Sakura gelisah dalam tidurnya. Keringatnya mengucur deras di seluruh tubuhnya. Dalam kegelapan, sosok itu mendekatinya, dan mulai menggumulinya…

Sakura mencengkeram selimut yang melapisi dirinya yang kini tertidur, matanya terpejam erat serta sudut matanya telah terhiasi oleh cairan air mata. Ia merasa—ketakutan. "Jangan…Jangan..."

Pria itu hanya tertawa dan tak peduli dengan Sakura yang ketakutan. Ia merobek pakaiannya dengan sekali sentakan.

"AAAAAAAAAAAAAAAAAAA!"

Sakura terbangun karena jeritannya sendiri. Wajahnya tampak sangat ketakutan serta matanya bergerak liar, seakan mengatakan aku-ada-dimana. Namun ketika ia sadar gadis itu berada dalam kamarnya, ia dapat bernafas lega. Namun keringat dingin membasahi sekujur tubuhnya. Bibirnya pun tampak pucat dan gemetar. Kembali, mimpi itu kembali menghantui tidurnya.

Brak!

Pintu kamar milik gadis bersurai merah muda itu terbuka dari luar. Kizashi dan Mebuki, orang tua Haruno Sakura, segera memburu masuk. Mebuki segera memeluk Sakura yang begitu melihat putrinya begitu ketakutan yang luar biasa serta menangis dalam pelukannya.

Mebuki mencoba mengatakan kalimat penenang pada Sakura yang masih terisak, "Kamu mimpi lagi, sayang?" Tanya Mebuki lembut sambil mengelus punggung anak tunggalnya itu.

Sakura tidak menjawab. Dia terus menangis sambil memeluk ibunya dengan lebih erat lagi. Mebuki menghela nafas, ia kembali memeluk anaknya erat.

Kizashi mendekati tempat tidur Sakura. Dengan lembut ia membelai rambut unik milik putrinya itu, "Kalau pikiranmu belum tenang, lebih baik Sakura tidak usah sekolah dulu.."

Sakura mengangkat wajahnya, dia lalu menggelengkan kepalanya. "Ti-Tidak usah. Justru lebih baik Sakura ke sekolah, biar ada kesibukan, Tou-san…"

Dengan perlahan ia melepas pelukan ibunya dan beringsut bangun. Kemudian mengambil handuk dan keluar dari kamarnya, meninggalkan kedua orang tuanya yang saling berpandangan dengan tatapan prihatin.

~oOo~

Kedua orang itu sedang duduk di ruang makan, menikmati sarapan pagi mereka dalam keheningan. Terlihat jelas sekali bagaimana 'ketidak'akrabnya hubungan kedua orang itu. Meskipun keheningan serta tidak berbincang-bincang seperti pada umumnya, mereka tahu kalau mereka masing-masing saling memancarkan kasih sayang walaupun sifat mereka yang kelewat dingin.

Pein Rikudou menatap lelaki yang ada disampingnya yang masih menikmati sarapannya pagi itu. Lelaki berambut oranye serta mata ungu pudar itu mendongakkan wajahnya dan meletakkan sendok serta garpunya diatas piring. Membuat orang dihadapannya juga memberhentikan acara makan paginya.

"Ada apa?" Tanya orang itu. Ia masih menunggu ketika Pein meneguk beberapa air menuju kerongkongannya.

Ketika acara sarapan itu sepenuhnya selesai, mereka saling bertatapan muka. Mereka saling melempar tatapan datar tanpa ekspresi. Well, ciri khas.

Pein meletakkan sesuatu diatas meja makan, bertepat dihadapan seorang Uchiha Sasuke. Membuat alis tebal milik Uchiha itu mengernyit.

"Apa ini?" Sasuke memegang bungkusan itu, kemudian menggoyangkannya pelan. "Apa ini, Pein?" ulangnya.

"Itu bungkusan, bodoh."

Sasuke berdecak, "Aku tahu ini bungkusan. Tapi kenapa kau memberikannya padaku?" Pria berambut mencuat-cuat kebelakang itu menatapnya curiga. Rasanya hari ini bukan ulang tahun si bungsu Uchiha, ataupun perayaan lain. Rasanya tidak ada yang spesial hari itu.

"Memang tidak boleh?" Pein mengelap bibirnya dengan serbet yang ada di samping kirinya, "Itu untukmu."

