"Tianyi..."
"..."
"Tianyi?"
"..."
"Tianyi!"
"..."
"LUO TIANYIIIIII!"
"AH! Iya iya!"—
Dug!
Brak!
Splash!
Byur!
—seru gadis yang bernama lengkap Luo Tianyi itu sampai jatuh dari pondoknya hingga mengenai air hujan yang menggenang di tanah.
Tianyi menoleh ke atas. Ia sudah tahu siapa yang memanggil dirinya itu. Seorang gadis yang kini sedang menahan kesal karena diabaikan beberapa panggilannya, mulai dari yang halus hingga yang 'halus'.
"Ah, Ling..." panggil sembari bangun dari tanah, membersihkan pakaiannya yang terkena air lumpur, setidaknya agar sedikit bersih.
"Kau kenapa Tianyi?" tanya gadis yang bernama Ling itu heran.
"Tidak, aku hanya sedang melamun tadi, maaf..." jawab Tianyi.
"Ah, tak apa. Harusnya aku yang minta maaf karena membuat pakaianmu basah." ujar Ling menyesal.
"Tadi kaumemanggilku untuk apa?" tanya Tianyi langsung ke topik tanpa berbasa-basi.
"Jumlah uang yang kita kumpulkan hari ini cukup banyak." jawab Ling sambil menunjukkan uang yang ia dapatkan bersama teman di sampingnya itu.
"Uwaaah! Syukurlah kalau begitu!" seru Tianyi bahagia.
"Tianyi, boleh aku menggunakan uang hasil usaha kita untuk membeli buku dan pena?" tanya Ling.
"Untuk apa?" tanya Tianyi. Ia tidak mau uang yang mereka kumpulkan hasil mengamen terbuang begitu saja.
"Untuk menulis diary." jawab Ling dengan suara pelan.
Sejujurnya, Tianyi ingin menolak permintaan yang bukan kebutuhan utama mereka untuk saat ini, namun ia tak ingin melihat temannya sedih, dan langsung ia mengelus kepala Ling dengan lembut, "Tentu saja boleh, mengapa tidak?"
Ling menoleh ke arah Tianyi dengan pandangan terkejut, sementara yang dipandang hanya tersenyum lebar, "Ka-Kau serius Tianyi?"
"Tentu saja. Yang penting kau selalu bahagia. Cuman kau satu-satunya orang yang kupunya, orang yang mau menjadi sahabatku, bahkan kau sudah seperti saudaraku sendiri." ujar Tianyi sambil memeluk Ling dengan erat.
"Terima kasih..." gumam Ling, "oh iya, apa kaumau sebotol air mineral? Kita pakai bersama, tidak apa-apa kan? Aku hanya ingin—"
"Ya, aku tahu. Tolong beli sendiri ya, kakiku sedikit sakit." ujar Tianyi mengeluh kesakitan sambil memegangi lututnya yang berwarna kebiruan.
Ling tampak terkejut, "Astaga Tianyi! Kenapa kakimu sampai seperti itu?!" tanyanya terkejut sekaligus khawatir dan panik.
"Eeh, ini cuman luka biasa. Kemarin aku tidak sengaja menendang tiang listrik pada saat berjalan, hehe." jawab Tianyi sambil nyengir dengan alasan—yang sangat tidak logis—yang ia buat di otaknya.
Ling tahu Tianyi hanya beralasan saja agar tidak membuatnya khawatir, namun ia tak ingin tahu lebih lanjut. Asal teman satu-satunya ini baik-baik saja, ia takkan mempermasalahkannya.
"Ya, tapi tunggu sampai hujan reda ya..." ujar Ling sambil menatap langit yang masih menurunkan hujan dengan riang gembiranya.
Tianyi meninju lengan Ling dengan pelan, "Bilang saja kau tidak ingin kena air hujan seperti aku tadi."
Ling menatap Tianyi tak lupa dengan cengiran khasnya, "Siapa yang mau basah-basahan sepertimu Tianyi?"
"Lah, yang mengagetkanku sampai jatuh ke tanah dan basah begini siapa?" balas Tianyi.
