From The Author desk : Haloooo, saia kembali lagi untuk meramaikan fandom FF VII ^^. Semoga kamu tidak bosan membaca fic dari saia. Sesuai janji, saia kembali hadir dengan membawa fic CloTi yang baru. Dan ini fic di FF VII saia yang pertama yang mengambil setting AU. Semoga saia tidak mengacaukanny...
Well, selamat membaca :). Dan jangan lupa review yah :p
Karakter original Final Fantasy VII milik Square-Enix
Take I : Their Story
Lima belas tahun yang lalu
Malam itu Tifa berdiri di dekat jendela kamarnya, memandang langit malam yang dipenuhi bintang. Mata hitamnya menangkap sosok bocah berambut jabrik duduk di atas sumur tua di tengah kota. Dia kenal siapa itu. Cloud Strife, anak laki-laki yang menurut teman-temannya sangat aneh, oleh sebab itu dia tidak pernah diajak bermain. Tetapi Tifa sering berusaha untuk mengajaknya bermain bersama, tapi Cloud selalu menolaknya tanpa alasan yang jelas. Tifa selalu sebal dengan tingkah Cloud yang satu ini, maka dari itu, sekarang dia memutuskan untuk menyelinap keluar dan ingin menanyakan alasan Cloud setiap kali dia menolak ajakannya.
"Hei, sedang apa?" Sapa Tifa ramah begitu dia sudah berada di belakang Cloud.
Yang disapa terkejut hingga ia nyaris terjatuh jika saja Tifa tidak sigap mengulurkan tangannya dan menarik tubuh Cloud hingga terjatuh di atasnya. Tifa bisa melihat bola mata Cloud yang berwarna biru terang, kontras dengan langit malam yang berbintang di belakangnya. Pipi Cloud merona, begitu juga pipi Tifa.
"Ma, maaf! Aku tidak sengaja..." Dengan segera Cloud bangun dan menjauh dari Tifa.
"Kamu, kenapa kamu selalu menjauh tiap kali aku mengajakmu bermain bersama?" Tifa memulai percakapan.
Cloud menghela nafas. "Tidak, aku... Aku hanya..."
"Kamu kenapa?"
"Teman-teman yang lain, mereka sepertinya tidak ingin bermain denganku," Cloud berbisik.
"Itu karena kamu yang selalu menolak ajakanku!" Omel Tifa. "Besok kau harus ikut bermain denganku, ok?"
"Eh, engg..." Cloud terlihat ragu. "Tapi mereka..."
"Percaya kepadaku, mereka sebetulnya baik kok. Hanya karena kamu terlihat tidak mau bermain dengan kami, makanya mereka menjauh."
"Tapiii..."
"Aku janji kepadamu, kalau mereka anak yang baik." Jari kelingking Tifa sudah berada di depan wajah Cloud. "Janji jari kelingking!"
Dalam keadaan masih ragu, Cloud melingkarkan jari kelingkingnya ke jari kelingking Tifa.
x=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=x
Sepuluh tahun yang lalu
Cloud menghela nafas panjang. Hari ini benar-benar gila. Dia berhasil mengajak Tifa untuk membolos dari sekolah dan pergi ke Gold Saucer, hingga malam hari. Tentu saja begitu pulang ke rumah, orang tua Tifa memarahinya habis-habisan, Cloud tidak bersedih. Sebab dia tahu resiko yang akan dia alami jika nekat mengajak Tifa membolos. Dia hanya berharap bahwa Tifa tidak akan dimarahi orang tuanya. Cloud baru menutup pintu kamarnya begitu melihat sosok Tifa duduk di atas sumur tua di tengah kota. Ia pun memutuskan untuk pergi menghampiri Tifa.
"Kamu tidak dimarahi, kan?"
Tifa memutar tubuhnya, tersenyum kepada Cloud. "Dimarahi dong." Deretan gigi putihnya terlihat. "Tapi tidak apa-apa. Toh aku memang mau pergi denganmu, makanya aku tidak peduli walau dimarahi."
"Maaf, aku jadi tidak enak..." Cloud menggaruk-garuk bagian belakang kepalanya.
