Durarara! and All Characters belong to Ryohgo Narita.

LoVE mE belongs to Harumi Kitara.

Picture isn't mine, I just googling~

Sebaris kata juga saya ambil dari karya Chairil Anwar "Situasi"(kalau anda bisa menebak yang mana XD)

Rated : M for Gore~

Genre : Angst, Crime, maybe Action and other(s) (Sure, I don't care...)

Words Count: 2.861 words (Gomen, saya Cuma bisa buat sependek ini ==v)

Warning : OOC, Future!AU―based on anime version (saya belum baca novelnya... TwT), Yaoi/Slash/BL/Boys-Love or whatever you call it, Gore, Lemon―maybe?, Shizaya, Human Trafficking and... err... what shoud I put it... but it's likely Hotel Prodeo, Not recomended for children, Gaje-ness, Miss Typos bertebaran, Super-Duper Pendek sekali, Police!Shizuo and Sick!Izaya. Wanna leave it before something happen to you?

Special for Challange Pestisida Untuk Hama.

Summary : Dua orang monster―tidak dicintai. Yang satu menutupi kejahatan dengan kebaikan, dan yang satu melakukan kebaikan dengan kejahatan. Di dunia yang gelap dan kotor ini, mereka saling bertatapan. Menantang takdir yang dibatasi takdir.

.

.

Don't Like, Please Click Back

.

.

Happy Reading, Minna! Enjoy...

.

.


.

.

Kalian―para manusia―bertekuklututlah kalian, hidup kalian sudah pada ambangnya.

.

.


.

.

Tatkala matahari sudah tergelincir dari tahtanya, dan di setiap saat ketika sang rembulan mulai mengintip malu-malu di balik cakrawala, sebuah perburuan besar-besaran dimulai. Suara derap dan gemerisik kaki beradu dengan semak dan rumput sudah menjadi hal yang biasa di kota padat ini. Tentu saja sudah terbiasa untuk mereka―orang-orang yang tak peduli―karena perburuan merupakan sebuah keuntungan besar. Ya, mereka menganggapnya sebuah keuntungan besar. Mangsa kali ini tengah berlari, terengah di antara kematian dan kebebasan. Sesekali dia mengintip lewat ekor matanya, menangkap bayang-bayang pemburu mengejar punggungnya. Panik, dia pun terus berlari, terus dikejar, terus terpojok. Para pemburu itu pun dengan bodohnya mengejar, terus berlari dan berlari lagi―lebih cepat dan lebih cepat lagi―tak ingin kehilangan mangsanya lagi. Kaki-kaki terlatih mereka meloncati satu dua dahan maupun akar yang mengganggu, tak menurunkan kecepatan mereka, menerobos hutan kecil di pinggiran kota dengan mudahnya. Tangan terangkat, pistol dalam genggaman, magazine terisi penuh. Dalam satu gerakan cepat, salah seorang di antara mereka berhasil menjebak dan berhadapan dengan mangsa, membidiknya sekilas dan langsung menarik pelatuknya dengan halus.

DOR!

Satu lesatan, satu detik, timah panas menerobos. Burung-burung dan kelelawar beterbangan―ketakutan, suara gagak terbangun terdengar samar-samar. Darah segar segera mengalir dari sebuah luka kecil hasil tembusan peluru di kepala. Di saat itu pula, sang mangsa berhenti menghadap sang pemburu. Mata membelalak kaget, jiwa sudah di tangan sang 'Pencabut Nyawa'. Dan dalam detik berikutnya, tubuh itu tumbang di depan sang pemburu yang masih berdiri dengan tenang, menatap mangsa sudah tidak bernyawa. Tak berkutik, tangan yang menggenggam pisau lipat itu tak sempat menggores sang pemburu, malah dirinya yang terbunuh terlebih dahulu. Dengan sebuah peluru yang dingin menembus rongga kepalanya, sang pemburu membunuhnya dengan sangat tenang.