Ling hanya bisa menggaruk kepalanya sambil berujar, "Hehe, kalau soal itu aku minta maaf, lagian kau juga, dipanggil tidak menyahut, memang kau melamunkan apa sih?"
Kini giliran Tianyi yang memandangi langit yang sudah tidak menurunkan hujan sederas tadi, "Melamun kalau aku ingin sekolah lagi..."
Ling menepuk pundak Tianyi dengan pelan, "Kaupikir aku tidak? Sama! Aku juga ingin sekolah lagi! Nasib kita sama Tianyi! Kita kehilangan kedua orang tua, kita tak memiliki apa-apa selain baju yang menempel di tubuh kita. Aku hanya punya kau! Dan kau hanya punya aku! Maaf kalau aku egois, tapi aku benar-benar tidak mau kehilangan kau! Orang satu-satunya yang berjuang untuk hidup bersamaku!" serunya lantang.
"Ling..." lirih Tianyi, "sampai kapan kita harus seperti ini?"
"Entahlah, sampai malaikat mendatangi kita untuk menyabut nyawa kita, mungkin." jawab Ling.
Tianyi baru saja tersadar, "Eh, hujan sudah reda, katanya kau ingin membeli bu—"
"AH IYA! Aku lupa!" pekik Ling kaget, lalu mengambil uang secukupnya di kantong kecilnya, sekaligus memotong ucapan Tianyi, "Jaga dirimu baik-baik!" pesan Ling sambil meninggalkan pondok mereka.
"Kau juga ya Ling! Hati-hati!" seru Tianyi sambil melambaikan tangannya pada Ling dan tersenyum lebar.
Tianyi hanya bisa tersenyum tipis saat melihat langit yang mulai menampakkan matahari yang akan menyinari dunia mereka ini. Tak sengaja tangannya menyentuh luka lebam di lututnya itu.
"Auch!" rintih Tianyi pelan, "Sakit..." gumamnya pelan.
Tianyi mulai merasa cemas. Lima belas menit telah berlalu, dan teman sepenanggungannya ini belum kembali. Timbul pikiran negatif di otaknya, yang direspon oleh Tianyi sendiri dengan gelengan kepalanya.
"Kau menunggu lama Tianyi?"
Tianyi menghela napas, lega, "Fyuh, syukurlah, kenapa lama sekali? Aku khawatir padamu tahu!"
Ling langsung masuk ke dalam pondok, lalu duduk di sebelah Tianyi, "Maaf, tapi aku membelikan salep untuk lukamu, jadi aku pergi ke toko obat yang jaraknya lumayan jauh, untung saja duit sisanya pas."
Tentu saja Tianyi terkejut bukan kepalang, "Astaga Ling! Kau tidak perlu repot-repot sampai seperti itu! Lukaku pasti akan sembuh beberapa hari ke depan kok!"
"Aku khawatir padamu Tianyi." ujar Ling pelan.
"Terima kasih, kau begitu baik padaku." ujar Tianyi seraya memeluk tubuh Ling yang sedikit lebih kecil dari ukuran tubuhnya.
Ling hanya mengangguk kecil, "Kita kan sahabat..."
"Ya benar, kita adalah sahabat." ujar Tianyi sambil melepaskan pelukannya dan tersenyum lebar, membuat matanya menyipit kecil.
"Ahahaha, Tianyi, kau begitu lucu saat tersenyum, matamu hilang tuh!" goda Ling gemas sambil menyubit pipi Tianyi yang tak berdosa.
"Swakit Lwing! Lwepaswin!" seru Tianyi ketika pipinya ditarik-tarik oleh perempuan di sebelahnya.
"Ahahaha, iya iya." ujar Ling yang mengerti ucapan gadis di sebelahnya.
"Cubitan maut..." gumam Tianyi sambil memegang pipinya yang bengkak.
"Hihihi." Ling tertawa jahil, lalu mengambil buku dan pena yang tadi dibelinya, tak lupa sebotol air minum yang akan mereka minum berdua, "Kaumau minum?" tawarnya sambil menyodorkan botol air mineral itu.
"Hum, boleh, terima kasih Ling." ujar Tianyi sambil menerima botol itu dan membuka tutupnya, membuka mulutnya untuk meminum air yang akan keluar dari botol itu.
