Hai, aku datang lagi dengan cerita baru, nih. Kali ini aku ambil kisah kenakalan si anak tertua Potter, James Sirius Potter. Cerita ini bisa dibilang sequel dari Bakat Tersembunyi Lily, Ya.. aku belum bisa move on dari cerita kemarin. Hehehe.. Tapi ini lebih kepada sosok James dan juga Al yang aku tekankan di dalamnya. Bukan Lily lagi. So, mau memulainya lagi dengan kisah anak Mr. Potter?

Oh ya, cerita I'm Sorry ini aku perkirakan nggak makan banyak chapter. Hanya beberapa saja sampai akhir.

So, udah cukup cuap-cuapnya di awal, langsung saja ke TKP! Thanks! - Anne ^_^

Happy reading!


Liburan di rumah itu membosankan. James dan Albus hanya bisa menghibur diri mereka dengan bermain catur sihir. Lamat tinggal di Hogwarts membuat mereka kadang ingin berbuat sesuatu untuk rumah.

Keributan? Tentu saja.

"Al, aku pikir anak-anak Slyterin sedikit banyak tularkan sesuatu padamu. Aku tak yakin kalau kau tetap menjadi anak kalem yang err.. menjijikan." James mulai mencari topik yang.. ia harap bisa membuat sebuah hiburan diliburannya.

"Maksudmu?" Al menaruh kembali bidaknya. Mulai terpancing kebolehan James.

James tidak menjawab. Ia sempat menengok ke kanan dan kiri sebelum berbisik, "kau mau ku ajak membuat pesta? Ini pasti seru," ucap James. Ginny sedang takada di rumah. Ia menjemput Lily yang sedang mengisi sebuah acara di sekolahnya. Maklum sejak diketahui ia hebat bermain piano, sekolah sering mendapuknya sebagai wakil disetiap kompetisi piano antar sekolah.

Karena sering menang, Lily jadi sering diundang mengisi berbagai acara sebagai pianis muda.

"Mumpung Mom dan Dad sama Lily tidak di rumah, ayo kita buat sesuatu yang baru di rumah ini. seperti dekorasi baru." James berlari naik ke lantai dua meninggalkan Al yang hampir membuat satu langkah kemenangan catur sihir hari itu.

"Apa itu, James?" tanya Al menunjuk bungkusan yang dibawa James dari kamarnya.

"Aku dapat ini dari Uncle George."

"Barang lelucon lagi? Enggak ah!" Tolak Al mentah-mentah.

James tahu saudaranya itu anti cari masalah. Apalagi berdekatan dengan barang-barang yang dijual salah satu paman Weasleynya. Sekali berdekatan dengan barang-barang aneh itu, alamat cari masalah pula dengan ibu mereka.

James menahan tubuh Al agar tak kembali ke kamar, "dengarkan aku dulu, Al. Ini tak akan seheboh yang kamu pikirkan." Kantung yang ia bawa tadi perlahan dikeluarkan isinya. Tangan James nampak bergerak-gerak mengumpulkan dari ujung ke ujung kantong.

Al menebak bentuknya seperti bola.

"Ini dia. Bom perubah warna!"

Meski namanya bom, bentuknya tak seperti bom yang penuh kabel dan alat penghitung waktu. Hanya beberapa bola-bola kecil dengan warna-warna yang beragam. Dan untuk yang dimiliki James, ia hanya punya warna hitam, merah muda, hijau, dan biru yang jumlahnya lumayan banyak. Ia sempat membaginya, lebih tepatnya terpaksa membaginya, dengan Fred Jr., sepupunya sendiri.

"Kecil sekali?" ada rasa tak percaya saat Al melihat bom yang lebih mirip dengan permen itu.

Kakaknya lantas menggeleng-geleng sambil berdecak, "kecil-kecil cabe rawit, nih. Walaupun kecil, efeknya luar biasa." kata James percaya diri.

"Loh, katamu ini nggak heboh? Kok efeknya luar biasa?"

"Aduh adikku yang manis, namanya juga bom. Bom itu meledak, itu luar biasa. Bola ini akan dengan mudah meledak saat kita lemparkan ke objek yang kita tuju. Tanpa perlu mengecatnya, hanya beberapa detik saja, objek kita itu akan berubah warna sesuai dengan warna bola yang kita lempar." Jelas James seolah ia sudah paham betul dengan proses kerja barang lelucon pamannya.

James mengambil satu bola. Bola warna biru. "Kita akan mulai mendekorasi rumah ini, Al. Dari yang paling kecil dulu," ia berjalan menuju tiang gantungan mantel di samping pintu masuk.