Tifa tersenyum. "Tidak apa-apa. Harusnya aku yang berterima kasih kepadamu, karena telah mengajakku ke Gold Saucer hari ini. Darimana kamu dapat tiketnya?"
Tiket yang dimaksud Tifa adalah tiket untuk acara meet & greet Lucrecia Crescent, seorang artis yang berasal dari kota Midgar yang datang berkunjung ke Gold Saucer dalam rangka promosi film terbarunya. Ada sekitar dua ratus tiket yang dijual untuk acara itu, dan Cloud berhasil membeli dua.
"Rahasia," jawabnya dengan wajah sumringah. "Aku hanya ingin membantumu bertemu dengan artis favoritmu."
Tifa pun mulai bercerita mengenai Lucrecia. Mulai dari alasan kenapa dia bisa mengidolakan wanita berusia dua puluh lima tahun itu, karakter favorit Tifa yang diperankan oleh wanita berambut cokelat tersebut hingga mimpinya untuk bisa beradu akting dengan seorang Lucrecia Crescent. Dan tentunya, untuk bisa berada di agensi yang sama dengan Lucrecia.
"Aku mau jadi artis..." Kata Tifa tiba-tiba.
Cloud yang duduk disebelah Tifa, menatap anak perempuan berambut panjang itu sedikit kaget. "Kau serius?"
"Ya, memangnya kenapa? Apa aku kurang cantik atau tidak cocok menjadi artis?"
"Tidak, bukan begitu," Cloud menggeleng. "Kalau begitu... Aku akan jadi managermu!"
Wajah Tifa berseri-seri. "Sungguh?"
"Tentu!" Cloud menjawab dengan serius, ia mengulurkan jari kelingkingnya. "Janji jari kelingking!"
"Terima kasih," Tifa tersenyum bahagia. "manager Cloud."
Mereka berdua tertawa bahagia.
Di bawah langit malam, kita berjanji
Langit penuh bintang adalah saksi bisu dari janji ini
Meski sang waktu telah berhasil merubahku
Janji ini, tidak akan pernah berubah
Ia akan selalu kekal...
x=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=x
Masa Sekarang
Seorang pria berambut jabrik menatap lurus ke arah televisi berukuran besar di dalam ruangan tempat ia tengah duduk. Di atas meja di hadapannya berserakan banyak majalah, kertas-kertas tidak jelas hingga bungkus makanan. Di dinding ruangan yang dicat warna putih polos itu tergantung foto dua orang, pria dan wanita secara terpisah. Jumlahnya ada sekitar sepuluh foto.
"Cloud, kau harus mengganti biodata yang tergantung di dinding ini!" Omelan seorang wanita terdengar dari belakang. "Usiaku sekarang sudah 22 tahun!"
Yang dipanggil Cloud hanya mendelik sesaat, sebelum kembali menatap kosong ke arah televisi yang sedang menyiarkan sebuah drama pagi.
"Manager Cloud Strife! Aku harap kau tidak lupa dengan pekerjaanmu, dan berhenti meratapi seorang Tifa Lockhart!" Wanita yang berdiri di belakang Cloud menarik rambutnya dengan keras hingga kepala Cloud seperti mau putus. Baru sekarang Cloud memberikan reaksi kepada lawan bicaranya, melempar sebuah majalah kepadanya. Yang pastinya, itu bukan reaksi yang diharapkan oleh si lawan bicara.
"Apa mau mu sih, Yuffie?" Tanya Cloud dengan kesal.
"Ap, apa mau ku?!" Wanita bertubuh mungil yang dipanggil Yuffie tadi terkejut, seolah-olah itu pertanyaan yang bodoh untuk diajukan. "Mau ku adalah, kau, sebagai managerku, mencari pekerjaan untukku! Bukannya menonton drama pagi yang diperankan oleh sahabat masa kecilmu!"
Cloud mendesah, ia menurunkan tubuhnya dan merapatkan dagu ke dadanya. "Mungkin pekerjaan akan datang sendirinya kepadamu jika kau mau merubah sifatmu yang menyebalkan itu!"
"Cloud, kau menyebalkaaaan!" Yuffie kembali menarik rambut Cloud.
"Kenapa kalian sudah berisik sekali sih?! Sekarang kan masih pagi." Seorang pria bertubuh sedang mengintip dari balik pintu yang terletak di dekat televisi. "Aku punya darah rendah, jadi tolong..."