Tianyi meneguk setengah dari botol itu dan menutup botol itu menggunakan tutup botolnya. Lalu Tianyi menyodorkannya kepada Ling agar sahabatnya tidak kehausan sama sepertinya tadi. Tidak! Mereka tidak memberi ciuman secara langsung! Pikiran kalian jangan mengacu pada 'hubungan sesama seks'!
"Hahh... segarnya." ujar Ling setelah meneguk habis setengah botol itu tadi.
"Ling, menurutmu, seandainya kita masih sekolah, kita sudah kelas berapa ya?" tanya Tianyi.
"Umur kita delapan tahun, mungkin kita sudah kelas tiga di sekolah dasar, itu kemungkinan sih..." jawab Ling sedikit ragu.
"Kita tidak boleh berpasrah pada takdir saja! Kita harus mengubah takdir kita menjadi yang lebih baik lagi!" seru Tianyi bersemangat.
"Maksudmu?" tanya Ling heran.
"Kita akan berpisah..." ujar Tianyi.
"Tianyi! Apa kau tidak menganggapku sebagai sahabat lagi?" tanya Ling syok.
"Bu-Bukan begitu! Lima tahun lagi kita akan bertemu lagi disini, di tempat ini." ujar Tianyi berusaha menenangkan Ling.
"Bagaimana hubungan kita bisa terikat kalau kita putus kontak selama lima tahun?" tanya Ling dengan suara yang parau.
"Kita kuburkan saja botol tadi sebagai tanda kalau kita bersahabatan. Memang kita tidak akan bertemu sampai lima tahun mendatang, namun hati kita tetap bersatu sebagai sahabat yang abadi," ujar Tianyi, "boleh kupinjam botol tadi, satu halaman kertas, dan penamu?"
Ling mengangguk, lalu segera memberikan barang-barang yang dimaksud pada Tianyi, "Ini."
Tianyi langsung merobek kertas dari buku yang disodorkan Ling, mencabut tutup pena itu dan menuliskan sesuatu di kertas itu, sementara Ling hanya diam namun mengamati gerak-gerik Tianyi.
Luo Tianyi : Aku bahagia bisa memiliki teman seperti Yuezheng Ling. Dia cantik, baik, dan selalu bersamaku kapanpun dimanapun. Aku betul-betul sangat bahagia! Dan hari ini kami akan berpisah, memang begitu sedih, tapi inilah takdir kami! Berkati kami agar bisa bertemu lagi suatu saat nanti.
Ling tercengang melihat tulisan teman baiknya itu, sementara yang dimaksud itu hanya tersenyum simpul sambil menyodorkan pena dan kertas itu, memberi isyarat agar Ling melakukan hal yang sama dengannya.
Yuezheng Ling : Saat kutahu aku tak memiliki sanak saudara lagi, aku begitu sedih sampai aku bertemu dengan Luo Tianyi! Dia sudah kuanggap seperti kakakku sendiri. Sikapnya jauh lebih dewasa seperti anak remaja meskipun usianya masih delapan tahun sama sepertiku. Aku akan berpisah selama lima tahun dengannya. Semoga saat lima tahun itu berakhir, aku bisa bertemu dengannya lagi.
Gadis bermarga Yuezheng itu menyodorkan kertas yang dihiasi dengan coretan-coretan tinta hitam darinya dan temannya itu. Sementara gadis yang bermarga Luo itu menggulung kertas menjadi seperti peta yang dibawa penjelajah dan memasukkannya ke dalam botol air mineral yang sudah kosong itu.
"Ayo gali tanahnya!" seru Tianyi semangat sambil menggali tanah dengan tangannya. Persetan dengan pakaian lusuhnya yang semakin kotor dan lukanya makin sakit, apalagi ia belum memakai salep yang dibelikan Ling untuknya.
Ling hanya mengikuti gerakan Tianyi menggali tanah. Sesekali mereka berdua mengelap keringat mereka. Lalu Tianyi mengubur botol yang berisi gulungan kertas itu dan menutupnya kembali—tentu saja.
"Kamu yakin setelah lima tahun mendatang, tanah ini tidak akan dibangun rumah atau semacamnya?" tanya Ling.