Tak berperasaan, eh?―

―Sila ucapkan kata itu ratusan kali pun, dia tak kan bergeming.

Sang pemburu hanya berdiri di sana, membiarkan rekannya berjalan mendekat pada mangsa, memeriksa dan mengecek apakah benar sang mangsa sudah tewas di tempat. Mereka berdecak kagum, tersenyum bangga pada sang pemburu yang masih berdiri dalam diam itu. "Kerja bagus, Shizuo-san. Anda benar-benar hebat!," puji salah satu di antara mereka, menepuk pundak sang pemburu dengan halus. Sang pemburu hanya mendecih pelan, membuat suara tawa renyah itu menggelegar di seluruh penjuru hutan. Ditinggalnya sang pemburu bernama Shizuo itu, memimpin rekan-rekannya untuk memindahkan mangsa.

Sebuah kantung mayat berwarna kuning terang membungkus tubuh sang mangsa, dibawa menjauh dari tempat perburuan menuju kota. Para pemburu saling memuji, merayakan keberhasilan mereka dengan candaan ringan, namun tidak untuk sang pemburu tadi. Dia hanya berjalan jauh di belakang rekan-rekannya, menghisap pelan rokok kesayangannya, menatap mereka dengan tatapan tajam. Desah pelan meluncur dengan mudahnya dari bibir tipis sang pemburu, rambut pirang cerahnya melambai pelan tertiup angin. Bulan sudah merangkak naik, ditemani taburan bintang yang menghiasi kegelapan. Semilir angin menerbangkan puluhan daun-daun kering, suara gemerisik dahan dan ranting memenuhi kesunyian itu. Dia berhenti tiba-tiba, mematung di tempat dan menatap pada bulan purnama yang bersinar terang. Mata almond setajam elangitu merefleksikan keindahan langit malam ini.

Ah, sebenarnya tidak ada lagi yang indah saat ini.

Segalanya adalah sebuah ilusi, fana. Dia tak percaya pada langit malam maupun pembawa harapan itu, sama sekali tidak. Yang ada di hadapannya kali ini adalah hal yang paling mengerikan di dunia, hal yang paling terakhir kali dipikirkan manusia nanti di alam kedua. Kebiadaban, penghapusan moral, semuanya sudah terlalu melekat dalam dirinya, dalam hidupnya. Yang ada kini hati yang dingin, hati beku tak berperasaan, dan segalanya di dunia ini terlalu berkilauan karena uang. Dia tersenyum tipis, layaknya sebuah seringaian. Mengejek keindahan dunia yang diagungkan langit, menghina kemerlap pantulan sinar emas yang busuk, dan dengan angkuhnya dia berbisik dalam hati.

"Perburuan ini, baru saja dimulai..."

.

.


.

.

Tak ada kata cinta, semua fana, tinggal rasa tak percaya.

.

.


.

.

Pemuda bersurai pirang itu menatap tajam ke arah cangkir porselen berisi cairan hitam pekat tersebut, memperhatikan bagaimana kepulan asap itu mulai merambah naik, menggelitiki penciumannya. Ah, sebenarnya dirinya tak begitu menyukai kopi, namun apa boleh buat, salah satu rekannya sudah repot-repot membawakannya minuman pahit tersebut. Dia menghela napas sejenak, meletakkan cangkir porselennya di atas kursinya. Pintu terbuka dengan sendirinya, membuatnya cukup terkejut, namun sosok yang muncul setelahnya membuat iris almond-nya melembut sejenak. "Oh, rupanya kau, Kasuka. Ada apa?," tanyanya pada pemuda bersurai cokelat dan berwajah datar yang baru saja masuk keruangannya tersebut.

Si wajah datar menatapnya sejenak, "Bisa aku bicara denganmu sebentar, aniki?," tanyanya pada pemuda pirang di hadapannya.

"Tentu saja."