"Cid, kau juga!" Yuffie dengan cepat mengubah target omelannya ke pria yang nyawanya belum genap itu. "Padahal kau masih muda, kenapa selalu bersikap seperti orang tua sih?! Dasar supir menyebalkan!"
Alis Cid naik. "Heh, dasar bocah! Berani-beraninya kau!"
Hanya dalam hitungan detik, Cid dan Yuffie sudah terlibat adu mulut yang tidak jelas, tapi intinya mereka hanya saling mengejek satu sama lain. Cloud hanya bisa menepuk keningnya melihat adegan pertengkaran yang selalu ada di drama ini. Ketika matanya kembali melihat televisi, drama yang diperankan Tifa sudah selesai. Stasiun TV swasta itu sekarang sedang menyiarkan gosip. Dan topik utama pagi ini adalah artis cantik bernama Tifa Lockhart. Gosipnya sudah santer beredar dari tiga bulan yang lalu, bahwa Tifa merasa sudah tidak cocok lagi berada dibawah naungan Crescent Agency, yang semenjak lima tahun lalu dijual oleh pemiliknya kepada Shin-Ra Company. Semua orang tahu, bahwa Rufus Shinra hanya memanfaatkan ketenaran agensi artis yang telah mengorbitkan artis-artis muda multi talenta tersebut untuk mencari keuntungan bagi perusahaannya. Dia tidak mengerti dan tidak pernah mau belajar untuk mencintai dunia iu. Berbeda dari pemilik sebelumnya, Vincent Valentine.
Pria berwajah dingin itu membangun agensi artis tersebut dari nol, ditemani oleh istrinya yang juga merupakan artis andalan dari Crescent Agency, Lucrecia Crescent, dari usia mereka baru 17 tahun. Waktu itu Vincent hanya manager Lucrecia, hingga pemilik Crescent Agency sebelumnya, yaitu ayah Lucrecia sendiri meninggal dunia. Vincent arkhirnya mau mengambil alih agensi yang berlokasi di Midgar itu. Namun lima tahun yang lalu Lucrecia meninggal dunia di usia tiga puluh tahun. Terpukul dengan kematian sang istri, Vincent memutuskan untuk meninggalkan dunia artis, dan menjual agensi milik keluarga istrinya. Beberapa artis sempat protes dengan keputusan Vincent, tapi mereka tetap menghargainya. karena mereka tahu, apalah arti keberadaan seorang Vincent Valentine tanpa Lucrecia Crescent di sampingnya? Mereka berdua memasuki dunia artis bersama-sama, dan Vincent merasa, jika mereka ingin keluar, juga harus bersama. Tapi untungnya Vincent bukan tipe pria yang mau mengambil jalan mudah dan mengakhiri hidupnya.
Tifa masih bertahan di agensi karena ia sudah terlanjur terikat dengan kontrak film. Dan sekarang, setelah film ber-genre action thriller tersebut selesai diproduksi, Tifa sudah bisa melepaskan diri dari Crescent Agency. Tawaran dari agensi-agensi lain sudah berdatangan. Yang jadi pertanyaan adalah, agensi artis mana yang akan beruntung mendapatkan Tifa Lockhart? Artis yang jago bela diri dan hobi memasak itu belum mau memberikan konfirmasi mengenai agensi mana yang ia akan pilih, atau lebih tepatnya dia belum tahu akan pindah kemana.
Cloud menoleh ke kanan, matanya tertuju kepada sebuah papan nama.
Cloud Strife, Manager Strife Agency
Cloud tertawa pelan. Tidak, tidak mungkin dia pindah ke agensiku... Agensi kecil tidak punya nama ini? Yang benar saja! Mana ada artis terkenal yang mau pindah ke sini, walau dia sahabat masa kecilku sekali pun. Lagipula, dia pasti sudah lupa dengan janji yang kami buat waktu masih kecil dulu...
"Oh iya, Cloud, apa kau mengirimkan surat tawaran untuk pindah ke agensi kita kepada Tifa?" Tanya Yuffie setelah berhenti bertengkar dengan Cid, karena lawan tandingnya itu ingin merokok. Cloud dan Yuffie benci rokok, oleh sebab itu Cid harus merokok di luar.