"Ahahaha!" Tianyi tertawa keras mendengar pertanyaan Ling, "Kita menguburnya di tepi jalan, siapa yang mau membangun rumah di tepi jalan?"
Tak lama, Ling pun ikut tertawa bersama sahabatnya, "Ahahaa, sepertinya ini akan jadi tawa terakhirku saat akan berpisah denganmu hari ini."
"Kaupilih ke utara atau selatan?" tanya Tianyi.
"Selatan." jawab Ling, lalu membelakangi tubuh Tianyi karena otomatis Tianyi memilih utara.
"Sampai jumpa, Yuezheng Ling..."
"Sampai jumpa juga, Luo Tianyi..."
Mereka berdua pun saling berjalan dengan arah berbeda, yang tanpa disadari oleh satu sama lain bahwa mereka sama-sama menitikkan air mata mereka masing-masing.
Story : Bottle of Friendship
Disclaimer : Vocaloid belongs to Yamaha and Crypton Future Media
Warning : AU!China, typo(s), misstypo(s), failed visualization, bad ending, plot hole, OOC, OOT, dan warning-warning lainnya yang tidak bisa disebutkan.
Rate : T
Genre : Friendship and Angst
Ryuuka Mikan proudly present...
Luo Tianyi berjalan tertatih-tatih. Lututnya itu semakin membiru keunguan saja, padahal sudah diberi salep yang dibelikan Ling untuk dirinya tanpa sepengetahuannya. Agh, melihat salep itu mengingatkan dirinya pada temannya.
"Dia meninggalkanku sebuah benda kenangan meskipun hanya sebuah salep, namun salep ini mengandung banyak fungsi. Selain mengobati bagian luar tubuhku, dia juga mengobati bagian dalam tubuhku, agar setidaknya aku tidak merasa kesepian saat kehilangan dirinya."
Ia baru tersadar akan kebodohannya. Kenapa bukan pagi-pagi saja mereka berpisah? Ini sudah malam dan kota Shinchiang—kota pertambangan terkenal pada saat itu—sangat sepi.
"Bodoh!" umpat Tianyi pada dirinya sendiri, "Aku takut Ling kenapa-kenapa! Tapi, argh! Aku sendiri yang berjanji akan memilih takdirku sendiri, lurus menuju utara yang tidak akan habisnya, bahkan akan kembali ke tempat ini lagi!"
Kwak!
Kwak!
Kwak!
"Eh?" respon Tianyi.
Ia begitu terkejut saat melihat burung gagak yang malam-malam melintas dengan tenang di angkasa, yang sanggup membuat semua bulu kuduk Tianyi menegang. Jarang sekali di kota Shinchiang burung gagak melintas, berarti akan terjadi kejadian buruk!
"Ling..." lirihnya pelan, "semoga kau baik-baik saja."
Tianyi langsung menepis pikiran negatif itu, lalu memandang langit. Perasaannya mengatakan kalau sebentar lagi akan hujan, jadi ia berlari sekuat mungkin, meskipun ia tahu kakinya sedang sakit, sampai-sampai ia tersandung batu dan kepalanya menghantam tanah dengan keras, hingga cairan merah marun segar keluar dari kepalanya.
Ia merasa kesadarannya akan menghilang sebentar lagi, dan hal terakhir ia lihat adalah dua orang berbeda jenis kelamin menghampiri dirinya dan mengangkat tubuhnya entah kemana, dan setelah kejadian itu, semuanya menjadi gelap.
.
.
.
Yuezheng Ling berjalan dengan riangnya, membawa sebuah buku dan pena di tangannya, seakan tidak ada kesedihan yang terjadi padanya. Namun dalam hatinya, ia menangis sekuat-kuatnya.
Err... sepertinya kita harus menarik tiga kata 'tidak ada kesedihan' ini, mungkin?
"Tianyi! Aku berjanji! Saat lima tahun mendatang, aku akan mengajakmu keliling kota!" serunya riang gembira seakan ia sehabis menerima rapor kenaikan kelas dimana ia mendapat peringkat juara umum.
Kwak!
Kwak!
Kwak!
"Malam-malam begini gagak lewat? Ah, mungkin sudah biasa." jawab Ling dengan cueknya, yang iyanya ia tak tahu tentang rumor burung gagak itu.
