How They Met
Hujan deras serta kilatan petir menghiasi malam itu. Jalanan Jepang yang biasanya padat malam itu melenggang. Hanya beberapa mobil yang berlalu-lalang di jalan raya. Sepertinya badai tidak akan segera berhenti.
Gadis itu berjalan dengan gontai. Derasnya guyuran hujan tidak membuatnya menghentikan langkah kecilnya. Kondisi gadis itu bisa dikatakan sangat kacau. Baju seragamnya terlihat robek di sana-sini. Seluruh kancing bajunya terlepas dari tempatnya. Hanya kaus kaki yang menjadi alas kakinya. Rambut pirangnya basah oleh hujan. Air matanya menyatu dengan air hujan yang mengguyurnya. Ya, gadis itu menangis. Wanita manapun pasti akan menangis jika mengalami kejadian seperti gadis itu
Air mata gadis itu tidak berhenti mengalir, berapakalipun gadis itu mengusapnya. Mata gadis itu yang biasanya cerah, kini seperti langit malam ini. Mata aquamarine yang biasanya ramah, kini hanya tersisa kebencian.
***
Jalanan Konoha pagi ini dihiasi warna pink menandakan musim semi. Kelopak-kelopak sakura yang tertiup angin terlihat seperti salju merah muda. Udara yang menghangat membuat kota yang beberapa minggu lalu ditutupi salju kini berwarna lagi.
Konoha High School pagi ini sangat ramai. Wajar saja, hari imi adalah hari pertama tahun ajaran baru. Halaman KHS dipenuhi siswa baru yang hendak mengikuti upacara penerimaan yang sebentar lagi akan dimulai. Selain itu, sekolah juga dipenuhi oleh siswa kelas 11 dan 12 bersiap-siap memperkenalkan klub-klub mereka.
Sasori berjalan di koridor dengan terburu-buru. Entah sudah berapa kali dia menghela nafas kesal. Dia adalah orang yang tidak suka menunggu, serta tidak suka membuat orang menunggu. Tapi selain itu, dia sangat tidak menyukai orang yang ceroboh, contohnya ketua OSIS. Harusnya dia sekarang ada di aula mempersiapkan upacara penerimaan murid baru. Terima kasih kepada ketua OSIS atas kecerobohannya karena meninggalkan teks pidatonya, sehingga dia harus berjalan menaiki tangga ke lantai 3 hanya untuk mengambilnya.
Ini adalah tahun kedua Sasori. Dia menjabat sebagai wakil ketua OSIS saat kelas 10. Jika bukan karena Yahiko, seniornya yang juga ketua OSIS, meminta, atau lebih tepatnya memaksa untuk membantunya, dia tidak akan pernah mau melakukan hal merepotkan ini.
"Haahh..." untuk kesekian kalinya Sasori menghela nafasnya. "Sialan. Rasanya ingin ku pukul kepala duren itu".
Setelah mengambil teks pidato yang tertinggal, Sasori bergegas kembali ke aula. Bagaimanapun dia tidak suka membuat orang menunggu. Setidanya itulah rencananya, sampai tiba-tiba dia ditabrak oleh seseorang dan kehilangan keseimbangan.
"Kya..."
"Ugh..."
***
Ino berlari di trotoar yang mulai lenggang. Untuk kesekian kalinya dia melirik smartphone yang digenggamnya.
"Waa... 5 menit lagi upacarnya mulai". Ino mempercepat larinya "Dasar, Tou-san. Bisa-bisanya dia tidak membangunkanku. Awas saja kalau aku telat".
Gerbang KHS mulai terlihat. Di sana penjaga gerbang sudah bersiap untuk menutup gerbangnya.
