Current Chapter Title : No More
.
Current Chapter Cast : Jeon Jungkook, Park Jimin
.
Pair : JiKook (Jimin x Jungkook)
.
Rated : T
.
Genre : Angst
.
Warning : Yaoi, 1st POV
.
Disclaimer : All the characters inside this fanfiction is definitely not mine, all I use for the sake of this story are their name only.
.
.
Background Music : Kim Yerim (Lim Kim) – No More
.
~Jungkook's POV toward Jimin~
[ From : Park Jimin hyung ]
[ Kookie-ya, apakah hari ini kau sedang berada di rumah? Aku akan mengunjungimu di sana jam 11 siang, ada hal penting yang ingin aku bicarakan empat mata denganmu. Kirimi aku jawaban konfirmasimu secepat mungkin. ]
Sudah dua jam lamanya semenjak pesan singkat tersebut diterima oleh ponselku pada pukul 08:49 pagi, aku pun telah membalasnya dengan mengiyakan. Namun atensiku masih saja terpekur ke arah layar ponsel yang memaparkan sebaris tulisan tersebut.
Aneh, entah kenapa rasanya lama sekali semenjak terakhir kali kita bertemu dan bertengkar hebat dua minggu lalu. Mungkinkah tujuanmu bertandang ke kediamanku ialah guna menyudahi perang dingin serta status kita? Atau justru kau masih ingin mencoba menyelesaikannya dengan berbicara baik-baik dari hati ke hati?
Lalu perhatianku beralih ke penunjuk waktu yang bertengger di sudut layar ponsel. Tinggal sebelas menit lagi sebelum tibanya waktu yang kau janjikan, tapi batang hidungmu belum juga tampak di area rumahku.
Tadinya ibu jariku hendak menekan tombol nomor 3 di ponsel cukup lama untuk mengaktifkan fitur speed dial yang bisa membuatku lebih cepat menghubungimu via telepon, tapi ku urungkan karena ego serta gengsi. Padahal kau yang memiliki niat untuk menemuiku, tapi kenapa malah aku yang terkesan mengejar-ngejar?
Seakan telah tercantum dalam skenario kehidupan, terdengar deru motor yang semakin mendekat lalu berhenti tepat di luar pagar rumahku. Aku, yang sedari tadi terduduk di sofa ruang tamu, bangkit dan menggerakkan kaki menuju garasi.
Hal pertama yang menyapa iris serta retina-ku setelah gerbang terbuka ialah sesosok pria yang menunggangi satu unit sepeda motor berwarna merah-hitam. Seandainya aku tidak hafal dengan kebiasaanmu, bisa saja aku tidak dapat mengenalimu akibat hoodie jacket kelabu gelap, helm half-face dengan kaca menutupi wajah, serta masker yang kau kenakan.
"Apa aku terlambat? Maaf kalau aku membuatmu menunggu, aku baru saja selesai latihan dance." Dengan nada memohon maaf, itulah yang pertama kali kau tanyakan padaku setelah cukup lama kita saling diam. Kau memarkir kendaraanmu di dalam garasi, helm-mu juga kau lepas sebelum memasuki hunianku.
"Tidak juga, hyung malah tiba tujuh menit lebih awal daripada seharusnya." Ku tunjuk jam dinding digital dengan angka 10:53 tertera di sana. "Hyung mau minum apa? Kopi? Teh? Soda? Air mineral? Atau apa?"
"Teh saja, terima kasih."
Ku lenggangkan diri begitu saja menuju dapur demi menjalankan tugas, meninggalkanmu yang baru saja terhenyak di atas sofa ruang tamu seorang diri.
Entahlah, semakin hari aku kian merasa kalau setiap detik yang ku jalani bersamamu terasa sungguh membosankan. Bahkan pada satu titik, waktu terasa berjalan begitu lambat hingga bisa disandingkan dengan pergerakan siput. Padahal biasanya hal tersebut terjadi tatkala seseorang ingin agar waktu lekas berlalu tanpa terasa, dan mungkin dalam kasus ini akulah yang berdoa sembari mengharapkan agar penambahan akselerasi waktu benar-benar terjadi.
Agak lama berselang, aku pun kembali ke tempatmu berada dengan segelas es teh manis tergenggam di satu tangan dan satu karton jus mangga di tangan yang lain. Satu alismu berkerut begitu minuman yang terakhir ku sebutkan tersaji di atas meja untuk diriku sendiri.
"Kau sedang sakit?" tanyamu heran.
Aku menggeleng. "Tidak, kebetulan saja jus itu ada di dalam kulkas. Entahlah siapa yang membelinya, mungkin ibu atau hyung-ku."
"Memangnya mereka sedang tidak ada di sini sekarang?"
