Yang kutahu di dunia ini hanya ada dua jenis manusia. Baik dan busuk. Pemikiran yang dangkal memang, dan aku tidak peduli bagaimana orang lain melihatku, apakah aku dianggap baik atau busuk. Satu lagi, aku Uchiha Sasuke. Remaja tanggung, baru saja lulus sekolah menengah atas dan sekarang menjadi mahasiswa baru disebuah universitas di Konoha. Tidak perlu diistimewakan, bagaimana keadaan Konoha. Kota yang tenang, begitulah menurutku. Aku tinggal dengan orang tuaku, ayahku hanya seorang karyawan biasa disebuah perusahaan dan ibuku seorang ibu rumah tangga yang menyayangi anak-anaknya. Aku memiliki seorang kakak, Uchiha Itachi namanya. Juga seorang mahasiswa, dua tingkat diatasku. Aku kurang suka dengan sifatnya yang sedikit usil, suka menggaggu urusan orang lain. Aku rasa dia lebih ke brother complex. Terserah

Hidupku awalnya baik-baik saja, sampai suatu kejadian yang tidak pernah aku bayangkan menimpa keluargaku. Seharusnya sampai sekarang tetap sama, aku, kakakku, ayah dan ibu. Seharusnya masih bisa berkumpul bersama, berbicara bagaimana hari-hariku di universitas, bagaimana awal kuliahku, dan Itachi yang selalu menggangguku diakhiri dengan tawanya yang menyebalkan. Tidak ada yang nasib tetaplah nasib, baik ataupun buruk siapapun tidak akan bisa menghindar. Dan aku menjadi salah satunya, aku tidak pernah menginginkan semua ini!

****** Lillow ******

*FANG*

*Naruto by Masashi Kishimoto*

*Story by Lillow*

****** Lillow ******

Warning:

Ini NaruSasu, Yaoi? Iya nanti

Bagaimana seharusnya keluarga itu? Ayahmu yang setiap hari bekerja, meskipun kurang waktu dengan anaknya tapi dia sebenarnya masih memperhatikanmu. Ibumu biasa tersenyum padamu dipagi hari, membuatkan sarapan, memberi curahan kasih sayang padamu. Ada kakak yang membuat hidupmu tidak bisa sehari saja menjadi membosankan, dia dengan segala keusilannya yang membuat kesal, tapi dalam hati aku senang. Aku memiliki kakak yang sayang padaku.

"Itachi, Sasuke. Ayah berangkat," beliau ayahku. Uchiha Fugaku. Orang yang aku hormati. Lalu mencium kening ibu sebelum berangkat ke tempat kerjanya. Tidak lama kemudian aku dan Itachi juga menyusul, kami berangkat bersama. Iya karena kami Itachi kuliah ditempat yang sama denganku.

"Itterashai!," kataku dan Itachi bersamaan.

"Ittekimasu," ibu menjawabnya lembut.

Kami berjalan beriringan, belum ada membuka suara selama perjalanan. Bagaimana orang menyebutnya? Ah, iya. Sifatku kaku, kata ibuku. Katanya memang mirip dengan ayah, aku tidak berpikir seperti itu. Berbeda dengan Itachi, dia mudah sekali bergaul bahkan hampir setiap hari temannya datang kerumah. Bahkan dia pernah mengataiku, aku beruntung jika ada anak yang mau berteman denganku. Ibuku juga menasehatiku agar aku mencari teman sebanyak-banyaknya, siapa peduli asal aku hidup tenang tidak ada gangguan, mau tidak ada temanpun tidak masalah!. Dan karena ini juga Itachi menyebutku bodoh, siapa yang bodoh padahal nilai akademikku diatas rata-rata semua. Dia buta apa?