Pemuda yang tak lain adalah adiknya sendiri itu mulai melangkahkan kakinya setelah selesai menutup rapat pintu di belakangnya. Dia duduk di kursi yang menghadap meja kerja kakaknya, pemuda bernama Heiwajima Kasuka―yang lebih dikenal dengan nama Hanejima Yuuhei―itu menatap iris yang sewarna dengan irisnya. "Ini masalah film yang akan kuperankan akhir bulan ini...," ucap pemuda itu dengan tenang, menatap mata kakaknya datar. "Kami butuh bantuan kepolisian untuk melakukan beberapa 'adegan' yang hanya dilakukan oleh pasukan 'khusus' sepertimu...," lanjutnya, masih datar seperti ekspresinya. Heiwajima Shizuo nampak berpikir sejenak, sebelum sebuah desah berat terdengar darinya. "Maaf, aku tak bisa...," jawabnya, "... Tapi kau bisa tanya pada Yumasaki dan Karisawa, mungkin mereka mau membantumu..."

"Aku sudah menemui mereka, tinggal keputusan darimu saja, aniki..."

Shizuo menghela napas kembali, tangannya bergerak ke saku celana hitam panjangnya―mencari batang rokoknya. "Baiklah... Tapi aku tak mau ikut dalam pengambilan adegan itu, kau mengerti?," ucapnya ketus, namun ekspresinya tak menunjukkan kemarahan sama sekali. Seulas senyum kecil tersungging di wajah tampan pemuda pirang itu, tak bereaksi sama sekali terhadap ekspresi sang adik yang datar-datar saja. Pemuda pirang itu menyalakan pematiknya, menghisap rokok kesayangannya dan menghembuskan asapnya di udara. Tangannya ia sampirkan pada kursi hitam empuknya, memandang sang adik yang tak bergeming di tempatnya. "Ada apa, Kasuka? Apa ada yang ingin kau tanyakn lagi padaku?," tanyanya dengan nada bingung, menatap sang adik yang kini mulai mengangkat wajah datarnya, menatap balik padanya. "Hanya ingin tau tentang dia...," ucap Kasuka setelah terdiam beberapa detik, "... Orihara Izaya..."

"Untuk apa kau bertanya tentang kutu sialan itu, huh?"

"Tidak, bukan tentang hubungan rumit kalian. Ini tentang menghilangnya Orihara Izaya dari Jepang..."

Shizuo mengerutkan keningnya, tak suka dengan topik yang diangkat Kasuka―namun tetap diakuinya cukup menarik untuk dibahas. Ah, iya... sudah lebih dari dua tahun kutu itu tak menampakkan batang hidungnya di Ikebukuro―sungguh, fakta yang sangat mengejutkan itu merupakan hal yang membuat Shizuo merasa senang namun juga khawatir. Ralat, dibandingkan dengan kata khawatir, dia lebih merasa... err... bersalah pada pemuda Orihara tersebut. Entah mengapa ekspresi terakhir yang dibuat oleh Izaya selalu menghantuinya setiap malam―dalam mimpinya. Ah, sudahlah, lupakan saja―Shizuo sedang malas untuk ber-'nostalgia' dengan kejadian malam itu. Shizuo meletakkan kedua tangannya di meja, menatap Kasuka dengan tatapan yang tajam. "Apa kau datang ke sini untuk menanyakanku alasan yang membuatnya pergi dari Ikebukuro?," tanyanya dengan sangat serius.

"Ini bukan masalah hubunganmu dengannya, aniki. Aku tak peduli apa yang telah kau lakukan padanya."

"Lalu, apa yang ingin kau tau?"

Kasuka mmenghela napas, "Ini tentang menghilangnya seorang Orihara Izaya dari Jepang. Dia tak terlacak di kota manapun di Jepang..."