Lagi-lagi kepalaku bergeleng. "Hyung sedang berada di kampus, kalau ibu bekerja di kantor. Mereka baru akan kembali malam ini, seperti biasa."
Mungkin karena tidak tahu harus memberi tanggapan apa atas jawabanku yang datar dan tak bersemangat, kau hanya mengangguk-anggukkan kepala sebagai reaksi.
Tatkala indera penglihatanmu menatap inderaku dengan dalam seperti sekarang, tidak lagi ku rasakan emosi apapun. Bahkan ketika kau gamit tanganku hingga jemari kita saling bertautan, tidak ku temukan antusiasme atau kegrogian yang membuncah.
Kemana adrenalin yang dahulu sempat memacu jantungku untuk berdetak lebih cepat? Begitu pula dengan situasi tersendatnya intuisi yang pernah membuat nyali ciut serta lidah kelu tak menelurkan satu kata pun?
Tidak ada lagi kupu-kupu yang beterbangan di dalam dadaku dan membuat segala beban menjadi ringan, tidak ku rasakan lagi panas yang seakan menjalar ke seluruh penjuru wajah. Tanpa ku sadari semua telah lenyap, sama mendadaknya seperti saat pertama kali aku mulai mencintaimu dahulu.
"Jadi… bagaimana kabarmu? Apa ujian praktekmu sudah selesai?"
Aku mengangguk. "Kalau hyung sendiri? Bagaimana dengan persiapan kompetisi dance-nya?"
"Lancar-lancar saja, sejauh ini belum ada hambatan apa-apa."
Kita menanyakan kabar satu sama lain bukan karena memang ingin mengetahuinya, melainkan karena sudah menjadi kewajiban yang terasa mengekang. Bak rutinitas sehari-hari nan membosankan, syaraf kita berulang kali menekan Ctrl+C dan Ctrl+V guna mengaplikasikan senyum penuh dusta serta segala pengulangan lain yang tiada berguna.
Terdengar pahit dan menyedihkan memang, aku sendiri mengakui itu. Tapi apa lagi yang bisa kita perbuat? Diri ini telah diliputi kemuakan yang teramat sangat, bahkan kenangan masa lalu sekalipun tak lagi sanggup menggoyahkan keputusan untuk menyudahi segalanya.
"Aku merindukanmu, Kookie-ya."
Rasanya ingin sekali aku muntah di hadapanmu, atau mencaci-maki dirimu, atau minimal melepaskan genggaman tangan kita lalu mendengus keras-keras.
Palsu, semua itu hanyalah dustamu saja. Kalimat rekaan yang telah kau rangkai sedemikian rupa agar aku luluh saat mendengarnya, supaya aku memberimu pengampunan secara cuma-cuma atas pertengkaran kita beberapa minggu silam.
Kalau memang rindu, kenapa baru sekarang kau mencoba untuk menghubungiku? Untuk apa kau sia-siakan empat belas hari yang berlalu begitu saja tanpa komunikasi yang berarti? Atau kau sengaja menciptakan tembok tak kasat mata yang semakin memperlebar jurang perbedaan dan menghalangi kita untuk saling berinteraksi?
Kali ini tidak ku berikan respon apapun, kerlingan mata pun tidak. Curahan perhatian hanya ku berikan kepada karton jus mangga yang tengah ku tenggak isinya. Setidaknya minuman ini bisa menghilangkan dahaga, bukannya malah membuatku naik pitam seperti yang tanpa sadar tengah kau lakukan.
"Tatap aku." Dalam frekuensi lirih, untuk kesekian kalinya gendang telingaku menangkap suaramu. Entah dengan nada memohon, memerintah, atau bahkan gabungan dari keduanya. Kalau sudah begini, terpaksa ku turuti titahmu.
Setiap kali kita berdua bertemu pandang seperti sekarang, pasti dalam benakmu dan benakku sama-sama tengah mempertanyakan kapan momen yang tepat untuk mengakhiri jalinan kasih kita. Benar kan?
Apalagi yang kau tunggu, Jimin hyung? Inilah saat yang tepat bagi kita untuk memutuskan hubungan, kenapa harus ditunda-tunda? Tidak ku temukan lagi kejujuran dan ketulusan dari kedua belah pihak, bahkan status kita sudah terjun bebas menjadi lebih buruk daripada sekedar teman.
Pada akhirnya, apa bedanya kita berdua dengan orang-orang yang dulu tak pernah bisa kita pahami dengan nalar kita? Kini kita berpisah dengan didasari alasan yang sama seperti alasan mereka, kejemuan terhadap perseteruan tak berujung membunuh segala rasa yang pernah ada di antara kita.
"Kookie-ya, aku–"
"Tidak ada gunanya lagi berbasa-basi, hyung." Ku potong kalimatmu dengan penuh ketegasan. "Aku sudah tahu apa tujuanmu datang kemari dan kau sudah mengetahui dengan jelas kira-kira apa yang akan aku katakan padamu selanjutnya sebagai jawaban dariku."