Dusss! James melemparnya ke arah tiang coklat tua bercabang lima itu. "Saat kita ingin merubah warnanya, pastikan objeknya tidak sedang kita pegang. Bisa-bisa kita juga ikut berubah warna." Kata James bak sales man.

Terjadi sedikit guncangan pada tiang gantungan itu sampai selanjutnya muncul asap berwarna biru menjalar dari bawah hingga ke atas. "Wow!" pekik Al menyadari tiang gantungan yang tadinya berwarna coklat tua lantas berubah menjadi biru sesaat setelah asap yang menyelimutinya hilang.

"Keren, kan?" tanya James sambil nyengir kuda.

"Ta-tapi apa bisa berubah lagi, James?" tanya Al takut-takut.

"Tentu saja. Ini akan kembali seperti semula setelah 15 menit, nggak lama, kan? Ayo kita mulai merubah warna benda-benda di rumah ini. Saat Dad dan yang lain pulang, benda-benda itu akan kembali seperti semula. Jadi tidak akan ada masalah, Al."

Betul juga, tidak akan ada yang tahu, batin Al. Toh, orang tua dan adiknya masih lumayan lama kembali ke rumah. Al mulai tertarik saat James semakin menjadi dengan benda-benda di ruang tamu mereka. James sudah merubah karpet depan tv mereka dari merah menjadi hitam, meja ruang tamu dari hitam menjadi merah muda, vas bunga dari putih menjadi hijau dan benda-benda lain. Tanpa Al memerintahkannya untuk berhenti.

"Al, aku ingin merubah sesuatu yang lebih besar lagi, nih."

James memandang luas ke segala penjuru rumah. Sampai matanya tertuju pada satu benda lumayan besar di samping sofa keluarga.

"No, James! Kau bisa kena marah Lily." Teriak Al melihat James mendekati piano Lily.

Piano spinet berwarna coklat tua itu jadi salah satu benda di rumah mereka yang belum sempat jadi korban. James siap memilih satu warna untuk merubahnya.

"Lily suka sekali dengan warna merah muda, kan? Aku tinggal punya satu untuk warna pink. Kita akan coba merubah benda yang 'susah' dimainkan ini," kata James siap melempar bola berwarna pink ke arah piano Lily.

"Jangan!"

Dusss! Gruduk.. gruduk..!

"Ada apa itu?" tanya Harry masih di belakang kemudi mobilnya. Lily yang menatap dari jendela bangku belakang mengerutkan dahinya melihat asap berwarna merah muda keluar dari lubang fentilasi atas jendela.

Lily melirik ke arah ayahnya. "Dad, kau membiarkan rumah kosong tanpa orang yang menjaga?"

"Yang terakhir di rumah, kan, kamu dan Mom, Dad tadi sudah di kantor. Mana tahu?" jawab Harry, ia mengarahkan mobilnya masuk ke halaman rumah. Harry memang sudah tidak ada di rumah sejak siang. Harry memang punya usaha pabrik besi di dunia Muggle untuk menyiasati identitasnya dengan orang-orang sekitarnya yang tak tahu ia penyihir. Toh dari pabrik yang didirikannya itu juga menjadi salah satu pemasukan pundi-pundinya di dunia Muggle. Harry hanya dua kali seminggu mengecek keadaan pabriknya itu, karena memang pekerjaan Aurornya masih menjadi prioritas utamanya.

Harry sedikit beruntung memiliki orang yang ia percayai untuk mengurus berjalannya roda usahanya itu.

Mendengar pertanyaan Lily, Ginny melotot. Teringat satu hal, "sebuah kesalahan besar saat aku memberikan kesempatan James dan Al kita tinggal sendirian di rumah," kata Ginny lirih.

"What?" Pekik Harry tak percaya. Dua anak lelakinya pasti sedang membuat ulah.

"Sebaiknya kita langsung cari tahu sebelum rumah ini hancur di tangan dua monster cilik itu, sayang!"

Harry, Ginny dan Lily langsung berhambur keluar dari mobil dan menuju pintu masuk rumah mereka. Wuss! Asap berwarna biru langsung menguar menyambut kedatangan mereka. Ginny terkejut melihat tiang gantungan mantel di samping pintu bergerak-gerak dengan asap biru pekat yang mulai hilang dari ujung atas menuju bawah.

"James, Al! Apa yang kalian lakukan?" bentak Harry pada kedua putranya.

Al dan James tak melihat Ginny dan dua orang lainnya, mereka masih terkejut dengan efek yang dihasilkan bola warnanya pada piano Lily. Gerakannya jauh lebih kuat saat akan berubah warna.

"Pianoku!" Lily sudah berhambur menghampiri pianonya. Warnanya sudah berubah jadi merah muda.

Al tampak menyenggol tubuh James pelan, "matilah kita!"