"Mungkin saja dia pergi ke Amerika atau ke Eropa, kudengar informan sepertinya sangat dibutuhkan di sana," ucap Shizuo asal-asalan, tak peduli dan tak mau peduli dengan si kutu yang selalu mengganggu hidupnya itu. Kasuka menghela napas pelan, sebelum pada akhirnya bangkit dari kursinya dan berbalik pergi. "Aku masih punya jadwal syuting malam ini, maaf sudah mengganggumu, aniki...," ucapnya seraya melangkah ke arah pintu, memutar kenopnya. Langkahnya terhenti tiba-tiba saat pintu nyaris di tutupnya kembali, terdiam tanpa berbalik sedikitpun menatap aniki-nya. "Sekedar informasimu saja―kurasa kau tak kan mau mendengarnya. Sebenarnya Orihara Izaya tak hanya menghilang dari Jepang...," ucap Kasuka seraya menutup pintunya.

BLAM!

Iris almond itu menatap pintu dengan tatapan tak terbaca, kedua alisnya saling bertaut satu sama lain. Walaupun sangat pelan dan nyaris menyerupai gumaman tak jelas, Shizuo masih bisa mendengarnya, sungguh dia dengar bisikan Kasuka itu. Hanya sekilas memang, namun tetap saja terdengar dengan jelas di telinganya. Ah, sial! Mengapa dia merasa sangat bersalah saat ini? Dihisapnya sekali lagi batang rokok yang terselip di antara bibirnya itu, mencoba menenangkannya sendiri. Diputarnya kursi hitam tersebut sehingga kini dirinya menghadap jendela, menghadap rembulan. "Cih! Sialan...," umpatnya seraya menatap tajam pada rembulan yang bersinar terang, seakan-akan dirinya sangat membenci cahaya temaram itu. Ya, dia membencinya, sinar rembulan yang lembut itu entah mengapa mengingatkannya pada pemuda berparas cantik dengan surai hitam lembut nan halus, mengingatkannya kembali pada sepasang iris crimson yang selalu berkilat mengejeknya. Mengingatkannya pada seringai yang selalu disunggingkan pemuda Orihara itu. Izaya―sebuah nama yang biasa ia teriakkan di tengah kota seraya mengejar sosok yang selalu tak bisa ia gapai, bahkan di malam itu pun ia tak bisa membuat pemuda itu berhenti dan membiarkan dirinya menggapainya. Ingatan itu lagi... sudah berapa kali dirinya mencoba menghapusnya dari memori di otaknya? Mengapa ingatan itu selalu berputar layaknya sebuah pita film satu-satunya di kepalanya? Dan mengapa selalu di setiap mimpinya?

Ah, sudahlah. Biarkan saja dirinya seperti ini...

Biarkan saja dia merenung sejenak, memutar kembali memori yang seharusnya sudah lama dibuangnya itu. Karena pada malam ini dirinya mulai menyadari, Izaya tak kan pernah dapat ia kejar selamanya, tak kan pernah bisa ia gapai sampai kapanpun itu. Anggap saja semua salahnya―walaupun sebagian dari hatinya tak mau mengakuinya―dia juga merasa bersalah walaupun cita-citanya―yang dulu sangat ia nantikan―sudah terwujud dengan sangat perih.

Dia mengambil kembali cangkirnya, perlahan menyesap cairan hitam pekat itu sebelum pada akhirnya mengernyitkan dahinya dalam-dalam. "Ah... Sudah kuduga...," gumamnya pelan, "... Aku selalu membenci apapun yang kau sukai―begitupula dirimu..."

"... Orihara Izaya tidak ditemukan di manapun di bumi ini..."

.

.


.

.

Jatuh ke dalam jurang, aku tak berkutik.

.

.


.

.

"Khhh... Uh... Haah..."

Desah dan deru napas tak beraturan terus menggema di ruangan cukup sempit itu. Suara decit ranjang yang mengikuti irama gerakan menjadi latar belakang pergumulan tersebut. Iris crimson itu menutup rapat, mencoba menahan rasa sakit yang menjalar ke seluruh tubuhnya, perih dan nikmat terasa mematikan fungsi otaknya. Dia melirik dari ekor matanya, mendapati pemuda bersurai pirang itu berada di belakangnya punggungnya, menikmati dirinya. Napas yang tak beraturan itu juga terdengar darinya, iris almond yang biasanya menyorotkan kebencian itu kini tertutupi oleh kabut nafsu.