Meski ini bukan kali pertama aku bersikap ketus terhadapmu, kau tetap saja terlihat terkejut menerima perlakuan seperti itu dariku.
Dengan ragu-ragu, kau kembali melanjutkan ucapanmu. "Jadi… kau benar-benar yakin ini adalah keputusan finalmu?"
Anggukan mantap ku berikan padamu sebagai balasan.
"Kalau begitu…" Bimbang, kau menggantung ucapanmu selama beberapa saat. Kau seperti gentar untuk mengutarakannya, seakan kau hendak menerka bagaimana reaksiku selanjutnya. "Izinkan aku memelukmu untuk yang terakhir kalinya. Boleh kan, Kookie-ya?"
Tercekat, itulah responku terhadap permintaanmu yang terkesan mendadak dan tidak terduga. Ku kira kau sama jahatnya seperti aku, sama teganya dengan kekasihmu ini. Mungkinkah selama ini persepsiku mengenai hilangnya harapan dari kedua belah pihak tidak benar adanya? Apakah ini berarti hanya aku yang berperan sebagai iblis dalam hubungan kita?
Tanpa diketahui oleh otakku, kesadaranku memerintahkan mulut ini untuk berujar, "Tentu."
Oh sialan, kenapa aku jadi ikut labil begini? Tidak, aku tidak boleh lemah. A tetaplah A, B tetaplah B. Kalau sikapku berubah plin-plan, bisa-bisa kau berasumsi kalau aku memberikanmu satu kesempatan lagi.
Tidak, sudah cukup aku membuat diriku sendiri letih dengan segala kebohongan dan konflik kita. Makna kasih sayang telah lama terkikis dan memudar dari kamus pedomanku semenjak kita tak lagi saling ber-sinergi.
Karena aku tak kunjung mendekat ke arahmu, kaulah yang beringsut guna mempersempit jarak. Masih dalam posisi duduk di sofa, tubuhku direngkuh oleh kedua lenganmu dan ditarik semakin erat ke dalam dekapan.
Aku percaya kalau membalas pelukan perpisahan seperti ini sama saja dengan memberikan jawaban positif. Seakan aku masih belum siap merelakan perpisahan yang akan terjadi, seakan aku tidak menghendaki kau untuk beranjak pergi. Padahal bukan itu yang ku inginkan.
Itulah mengapa tanganku hanya terjuntai di sisi tubuh, terpenjara dalam pelukmu tanpa sedikit pun menggelayuti pinggang ataupun lehermu.
Seharusnya kau sudah menyadari kalau ini bukan lagi cinta, melainkan beban dan keterpaksaan.
Tapi kenapa? Kenapa detik ini aku masih bisa merasakan debar jantung di dadamu masih sama kencangnya seperti dahulu? Bertolak belakang dengan milikku yang kian melambat?
Mungkinkah kau… masih mencintaiku?
"Terima kasih, Jungkook-ah." Bahkan sebelum aku sempat menemukan jawaban dari tanda tanya besar di dalam kalbuku, kau sudah melepaskan pelukanmu dan juga nama panggilan khusus yang kau gunakan padamu selama ini. Seakan pihakmu telah menandai akhir dari kita. "Kalau begitu aku permisi dulu, masih banyak urusan yang perlu ku selesaikan. Selamat siang."
Bersamaan dengan lenyapnya tetes terakhir dari teh yang kau tandaskan, pada saat itu pula kau beranjak dari ruang tamuku lalu mengarah ke garasi. Entah kenapa punggungmu tampak begitu menyedihkan tatkala menutup pintu, seperti sedang memikul beban maha berat yang tak terlihat oleh sepasang mataku.
Apakah ini merupakan simbolisasi dari ekspedisi yang akan dilakukan hati kecilmu nan malang? Dengan rute dari sebuah akhir kelam menuju awal mula yang terang benderang namun penuh ketidakpastian?
Entahlah, aku tak lagi memiliki hak untuk memberikan tanggapan. Hanya kau seorang yang bisa menjawab pertanyaanmu sendiri.
Seperti sengaja untuk berlambat-lambat, barulah kesadaranku menghantamku setelah kau pergi. Bahwa kini semuanya telah menjadi sejarah, menjadi kenangan. Tulisan 'tamat' telah bertengger di halaman terakhir buku tebal berisi catatan panjang perjalanan kita.
Tidak ada lagi kita, yang ada hanyalah 'kau' dan 'aku'.
Dan yang dapat aku perbuat hanyalah tertegun dalam kesunyian, jiwa ini tak lagi punya cukup hati untuk memanggil kembali dirimu yang semakin menjauh bersama deru sepeda motor.
.
.
.
To Be Continued