Lily dengan cekatan mengecek pianonya yang sudah menjadi pink cerah. Tidak hanya luarnya saja, hingga pada tuls dan senar dalam pianonya juga berubah menjadi pink. Ya memang benar, Lily suka warna pink, tapi ia tak rela jika pianonya berubah sebegitu ekstrimnya.

"Sekarang jelaskan apa maksud benda-benda ini berubah warna, James, Al!" Ginny mulai ambil bagian dan akan menguasainya.

Di sudut tempat piano 'pink' itu berdiri, Lily sudah siap memeriksa apakah ada kesalahan pada pianonya. Pasalnya, kedua kakaknya itu belum pernah ia jelaskan bagaimana merawat piano itu sepulangnya dari Hogwarts.

Mata Lily melotot hampir keluar saat tahu tuls pianonya sudah berubah warna jadi pink, tidak hitam dan putih lagi. Jemarinya langsung menekan-nekan jajaran batang putih yang kini jadi merah muda.

Suaranya menjadi dua, pada tuls yang lain bahkan berdengung saat ditekan. Suaranya aneh.

"Ada yang salah, sayang?" Harry mendekati Lily yang sudah berjongkok melihat papan kayu pada bagian bawah di belakang piano.

"Papan suaranya retak, Dad. Lily ngira ini pasti bridgenya lepas. Senarnya nggak bisa terangkat." Lily mencoba lagi namun kini dengan duduk.

Harry hanya bisa melihat putrinya itu sangat cekatan menangani pianonya di usianya yang masih sangat muda. Lily sudah sangat paham bagian-bagiannya.

Di sudut lain, Ginny tampak menyeret kedua putranya berdiri di tembok. Ia sudah merampas sisa bom warna milik James. "Apa yang kalian perbuat tadi di rumah? Jawab!" Ginny sedikit memelankan suaranya. Ia berusaha tidak bertindak keras pada kedua putranya.

"Terutama pada piano Lily, apa yang sempat kalian lihat saat berubah warna?" Harry menengahi Ginny dan kedua putranya mencoba lebih tenang. Ia masih memikirkan perasaan putrinya yang masih tak percaya pianonya rusak. Harry tak mau makin memperburuk suasana.

James dan Albus menunduk ketakutan. Al menarik napas sejenak sebelum menjelaskan, "James mengajakku merubah warna barang-barang di rumah dengan bom warna itu. Kata James..,"

"Mom!"

"Diam kau James, lanjutkan Al," perintah Ginny.

Al melirik ke arah James singkat, "kata James mainan itu hanya bekerja 15 menit saja, dan saat berubah warna benda yang dilempar bola itu akan bergerak-gerak sebelum berubah warna. Dan.., saat James merubah piano Lily..,"

Lily sudah melotot ke arah kedua kakaknya. Ia lantas memeluk Harry erat. Tangis Lily tumpah membuat kemeja Harry basah pada bagian dada.

"Aku sudah melarang James, Mom. Aku tak bohong! Tapi James tetap melempar bola itu dan.. ternyata reaksi goncangannya cukup kuat di piano Lily," tutur Al sambil dibayang-bayangi tatapan mematikan Ginny.

Tiba-tiba dari arah piano Lily kembali bergerak-gerak tak karuan. Asap mulai muncul lagi. Semakin kencang dan.. duarrr!

Piano Lily kembali berwarna coklat tua seperti semula. Lily yang menyadari pianonya kembali langsung mendekatinya kembali mengecek ulang. Retakan di belakang pianonya masih ada. Tulsnya saat ditekan masih mengeluarkan suara dengungan dan berderik-derik.

Lily duduk untuk memeriksa ketiga pedalnya dengan menginjakkan kakinya, "pedalnya tak berfungsi," Lily lemas.

Wajah Ginny sudah memerah menahan marah. Harry paham istrinya itu bisa marah besar dan meledakkannya pada kedua putranya itu tanpa ampun. Sebelum sempat terjadi, Harry sudah menarik Ginny kebelakang untuk menemani Lily yang sudah terisak kembali.

"Tindakan kalian kali ini tidak bisa Dad toleran lagi. Kalian harus di hukum."

Harry masuk menuju tempat dimana kedua sapu putranya disimpan dan mengambilnya. Ia memasukkan kedua sapu terbang itu ke dalam salah satu pintu loker yang dibuat di bawah tangga. Loker itu jarang Harry gunakan. Meski kecil, ia sudah memberikannya mantra perluasan agar mampu menampung barang sebesar apapun. Selagi benda itu masih mampu dimasukkan.