Izaya sama sekali tak menyangka hal ini dapat terjadi, sama sekali tak memprediksikannya. Entah apa yang berada di kepala protozoan milik Shizuo saat ini, dia tak tau. Mungkin bisa disebut sebagian besar adalah salahnya karena memprovokasi pemuda pirang itu, namun tetap saja bagian ini adalah salah Shizuo―bukan dirinya.

"Nhh.. Ahh... Haaa.. Shi―Shizu-chan..."

Suaranya terus menerus dikeluarkan tanpa sadar, desahan meluncur dengan polosnya setiap jengkal Shizuo memanjakan dirinya. Oh, dia merasa seperti seorang wanita murahan saat ini―mendesah nikmat saat orang lain mengerayangi tubuhnya. Izaya mengerang pelan saat Shizuo membalikkan tubuhnya, menghadap dirinya tanpa menghentikan gerakannya sama sekali. Tatapan itu... wajah itu... semuanya terlihat berbeda di mata Izaya saat ini. "Ahahaha...," tawanya pelan tanpa sadar. "Ahahaha... Hahahaha...," tawanya lagi layaknya orang sinting.

"Apanya yang lucu, huh?!"

"Nn―ahh! Sa-sakit... Uhh..."

"Berisik!," bentak Shizuo tidak dapat mengontrol emosinya, bergerak dengan liar seolah-olah emosinya dengan mudah tersulut akibat tawa pemuda di bawahnya ini.

Sial. Sial. Sial.

Mengapa harus pemuda yang dibencinya?

Mengapa harus seorang Orihara Izaya?

Dia tak tau―Shizuo tak tau mengapa ia bisa jatuh pada pemuda ini.

Di saat dirinya dibenci setiap orang karena kekuatan monsternya, pemuda sialan ini malah berkali-kali mengusiknya. Seakan dia tak tau apa arti kata 'bahaya', Izaya selalu mengganggunya layaknya orang sinting, menikmati setiap detik dirinya dikejar dengan puluhan vending machine yang melayang mengincar nyawanya. Shizuo membencinya, tentu saja. Dirinya lelah terus mengejar pemuda ini, dirinya lelah harus meneriakkan nama pemuda ini dengan lantang di tengah kota. Muak―sungguh dirinya muak. Namun bagaimanapun juga, seakan dirinya tidak bisa berhenti, Shizuo mengakui dirinya ingin sekali saja tangannya sampai pada tubuh kurus yang dengan mudahnya menghindar darinya―mendekapnya dan membisikkan kata 'terima kasih'.

Namun sepertinya takdir mereka hanya seperti ini saja.

Di saat tubuh itu terbaring tak berdaya di bawahnya, ucapan itu hanya menjadi ucapan saja. Tidak ada kata manis yang mungkin pernah singgah di imajinasi pemuda pirang itu, yang ada hanyalah umpatan dan geram amarah.

Pelampiasankah dia?―dirinya tak tau.

Yang dia ingat setelahnya adalah sebuah senyuman yang tak pernah dilihatnya sebelumnya, sebuah senyum rapuh yang menyiratkan sebuah kepedihan, sebelum dihapuskan oleh sebuah ciuman singkat dari pemuda itu di akhir malamnya. Setelahnya, ia tak menemukan pemuda Orihara itu lagi di kamarnya pada pagi harinya.

.

.


.

.

Aku pun terus mencoba mecari kehijauan laut yang lain―bukan dirimu.

.

.


.

.