Kami sampai distasiun. Tempat belajar kami memerlukan waktu 15 menit perjalanan dengan kereta, setelah itu juga masih ditambah jalan kaki sepuluh menit. Aku duduk berdampingan dengan Itachi. Dia duduk dengan mata sambil tertutup, memeluk tasnya dengan telinga tersumpal headset. Dasar bodoh. Disampingku ada seorang paman yang membaca koran. Kasus pembunuhan memang jadi yang hangat-hangatnya saat ini, begitu pula dengan berita yang dibaca paman disampingku. Ditulis dengan besar dihalaman depan, kasus pembunuhan yang belum lama terjadi. Bahkan dalam sepekan terjadi dua kasus, itu yang kudengar dari televisi. Ayah juga sering membicarakannya, padahal aku tidak suka. Mana ada orang yang mau mendengarkan cerita orang dibunuh pada waktu sarapan.

Keretanya melambat, kami sampai. Aku menyentak Itachi, dia memelototiku.

"Setidaknya bangunkan kakakmu ini dengan lembut," kesahnya menghadapiku, siapa peduli. Aku melengos pergi tidak mendengarkannya, dia bicara panjang lebar. Aku samar mendengarnya memanggil namaku. Dasar bodoh. Aku berbalik untuk melihatnya, langkahnya sedikit cepat mengejarku. Aku berbalik dengan cepat, hendak kembali berjalan dan tanpa sengaja menabrak orang didepanku. Tinggi besar berambut pirang dengan kulitnya yang tan, berdiri menjulang didepanku. Aku cukup lama berdiri didepannya. Dia tidak juga pergi.

"Summimasen, apakah anak ini mengganggumu?," Itachi sudah berada disampingku, bahkan dia membungkuk meminta maaf. Padahal orang ini yang menghalangi jalanku, siapa suruh dia menaruh badannya dijalan yang mau kulewati. Itachi masih tersenyum ramah dengan orang ini.

"Ah, tidak. Uchiha senpai, aku juga salah tadi berhenti tiba-tiba," dia bahkan membalas kakakku dengan cengiran yang terlihat bodoh, "Maaf senpai, tapi aku buru-buru," kenapa tidak langsung pergi saja dari tadi. Tinggal aku dan Itachi.

"Siapa dia?," kataku sedikit sinis. Itachi dengan rambut pirang tadi kurasa sedikit cocok. Bodoh.

"Andaikan kau bisa sedikit lebih ramah. Kau itu sebenarnya populer dikalangan gadis-gadis Sasuke," aku bertanya apa jawabnya apa, dasar bodoh!

"Jawab saja pertanyaanku!," sedikit kasar memang.

"Iya-iya, dia itu senpai mu," kami memasuki kawasan kampus.

"Yang benar saja," aku kurang percaya.

"Tidak percaya? Dia satu tingkat diatasmu, kuharap kalian bisa akrab. Lagipula aku tidak akan lama lagi berada disini. Dan dia mungkin bisa membantumu," Itachi berkata penuh harap.

"Memangnya aku peduli"

"Kau akan semakin susah mendapat teman jika seperti itu. Atau sekali-kali cobalah cari pacar, satu saja"

"Dan kenapa kau peduli denganku, dan aku tidak mau mendengar saran dari orang yang tidak laku"

"H-hei! Aku ini kakakmu, setidaknya hormatilah aku sedikit saja"

"Kalau begitu, bisakah sehari saja kau tidak menggangguku? Aku harus pergi," aku meninggalkan Itachi, dia terlihat kesal dengan apa yang aku katakan. Kami memang sering seperti ini.

"Awas kau, jangan harap hidupmu tenang setelah ini," aku masih bisa mendengarkannya sebelum memasuki gedung, Itachi sudah sering mengancamku, paling nanti dia juga mengusiliku seperti biasa dirumah. Ibu jadi sering marah-marah karena dia.

