"Lalu, apa hubungannya dengan Negeri Kaguchi?"
"Di saat Negeri Gedo dan Kogume mengalami perang dingin, para Menteri di Negeri Kaguchi perlahan mendekati Negeri Gedo agar Negeri mereka di akui oleh Negeri yang lain dan masuk ke dalam peta 5 bangsa besar di Jepang. Pada awalnya Negeri Kaguchi berniat untuk mendepak negeri Kogume agar posisi tersebut bisa di ambil alih. Namun setelah berpikir secara matang, Raja Suzuki memutuskan untuk tetap menjalin kerjasama dengan Negeri Kogume. Karna jika di ingat kembali, Negeri Kogume lah yang selama ini membantu Negeri Gedo hingga menjadi seperti ini.
Setelah beberapa bulan para menteri Negeri Gedo meneliti hal-hal apa saja yang harus di miliki sebuah Negeri agar masuk kedalam peta bangsa besar, akhirnya para menteri Negeri Gedo memutuskan untuk menobatkan Negeri Kaguchi sebagai Negeri keenam yang secara otomatis menambah daftar Negeri yang masuk dalam peta 6 Bangsa."
Tenten mangut-mangut mendengar penjelasan Ino tadi. Dari situ dia bisa menarik kesimpulan, bahwa pamannya tersebut adalah Raja yang sangat baik, bijaksana, juga adil. Tidak heran jika para penduduk sangat terpukul mendegar kabar bahwa Raja Suzuki meningal karena penyakit yang hingga saat ini masih dalam proses penelitian. Satu yang muncul di pikirannya. Apakah ayahnya dapat memimpin Negeri yang telah di bangun susah payah oleh para pendahulunya sebaik Raja Suzuki?
"Apa ada lagi yang perlu di tanyakan Tenten-sama?" Ino bertanya lirih.
"Satu pertanyaan sederhana... Apa yang membuat Suzuki Jiisan melepaskan tanah yang harusnya menjadi milik Negeri ini begitu saja?" Kedua alis Tenten bertemu.
"Karena percuma jika di pertahankan. Tanah-tanah di situ dan juga sekitarnya sudah tercemar oleh racun-racun hama yang sebelumnya telah di taburkan. Dan tanah tersebut tidak dapat lagi di gunakan para penduduk untuk menanam tanaman. Dan kini Negeri Kogume menggunakan tanah tersebut untuk membangun rumah-rumah penduduk."
Tenten memandang jauh ke arah ribuan bintang yang bertebaran pada lembar gelap yang biasa di sebut langit. Ia tertawa renyah sembari mengayunkan kedua kakinya iseng. Sedikit info ia dapatkan dari Ino malam ini. Sepertinya, Tenten merasa tertarik untuk mengatuhi segala hal tentang Negeri ini lebih jauh. Karena itu, dia makin tidak sabar menunggu hari esok.
"Apa ada masalah Tenten-sama?" Dayang berambut pirang tersebut menatap Tenten.
"Tidak ada. Aku hanya ingin tau." Tenten menaikkan kedua bahunya dan tersenyum. "Dan.. apa kau mengenal semua prajurit yang ada di istana ini?" Tenten kembali memalingkan wajahnya pada Ino.
"Hanya sebagian kecil. Prajurit di Negeri ini terlalu banyak untuk saya ingat."
"Tapi apa kau mengenal seorang prajurit yang berambut merah, kedua bola matanya berwarna ungu dan terdapat motif seperti lingkaran yang semakin melebar? Kalau tidak salah, namanya Nagato."
"Uzumaki Nagato?" Ino menampakkan mimik wajah yang sedikit heran.
"Ya, itu dia… Jadi, apa kau mengenalnya?"
"Yah, kami mengenal satu sama lain. Apa ada masalah Tenten-sama?"
"Tidak ada. Dia hanya memilki satu janji padaku besok… Sudahlah, hanya itu yang ingin kutanyakan. Lebih baik aku tidur sekarang. Agar besok, aku terlihat lebih segar." Kata Tenten riang sembari beranjak dari duduknya. Gadis itu kembali memalingkan wajahnya pada Ino dan kembali berkata, "Hanya kau yang tau masalah ini. Jangan kau katakan pada siapapun…. Aku sangat tertarik untuk mengetahui lebih jauh tentang Negeri ini."
'Dia sangat mirip dengan Mouri-sama.' Ino tersenyum memandang Tenten yang masih sibuk meregangkan otot-otonya yang sedikit kaku.
"Selamat tidur Ino-san." Tenten menepuk perlahan bahu Ino dan pergi meninggalkan gadis pirang tersebut.
So, chap ini end smpe sini (: Maaf jga klo fic nya ancur (: Next? Review please! ^-^