"Ya, aku tahu." Jawab Sasuke sarkastik, "Tapi dalam rangka apa?"

Setelah selesai, Pein hanya bisa menghela nafas. Kenapa orang di depannya ini kini menjadi sosok yang cerewet? Well, jika di depan Pein Rikudou, tentu sang Uchiha akan menampilkan sosok aslinya, tentu saja.

"Sudahlah, buka saja."

Mata kelam milik Sasuke menyipit, mengintrogasi sang kakak sepupu yang kini hanya memasang wajah tidak berdosa. "Kau tidak mengerjaiku kan?"

Butuh kesabaran ekstra jika harus menghadapi si bungsu Uchiha jika sedang seperti ini.

Akhirnya, daripada diserbu dengan bermacam-macam pertanyaan tak bermutu, Pein berkata dengan pemikiran yang menurutnya logis yang tercetak di otaknya. "Anggap saja itu hadiah kelulusanmu, Sasuke." Jawabnya tenang.

"Tapi sebelumnya kau tidak pernah memberikanku ini." Sasuke melipat tangannya di dada, siapa tahu kan sang kakak sedang mengerjainya? Mungkin saat ia membukanya, isinya malah berupa benda yang aneh-aneh?

Pein hanya bisa menghela nafas pasrah. "Terserahmu saja." Lelaki berparas stoic itu beranjak pergi, bersiap untuk bekerja.

Pein berjalan menuju pintu apartemen mereka. Kemudian ia berbalik, mendapatkan adiknya masih menatap bungkusan berwarna biru itu dengan curiga. Kemudian ia membuka kenop pintu, berjalan melangkah keluar.

"Aku pergi ya."

Blam.

Dan pintu tertutup, meninggalkan si Uchiha yang tidak menatap kepergian sayang oleh 'Onii-san'.

Lima menit berlalu, tangannya mencoba untuk menyentuh bungkusan itu. Dibukanya perlahan dan melepas pita-pita yang sempat menghiasi bingkisan yang diberikan oleh Pein itu.

Kertas kado yang ia pegang itu mulai terlihat jelek dan berantakan, akibat perbuatannya yang brutal terhadap bingkisan tersebut. Ia hanya bisa mendengus pendek ketika melihat isi dari kotak pemberian sang kakak sepupu.

"Sudah kuduga."

.

Naruto © Masashi Kishimoto

Afraid © Luscania Effect

Rated T

Genre : Romance, Friendship, Family, Hurt/Comfort

Warn : OOC, bagaikan sinetron, Typo(s), AU, etc.

Pein Rikudou x Sakura Haruno

[ Pein berwujud Yahiko ]

Chapter I

Don't like? Thanks and click Back Button

ENJOY!

.

Sakura duduk di sofa dengan memakai seragam sailor-nya, dia baru saja selesai sarapan. Sementara kedua orang tuanya duduk dihadapannya, memandangnya dengan penuh kasih sayang.

Perempuan bersurai merah muda itu membungkukkan tubuhnya untuk memakai sepatu dan mengikat tali sepatunya. Setelah itu dia berdiri, meraih tas sekolahnya dan menyampirkannya di bahu mungilnya.

Sakura tersenyum, "Kaa-san, Tou-san, Sakura berangkat dulu." Pamitnya. Ia lalu menghampiri Mebuki dan mencium pipi Kaa-san tercinta.

"Hati-hati ya," Mebuki mencium balik pipi putrinya, dalam hati ia memohon pada Kami-sama agar melindungi putri tunggalnya itu.

Sakura hanya mengangguk samar.

"Kau yakin tidak perlu diantar Genma?" Tanya Kizashi ketika Sakura berlanjut mencium pipinya.

Sakura tersenyum tipis, kemudian menggeleng pelan. "Tidak, aku jalan kaki saja. Kasihan Genma-san lelah, kemarin baru menjemput Tou-san dari bandara kan? Dekat saja kok, hanya sepuluh me—"

"Sepuluh menit?" sergah Mebuki, wanita berusia empat puluh tahunan itu menatap cemas anaknya, "Sakura lewat jalan pintas ya? Disana kan sepi." Jujur, hati sang ibu jadi sedikit khawatir jika anaknya pergi di jalan yang sepi. Entah mengapa…

Sakura hanya bisa tersenyum lirih, ia merasa ibunya kini sedang berpikir yang tidak-tidak, "Tidak usah khawatir Kaa-san, aku setiap hari kesana dan tidak terjadi apa-apa kok." Sakura bersiap pergi, "Aku berangkat!"

