Halo, aku Akamaru. Si putih berkaki empat yang menjadi teman hidup Inuzuka Kiba sejak ia kecil sampai sekarang. Hm, apa ini bisa disebut sebagai buku curhat? Ah, masa bodohlah. Hanya saja—aku punya beberapa cerita yang tidak bisa kusimpan sendiri: ketika aku harus membagi Kiba-sama-ku yang berharga dengan seseorang!


Six Stories of My Master

.

.

Naruto is belong to Masashi Kishimoto, I take no profit of this and all the characters inside. All of the purpose for making this is just for fun and entertaining.

Inuzuka Kiba/Yamanaka Ino; K+, Romance, Fluff..? (idk /shrugs/), a little bit Friendship, twoshot

© kazuka, december 5th, 2012

.

special for Sukie 'Suu' Foxie's birthday XD

have a long-happy life, Suu! May God always bless you, amen! and here's my little gift~ :3

.

.

.

satu: sarapan.

.

Aku membuka mataku. Sinar matahari, kau menyebalkan! Aku masih ingin tidur lebih lama dan beristirahat. Hei, tidak tahukah kau kalau semalaman tadi aku dipaksa untuk menemani Kiba-sama menulis laporan-laporan misinya?

Yah, sudah terlanjur. Mana bisa lagi aku tidur kalau panas begini? Aku meregangkan kedua kaki depanku; kurasa aku memang benar-benar kurang tidur. Kiba-sama, awas saja kalau kau ambil misi lagi hari ini!

Aku menggaruk-garukkan cakarku pelan pada dinding di samping posisiku tidur semalaman tadi. Kita lihat, siapa yang menang dalam lomba bangun tidur tercepat pagi ini, Kiba-sama!

Yakin dia pasti masih bergulung seperti ulat di dalam selimutnya. Manusia enak pakai selimut, ya? Kurasa aku harus minta buatkan selimut hangat yang nyaman juga—biar aku bisa bersembunyi dan bergumul dalam tidur yang nyenyak di baliknya sampai siang, seperti yang sering Kiba-sama lakukan kalau sdang libur!

Ah, tapi nanti aku kalah dari Kiba-sama dalam lomba! Tidak mau! Nih, aku bangkit berdiri, supaya Kiba-sama tahu kalau aku selalu bangun—

... Lho?

Kiba-sama mana?

"Woof, woofff!"

Tempat tidurnya sudah rapi! Ah, sial, dia pasti bangun duluan! Oke, Kiba-sama, kita impas!

Ngomong-ngomong... aku lapar. Biasanya setelah aku cukup puas bermalas-malasan begini, Kiba-sama akan bangun dan langsung menyuguhkan sarapan untukku. Hm, dia sedang menyiapkan makanan apa untukku pagi ini, ya?

"Woff~"

Aku menunggu saja di pintu kamar. Kiba-sama pasti akan datang dan sepiring pengobat lapar akan segera kudapat~!

Tik, tok.

Tik, tok, tik, tok.

Tik, tok.

Lama.

Kiba-sama, mana dirimu?! Aku lapar, tahu!

Kedengarannya terbalik, ya? Mana majikan mana peliharaan kalau begini? Aha, biarkan saja, sesekali. Biar impas dan imbang. Hidup itu manis kalau seimbang,

Tik, tok. Tik, tok.

Memangnya jarak dapur dan kamar sejauh itukah? Atau Kiba-sama malah sedang menyiapkan sarapan yang spesial untukku? Ulang tahunkukah hari ini?

Tik, tok. Tik, tok.

Lamanya!

Sepertinya memang harus begini: yang lapar yang mencari. Kuputuskan berjalan menelusuri rumah dan mencari di mana tuanku. Plus makanan untukku.

Bau Kiba-sama agak samar, sih. Sembunyi di mana dia ya?

"Ah, Akamaru! Kau cari makanan sendiri, ya! Itu carilah di meja kecil di pojok dapur, ada pasien yang harus kutangani!"

Hana-sama? Dia terlihat terburu-buru.

"Woofff?"

"Kiba ya? Dia pergi pagi-pagi sekali. Tidak tahu ke mana. Kau makan dulu sana."

Pantas baunya samar! Dia pergi!

.

.

.

Setelah mengikuti jejak baunya, aku bisa menemukan Kiba-sama di sana!

Di depan toko bunga dengan pajangan nama 'Yamanaka', di atas bangku papan panjang, bersama seorang wanita pirang semampai dan—hell, siapa itu?! Anak kecil usia sekitar empat tahun ada di pangkuan gadis yang sedang tersenyum pada Kiba-sama!