"TUNGGU...!! Jangan ditutup dulu paman", Ino berteriak sambil mempercepat larinya. Teriakan itu membuat penjaga gerbang telonjak sehingga urung menutup gerbangnya, sehingga ia bisa lewat dengan mudah. "Terima kasih, paman"
Ino berlari di halaman sekolah meninggalkan si penjaga gerbang yang hanya bisa melongo. Ia menatap smartphone-nya lagi. 'Yosh, tepat waktu. Aula ada di balik gedung itu' begitulah pikirnya. Sampai akhirnya dia berbelok di gedung utama, dia tidak melihat seseorang yang baru keluar dari gedung tersebut. Sudah terlambat baginya untuk menghentikan larinya, sehingga tabrakan tidak terhindarkan.
"Kya..."
"Ugh..."
***
Ino menutup matanya bersiap akan benturan ke lantai. Tapi yang ada di bawahnga bukanlah lantai yang keras, melainkan sesuatu yang berbeda, beraroma mocca.
Ino membuka matanya untuk mengetahui apa yang terjadi. Hal pertama yang dilihatnya adalah laki-laki berambut merah. Posisinya sekarang berada di atas pemuda itu. Terlihat pemuda itu menutup matanya sambil meringis. Kelopak mata pemuda itu kemudian terbuka memperlihatkan iris hazelnutnya. Seketika tubuh Ino bergetar. Bayangan masa lalu tiba-tiba terlintas di kepalanya. Dia bergegas berdiri kemudian menjauhkan diri dari pemuda itu seraya membungkukkan badannya.
"G-go-gomennasai", Ino tergagap karena tubuhnya gemetar. Padahal dia sudah mempersiapkan diri untuk menghadapi laki-laki, tapi dia benar-benar belum bisa melupakan masa lalunya. "S-saya ti-tidak sengaja. Hontou ni gomennasai".
"Hn..", Sasori bangun sambil memegang belakang kepalanya yang sakit. Berbenturan dengan lantai bukanlah hal yang menyenangkan. Beberapa saat lalu dia sudah bersiap meluapkan amarahnya kepada siapapun yang menabraknya. Hingga saat ia membuka matanya, di melihat gadis dengan sepasang aquamarine yang terbelalak. Emosinya meluap begitu saja melihat mata gadis itu, mata yang terlihat sangat... ketakutan. "Tidak apa-apa. Aku baik-baik saja".
Sasori menatap gadis di depannya. Rambu pirang pucat yang diikat ponytail itu agak berantakan. Gadis itu menegakkan tubuhnya, tapi kepalanya masih menunduk. Tubuh gadis itu bergetar. Dari sudut poni panjang gadis itu, Sasori melihat mata gadis tersebut. Pandangannya terlihat kosong, seolah-olah gadis itu tidak benar-benar ada di depannya.
"Hei, kau tidak apa-apa?", Sasori maju beberapa langkah mendekati gadis itu. "Kalau kau terluka, aku bisa mengantarmu ke UKS"
"E-eh...", Ino tercekat. Dia refleks mundur beberapa langkah, membuat pemuda di depannya berhenti mendekatinya. "Saya baik-baik saja", Ino membungkukan tubuhnya lagi. "Ano... saya harus mengikuti upacara penerimaan. Sekali lagi, Hontou ni gomennasai. Permisi"
Sasori hanya terdiam mentap gadis itu yang setengah berlari menuju aula. 'Gadis yang aneh' batinnya. Beberapa detik ia terpaku di tempatnya hingga punggung gadis itu menghilang di pintu aula.
"Gawat!", Sasori menyadari sesuatu. Kemudian berlari ke arah aula menuju pintu yang berbeda dengan gadis itu. "Yahiko pasti marah".
Upacara itu berlangsung dengan lancar. Pidato sambutan dari kepala sekolah KHS, Hiruzen Sarutobi mengawali upacara tersebut, diikuti dengan sambutan ketua OSIS dan diakhiri beberapa patah kata dari siswa baru yang memdapat nilai tertinggi pada ujian masuk.
