Disclaimer: Naruto by Masashi Kishimoto

Author: Friendship and Love by Dei-kun coolz

Love Letter

(Kiba's POV)

Pagi ini seperti biasa dengan enggan aku melangkahkan kakiku menuju Konoha Kôtôgakkô[1]. Tempat yang paling membosankan, tapi- karena ada dia hari-hari membosankan itu berubah menjadi hari yang --setidaknya-- menyenangkan. Dia yang kumaksud adalah Hyuuga Hinata, dari keluarga Hyuuga. Sifatnya pendiam, pemalu, baik, dan juga pintar. Diam-diam aku mengagumi dan menyukainya.

Hinata mempunyai saudara sepupu yang bernama Hyuuga Neji. Neji adalah ketua dari club karate, aku salah satu anggotanya. Sebenarnya aku tidak mau masuk ke club karate, tapi—karena dia adalah saudara sepupunya Hinata dan dia juga tinggal seatap sama Hinata akupun terpaksa masuk club-nya hanya untuk menanyakan semua hal yang menyangkut Hinata, dari kegiatan, warna kesukaan, zodiak, shio, dan lain-lain. Untung saja Neji tidak terlalu curiga, toh- dia tidak terlalu peduli dan dia menjawab pertanyaanku dengan enteng, entah dia berbohong atau dia menjawab karena tidak ingin aku bertanya lagi dan lagi padanya.

Sekarang aku sudah sampai, aku melepaskan sepatuku dan menggantinya dengan sepatu khusus untuk di dalam ruangan, lalu meletakkan sepatuku di getabako[2]. Saat akan menuju kelas, aku bertemu dengan Naruto yang berada agak jauh di depanku.

"Naruto!" teriakku memanggilnya.

Mendengar namanya dipanggil, Narutopun membalikkan tubuhnya. Aku memacu jalanku.

"Kiba..."

Kamipun berpapasan bersama menuju kelas. Uzumaki Naruto adalah sahabatku sejak di chuugakkô[3]. Kami selalu sekelas hingga sekarang. Sifatnya hampir sama sepertiku tapi dia lebih pintar. Tak terasa sudah sampai di kelas.

Aku melihat Hinata yang sudah sampai duluan. Aku iri pada Naruto karena dia duduk di sebelah Hinata --walaupun berjarak beberapa senti--. Sedangkan aku, duduk di kursi paling belakang, jarakku antara Hinata ada sekitar 3 meja dan kursi di depan.

TENG TENG TENG

Suara itu lagi. Aku ingat sekarang hari Selasa, hari yang palingku benci. Pelajaran pertama matematika. Yang mengajar Kakuzu-sensei begitulah mereka menyebutnya, tapi—aku menyebutnya Kakuzu-killer, tentu saja aku menyebut Kakuzu-killer tidak di hadapannya.

Setiap dia masuk pasti di kelas menjadi hening, tak ada suara apapun, termasuk suara pena jatuh! Semua murid mematung dan wajah mereka berubah menjadi pucat, apalagi aku yang tak terlalu pintar --bodoh-- matematika.

Kakuzu-killer hanya duduk, berbicara antah-berantah, menulis soal di white board, lalu mencari mangsa, dan membentak murid-murid yang bodoh sepertiku, itulah yang dilakukannya setiap masuk ke kelas. Dia tidak pernah mengajarkan matematika secara langsung kepada kami, kami harus belajar sendiri di rumah. Yang menjadi pertanyaanku setiap pelajarannya, yaitu, 'Kenapa kepala sekolah mau merekrut orang seperti ini?'

Sekarang Kakuzu-killer sedang menulis soal mematikannya di white board. Pandanganku lurus ke arah white board, lalu beralih ke atasnya. Aku memerhatikan jam dinding dengan seksama. 'Masih ada sekitar 83 menit lagi sebelum pelajaran kedua mulai,' begitulah pikirku.

Dua jam bersama Kakuzu-killer serasa dua tahun mengalami siksaan neraka. Kakuzu-killer mulai berjalan ke arahku. Jantungku berdetak tak beraturan, aku berharap semoga saja dia mengarah ke arah Lee yang duduk di depanku. Tapi—nasib berkata lain, Kakuzu-killer meletakkan spidolnya di mejaku, mukaku menjadi pucat pasi.