Sebenarnya ini hari ketujuh aku masuk dikampus ini, hari terakhir pengenalan kampus. Acaranya mungkin akan sampai malam hari, Itachi sebagai panitia hari ini pasti akan sangat repot. Hari yang melelahkan padahal masih tengah hari. Aku berjalan dilorong sendirian, padahal ada banyak orang tetapi aku selalu ada yang merasa mengawasiku sepanjang hari ini. Baiklah mungkin benar kata Itachi, aku sedikit populer. Tapi siapa juga yang mau punya stalker di awal tahunnya masuk ke kampus. Orang gila tidak punya kerjaan mana yang mau mengikuti aku sepanjang hari ini, ayolah aku cuma mau hidup tenang selama belajar disini. Baiklah mungkin minuman dingin bisa meredakan sedikit rasa kesalku, aku menuju canteen. Lalu duduk di tempat duduk paling pojok sendirian, dengan jus tomat dingin dihadapanku. Melihat sekeliling dan menemukan beberapa gadis tersenyum genit kepadaku, bahkan ada yang mengedip. Demi tuhan aku sama sekali tidak tertarik dengan mereka semua, padahal masih seminggu dan aku mendapatkan ini semua.

Aku melihat si pirang yang tadi pagi, pandangan kami bertemu. Sekilas dia tersenyum padaku, aku langsung menundukan wajahku. Apalagi?

Aku melihatnya lagi, dia berjalan kearahku, dengan banyak makanan dipelukannya, roti semua kurasa. Duduk dihadapanku dan meletakkan semua makanan di meja, dia menatapku. Matanya biru, indah sekali. Bodoh apa yang aku pikirkan. Dia tersenyum lagi, apa-apaan?

"Makanlah," apa aku tidak salah dengar?

"Maaf?," aku mencoba memastikan.

"Makanlah," dia mengambil salah satu makanan yang ada diatas meja. Roti melon. Aku menerimanya tanpa menjawab.

"Aku mengikutimu seharian," dengan itu aku tersedak makananku. Dia dengan sigap mengambilkan minuman. Aku menelan makananku perlahan. Baguslah sekarang sudah jelas siapa penguntitnya.

"Siapa yang menyuruhmu?," bodoh, apa yang aku katakan.

"Tidak ada. Bahkan aku sudah ijin ke Uchiha-san, dia kakakmu kan?," dia gila apa?

"Aku tidak suka," itu yang kupikirkan.

"Aku tidak menyuruhmu menyukainya," dia ini apa-apaan sih? Aku benci.

"Kau membuatku takut," aku berdiri berniat untuk pergi.

"Tunggu," dia menahan tanganku. Kuat sekali. Rasanya sakit, aku tidak berlebihan.

"Lepas, aku tidak mengenalmu dan jangan ganggu aku lagi"

"Maaf," dia melepaskan tanganku, aku pergi begitu saja.

Sambil berjalan meninggalkan tempat tadi, aku mengelus pergelangan tanganku, dia gila. Bahkan meninggalkan bekas, rasanya masih sedikit sakit.

"Uchiha!" aku menoleh kebelakang, si pirang itu lagi. Apa urusannya belum selesai?

"Ada apa lagi?"

"Aku ingin menjadi temanmu," dia mengulurkan tangan "Formalitas. Aku Uzumaki Naruto. Salam kenal"

"Senpai, kau tidak punya kerjaan yang lebih penting apa daripada mengurusiku?" aku menerima tangannya, "Uchiha Sasuke," lalu dia tersenyum, kurasa lebih cocok disebut menyeringai. Aku tidak tau maksudnya.

"Sudah ya, jika tidak ada yang penting aku pergi," aku meninggalkannya.

Hari ini berakhir sampai jam 8 malam, setelah menunggu Itachi menyelesaikan tugasnya juga sebenarnya, dia berjanji akan mentraktirku hari ini. Aku tidak tau apa itu juga masih berlaku setelah apa yang kukatakan padanya tadi pagi. Aku menunggunya, digerbang. Kenapa lama sekali. tapi setelah itu aku mendengar suaranya dengan beberapa mahasiswa lain berjalan kearah keluar. Dia berlari kecil kearahku.

"Ayo," ajaknya.

Kami memilih restoran dekat stasiun, agak ramai. Pemiliknya sangat ramah dengan pelanggan. Kami duduk berhadapan, memakan okonomiyaki bersama. Sampai televisi gantung menayangkan berita tentang pembunuhan, ayolah ini tempat makan. Aku jadi tidak nafsu makan sama sekali. Itachi melihatku dengan pandangan heran.