***
Gaara menghela nafas bosan. Sudah 30 menit terlewat ketika mereka masuk kelas, tapi wali kelas mereka belum juga datang. 'Guru macam apa yang terlambat di hari pertama sekolah', batinnya.
"Oii... Gaara. Kamu denger nggak?", pemuda di depannya melambaikan tangannya di depan wajah Gaara. Wajahnya trlihat kesal. "Jangan bilang kamu mengabaikanku".
"Hn...", Gaara menggumam, "Aku memang mengabaikanmu, Naruto"
" ... ", Naruto, pemuda di depannya terdiam tidak percaya. "NGAJAK BERANTEM, HAH?"
Gaara hanya terkekeh sambil menutup telinganya mendengar teriakan temannya itu. Dia sudah hafal tingkah laku pemuda pirang itu.
"Jadi...", Gaara membuka mulutnya setelah Naruto tenang. "Ada apa?"
"Haaaa...", Naruto menghela nafas kesal. Dia terkadang tidak percaya kenapa dia bisa berteman dengan Gaara. "Kita diajak Kiba karaoke nanti sepulang sekolah, sama cewek-cewek juga. Kamu ikut kan?".
"Hn.. ", Gaara megarahkan pandangannya ke arah jendela. Menatap kelopak sakura yang masuk dari jendela yang terbuka. "Kenapa tidak".
Tidak lama setelah itu, wali kelas mereka memasuki kelas.
"Selamat pagi, anak-anak. Maaf bapak terlambat", guru berambut silver itu tersenyum tanpa dosa sambil menggaruk belakang kepalanya. "Tadi saat aku berangkat ke sekolah aku menolong nenek-nenek menyebrang jalan. Kemudian bertemu kucing hitam, sehingga aku memutar untuk menghindari sial".
Yang dijawab dngan "HEEEEEEHHHHH" oleh seisi kelas.
Agenda pagi itu adalah membagi tempat duduk dan memilih pengurus kelas. Gaara mendapatkan meja paling belakang dekat jendela, di samping gadis berambut pirang yang diikat ponytail. Ketua kelas dipilih dengan voting dan dimenangkan oleh Haruno Sakura.
"Oh iya", guru berambut silver, yang bernama Hatake Kakashi, menepuk tangannya satu kali, teringat sesuatu. "Kita butuh perwakilan kelas, laki-laki dan perempuan, ada yang mau mengajukan diri", seketika semua terdiam. Siapa juga yang mau mengajukan diri untuk pekerjaan melelahkan itu. "Kalau begitu, bapak akan pilih secara acak. Sabaku Gaara, dan... Yamanaka Ino. Yang bapak sebut namanya silahkan berdiri".
Gaara berdiri dengan bosan. 'Mimpi apa aku semalam' batinnya. Kemudian ia mendengar suara bangku ditarik dari sampingnya, gadis pirang di sebelahnya berdiri. 'Heh, jadi namanya Yamanaka Ino. Tidak buruk'. Tanpa sadar Gaara menaikan sudut bibirnya, membuat gadis-gadis yang melihatnya terkena serangan jantung.
***
Hari ini adalah hari yang buruk bagi Ino. Terlambat bangun, kemudian harus berlari menuju sekolah di hari pertama. Belum lagi disaat dia pikir akan tepat waktu, dia menabrak seorang laki-laki, makhluk yang selalu Ino hindari, kemudian berada sangat dekat dengannya. Setelah itu masuk terlambat ke aula sehingga menjadi pusat perhatian. Ketika memasuki kelas, ia pikir ia bisa sedikit bersantai, sampai ia terpilih secara acak sebagai perwakilan kelas. Tidak cukup sampa di situ, karena pagi ini ia terburu-buru, ia melupakan bekalnya sehingga terpaksa makan siang dengan roti yang dijual di kantin.