Cloud mengangkat bahunya. "Untuk apa? Toh dia tidak mungkin pindah ke agensi kecil tidak bernama ini."
"Hei, kenapa kau begitu pesimis dengan agensi kita?! Dan kenapa kau tidak mencobanya? Siapa tahu Tifa tertarik. Maksudku, kalian kan bersahabat..."
"Pernah bersahabat," ralat Cloud. "Kami sudah berhenti berhubungan semenjak tujuh tahun silam. Ketika Tifa pindah ke Midgar, dan berhasil meraih impiannya."
"Oh, ayolah Cloud!" Yuffie menangkat tangannya ke samping sambil menggeleng. "Kau itu pesimis sekali, sih!"
"Cukup, Yuffie." Ucap Cloud dingin. Membuat Yuffie berhenti mengoceh detik itu juga. Selama ini, tidak peduli betapa menyebalkannya Yuffie, Cloud belum pernah menegurnya sedingin ini. Yuffie langsung membeku ditempat.
"Lebih baik aku pergi dan mencari pekerjaan untukmu," lanjut Cloud. Disambarnya kemeja berwarna hitam yang tadi ia letakkan di lengan kursi yang ia duduki.
x=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=x
Bunyi televisi satu-satunya suara yang menggema di ruang tamu berukuran sedang. Seorang wanita berambut panjang tengah duduk di kusen jendela. Dengan satu gerakan ia membuka jendela tersebut, membiarkan angin malam masuk ke dalam. Handphone model flip berwarna putih miliknya bergetar, namun ia terlalu malas untuk berdiri dan mengambilnya. Jadi dia membiarkannya. Dan sekarang dering telepon menggema, letak teleponnya lebih jauh dari handphone, membuatnya tambah malas. Mesin penjawab berbunyi.
"Hai, ini Tifa. Jika kamu mendengar pesan ini, itu artinya aku tidak bisa menjawab teleponmu sekarang. Silahkan tinggalkan pesan, nanti aku akan balik menelpon jika sempat. Sudah siap? Satu, dua,..."
'piiiiip'. Terdengar bunyi nyaring dari telepon.
"Hai, Tifa. Ini aku, Genesis. Terima kasih untuk kerja kerasmu dalam film kemarin. Hei, apa kau akan menonton pemutaran perdananya? Jika iya, hubungi aku yah. Dan aku harap, dalam waktu itu, kamu sudah di agensi baru. Atau apa kau mau menerima tawaran agensiku? Kami akan senang menerima mu. Huuum, aku tidak tahu apa kau akan menelponku balik atau tidak. Owh well, aku rasa itu saja. Selamat malam, semoga harimu menyenangkan.."
Yang menelepon tadi adalah Genesis Rhapsodos, artis muda yang menjadi musuh Tifa dalam film terbarunya. Agensinya sudah mulai mendekati Tifa dari tiga bulan lalu. Mereka merasa memiliki keuntungan, sebab Tifa dan Genesis berteman dekat. Sudah tiga kali bermain film bersama dengan genre yang berbeda, dan beradu akting di dua drama. Banyak yang setuju kalau kharisma mereka berdua sangat kuat, baik untuk menjadi pasangan sampai musuh bebuyutan. Tapi sayang, dalam kehidupan nyata, mereka tidak lebih dari seorang sahabat. Walau tentunya banyak penggemar mereka yang menjodoh-jodohkan mereka dan berharap keduanya akan berpacaran bahkan sampai menikah.
Tifa menyelipkan rambutnya ke belakang telinganya. Dengan lesu ia menjatuhkan dagunya ke atas lututnya. Ia mendesah pelan. "Dia belum menyerah juga. Padahal aku sudah menolaknya sebanyak tiga kali. Harus berapa kali aku menolak ajakanmu untuk pergi ke Banora Agency, Genesis?"