Heiwajima Shizuo, 26 tahun, salah seorang polisi muda berbakat dari puluhan Special Police Kepolisian Jepang. Kemampuannya yang 'mengerikan' membuatnya menjadi nomer satu di Kepolisian. 'Monster', 'Manusia Terkuat se-Ikebukuro', begitulah orang-orang menyebut dirinya dahulu. Memang benar, dibandingkan seorang manusia, dirinya sedikit berbeda. Dia bisa dengan mudahnya melempar sebuah mesin penjual minuman otomatis maupun mencabut rambu jalan dengan mudah, seolah-olah tengah membalikkan telapak tangannya. Ditambah lagi dengan emosinya yang memiliki sumbu sangat pendek nan sensitif―patutlah setiap orang dengan senang hati berlutut memohon ampun padanya.

Namun dunia sudah berubah dengan sangat cepat.

Dirinya yang dulu berkeliling kota untuk menangih hutang, kini berubah menjadi seorang polisi gagah yang menyelamatkan dunia. Dirinya yang dulu dianggap 'penjahat', kini bertindak sebagai seorang 'pahlawan' semua orang. Ah... tidak juga. Daripada di sebut dengan 'menyelamatkan dunia' atau 'menjadi pahlawan semua orang', dirinya masih tetap sama seperti yang dulu―atau mungkin lebih buruk dari dirinya yang lama.

Salahkan pemerintah biadap itu.

Bagaimana korupsi merajalela, bagaimana kegagalan mesin bertenaga nuklir yang menyebabkan radiasi dan bagaimana peperangan ini terjadi, semua adalah salah orang-orang yang hanya bisa berbicara dan duduk di kursi empuknya. Mereka hanya memikirkan diri mereka sendiri―ketamakan memanglah musuh utama manusia. Dengan rakusnya mereka melakukan ini itu tanpa memikirkan orang lain, tanpa mempedulikan bagaiamana di luar setiap orang mengais tempah sampah untuk bertahan hidup. Semua sudah berubah, semua sudah gila. Yang ada hanya aku, aku, aku dan akulah prioritas di setiap kepala yang ada.

Shizuo tidak habis pikir―dirinya sungguh tak percaya. Para kumpulan orang-orang yang menyebut diri mereka 'Dollars', kini sudah ikut gila. Ketua memerintahkan untuk saling membunuh, menjual tubuh satu sama lain untuk 'penghapusan kelompok yang mengganggu'. Dan semua tubuh yang hidup maupun yang sudah mati akan dibeli dengan senang hati oleh perusahaan gelap seperti Yagiri Pharmacy―sudah tentu seperti itu.

Izaya?―Awalnya Shizuo yakin pemuda Orihara itu berada di balik semua ini, namun entah mengapa semakin lama, Shizuo merasa orang di balik ini semua bukanlah dirinya. Ketua Dollars bukanlah Izaya, pemuda Orihara itu hanyalah anak kecil yang suka bermain-main dan mengganggu orang lain, Shizuo yakin Izaya tidak segila itu untuk melakukan ini semua. Setidaknya Izaya masih mencoba untuk mempermainkan mental 'mangsa'-nya dan melepaskannya saat dia merasa tidak tertarik lagi, bukan langsung dengan semena-mena membunuh ratusan orang seperti ini. Semua ini terlalu gila, mana mungkin ada yang masih berjalan dengan santai di kota yang penuh 'kejutan' seperti Ikebukuro ini. Bisa-bisa saja kau tiba-tiba dibekap dan dibawa ke sebuah tempat gelap untuk dihabisi atau dijual oleh orang yang tak dikenal.

Dan tugasnya kini adalah memberantas kelompok yang pernah ia ikuti itu.

Sekotak susu strawberry tersodor tepat di depan wajahnya, mengagetkannya. Sebuah senyuman kecil yang khas di lemparkan teman masa SMA-nya itu, sebelum akhirnya meletakkan susu strawberry-nya di meja dan duduk di sofa yang berhadapan dengannya. "Kau terlihat sangat aneh jika berpikir terlalu banyak, Shizuo...," sindir pemuda berkacamata itu dengan polosnya, sepertinya tidak khawatir dirinya telah menyulut sumbu amarah pemuda pirang itu. Shizuo mendengus kesal mendengarnya, mengambil susu strawberry itu dengan satu tangan dan langsung meneguknya. "Ha―ah... Memangnya salah jika aku berpikir?"