Puncaknya adalah sekarang, karaoke dengan teman-teman kelasnya. Ino sebenarnya tidak membenci karaoke, malah dia sering melakukannya dulu saat SMP. Yang menjadi masalahnya adalah dia harus bersama laki-laki di ruangan tertutup. Kalau bukan karena Sakura, teman merah mudanya yang sekarang berdebat dengan Naruto, dia tidak akan pernah mau ikut acara ini.
Ino meminum jus jeruk yang dipesannya. Dia duduk di pojokan mencoba menjauh dari keriuhan ruangan itu. Ia hanya bisa berdoa semoga hari ini cepat berakhir sehingga ia bisa tidur di ranjangnya yang nyaman. Tapi sepertinya doanya tidak terkabul semudah itu. Pemuda berambut maroon, yang dia tahu bernama Sabaku Gaara, duduk tepat di sampingnya.
"A-ano... Sabaku-san", Ino menggeser tubuhnya menjauh dari Gaara. Ia berharap Gaara menyadari ketidaknyamanannya. "Kau terlalu dekat"
"Hn...", Gaara seolah tidak peduli dengan gestur tidak nyaman Ino. Ia semakin mendekatkan tubuhnya ke arah Ino. "Lalu?"
"...", nafas Ino tercekat. Keringat dingin mulai keluar dari pori-pori kulitnya. Ia mengalihkan pandangannya ke arah Sakura, berharap temannya bisa membantunya. Ia hanya bisa menelan ludahnya saat melihat Sakura yang sedang berduet dengan Naruto. "Bisakah kau menjauh sedikit".
"Heee...", bukannya menjauh, Gaara semakin mendekatkan tubuhnya ke arah Ino. Bahkan wajahnya hanya terpaut beberapa centi dari wajah Ino. Tangannya meraih helaian poni panjang Ino. "Bukannya ini yang kamu inginkan? Kamu menungguku mendekatimu, kan?"
Ino merasakan seluruh tubuhnya bergetar. Ia melihat wajah Gaara semakin dekat ke arah wajahnya. Punggungnya menyentuh didnding di belakangnya, membuatnya tidak bisa menjau lagi. Bayangan masa lalu mulai diputar di dalam kepalanya seperti sebuah film. Tangan kasar yang menjamah tubuhnya. Mulut menjijikan yang menyentuh bibirnya. Ingatan yang sangat ingin ia lupakan.
Sentuhan di bibirnya membuat Ino tesadar dari mimpi buruknya. Seketika Ino mendorong tubuh Gaara sekuat tenaga. Gaara yang tidak menyangka akan didorong sekeras itu terpental ke belakang. Ino bangun dari sofa karaoke kemudian mendekati Gaara.
PLAK
Seketika ruangan itu menjadi sunyi. Hanya suara musik ang terdengar. Bahkan Naruto dan Kiba yang terkenal berisik menjadi terdiam. Gaara memegang pipinya yang memerah. Ino bergegas keluar dari ruangan karaoke itu. Dia tidak bisa menahan air matanya lagi. Dia berlari dengan air mata yang mulai mengalir deras tak tertahankan, meninggalkan Gaara yang menatap tak percaya.
"Oh, tidak", Sakura terperanjak dari tempat duduknya. Ia menatap Gaara dengan marah. "Apa yang sudah kamu lakukan, Gaara?"
Sakura berlari mengejar Ino, berharap ia belum jauh. Sesampainya di lobi, ia melihat Ino baru keluar dari pintu lobi.
"Ino, tunggu", Sakura memanggil Ino. Berharap temannya itu mau berhenti. Untungnya, Ino menghentikan larinya sehingga Sakura bisa mengejarnya. Sakura berhenti beberapa langkah di belakang ino. Ino memunggunginya. "Maafkan aku, Ino. Harusnya aku tidak meninggalkanmu bersama Gaara. Harusnya aku tahu kamu tidak nyaman berada di dekat laki-laki. Maafkan aku Ino, maafkan aku"
"Tidak apa-apa, Sakura", Ino menggeleng. "Aku tahu kamu tidak bermaksud begitu"
"Tapi...", Sakura tidak bisa menahan air matanya. Rasa bersalah menusuk dadanya. "Tapi..."