Mata hitam Tifa terfokus ke atas meja yang tertelak di depan televisi layar datar berukuran besar. Di sana, berserakan banyak kertas, yang kebanyakan adalah ajakan para agensi untuk masuk ke agensi mereka. Tawaran dari tiap-tiap agensi berbeda, dan sebetulnya sangat menggoda. Bahkan nama Crescent Agency juga ada diantara tumpukan kertas. Crescent Agency menawarkan gaji yang lebih tinggi, fasilitas yang lebih baik, serta manager baru. Mereka merasa bahwa alasan Tifa pindah karena tiga hal tersebut. Sebetulnya Tifa tidak punya masalah dengan gajinya, fasilitas yang didapatkan Tifa sudah lebih dari cukup untuk ukuran artis berusia dua puluh dua tahun, dan dia tidak punya masalah dengan managernya, Shera. Dia adalah wanita yang baik, Tifa merasa sangat beruntung bisa memiliki Shera sebagai managernya. Tidak, masalahnya bukan ada di Crescent Agency, melainkan di Tifa sendiri. Dia memang ingin pindah, ingin mencari situasi baru, atau mungkin...
"Kenapa kau tidak mengirimkan tawaran kepadaku, Cloud?" Tanya Tifa lirih. "Apa kau sudah melupakan janji itu?"
Dia hanya ingin memenuhi janji yang ia buat dengan sahabatnya sepuluh tahun silam.
Tidak peduli seberapa jauh aku melangkah
Selama apa aku pergi
Aku tidak akan pernah lupa
Dan aku akan selalu mencari cara
Untuk kembali kepadamu...
x=*=*=*=*=*=*=*=*=*=*=x
Tidak banyak perubahan dari Nibelheim, kecuali sumur tua yang berada di tengah kota sudah dihancurkan dan diganti sebuah momumen berbentuk malaikat, papan rekalame bertebaran dimana-mana, sebuah mall berukuran besar yang baru dibangun tiga tahun silam hingga kehadiran Vincent Valentine di villa milik ShinRa Company yang berada di paling ujung kota ini. Setelah menjual agensinya, Vincent membeli villa milik ShinRa mansion itu dan tinggal di sana. Dia jarang keluar, kecuali untuk belanja. Pagi ini hujan turun dengan deras, sesuai dengan prakiraan cuaca tadi malam. Tidak ada kegiatan berarti untuk Cloud pagi ini, ditambah Yuffie sedang pergi ke luar kota untuk menghadiri casting sebuah film. Cloud seharusnya menemani Yuffie selaku managernya, tapi dia menolak. Dia berkata bahwa Cloud mempunyai pekerjaan yang lebih penting dibandingkan menemaninya ke Junon, yaitu mengajak Tifa untuk bergabung dengan agensi mereka.
Cloud merasa bosan berada di dalam rumah yang sekaligus menjadi kantornya itu, maka ia memutuskan untuk pergi jalan-jalan keluar. Dia mengambil payung berukuran besar, setelah sebelumnya sempat bimbang antara mengambil yang kecil atau yang besar. Belum ada kegiatan yang berarti di Nibelheim. Terang saja, sekarang baru jam tujuh pagi. Aktifitas masyarakat baru resmi dimulai sekitar pukul delapan. Cloud berdiri di sebuah taman di dekat sekolahnya dulu. Tifa pindah dari sini ketika mereka lulus SD. Di malam kelulusan, Cloud mengajak Tifa ke sini, ia memberikan sebuah kalung dengan inisial nama Tifa. Dan berjanji bahwa dia akan membangun sebuah agensi artis yang besar, dan mereka bisa memenuhi impian mereka.
Mata biru Cloud melihat seseorang yang memakai jaket bertudung warna hitam tengah duduk di ayunan. Cloud mendekati sosok itu, kemudian memayunginya. "Kau bisa sakit kalau hujan-hujanan seperti ini."
"Aku tahu kalau kau akan datang, Cloud..." Sapa suara yang sangat familiar ditelinga Cloud. Suara yang, sangat dirindukannya...
"Tifa..."
Sosok itu memutar tubuhnya, dan tersenyum lembut kepada Cloud. Senyuman yang sudah lama tidak dilihat oleh Cloud. Senyuman yang mampu membuat tubuhnya menjadi hangat ditengah rinai hujan... Keduanya membeku dalam diam.
"Aku pulang... Cloud..."
Bibir Cloud bergetar, bukan karena kedinginan akibat terkena air hujan. Dia mengigil karena hal lain. "Selamat datang, Tifa..."