Langit semakin gelap saja seiring waktu berjalan, apalagi keadaan kota yang semakin sepi saja, dan entah mengapa membuat Ling merinding.
Ling menghela napas, "Sepertinya takdirku akan hanya menjadi anak jalanan seperti dulu." lirihnya.
Tes!
Tes!
Tes!
"Gawat! Hujan lagi!" pekik Ling kaget sambil berlari dan mendekap bukunya dengan erat, berharap bukunya tidak basah sama sekali.
Drap!
Drap!
Drap!
Setelah berlari sekitar seperenam jam, Ling menemukan sebuah rumah yang sepertinya sudah tidak berpenghuni lagi. Buktinya ada pada kaca rumah yang pecah, dan tidak mungkin ada orang yang tidak mau membetulkan kaca jendela rumah mereka sendiri?
Jadi otak milik si gadis kecil yang berjalan ke arah selatan sesudah perpisahan dirinya dengan sahabatnya itu menyuruh ia berteduh di bawah rumah—yang tanpa penghuni itu, menurutnya.
Sesudah berteduh dibawah rumah kosong itu, tangis Ling pun pecah seketika.
"Tianyi..." lirihnya sesenggukan, "aku benar-benar merindukanmu, takut apa-apa yang buruk terjadi padamu."
Buku yang sedari tadi ia dekap pun ia buka, menampilkan halaman pertama yang kosong. Tangan kirinya menopang buku itu, sementara tangan kanannya mencari pena yang ia masukkan ke saku roknya. Tangan kecilnya mulai menulis sesuatu dengan pena yang tutupnya sudah dibuka sebelumnya.
Senin, 5 Mei 2025
Hari ini tepat perpisahanku dengan Tianyi, sungguh menyedihkan, tapi ini semua agar kami dapat mengubah nasib kami menjadi lebih baik lagi. Kuharap aku bisa menemukan orang tua yang baik, agar mereka bisa mengasuhku dengan baik dan penuh perhatian pula. Dan juga aku berharap lima tahun segeralah berakhir, aku ingin bertemu dengannya lagi.
Ling menutup bukunya serta mengembalikan tutup pena itu ke tempat asalnya. Pena itu dimasukkannya lagi ke dalam saku roknya, sementara buku itu ia dekap erat lagi, seolah tak mau berpisah dengan barang yang ia miliki ini.
"Apa takdirku akan menjadi lebih baik ya?" tanya Ling pada dirinya sendiri sambil menatap hujan yang masih menurunkan hujan yang begitu deras, sama seperti tadi siang.
.
.
.
"Urrghhh..."
Gadis bermarga Luo itu terbangun di sebuah ranjang yang lumayan besar. Ia memegang keningnya, merasakan ada sesuatu yang lembut di kepalanya. Perban? Ia terluka? Karena apa? Itulah pertanyaan yang muncul begitu saja di benaknya.
"Ternyata kau sudah sadar ya..."
Tianyi menoleh, melihat sosok wanita yang mungkin berusia sekitar dua puluh hampir tiga puluhan yang tersenyum ke arahnya, lalu duduk di tepi kasur. Sementara Tianyi hanya bisa diam mematung di tempat.
"Namamu siapa?" tanya gadis berambut ungu itu lembut.
"Luo Tianyi." jawab Tianyi.
"Gadis yang manis ya. Oh ya, nama bibi Mo Qingxian, salam kenal ya Tianyi." ujar wanita yang mengaku bernama Qingxian itu.
"Qingxian..."
Qingxian dan Tianyi sama-sama menoleh, melihat sosok berpakaian hijau dengan rambut hitam putih yang terpisah sehingga mirip yin dan yang. Ohhh, lupakan.
"Longya, bagaimana kalau kita mengangkatnya sebagai anak? Dia begitu manis!" seru Qingxian memohon.
Dia mirip Ling! batin Tianyi terkejut saat melihat Longya yang berdiri tegap di hadapannya dan wanita bernama Qingxian di sampingnya itu.
"Oh ya, nama paman Mo Longya. Namamu siapa?" tanya pria bernama Longya itu.