"...tidak apa-apa Sakura", Ino memotong ucapan Sakura. "Aku tidak menyalahkanmu", Ino berbalik menghadap Sakura. Mata berair Ino membuat air mata Sakura semakin menderas. "Aku ingin menenangan diri dulu...", senyum lemah terbentuk di bibir Ino, "...sendiri"
Sakura tidak bisa berkata apa-apa lagi. Ia tahu bagaimana sifat temannya itu. Ino tidak ingin diganggu. Ia hanya bisa terdiam menatap Ino yang menjauh dari tempat itu. Sakura mengusap air matanya. Ada satu hal yang bisa ia lakukan saat ini. Yaitu memberikan pelajaran kepada sepupunya, yang telah membuat temannya menangis.
***
Sasori berjalan dengan langkah gontai di trotoar jalanan Konoha. Langit sudah mulai menggelap saat dia keluar dari gerbang KHS. Terima kasih kepada ketua OSIS tak bertanggung jawab itu. Berkatnya dia harus menerima kemarahan kepala sekolah karena lupa menyerahkan laporan keuangan OSIS beberapa bulan lalu. 'Rasanya ingin kebedah duren sialan itu. Kemudian membuat tubuhnya menjadi boneka', batin Sasori. Sepertinya kelelahan membangkitkan sisi psychopathnya.
Sasori berhenti di vending machine di dekat taman,memasukan beberapa koin dan memilih moccachino dingin. Saat akan membuka kaleng itu, dia melihat sosok familiar yang duduk di ayunan taman. Ponytail pirang itu membuatnya langsung teringat pada gadis yang tadi pagi menabraknya. Sasori memasukan beberapa koin lagi dan memilih minuman yang sama dengannya. 'Kebiasaan' batinnya.
"Yo", Sasori menyapa gadis itu. Membuat pundak gadis itu sedikit tersentak. "Apa yang kau lakukan di sini?", gadis itu hanya terdiam, hanya pundaknya yang terlihat bergetar. Sasori menyodorkan kaleng moccachino di tangannya di depan gadis itu. "Aku tidak tahu kau suka atau tidak. Tapi, setidaknya lebih baik dari tidak sama sekali, kan?", gadis itu hanya membisu membuat kesabaran Sasori habis. "Hei dengarlah gadis aneh. Kalau kau mau menangis sebaiknya lakukan saja di rumahmu, di pelukan ibu atau ayahmu. Menangis di tempat seperti ini bisa membahayakanmu, kau tahu?"
"Hah?", Ino terkejut mendengar pemuda di depannya itu, sampai-sampai ia tidak sadar mendongakkan kepalanya ke arah Sasori. "Apa maksudmu?" Ino mengusap air matanya. "Kau pikir aku anak manja?"
"Yah...", Sasori menyunggingkan senyum meremehkan. "Aku tidak menyangkal", Sasori menaruh kaleng minuman di tangan Ino. "Bukankah begitu?"
"Tentu saja tidak", Ino mendengus sebal kepada pemuda di depannya itu. Siapa dia berani mengatainya begitu? "Aku bukan anak manja"
"Heeee....", Sasori mundur beberapa langkah. "Benarkah begitu?", ia membuka kaleng minumannya kemudian meminum beberapa teguk. "Buktinya?"