"Hm, Itterashai." Jawab Kizashi cepat, mengawasi anaknya sampai tidak terlihat lagi di pintu rumahnya, kemudian menoleh mendapati sang istri yang kini sedang resah. Kizashi tahu, apa yang kini sedang Mebuki pikirkan.

"Sudah empat tahun sejak kejadian itu.." gumam Mebuki lirih berbaur dengan kesedihan. "Belakangan ini dia semakin sering bermimpi buruk. Kapan jadwal Konsul dengan Kabuto-san, Kiza-kun?"

Kizashi merangkul istrinya, mencoba memeluknya dengan dekapan hangat. "Aku juga khawatir dengan kondisi psikologisnya.." desah Kizashi tanpa dapat menyembunyikan keresahan miliknya. Ia menggenggam tangan Mebuki, berusaha menenangkan hati istrinya dan hatinya yang kini bergejolak. "Nanti secepatnya akan kuatur jadwal konsul dengan Kabuto-san."

~oOo~

Siang itu matahari bersinar sangat terik. Di sebuah jalan yang sepi dengan pemandangan yang cukup bagus di belakangnya, seorang model sedang berpose mengikuti intruksi dari sang fotografernya. Suasana sian yang begitu panas menyengat seakan tidak mengganggu model itu untuk bergaya.

"Putar ke kiri pelan-pelan!" Pein memberikan intruksinya.

Model itu memutar tubuhnya dengan gemulai.

"Ya, bagus bagus!" Puji Pein sambil memotret model itu. "Ke kanan!" intruksi Pein lagi.

Dengan anggun model itu memalingkan wajahnya ke kanan. Dan Pein langsung memotretnya beberapa kali. "Sampai sini dulu," kata Pein sambil meluruskan badannya. Ia lalu menghapus keringa di dahinya dengan punggung tangannya.

Sang model berjalan menuju kearah tasnya yang berisi make-up miliknya. Ia mengambil sapu tangan dan menyeka keringat di wajahnya. Begitu melihat keringat di wajah Pein yang sedang merapikan alat memotretnya, wanita berambut pirang tersebut berjalan menuju lelaki itu. Dan dengan lembut ia menyeka wajah Pein, tapi Pein malah beringsut menjauh.

Sang model mengenyitkan dahinya. Sejak kapan ada pria yang berani menolak sentuhannya? Pikirnya bingung sekaligus sedikit tersinggung. Ah, mungkin ia perlu pendekatan yang lebih persuasif.

"Hey Pein-kun, kau mau menemaniku ke kafe tidak?" ajak model itu dengan suara mendayu serta kedua tangannya yang memeluk lengan kekar Pein dengan mesra. Ia yakin pria normal yang mendengar suaranya pasti akan menuruti ajakannya tanpa perlu berpikir dua kali.

"Aku sibuk." Jawab Pein sekenanya, dengan suara datar dan dingin ciri khasnya. Saat ini ia sedang malas berdebat.

"Sibuk apa? Pemotretan sudah selesai kan?" katanya ngotot sambil menaruh tangannya di bahu Pein dengan gerakan menggoda, "Kau tahu kan aku baru saja bercerai, kau mau tidak menemaniku jalan-jalan?" bujuknya dengan manja.

Dengan dingin Pein menurunkan tangan model itu dari bahunya. Mata ungu pudarnya menatap bola mata sang model dengan tajam, membuat wanita itu sedikit bergidik ngeri.

"Ino-san, maaf." Pein menatap model itu tajam, ia merasa wanita di depannya kini mempunyai harga diri yang rendah sebagai wanita, dan ia tidak suka itu. "Saya masih memiliki urusan yang lebih penting dibandingkan menemani Anda di atas ranjang. Lebih baik Anda mencari 'incaran' baru selain saya, karena saya—" Pein menyeringai tajam, matanya menampakkan kebencian, "Jijik dengan wanita seperti Anda."

Setelah mengucapkan itu, Pein meraih tas kerjanya dan meninggalkan Ino begitu saja tanpa rasa bersalah.