—Tuanku, jangan bilang kau menyembunyikan kehidupanmu yang lain dariku!

Ya, ya, ya, wanita pirang itu! Bohong kalau aku tidak kenal padanya, yang jadi teman seangkatan Kiba-sama dan satu tim dengan si jenius pemalas dan si tukang makan keripik itu. Ino, Ino namanya! Aku hafal!

"Woooff! Wof! Wooffff!"

Kiba-sama menghadapi sebuah mangkuk makanan, dan ada dua mangkuk pula di hadapan gadis dan anak itu. Mereka sedang sarapan bersama—ah, tuh, tuh, lihat! Kiba-sama sedang menyuapi si anak kecil dan kemudian membalas senyuman Ino dengan cengiran lebarnya yang biasa.

... Dan yang lebih parah, dia mengabaikanku!

"Wofff! Wooof!" aku berlari mendekat, ingin kugigit saja langsung lengan bajunya biar dia sadar.

"Akamaru!" Kiba-sama menyadariku.

"Woof! Wooff! Kungg, kkunggg!" aku menggeram di depannya. Kau harus memberiku sarapan yang banyak setelah ini, Kiba-sama! Bagaimana tidak? Kau meninggalkanku kelaparan di rumah tapi ternyata kau enak-enakan di sini!

"Sssh, Akamaru, sssh!" Kiba-sama tampak mengibas-ngibaskan tangannya di udara. Uh, apa itu? Gestur menyuruhku pergi?

Oh, kau anggap aku mengganggu kencan pagimu? Okeee, aku akan benar-benar melakukannya! "Wooofff!"

"Sssh," Kiba tampak risih. Kulirik sekilas, Ino tampak mendekap anak itu lebih erat dan bergeser tempat duduk, menjauhiku. Baik, baik, nona, aku akan membuat perhitungan padamu setelah puas dengan Kiba-sama.

"Wooofff!"

Menyerah, Kiba-sama akhirnya menggiringku menjauh. Pulang, Kiba-sama, pulang! Sarapanku, sarapanku! Kita sarapan bersama seperti biasa!

Kiba-sama berjongkok di depanku setelah agak jauh dari Ino dan gadis kecil di pangkuannya.

"Tolong ya, Akamaru, tolong kali iniii saja," ia tampak memohon. Aku menahan hasratku untuk menggonggongi wajahnya. "Keponakan Ino menginap di tempatnya, dia senang sekali bersama Ino dan Ino ingin mengenalkannya padaku. Tapi dia alergi bulu anjing. Jadi maaf ya aku tidak bisa mengajakmu untuk bertemu dengan Ino kali ini. Maaf ya? Ya?"

Aku mengenal Kiba-sama sejak lama, dan aku bisa paham ekspresinya kali ini—dia benar-benar serius dan memohon.

"Ya? Maafkan aku. Kau sudah sarapan belum?"

"Kkuung..."

"Ino, kau punya makanan anjing tidak?" Kiba-sama setengah berteriak.

"Tidak," geleng Ino.

"Ah ya sudah, tunggu ya, Akamaru, Ino! Aku akan segera kembali!" dia berlari pergi.

.

Dan aku di sini. Di sudut pertigaan, jarak sekian meter dari tuanku. Menikmati sarapan instanku sambil melirik sedih sesekali.

Pertama kali menikmati sarapanku tanpa ditemani Kiba-sama. Alih-alih, dia sedang menikmati sarapan nikmatnya bersama kekasihnya—pasti, pasti, apalagi status gadis itu selain kekasih; Kiba-sama terlalu bahagia bersamanya begitu.

Sarapan berdua ditambah seorang anak kecil yang menambah momen-momen lucu antara Kiba-sama dan Ino.

Yamanaka Ino, kau rivalku mulai saat ini!

dua: lemon

Ng?

Aku adalah anjing, kalian semua tentu tahu.

—Dan itu memberikan sebuah fakta penting: aku bisa terbangun dari tidur siangku yang nyaman hanya karena bau tajam—setipis apapun keberadaannya!

Oh, oke, oke, apa ini disebut tidur siang? Masih terlalu tanggung tinggi matahari jika disebut siang, tapi terlalu panas untuk pagi hari. Ah, sudah, sudah, sebut saja itu tidur; dan tambahan lagi, siapa yang senang tidurnya diganggu?

Bau lemon ini menyengat sekali. Aku mendengar suara langkah yang mendekat seiring makin tajamnya bau itu mengarah pada hidungku.

Heh, jangan heran ya—sebagai anjing aku juga punya beberapa bau yang tidak kusuka. Kadang alasannya sederhana; hanya karena tak cocok selera. Kebanyakan... adalah parfum wanita. Terlalu tajam.