"Kenapa? Tidak enak?," aku menggeleng.

"Tidak," aku ingin meneruskan makanku, tapi aku terpikir tentang ibu dan ayah. Kami bahkan tidak memberi mereka kabar jika bakal pulang terlambat, "Kau tidak menghubungi ibu?," Itachi hanya tersenyum.

"Aku.. lupa," tidak lupa dengan senyum keringnya. Ayolah bagaimana dia bisa lupa dengan hal penting seperti itu. Aku lalu berdiri, pergi meninggalkannya. Aku ingin cepat pulang.

"H-hei! Tunggu aku," Itachi mengejarku.

Aku ingin cepat pulang. Yang kupikirkan aku ingin cepat-cepat bertemu ibu dan ayah. Bahkan perjalanan dengan kereta terasa sangat lama dibanding dengan berangkatnya tadi pagi. Aku sedikit marah pada Itachi, bahkan tidak menjawab satu pun pertanyaan yang dia lontarkan. Yang kurasakan adalah perasaan yang tidak enak dipangkal dada saat ini. Rasanya ingin menangis.

Aku setengah berlari setelah pintu kereta terbuka, Itachi ada dibelakangku. Dia masih saja mengomel tidak jelas, apa dia tidak merasakan apapun?

Perumahan tempat kami tinggal yang sangat sepi malam ini. Sampai aku mendengar suara sirine. Mobil polisi? Ataukah ambulance? Atau mungkin malah keduanya? Berasal dari gang tempat rumahku berada.

Aku melihat cahaya lampu. Merah dan biru. Berpendar cepat berputar. Tetangga kami berada diluar rumah mereka, memandang kami dengan pandangan yang tidak bisa aku mengerti. Aku berhenti sesaat balik memandang kearah mereka. Kenapa?

Itachi menyeret tanganku. Banyak mobil didepan halaman rumahku. Ambulance dan mobil polisi. Seingatku ibu dan ayah tidak sakit apapun, dan kenapa ada mobil polisi? Tetap positif seperti apa yang diajarkan guruku. Begitulah yang kupikirkan.

Tapi itu semua tidaklah cukup. Kenapa ada garis kuning mengelilingi rumah kami. Dan beberapa orang menahan kami agar tidak melewati batas. Dua brankar diusung beberapa orang, salah satunya terdapat rambut hitam yang menjuntai kebawah. Aku lemas. Itachi berhasil menerobos masuk. Dia membuka penutup salah satu brankar, ada wajah yang terlihat pucat dengan mata tertutup. Rambut itu adalah milik ibu.

"I..bu..," suaraku sulit keluar. Rasanya tercekat di tenggorokan. Aku melihat kearah Itachi, mataku sudah sangat panas. Aku jatuh terduduk, tidak mampu lagi berdiri. Air mataku mengalir begitu saja.

.

.

.

.

Itachi diberikan beberapa pertanyaan. Aku menunggunya, tidak ada yang kulakukan. Beberapa hal tidak bisa dicerna oleh otakku. Aku masih duduk termenung. Aku tidak mengerti, dari sekian banyak orang kenapa harus keluargaku? Apa kaluarga kami memiliki musuh? Kurasa tidak, kami hanya orang biasa.

Sesekali air mata masih saja tidak mau berhenti keluar dari mataku. Aku mendengar dari para polisi yang sibuk mondar-mandir dengan berkas di tangan mereka. Korbannya ada dua, dan mereka orang tuaku. Aku dan kakakku menjadi yatim piatu malam ini. Dan bermalam dikantor polisi bukanlah pilihan kami.

Seharusnya kami mengitari meja makan malam ini. Bercengkerama, saling bercerita, dan tertawa bersama.

Bukan keadaan seperti ini, rasanya dingin. Aku ingin ayah dan ibu.

Itachi berjalan kearahku dengan lesu. Dia menjatuhkan tubuhnya ditempat duduk yang ada disampingku. Tidak lama, lalu ada pria berambut putih dengan masker diwajahnya berjalan kearah kami.