"Sial.." geram Ino kesal. Sebenarnya sudah cukup lama ia menyukai fotografernya yang tampannya selangit itu. Tapi tidak pernah sekali pun Pein menggubris pendekatannya. Namun, pemikiran bodoh yang terlintas di otaknya membuat ia sedikit tersentak, "Apa jangan-jangan dia gay, ya?" pikir Ino sambil memandang Pein yang menjauh.

~oOo~

Bel istirahat berbunyi. Seluruh siswa kelas 3-2 keluar dari kelas mereka. Hanya Sakura yang masih duduk di kursinya. Ia hanya tampak sibuk menulis sesuatu di buku catatannya tanpa memperdulikan kehadiran sosok lain yang sejak tadi terus memperhatikannya.

Sasuke mengeluarkan kamera digital yang diberikan oleh sang sepupu tersayang tadi pagi dari tasnya. Dengan santai, ia mengarahkan kameranya kearah Sakura, ia memotret gadis itu beberapa kali.

Begitu mendengar suara 'klik', Sakura langsung menoleh. Sasuke masih saja memotret Sakura yang kini menatap kearahnya. Sakura menatapnya heran. Sasuke segera mengembalikan kamera itu dan menyimpannya dalam tas, tidak peduli dengan Sakura yang semakin terheran-heran dengan tingkahnya.

Tanpa mendapatkan penjelasan yang tidak ada sama sekali, Sakura kembali menunduk dan melanjutkan menulis lagi.

Sasuke kembali menatap Sakura yang masih menyibukkan dirinya dengan buku-buku tebal sekelilingnya. Ia berjalan menghampiri dan duduk disamping gadis itu.

Sepertinya Sakura sudah ketularan sikapmu yang dingin Sasuke, ckckckck..

"Sedang apa? Ngerjain PR?" Tanya Sasuke dengan datar, tapi Sakura tahu, orang ini sedang bersikap ramah padanya.

"Bukan, catatan Biologi." Sahut Sakura pendek sambil terus menulis tanpa sekalipun memandang Sasuke yang sedikit menaikkan alisnya.

Ternyata Sasuke baru sadar, ternyata di dunia ini masih ada orang yang lebih cuek darinya.

"Kemarin tidak masuk?" Tanya Sasuke sambil bersandar di bangku yang kini ia duduki. Dari sini ia dapat melihat rambut merah muda yang tergerai milik Sakura yang tampak lembut dan indah. Membuat pria tampang keren itu menyeringai tipis.

Sakura menganggukkan kepalanya, ia melanjutkan menulis tanpa peduli dengan pergerakan yang dilakukan oleh Sasuke.

"Sakit?" Tanya Sasuke—lagi. Kali ini dengan nada yang sedikit perhatian. Ingat ya, sedikit!

Sakura terdiam sesaat. Ia nampak ragu, tapi sesaat kemudian ia menganggukkan kepalanya. Ia mulai tidak nyaman karena kehadiran Sasuke yang terlalu dekat dengannya.

Sasuke yang menyadari perubahan Sakura yang terlihat tidak nyaman, ia segera memajukan tubuhnya dan mendekat kearah Sakura, "Kau kenapa?" tanyanya, tanpa disengaja, tangan pria itu menyentuh lengan Sakura yang sedang menulis.

Tiba-tiba Sakura merasa tubuhnya menggigil. Perutnya terasa melilit. Jantungnya berdebar tiga kali lebih kencang. Dan kemudian tanpa dimintanya, malam itu kembali berkelebat dibenaknya. Di irisnya, ia melihat seorang gadis kecil yang kini sedang bersama seorang pria yang—

Set.

Sasuke menaikkan alis. Lagi.

"Go-Gomen'ne Uchiha-san, aku mau keluar se-sebentar…" Sakura beranjak berdiri, dengan terburu-buru ia meninggalkan Sasuke yang masih menatap kepergiannya.

Sasuke tertegun bingung melihat Sakura meninggalkannya.

~oOo~

Suigetsu berjalan menuju pintu pagar penjara. Dan seorang sipir langsung membukakan pintu itu untuknya.

Sang sipir mendengus meremehkan, "Enak sekali ya, mendapatkan remisi. Empat tahun itu sangat sedikit. Tapi sudah boleh keluar, hebat sekali." Komentar si sipir, "Mestinya lima tahun kan?"