"Namanya Tianyi!" seru Qingxian yang langsung menjawab pertanyaan suaminya itu, "Kita angkat dia jadi anak yaa..."
"Tunggu dulu Qingxian, kau ini tidak sabar sekali." ujar Longya risih sendiri dan merasa tidak enak pada gadis berusia delapan tahun yang kini duduk bersandar di atas tempat tidur, "Agh, maafkan tante bawel ini ya, dia memang tidak sabaran seperti itu."
"Siapa yang kaubilang bawel?!" tanya Qingxian dengan aura neraka sambil menatap Longya dengan tatapan tajam.
Longya tidak menanggapi kelakuan Qingxian sama sekali, "Oh iya, ayah ibumu mana?"
"Aku sudah... tidak punya ayah dan ibu lagi..." lirih Tianyi.
"Maaf." ujar Longya.
"Tianyi! Bagaimana kalau kau jadi anak kami?!" tanya Qingxian tidak sabaran.
"Se-Serius?" tanya Tianyi terkejut.
"Ya! Siapa sih yang tidak mau mengasuh anak secantikmu ini? Kalau kau masih menghormati keluargamu dan tidak mau mengubah margamu, tak apa! Yang penting kaumau menjadi anak bibi dan paman, bagaimana?" tanya Qingxian penuh harap.
"U-Umm... boleh, jika itu tidak merepotkan." ujar Tianyi malu.
"Tentu saja tidak!" seru Qingxian.
"Jangan bertingkah seperti anak kecil lagi Qingxian, kau sudah berusia dua puluh sembilan tahun!" ujar Longya yang langsung membuat Qingxian cemberut.
Sementara Tianyi yang melihatnya hanya bisa terkekeh pelan, yang langsung ditatap oleh dua orang bermarga Mo di sekitarnya. Merasa tidak enak, Tianyi pun berhenti terkekeh.
"Mulai sekarang kau boleh memanggil kami ayah dan ibu!" seru Qingxian.
"Tapi ingat, jadilah anak yang baik." pesan Longya.
"Baik pa—maksudku ayah, ibu." ujar Tianyi.
"Belum terbiasa ya? Haha, memang berat sih." ujar Qingxian. Dari sifatnya, Tianyi tahu, ibu angkatnya sekarang ini adalah tipe perempuan yang periang.
"Kau pasti akan terbiasa." ujar Longya.
.
.
.
Plak!
Satu tamparan mengenai pipi seorang Yuezheng Ling yang meringis pelan dari Bibi Lai, pengurus bagian makanan dalam Kepangeranan Yan.
Oh ya, sekedar informasi, Ling menjual dirinya untuk bekerja di Kepangeranan Yan agar ia bisa bertahan hidup, menjadi pelayan kecil yang mengurus semua hal yang biasanya dikerjakan oleh orang dewasa malah harus dikerjakan oleh anak kecil berusia delapan tahun.
Oke, kembali ke topik. Kini seorang wanita mengomel-omel pada seorang anak kecil berusia kurang dari remaja itu.
"Kenapa kau menggiling gandum lamban sekali?!" tanya Bibi Lai garang.
"M-Maaf... hiks hiks." itulah satu kata namun bermakna yang dikeluarkan oleh mulut Ling.
"Dilarang menangis! Hentikan tangismu atau saya seret kamu menghadap Pangeran Yan!" ancam Bibi Lai marah namun tanpa emosi, dengan nada tegas di setiap ucapannya.
Cukup tragis nasibnya ini. Dilarang menangis. Dilarang menghela napas sewaktu bekerja. Dilarang keluar dari daerah Kepangeranan Yan kecuali ada hal penting seperti membeli barang-barang pokok. Dan masih banyak lagi.
"Kaumau apa lagi?! Cepat sana pel ruang tamu!" perintah Bibi Lai sambil mendorong paksa tubuh mungil Ling.
Sepertinya nasib Ling berbanding terbalik dengan nasib Tianyi ya?
"Ling! Jangan lupa sehabis mengepel ruang tamu, bersihkan kamar Nyonya Muda Yan dan Nyonya Besar Yan, serta beli batu cisue untuk Nyonya Muda Yan, lalu beli perlengkapan bahan makanan. Daftar belanjanya ada di atas meja!"