"Aku ingin bicara dengan kalian berdua," katanya. Seperti perintah. Aku tersadar dari lamunanku.

Aku terdiam sebentar, "Setidaknya biarkan kakakku istirahat sebentar," aku menjawabnya pelan, tenggorokanku sakit.

"Tidak apa-apa, kita bisa langsung jika itu mempercepat proses penyelidikannya," bahkan aku bisa melihatnya. Mata Itachi merah. Seperti menahan tangis.

Kami berakhir mengikuti pria itu masuk kedalam ruangannya. Kurasa dia memiliki posisi yang tinggi dalam kepolisian.

"Aku mengerti jika kalian masih sangat shock. Kalian kehilangan orang yang kalian sayangi," kata pria itu pelan.

"Aku. Hatake Kakashi. Mohon bantuan kalian," kami berdua mengangguk lemah.

Hatake-san mengambil map, aku tidak tahu isinya. Dia meletakkannya diatas meja, membuka map itu menunjukkannya pada kami.

Tanpa diperintah, air mataku mengalir lagi. Itachi mengepalkan tangannya, menahan emosi. Map itu berisi foto kedua orang tuaku. Aku menahan mual. Melihatnya secara tidak langsung, tubuh mereka terkoyak. Aku menutup mulutku. Orang tuaku adalah orang yang baik, tapi kenapa mereka meninggal dengan cara seperti itu.

"Maaf, tidak seharusnya aku menunjukkan gambar seperti ini pada kalian"

"Apa ayah dan ibuku dibunuh?," aku membuka suara. Pria itu tidak langsung menjawabnya.

"Kepolisian akan mengatakan iya, jika kau menanyakan itu nak. Tapi untuk kepastiannya kami juga belum tahu yang sebenarnya. Dilihat dari luka yang diterima orang tuamu, manusia tidak akan bisa melakukannya," pria itu menjelaskan dengan pelan. Kami menangkapnya dengan seksama seperti mendengar penjelasan dari guru disekolah.

"Jadi apa yang menyebabkan kematian ayah dan ibu kami?" giliran Itachi yang penasaran.

"Kasus yang belakangan juga serupa. Banyak kejanggalan yang belum bisa kami pecahkan," Itachi mulai sedikit mempertanyakan kinerja kepolisian, "Tapi menurut pendapat kami, apa yang terjadi pada orang tua kalian sedikit berbeda."

"Berbeda?" jawaban Hatake-san sedikit membingungkan. Apa bedanya dengan kasus lain yang terjadi baru-baru ini.

"Lihatlah," Hatake-san menunjukan foto orang tua kami, aku melihat lubang gigitan dileher ibu, "Ini baru pertama terjadi, pada kasus sebelumnya hanya ditemukan jenazah dengan kondisi tubuh terkoyak. Tidak seperti yang terjadi pada orang tua kalian. Tapi secara pastinya kami belum bisa memastikan"

"Kurasa sampai disini dulu, aku akan menemui kalian lagi jika ada hal baru"

"Dan kusarankan kalian berdua sebaiknya bermalam disini saja. Aku mengkhawatirkan jika ada yang mengincar kalian juga," kalimat terahir dari Hatake-san membuatku sedikit takut. Aku setuju dengannya. Aku masih ingin tahu, siapa yang membunuh orang tuaku, setidaknya sebelum aku mati nanti.

"Apakah ayah mempunyai musuh?" banyak pertanyaan yang memenuhi kepalaku. Itachi paling sering berbicara dengan ayah. Dia hanya menggeleng. Sama sekali tidak membuatku puas. Kami bermalam didalam sel tahanan. Setidaknya aku merasa lebih aman. Gila memang.

Tengah malam aku terjaga. Setengah terbangun. Aku melihat bayangan pria dengan tubuh besar. Aku mengerjapkan mataku beberapa kali. Tetapi tidak ada apapun. Dan malam itu hanya kuisi dengan bergulingan di kasur penjara. Aku tidak bisa tidur sampai pagi.