Suigetsu terdiam sesaat. "Empat tahun saja sudah kayak empat abad!"

"Makannya, jangan sampai masuk kesini lagi! Kalau ingin berbuat jahat, ingat bagaimana enaknya serasa di penjara," nasihat si sipir. "Kecuali… kalau kau memang betah dibui!"

Suigetsu tersenyum, menampakkan giginya yang berupa ikan hiu yang runcing dan tajam. Ia mengucapkan salam perpisahan kepada sipir itu dengan menempelkan empat jarinya ke dahinya. Setelah itu ia melenggang pergi. Tapi begitu ia sampai di luar penjara, senyum di wajahnya sirna. Dan berubah menjadi seringai dendam.

"Sakura.. Haruno…" bisiknya perlahan, pria itu mengepalkan tangannya kuat-kuat.

~oOo~

Sakura berjalan menuju gerbang sekolahnya seorang diri. Sasuke mengikutinya dari belakang. Sejak keluar dari kelas tadi, Sasuke sudah membuntuti Sakura, namun ia sedikit ragu untuk mendekati perempuan yang kini sedang didepannya.

Ragu? Sejak kapan Uchiha Sasuke ragu dengan seorang perempuan? Ha!

Sasuke mendengus kesal dengan pernyataan diatas. Tapi Sasuke juga manusia kan?

Belum ia memikirkan hal itu, ia dikejutkan ketika mendengar jeritan Sakura di depannya. Onyx kelamnya menatap tajam seseorang yang kini bersama Sakura. Tak perlu pikir dua kali, ia segera berlari menuju gadis itu.

Di lain sisi, Sakura sedang ditarik-tarik oleh seorang pria. Yang sangat jelas merupakan siswa yang sama dengannya.

"Le-Lepaskan aku!" teriaknya, Sakura terus memberontak ketika orang itu mulai menyentuh dirinya.

Siswa itu menyeringai, "Hai, kau Haruno Sakura?" matanya bergerak liar menuju tubuh kurus gadis itu, "Kau mau menemaniku, hm? Tentu kau sudah punya pengalaman kan? Hahaha!"

Sakura merasa tubuhnya seperti tersengat listrik. Dengan panik ia mencoba menarik tangannya lagi dan memberontak. Tapi siswa itu malah menyeringai kurang ajar dan menyentuh tangan Sakura yang lain, yang merupakan kesia-siaan belaka. Entah kenapa, keringat dingin mulai mengucur membasahi dahinya.

Siswa itu memajukan wajahnya, berniat melihat kecantikan Sakura dari dekat, "Apa benar kau tidak boleh disentuh oleh pria, ya?" kata siswa itu sembari tertawa. "Apa benar ada cerita empat tahun yang lalu membuatmu seperti ini?" Siswa berambut putih itu menarik Sakura paksa menuju gang kecil, "Heh, ternyata benar. Kau ja—"

BUAK!

Sakura terbelalak kaget, ia pikir hidupnya sudah sampai disini saja. Tapi ternyata..

"U-Uchiha…-san?"

Sasuke berjalan dengan angkuh menuju sosok siswa itu. Ia menarik kerah seragamnya dan menatapnya tajam dan menusuk, membuat siapa saja akan takut padanya. "Dengar brengsek, kau tidak pantas menyebutnya seperti itu." Ia menyeringai kejam. "Aku akan mematahkan tanganmu kali ini, Hidan."

Bug.

Bug.

Bug.

"U-Uchiha-san! Sudah! Hentikan!" Sakura melerai mereka, yang tentu saja tidak disambut hangat oleh Sasuke. "Jangan dipukul lagi!"

Mendengar suara Sakura, Sasuke memandang Sakura dan berhenti memukul siswa yang bernama Hidan itu. Hidan langsung menggunakan kesempatan itu untuk bangun dan kabur, meskipun wajahnya kali ini tidak berbentuk.

"Huh, dasar penakut." Gumam Sasuke dengan penuh emosi sambil memandang siswa itu lari terbirit-birit. Kemudian ia menoleh lagi kearah Sakura, tapi gadis itu sudah berlalu meninggalkannya.

"Hey, Sakura. Kau tidak apa-apa?" tanyanya sambil mengeraskan suaranya, berharap perempuan yang kini jauh beberapa meter darinya mendengarnya.