Harry menggerakkan tanggannya sambil merapalkan mantra tak begitu jelas pada loker itu. "Tak ada yang bisa membuka loker itu meskipun kalian menggunakan tongkat Dad," kata Harry pada James dan Al. Ia yakin kedua putranya bisa saja mencuri tongkatnya untuk membukanya seperti beberapa bulan yang lalu dilakukan James, tapi Harry terlalu pintar untuk menebak apa yang bisa dilakukan dua anaknya itu selanjutnya.

"Dad!" James dan Al bersamaan. Mereka lemas melihat sapu mereka sudah masuk dan akan kembali nanti saat mereka akan sekolah. Itu masih sangat lama.

"Dan sekarang kalian berdiri di dekat tembok dengan waktu yang sama seperti benda yang kalian ubah tadi, berapa? 15 menit? Selama itu juga kalian berdiri di sini."

Harry mendekati Lily yang masih terisak sambil menjanjikan sesuatu padanya, "nanti kita bisa datang ke Ms. Greyson untuk membetulkan pianonya, ya. Sekarang Lily ke kamar, istirahat." Kata Harry coba menenangkan.

"Kapan kalian bisa buat Mom dan Dad tidak marah dengan apa yang kalian lakukan? Kami capek, Nak!"

Ginny bertanya pelan, namun menyakitkan.

James yang menjadi pelaku utama merasa sakit saat ibunya berkata demikian, tatapannya tajam. Harry ikut terkejut dengan perkataan istrinya barusan.

"Apa?" James terkejut, "Apa Mom? Lalu kapan Mom mau sedikit saja menghargai apa yang aku lakukan? Nggak pernah!" James menangis sambil berlari menuju keluar rumah. Al yang ikut-ikutan merasa sakit hati menyusul James yang berlari keluar rumah.

Langit yang mulai gelap membuat jalanan depan perumahan rumah mereka lenggang. Al berhasil menyusul James yang sudah ada di tengah jalan, "James!"

"Al, aku capek Mom marah terus padaku. Kau lihat sendiri, kan, kapan Mom bisa sayang ke kita seperti Mom sayang sama Lily? Nggak pernah? Hanya karena Lily bisa membanggakan mereka?"

James sudah menangis sejadi-jadinya. Dadanya sesak, sampai tiba-tiba ia merasa ada sebuah mobil box sedikit aneh melintas di samping mereka. Mobil box itu melayang. Hampir saja menabrak James dan Al.

Mobil itu oleng dan menabrak pagar rumah Harry. "Box belakangnya terbuka, James!" kata Al saat melihat pintu belakang mobil box itu terbuka dan menjatuhkan sebuah benda.

"Jam pasir, Al." James mengambil benda yang ternyata jam pasir itu dan membaliknya.

Wusss!

"Di mana anak-anak tadi?" seorang pria keluar dari mobil menuju belakang mobil boxnya.

"Mr. Grimmie? Ternyata anda?"

"Mr. Potter? Merlin, ternyata ini di depan rumah Anda, Sir. Maafkan saya untuk pagarnya. Tadi saya terkejut ada dua anak laki-laki di tengah jalan, saya banting stir ke kanan dan..," tunjuknya pada pagar. Mr. Grimmie adalah salah satu penyihir yang bekerja di Kementrian pada departemen yang sama dengan ayah mertua Harry.

Ginny kaget saat pria 50 tahun itu mengatakan ia melihat dua anak laki-laki. "Anda melihat anak laki-laki?" tanya Ginny dipertegas.

"Iya, Mrs. Potter. Tapi saat saya melihatnya lagi sudah tidak ada. Mungkin saya tadi hanya berhalusinasi saja, saya lembur sejak tadi pagi mengambil beberapa benda sihir yang 'nyasar' ke tangan Muggle ini. Ya, mungkin kecapekan," ungkapnya.

Lily yang juga ikut keluar rumah ikut-ikutan melihat sekitar mobil box itu. Ia menemukan benda di bawah ban. "Itu apa?" Tunjuk Lily pada jam pasir yang terus menjatuhkan pasirnya. Waktu terus berjalan.

"Ini jam pasir waktu, Sir. Pasirnya akan berjalan saat ada yang tersedot ke waktu tertentu. Meskipun dibalik dari sisi yang berlawanan pasirnya akan tetap berpindah tidak akan kembali. Dan akan berhenti sendiri saat pasir habis, objek yang tersedot akan kembali." Jelasnya sambil mengambil jam pasir itu. "Ini juga mengambil korban, untung Muggle yang tersedot bisa kembali." Sambungnya.

Harry melihat jam pasir yang dipegang Mr. Grimmie sedang berjalan. "Pasirnya berjalan, Sir," kata Harry lirih.

"James, Al!" pekik Ginny tak percaya.

- TBC -


Bagaimana? Tunggu chapter selanjutnya, ya! Dan jangan lupa tinggalkan review!

Thanks,

Anne ^_^