Esoknya kerabat kami datang menjemput kami. Paman Obito. Dia memelukku dengan wajah sedih.

Pagi itu juga jenazah ayah dan ibu dimakamkan. Mereka dimakamkan berdampingan. Kami datang bersama dengan pakaian hitam-hitam. Banyak orang yang datang, aku yakin ayah dan ibu benar-benar orang baik. Beberapa teman semasa sekolahku juga datang. Mereka memberiku semangat. Salah satunya Suigetsu. Anak bergigi runcing itu selalu ada untukku dalam keadaan apapun.

Senpai berambut pirang juga datang –Naruto- Dia datang bersama dengan pria yang mirip dengannya. Hanya saja rambut pirangnya terlihat agak panjang. Mungkin ayahnya.

Dia berjalan kearahku dan Itachi.

"Tabahlah.." berusaha menyemangatiku mungkin. Hatiku merasa sedikit menghangat. Mata ku mengalirkan air mata lagi. Aku memeluk Naruto.

"Aku masih ingin bersama ayah dan ibu," kataku lirih. Hanya Naruto yang bisa mendengar.

"Sshh.. Ayah dan Ibumu akan sedih jika melihatmu seperti ini," aku menghapus air mataku. Aku belum bisa mengakuinya. Tapi kurasa Naruto adalah orang yang baik.

Pria berambut pirang lain menepuk pelan bahuku. Dia tersenyemun, sangat mirip dengan Naruto.

"Ayahmu orang baik, kami sudah lama berteman. Jangan sungkan meminta bantuanku jika kalian mengalami kesulitan," dia memberikan selembar kertas. Kartu nama? Namikaze? Kenapa namanya berbeda dengan nama Naruto. Lalu pria itu pergi kearah Itachi.

"Kenapa?" Senpai berambut pirang melihatku heran, "Dia ayahku, jangan heran jika nama kami berbeda. Aku memakai marga ibuku"

Paman Obito tidak mengantarkan kami pulang kerumah. Dia bersama Hatake-san mengantarkan aku dan Itachi ke tempat baru. Sebuah apartment, tempat tinggal baru kami. Lokasinya tidak jauh dari universitas. Paman Obito mengatakan akan lebih baik jika tinggal di tempat baru. Lebih mudah melupakan kenangan buruk. Tapi rumah lama kami masih banyak memiliki kenangan bahagia dengan orang tua kami. Aku dan Itachi hanya menurut. Sekarang dia wali kami.

Beliau pamit bersama dengan Hatake-san, juga berpesan jika kami harus selalu memberi kabar ke mereka berdua. Kami mengangguk mengerti.

Aku dan Itachi masuk kedalam, membereskan barang-barang kami yang sudah lebih dulu berada disini. Tempat ini cukup luas untuk ditinggali kami berdua.

Bermaksud membereskan barang-barang kami, dan aku menemukan sebuah album. Berisi foto keluarga kami. Apa yang ayah dan ibu lakukan sekarang? Mataku panas jika mengingat mereka. Tiba-tiba Itachi menyerobot, mengambil album yang ada ditanganku.

"Kembalikan!," teriakku keras.

"Sudah cukup Sasuke. Kita harus menyingkirkan benda semacam ini!," Itachi tidak kalah. Dia membalasku dengan nada yang tinggi.

"Aku hanya ingin melihat ayah dan ibu!"

"Benda ini hanya akan membuatmu sakit. Kita akan mulai hidup baru. Cukup!" Itachi benar.

"Aku hanya ingin ayah dan ibu.." kata lirih, hampir tak terdengar. Itachi memelukku.

"Ayah dan ibu akan selalu bersama kita," dia menguatkan dirinya sendiri.

Kehidupan kami belum bisa berjalan normal. Bahkan setelah seminggu semenjak pemakaman ayah dan ibu. Semenjak itu kami belum kembali kuliah, pihak universitas memaklumi. Aku dan Itachi masih disibukan, bolak-balik dari kantor polisi. Kami belum terbiasa, karena saat pagi biasanya ibu yang menyiapkan makanan. Tapi sekarang semua dilakukan sendiri. Aku dan Itachi bergantian memasak, meskipun tidak terlalu baik. Kakakku terlihat sedikit lebih kurus, mungkin dia juga stress.