Tapi Sakura pura-pura tidak mendengar panggilan Sasuke. Ia terus berjalan meninggalkan lelaki stoic itu yang menatapnya dengan sedikit kecewa.

~oOo~

Malam itu Pein sedang membersihkan kameranya di ruang tamu. Sementara Sasuke duduk disampingnya sambil memegang kamera digitalnya. Pein menjelaskan beberapa istilah fotografi kepada adik sepupu tersayang. Dan Sasuke mendengarnya dengan 'tidak' penuh perhatian.

"Retouch?" Tanya Sasuke, "Apa artinya di rekayasa?"

Pein mengangguk samar. "Hm. Ini berguna seperti mengedit foto dalam komputer, hanya saja terlihat lebih natural." Ia tersenyum tipis, "Kenapa? Kau suka kan?"

Sasuke mengangguk, "Hn, aku boleh meminjam printer-mu sebentar, Pein?"

"Hm, pakai saja."

Sasuke berdiri dan berjalan menuju ruang kerja milik Pein.

Pein, yang menyadari reaksi adiknya, segera menoleh pada Sasuke yang kini sedang mengutak-ngatik komputernya. Entah kenapa, ia merasa punya firasat terhadap adiknya itu, "Tapi kau tidak melakukannya dengan mem-foto perempuan, kan?" Tanya Pein tiba-tiba.

Sasuke menghentikan aktivitasnya, ia membalikkan tubuhnya dan menatap sang sepupu, "Memang ada apa kalau untuk wanita?"

Entah itu kenapa, Sasuke merasa mata ungu pudarnya itu kini menatap tajam dirinya. "Sebaiknya kau jangan memikirkannya, kau harus fokus ke sekolahmu, jangan berpikiran macam-macam tentang seorang gadis." Sahut Pein sambil terus membersihkan kameranya. Sasuke tahu, kini sang kakak sedang terhanyut dengan masa lalu.

Sasuke menghela nafas, "Tapi kalau masalah ini, aku tidak ingin kau ikut campur, Onii-san."

"Tapi ini demi kebaikanmu, Otouto. Aku tidak ingin kau disakiti oleh wanita." Pein mencoba untuk tertawa, tapi menurut Sasuke itu tidak lucu.

Sasuke tidak bergeming, masih menatap punggung sang kakak yang kini beranjak berdiri menuju kamarnya. Sebelum menyentuh kenop pintu, Pein membalikkan tubuhnya, yang kini sedang menatap Sasuke dingin.

"Karena rasanya sangat menyakitkan, Sasuke."

~oOo~

Telepon rumah Sakura bordering. Kizashi segera melipat Koran yang sedang dibacanya dan meletakkannya diatas meja. Ia lalu berjalan ke meja telepon untuk mengangkat telepon itu.

"Moshi-moshi?" sapa Kizashi. Sebuah suara menyahut dari seberang sana. Kizashi pun mengenali suara pengacaranya. Dan wajahnya langsung berubah pucat pasi ketika mendengarkan penuturan pengacaranya itu. "A-Apa!?" sergahnya. "Sudah bebas? … Tapi bukannya baru bulan depan?" nafas Kizashi kembali tertahan kala mendengar tuturan pengacaranya di seberang sana. Ia pun mencoba untuk menghela nafas dalam-dalam, mencoba untuk tenang. "Be-Begitu? Baiklah. Arigatou Ibiki-san."

Kizashi segera menutup telepon itu, ia kemudian terduduk di kursi dengan tubuh lemas. Bersamaan dengan itu, Mebuki yang sedang menyiapkan makan malam, menatap heran suaminya.

"Daijobu, Kiza-kun?" Mebuki yang merasa salah dengan suaminya, segera menghampiri Kizashi dan mengelus punggung suaminya itu. Tapi Kizashi hanya terdiam sambil menatap istrinya dengan tatapan nanar. Melihat tatapan suaminya, wajah Mebuki berubah menjadi tatapan bingung dan heran. Namun di otak wanita itu memunculkan satu nama. Dengan bergetar ia memaksakan mulutnya berbicara, meskipun ia berdoa semoga saja tidak terjadi. "Sui… getsu?"

Kizashi mengangguk lesu. "Si brengsek itu mendapatkan remisi karena berkelakuan baik selama di penjara," Pria itu mengepalkan tangannya, matanya menyipit. "Dia sangat licik."