Aku melangkah maju ke depan, melihat soal yang yang tertulis. Tanganku gemetar, bukan karena tatapan mematikan Kakuzu-killer, tapi- karena Hinata. Hinata pasti sedang memerhatikan punggungku, aku juga tidak tahu jawabannya. Kakuzu-killer yang semula ada di belakang melangkah maju ke depan dan melihat white board yang belum tertulis jawaban.

"Kiba," gumamnya. Aku hanya menatapnya.

"Berdiri di sudut sana!" bentaknya.

'Shit!' lagi-lagi aku disuruh berdiri. Aku hanya menundukkan kepalaku. Aku tak punya muka lagi untuk menatap Hinata.

'Masih ada sekitar 79 menit lagi,' umpatku.

--79 menit berlalu--

Akhirnya aku bisa duduk kembali, selama berdiri tadi aku hanya megucapkan sumpah-serapah pada Kakuzu-killer, tentunya hanya di dalam hati. Pelajaran selanjutnya bahasa nasional [4]. Sudah 10 menit lewat semenjak pelajaran mematikan itu selesai, tapi Anko-sensei belum masuk juga.

'Sepertinya dia tidak datang,' pikirku.

Aku hanya diam memerhatikan Hinata yang masih duduk. 3 menit, 5 menit, 9 menit, mataku masih tetap bertahan menatap Hinata dari belakang. Dia mulai berdiri, membawa buku, dan mengarah ke Naruto.

'Kenapa hatiku bergejolak begini?'

'Apa aku cemburu pada Naruto?'

Aku menggelenggkan kepalaku, 'Tidak! Aku tidak boleh cemburu pada sahabatkku sendiri!'

TENG TENG TENG

Mendengar suara lonceng barusan, murid-murid yang lain berhamburan keluar kelas untuk beristirahat. Aku masih tetap duduk di kelas, mengeluarkan kertas berwarna merah jambu yang tadi pagi aku beli. Aku bertekad untuk mengirimkan surat cinta pada Hinata. Aku menulis kata demi kata menjadi kalimat, walaupun kurang --tidak-- puitis tapi setidaknya perasaan yang kutuangkan dalam tulisan ini tersampaikan.

* * *

Setelah berjam-jam berlalu akhirnya lonceng pulang berbunyi. Aku pergi menuju ruang club karate-ku. Aku latihan tiga kali dalam seminggu, yaitu hari Selasa, Kamis, dan Sabtu.

--Selesai latihan--

Aku menuju ruang getabako, mengendap-ngendap, memastikan tak ada orang lagi. Aku melihat nomor yang tertera disetiap getabako.

'17, 17,' gumamku pelan. Nomor getabako Hinata adalah 17.

Setelah menemukan nomor getabako Hinata, aku beralih pada tasku. Membuka resleting tas, dan memasukkan tanganku ke dalamnya, mencari amplop berwarna merah jambu yang di dalamnya terdapat surat yang berwarna sama. Aku membaca tulisan yang ada di amplop.

'To Hyuuga Hinata.' Sepertinya tak ada salah dalam tulisanku. Aku memasukkan surat cinta itu ke dalam celah getabako Hinata.

Kepalaku celingak-celinguk ke kanan dan ke kiri, memastikan tak ada murid lain yang melihat.

To Be Continued------------


Ket:

[1] Kôtôgakkô: SMA

[2] Getabako: rak sepatu, biasanya terbuat dari kayu

[3] Chuugakkô: SMP

[4] Bahasa Nasional: terserah mau anggap B. Indonesia atau B. Jepang ^_^


A/N: Ini pertama kalinya saya membuat cerita yang berchapter. Chapter pertama belum ada konfliknya, jadi agak membosankan. Di sini karakter Naruto dan Hinata tidak terlalu ditonjolkan karena ini sudut pandang Kiba. Di chapter berikutnya saya akan membuat karakter mereka --mungkin-- lebih hidup.