Kasus pembunuhan orang tuaku belum juga menemukan titik terang, pelakunya seolah menghilang tanpa jejak. Spekulasi jika yang melakukan hewan jelas tidak mungkin lagi. Tinggal dipemukiman yang lumayan jauh dari hutan, dan jika memang benar hewan yang melakukannya makhluk tidak berakal itu seharusnya sudah tertangkap saat ini. Yang ada malah kasus lain terus bermunculan, hampir mirip. Jenazah yang ditemukan tewas dengan tubuh terkoyak, bahkan sudah tidak utuh lagi.

Mungkinkah ada psikopat gila yang berkeliaran di Konoha? Entahlah aku tidak mengerti, aku hanya ingin orang yang membunuh orang tuaku dihukum seberat-beratnya. Jika dia manusia, dia mungkin sudah gila dan tidak punya rasa kemanusiaan lagi. Dan yang lebih gila, kenapa dia membunuh orang tuaku?.

.

.

.

"Kami tahu, kalian sangat berharap jika pelakunya cepat segera tertangkap," Hatake-san terlihat sangat kelelahan saat mengatakan ini pada kami.

"Kami mengerti," Itachi terdengar ragu.

"Bisakah aku bicara denganmu. Berdua saja," Hatake-san ingin bicara dengan Itachi.

"Sasuke adalah adikku, dia berhak tau"

"Tolong"

"Aku akan pergi, jika itu diperlukan," aku keluar ruangan Hatake-san

"Jadi maksud anda pelakunya bukan manusia? Apakah hewan?," Itachi penasaran. Terdengar dari nadanya.

"Bukan begitu maksudku. Apa kau pernah mendengar mahkluk mitos seperti zombie, manusia serigala. Uh, werewolf?" Kakashi mencoba mengingat seluruh makhluk aneh yang dia tau dari cerita fiksi yang pernah dia baca.

"Jadi?" Itachi masih juga tidak mengerti. Padahal biasanya otaknya juga mudah memahami.

"Kau tau banyak kasus pembunuhan yang terjadi belakangan dan mengalami kebuntuan. Termasuk keluargamu," Itachi tersenyum kecut, "Pelakunya menghilang tanpa jejak, bagai ditelan bumi"

"Dan belakangan, beberapa orang melaporkan jika melihat entahlah aku juga belum tau persisnya. Entah itu anjing atau serigala yang tingginya setinggi manusia. Itu memang tidak masuk akal, bahkan para pemburu sekarang tengah memburunya"

"Kau serius? Jangan main-main dengan kasus orang tuaku"

"Untuk apa aku bermain-main. Aku bisa kehilangan pekerjaan," polisi muda mencoba meyakinkan Itachi.

"Jadi makhluk yang kau sebut manusia serigala itu jadi tersangkanya?"

"Aku tidak yakin. Jika memang benar, gigitan dileher orang tuamu seharusnya juga tidak seperti itu. Maaf sebelumnya, seharusnya lehernya juga tercabik. Ini terlalu rapi untuk gigitan seekor serigala. Kecuali ada makhluk lain.."

"Vampir?"

"Iblis penghisap darah"

Halloo.. I'm back. Hiatus luama banget. Maaf sedalam-dalamnya, dan bodohnya saya kembali dengan cerita baru /yang lama belom selesai/

Tapi sekali lagi maaf, ceritaku yang lain mungkin bakal discontinue. Kenapa? SasufemNaru? Percayalah aku baru saja diracun temenku, sekarang jadi belok ke NaruSasu. Tapi jangan khawatir kalo aku lagi mood cerita itu bakal tak lanjut, sebenarnya udah jadi lanjutannya tapi aku belom tak revisi /bahasaku ketinggian?/

Akhir kata

Jangan lupa review yaw~~