Mebuki menghela nafas frustasi. Wanita yang sudah mulai menampakkan kerutan di wajahnya itu mulai sedikit khawatir, terutama dengan anaknya. "Sakura… Bagaimana, Kiza-kun?"

"Dia akan—" Kizashi memberhentikan ucapannya ketika melihat Sakura yang sedang berjalan menuju kearah mereka, "Kita akan lanjutkan lagi," ucapnya pelan.

Mebuki mengangguk, dengan cepat ia menoleh kesamping, mendapati sang anak sedang memegang perutnya dengan muka cemberut.

"Kaa-san.. Makan malamnya jam berapa?" Tanya Sakura lesu, ia merasa perutnya mulai meminta asupan sekarang. "Aku sudah la—" Sakura mengerutkan kening kala melihat kedua orang tuanya sedang menatapnya dengan tatapan aneh, "Kaa-san Tou-san kenapa?" lanjutnya kemudian.

Kizashi hanya tersenyum lirih, ia beranjak berdiri dan mengelus kepala anak tunggal kesayangannya itu, "Tidak, tidak ada apa-apa. Sayang, makan malamnya sudah siap?"

"Ah, i-iya." Mebuki beranjak berdiri. Mendahului Sakura dan Kizashi yang berjalan dibelakangnya. Meskipun demikian, hati Mebuki berkecamuk dan sangat khawatir jika Sakura mengetahui hal ini.

Untuk sesaat lamanya, Sakura menatap kedua orang tuanya dengan bingung. Ia lalu mengangkat bahunya dan segera melakukan acara makan malamnya.

~oOo~

Suigetsu berjalan menyusuri sebuah jalan di salah satu sudut kota Tokyo. Ia melangkah tanpa tujuan sambil memperhatikan dua orang gelandangan yang sedang tidur berselimutkan koran. Tubuhnya terasa lelah sekali, tapi dia tidak memiliki tempat berteduh. Dan sejak ia berada di penjara, ia juga kehilangan sahabat-sahabatnya. Dia betul-betul seorang diri sekarang.

Suigetsu akhirnya memutuskan untuk tidur di emperan toko yang ada di jalan itu. Ia memungut sebuah koran yang terjatuh di kakinya untuk dijadikan alas tidur. Tapi baru saja ia berbaring disana, seorang gelandangan menendang tubuhnya.

"Heh! Siapa kau!? Kau tidak boleh tidur disini!" bentak gelandangan itu galak sambil memelototkan matanya.

Tanpa menyahut, Suigetsu bangkit sambil membawa koran itu. Tapi gelandangan itu sudah merebutnya kembali.

"Ini milikku!" bentak gelandangan itu lagi.

Suigetsu tidak berusaha merebut koran itu. Ia berjalan meninggalkan tempat itu dengan wajah penuh dendam, iris matanya menatap jalan di depannya.

"Semuanya sudah direbut oleh si jalang itu…" gumamnya geram, ia kemudian terkekeh, mendapatkan seringai muncul di bibir miliknya. "Tunggu pembalasanku, Sakura!"

~oOo~

Sasuke menyandarkan tubuhnya di tumpukan bantal yang ada di atas tempat tidurnya. Ia sedang memandangi sebuah foto berukuran 8R yang baru saja dicetaknya tadi. Di foto itu tampak wajah seorang gadis dengan suraian unik, merah muda. Dengan mata hijau-nya yang sedang menatap serius kearah buku. Tentu saja, Sasuke Uchiha sedang mengamati wajah seorang perempuan bernama Sakura Haruno.

"Sakura?" gumam pria itu pelan. Kemudian tersenyum tipis. Mata gelap setajam elang itu masih menatap lekuk wajah perempuan yang kini sedang ia genggam.

Semua orang tahu di sekolah ia menuntut ilmu, hampir semua malah, kalau Sasuke menyukai Sakura. Itu terlihat begitu perhatiannya cowok itu pada gadis satu-satunya yang menarik perhatiannya. Sasuke yakin 100% kalau Sakura tahu bahwa Sasuke menyukainya. Meskipun perhatian dan terlihat mengawasinya, Sasuke tidak terang-terangan untuk melindungi perempuan itu. Ia malah melakukannya secara sembunyi-sembunyi, dan ia tidak ingin terlalu mencolok di hadapan gadis yang ia sukai itu. Dan Sasuke semakin tertarik kala ia tahu kalau Sakura merupakan satu-satunya perempuan yang masih 'normal' ketika ada didekatnya.