"Kubilang wajahmu aneh saat berpikir, kau tidak cocok untuk berpikir..."

"Terserah," ucap Shizuo sebal, "Kau semakin lama semakin terdengar seperti dia..."

Kishitani Shinra hanya bisa tersenyum mendengarnya, dokter muda itu malah meletakkan dagunya di atas kedua tangannya di meja, menatap pemuda pirang di hadapannya dengan seksama. "Tak kusangka kau masih memikirkannya, Shizuo...," ucapnya lagi, "... Kau merindukannya?" Alis Shizuo berkedut kesal, "Jangan sembarangan kau, Shinra! Siapa yang merindukan kutu sialan itu?! Malah aku senang pada akhirnya dia tidak ada...," sangkal Shizuo dengan dingin, namun tatapannya kosong. Shinra hanya menganggukkan kepalanya, sepertinya tau apa yang sebenarnya dipikirkan pemuda pirang ini.

Setidaknya dia orang kedua yang sudah lama mengenal Shizuo...―

―tentu saja Kasuka menjadi orang pertama yang telah lama mengenalnya.

Dokter muda itu tau seperti apa perasaan Shizuo terhadap Izaya, bahkan dia mungkin menjadi―sekali lagi―orang kedua yang menyadarinya setelah Karisawa Erika―gadis fujoshi yang sering terlihat bersama Kadota dan rekannya. Bahkan dia lebih tau perasaan Shizuo ditinggal pergi oleh pemuda bersurai hitam itu, mengingat dirinya juga ditinggal kekasihnya sendiri. Celty entah mengapa berubah dan meninggalkannya setelah berhasil menemukan kepalanya di bekas apartemen Izaya.

Dan setelah itu dia malah tinggal bersama Shizuo di apartemennya.

"Jadi?," tanyanya tiba-tiba, mengejutkan Shizuo. Pemuda pirang itu menatap Shinra dengan tatapan bingung, "Apanya?"

"Kau tidak mau mentraktirku untuk keberhasilanmu kemarin malam?"

"Untuk apa? Setiap hari aku yang memasak―"

"Russian Sushi! Russian Sushi!," rengek Shinra, sepertinya benar-benar tak peduli nyawanya dalam bahaya. Shizuo menghela napas panjang, sebelum akhirnya menatap teman masa SMA-nya itu dengan tatapan sebal. "Baiklah. Tapi hanya untuk kali ini saja...," ucap Shizuo seraya bangkit dan berjalan menuju kamarnya. Pemuda pirang itu nampak mendecih pelan saat membuka pintu kamarnya, entah kesal atau apa. Sepertinya Shinra mencoba menggodanya dengan meniru tingkah Izaya. "Oh, iya, Shizuo...," panggil Shinra lagi, menghentikan langkahnya sekaligus mendapatkan perhatiannya.

"Tadi siang ada surat tuntutan dari seorang pengacara bernama Tsugaru..."

.

.


.

.

Dan aku mencoba bertahan di dalamnya, bukan dirimu...

.

.


.

.

OWARI#slapped―

M-maksud saya TSUDZUKU...

.

.

A/N: Uraaa! Fic kedua di fandom ini, maaf kalau saya hanya bisa nyampah ._.v . Tema kali ini rada surem, jadi maaf sekali lagi ._.v . Dan itu ceritanya sangat gaje, maaf lagi ._.v . Untuk challange pula, maaf lagi kalau begitu ._.v . Dan maaf saya kebanyakan minta maaf ==v . Akhir kata, RnR, pwease?

Best Regards,

Harumi Kitara.