Ling berusaha dengan baik mendengarkan setiap perintah Bibi Lai padanya, kalau ia meminta penjelasan ulang, bisa saja ia akan ditendang oleh bibi pengurus dapur itu, namun apa daya, yang terdengar di telinga kecilnya ini hanyalah sebuah teriakan cempreng yang menyakitkan telinganya sekaligus batinnya.
"Tianyi... kapan kita akan bertemu lagi? Aku sudah tidak tahan..." gumam Ling lirih.
.
.
.
"Ayah! Ibu! Aku pergi wisata belajar dulu ya!" seru Tianyi sambil berjalan ke luar rumah untuk pergi ke sekolah sambil membawa tas kecil di tangannya.
"Hati-hati!" seru Qingxian yang kini sudah menjadi ibu angkat Tianyi.
Tiga tahun berlalu, kini Tianyi sudah bersekolah lagi, tepatnya duduk di bangku kelas enam. Hari ini adalah jadwal perpisahan kelasnya dengan mengunjungi Kepangeranan Yan di Provinsi Hunan, cukup jauh dengan kota Shinchiang.
Kepangeranan Yan terkenal di seluruh China akan peninggalan sejarah yang begitu banyak, sehingga bisa saja kepangeranan ini disebut dengan museum. Makanya murid kelas Tianyi yang mendapat kesempatan mengunjungi Kepangeranan Yan langsung bersorak riang, kecuali beberapa murid yang hanya biasa saja, bahkan acuh tak acuh.
Sesampainya di sekolah, ia langsung menunggu di lapangan utama sekolahnya, dimana murid sekelasnya serta beberapa guru pembimbing menunggu semua murid berkumpul.
"Tianyi! Akhirnya kau datang juga!" seru Moke riang ketika melihat Tianyi sambil memberi centang pada kotak di sebelah nama 'Luo Tianyi' di papan absensinya, wajar, tugas seorang ketua kelas.
"Hah! Aku tak percaya hari ini aku bangun kesiangan!" seru Tianyi sedikit lega karena tidak ditinggal bus, atau malanglah nasibnya!
"Makanya, jangan nonton film horor tengah malam." pesan Moke.
Kini Tianyi yang menatap Moke sebagai film horor tengah harinya ini. Dia tahu darimana? Membuntuti dirinya?
"Bu! Semua murid tidak ada yang absen!" seru Moke.
"Baiklah, kita berangkat ke Kepangeranan Yan segera! Posisi tempat duduk sesuai nomor absen!" seru kepala sekolah yang ternyata ikut dalam kegiatan perpisahan kelas ini.
Semua murid berhambur masuk ke dalam dengan tertib. Tianyi mengecek teman sebangkunya. Ugh, kenapa harus dia?! Si manusia bername-tag Luling Hua, manusia terdingin yang pernah ia kenal!
Hah... berapa lama ia bisa bertahan dalam keadaan sunyi seperti ini, bersama perempuan dingin ini?
"Uh, aku jadi teringat Ling." ujar Tianyi.
Lima jam telah berlalu. Ada beberapa murid yang sudah tertidur, ada yang membaca buku, ada yang mendengarkan musik lewat penyuara telinga termasuk Tianyi.
Tiba-tiba bus yang ditumpangi Tianyi dan yang lainnya mengalami rem blok hingga menabrak pembatas jalan dan menabrak pohon besar di depan mereka.
Brak!
Prang!
"KYAAAAA!"
.
.
.
To Be Continued
.
.
.
Keep or Delete?
.
.
.
Egh, dengan terpaksa Mikan membuat two-shoot untuk fic ini. Kenapa? Karena ponsel Mikan selalu nge-hang kalau nulis fic lebih dari empat ribu kata, jadi terpaksa Mikan bagi dua (ceritanya mau buat longone-shoot #plak #abaikan).
FYI, ini multi-chap pertama Mikan.
Bagaimana menurut kalian? Bagus? Jelek? Silahkan taruh pendapat kalian semua di kotak review dalam bentuk apapun! Kritik, saran, concrit, bahkan flame Mikan terima.
Mind to review, minna? Don't be a silent readers! XD