Ya, kenapa harus dibilang normal? Karena hanya Sakura yang tidak teriak-teriak tidak jelas dengan suara melengking yang mampu mentulikan telinga Sasuke, Sakura juga merupakan perempuan tidak suka mencari perhatian pada semua orang, terkesan tertutup dan pendiam. Membuat Sasuke semakin tertarik padanya.

Sasuke mendekatkan foto itu ke bibirnya, dan menciumnya dengan penuh perasaan seolah foto itu adalah Sakura yang sebenarnya.

Tiba-tiba pintunya dibuka dari luar dan Pein masuk ke kamarnya, Sasuke terkejut bukan main. Dengan terburu-buru ia menyembunyikan foto itu di bawah bantalnya. Namun ketika ia melihat kakak sepupu di ambang pintu, Sasuke yakin tadi Pein sempat melihat aksinya yang konyol itu.

"Apa yang kau lakukan?" Tanya Pein dingin, ia menyilangkan kedua tangannya di dada, mata ungu pudarnya menatap Sasuke tajam.

"Bukan urusanmu," jawab Sasuke tak kalah dingin, "Apa kau pernah mendengar kata sopan santun Onii-san? Seharusnya kau ketuk dulu pintunya!" lanjut Sasuke pura-pura kesal. Namun itu tidak membuat Pein menjadi mengalihkan pembicaraan.

"Kau sedang melakukan apa, Sasuke?" ia terkekeh, "Kau mulai menyukai benda mati heh? Sampai menciumnya seperti itu."

'Di-Dia melihatnya!'

"Sudah kubilang, itu. Bukan. Urusanmu." Sasuke menekan semua kata yang ia ucap, membuat Pein memberhentikan tawa kecilnya, "Aku mau makan," ia beranjak berdiri. Meninggalkan Pein yang masih menatap kosong kamar adik sepupunya itu.

Pein mencoba menutup matanya, menghela nafas pendek dan menyusul Sasuke yang sudah mulai makan tanpa menunggu kehadirannya.

To Be Continued~

Author curcol :

Wahahahaa, muncul lagi deh gua. Hehehee, ini PeinSaku & SasuSaku pertamaku loh! Sumpah, susah buanget bikinnya. Hehehe :3

Meskipun di chap ini PeinSaku kurang atau malah ENGGAK ADA, tapi di chap depan udh ada interaksi antara mereka kok. Di chap ini saya lebih fokuskan ke SasuSaku, mereka kan seumur, satu sekolah pula. XD

Biar saya jelaskan disini, Sasu sama Saku masih sekolah SMA, umur masih 17 tahun. Terus Pein itu udah lulus kuliah, umurnya sekitar 20-an, jadi jangan marah ya readers yang suka Pein malah saya jadiin Pein tua buanget xD

Dan juga disini, Suigetsu yang jadi tokoh antagonisnya, ia punya dendam sama Sakura. Dendam apa yaa? Nanti dijelaskan kok di chap depan ato depan ato depannya lagi xDD

Disini Pein sama Sasuke sodara, kenapa saya buatnya enggak sama Itachi aja? Ceritanya Itachi kuliah di luar negeri sama orang tuanya yang sering keluar kota, makannya Sasuke sudah dititipkan sama Pein yang merupakan sepupunya. Hehe :3

Disini Pein sama Sasu OOC banget ya, saya aja mpe nyadar loh. Tapi jujur saja, kalo nggak dibikin OOC, ni fic nggak bakalan jadi. Maap ya miinna, saya hanya ingin mencurahkan apa yang ada di otak saya ini. X'(

Saya juga rada bingung, di Jepang itu ada gelandangan ngga sih? habis saya bikin Suigetsu jadi menderita pada awalnya, yaa itu wajar kan? Dia aja baru keluar dari penjara. Omong-omong, kok bisa sih dia dari penjara? Hmm, itu pasti sudah berhubungan dengan Sakura. Hehe, saya tahu readers semua pasti sudah menebak jalan cerita ni fict abal saya. Hheee xD

Akhir kata, RnR? CnC?

With love,

- Uli