"Untuk apa aku membuktikan sesuatu kepadamu?", Ino membuka kaleng di tangannya dengan kesal. Kemudian meneguk separuh isi kaleng tersebut. "Enak"
"Kau tahu?", senyuman Sasori aemakin merekah. "Untuk seorang gadis yang takut pada laki-laki, kau terlalu cepat menerima pemberian dari laki-laki yang tidak kau kenal", Ino tersentak. Baru tersadar apa yang telah dia lakukan. Dia menatap horor pada kaleng di tangannya. "Hahaha", Sasori tidak bisa menahan tawanya. "Tenang saja. Kau tidak perlu khawatir. Aku tidak menaruh apa-apa pada minuman itu. Itu masih tersegel kok", wajah Ino merah padam. Dia tidak pernah dipermainkan seperti ini. Sasori menghentikan tawanya sambil mengusap air mata yang keluar di sudut matanya. "Ngomong-ngomong, ini sudah malam. Aku akan mengantarmu"
"Hm", Ino mengangguk. Dia tidak tahu kenapa, ia tidak merasa takut pada pemuda di depannya. Bahkan ia sendiri bingung dengan dirinya. Ino berdiri dan berjalan ke arah rumahnya. Sasori mengikutinya beberapa meter di belakangnya. "Ne, bagaimana kau tahu kalau aku takut kepada laki-laki?"
"Hmm... dari reaksimu tadi pagi", Sasori meneguk bebwrapa dari kalengnya. "Setelah kau menabraku pagi tadi, aku melihat ketakutan di matamu. Selain itu tubuhmu menggigil. Kau seperti orang yang melihat hantu. Menurutku kau tidam mungkin takut kepadaku secara personal, mengingat wajahku yang mempesona. Jadi aku mengasumsikan kau takut kepada laki-laki", Sasori kembali meneguk miumannya. "Kemudian aku melihat tatapan kosongmu. Kau seperti tidak berada di depanku saat itu. Kau seperti berada di tempat lain. Biar kutebak, kau mengingat masa lalumu. Masa lalu yang sangat ingin kau lupakan, menurutku"
"...", Ino hanya terdiam. Bahkan dia tidak sadar kapan dia berhenti berjalan. "Aku tidak menyangka hanya dengan pertemuan sesingkat itu kau bisa tahu semua itu", Ino berbalik ke arah Sasori, tersenyum. "Harusnya tadi aku terkesan. Sayangnya kenarsisanmu membuatku merinding"
"Aku hanya mengungkapkan kenyataan, kau tahu?", Sasori terkekeh. Mereka melanjutkan perjalanannya "Kau bisa jatuh cinta padaku, lho"
"Tidak akan", senyum Ino melebar. "Bahkan di dalam mimpimu sekalipun".
Ino mendengar tawa kecil dari belakangnya. Ino sekuat tenaga menahan tawanya. Sudah lama ia tidak merasa seperti ini. Mereka beralan denga diiringi ledekan satu sama lain. Sampai akhirnya mereka tiba di kompleks rumah Ino.
"Sampai sini saja. Rumahku beberapa meter lagi di depan" Ino berhenti di persimpangan dekat rumahnya. "Ayahku bisa murka kalau melihatku pulang bersama laki-laki"
"Daucon kah?", Sasori tersenyum melihat wajah kesal Ino. "Baiklah kalau begitu. Sampai jumpa"
"Umm, sampai jumpa", Ino tersenyum. Senyum paling tulus yang pernah ia perlihatkan. Ia melambaikan tangannya. "Terima kasih sudah mengantarku dan mentraktirku minum"
"...", Sasori mengagguk. Ia berbalik kemudian melangkah menjauh. Tapi baru beberapa langkah ia berhenti kemudian berbalik. "Ngomong-ngomong, aku senpaimu lho"
Setelah mengucapkan itu, Sasori berjalan menjauh. Menghilang di balik persimpangan jalan.
'Aku tahu kok, baka-senpai'
Mereka kemudian berjalan ke arah rumah masing-masing. Senyuman terpatri di wajah keduanya. Sampai tiba-tiba mereka berdua berhenti, menyadari sesuatu.
'Aku lupa menanyakan namanya' batin mereka berdua.
Fin??
AN : OOC?? I know
Mind to RnR