Ah, Kiba-sama, apa saja yang kau lakukan dengan Ino? Bau parfumnya lengket begitu di tubuhmu.

"Hai, Akamaru~"

Oh, bagus. Ini menyadarkanku pada satu fakta. Selama aku tidur tadi, kau pasti kencan lagi dengan Ino, ya 'kan, Kiba-sama? Oke, kau tidak mengajakku dan meninggalkanku. Apa si keponakan yang alergi anjing itu bersama kalian jadi aku tidak boleh ikut?

"Enak sekali tidurmu, heh?" ia mengelus puncak kepalaku. Baumu makin membuatku pusing, Kiba-sama! Menjauhlah! Ugh...

Dia tidak menyapaku lebih panjang lagi. Dia menanggalkan pakaian hitam yang biasa ia pakai ketika berjalan-jalan keliling desa atau pergi misi; diganti dengan pakaian rumahnya yang biasa—kaos biru dongker dan celana pendek. Dia mengeluarkan beberapa benda dari sakunya—dan, uh, aku tahu benda apa yang berbau lemon menyengat itu!

Selembar sapu tangan krem yang tampak biasa dari segi penampilan, ia cium sebentar. Kiba-sama, aku yang berjarak sekian puluh senti dari itu saja sampai mabuk begini dengan baunya. Kau? Kau sampai menghirup aromanya dalam-dalam begitu!

Bukannya klan Inuzuka punya penciuman tajam? Itu bau yang sangat menyengat, tuan! Kenapa kau tampak tahan-tahan saja? Lama-lama aku bisa mabuk menciumnya, apa kau tidak?

Oh, ya—aku pun mengistirahatkan kepalaku lagi di atas kedua kaki depanku—kau sudah mabuk, tuh, lihat. Mabuk cinta. Itu pasti dari Ino, 'kan? Itu bercampur sedikit bau dia dan kau sedang dimabuk dengan segala sesuatu tentang dirinya.

Aku tidak tahu sejak kapan kau jadi kekasihnya, Kiba-sama. Yang kusaksikan selama ini hanyalah; dia memang kunoichi seangkatan yang dekat denganmu selain Hinata-chan. Kau cukup memberi perhatian padanya dengan cukup baik dan tahu-tahu—beberapa hari lalu kalian sarapan berdua.

Haaaah~ kau masih berhutang satu cerita penting padaku, Kiba-sama. Aku teman dekatmu sejak kecil tapi kenapa tidak kau ceritakan ini?

Aku hanya menggonggong pelan ketika kau keluar kamar. Sepertinya aku harus segera keluar juga, bau lemonnya mengerikan!

.

.

.

Ini kali keempat kau pulang dengan bau lemon itu. Duh, bagaimana caranya bilang padamu kalau aku benar-benar benci bau itu, Kiba-sama?

Lagi-lagi. Kau berdiri di tepi tempat tidurmu dan menatap pada sapu tangan itu. Menyerap baunya lewat hidungmu.

Kau sekarang lebih memperhatikan waktu-waktumu untuk Ino saja, kau beberapa kali pergi tanpa bilang, kau suka tersenyum-senyum sendiri di rumah—tambah lagi sekarang! Kau benar-benar seperti orang mabuk menatapi pemberian gadis itu. Kiba-sama, apa kau tidak mengerti kalau aku benar-benar tidak menyukai bau lemon?

Kau lupa? Dulu aku pernah mengacaukan dapur hanya karena ibumu membeli begitu banyak lemon untuk masakannya.

Oh, mungkin kau benar-benar tidak ingat. Pikiranmu pasti penuh oleh Ino!

—Sebaiknya kucoba mengingatkanmu.

"WOOFFF!"

"Akamaru?!"

"Wooooffff! Woff!"

Mata Kiba-sama berkilat. Aku masih menahan sapu tangan itu diantara taring-taringku. Menggigitinya.

"Kembalikan! Akamaru!" ia menarik kain ini.

"Woff!" aku menolak. Tapi dia memaksa. Terjadilah aksi tarik-tarikan yang membuatku mual. Hei, ingat, aku benci bau lemon, kan?

"Berikan padaku!"

SRETTT!

Oke, sapu tangan itu belah dua. Separuh bagian di tangan Kiba-sama, separuh masih tersangkut di mulutku.

Ia menatapnya tak percaya. Matanya mulai menyiratkan hal lain—naik level menjadi kemarahan berapi. "BAKA!"

"Kkuungg..."

Kiba-sama memandangku geram. Aku menunduk dan melepaskan gigitanku.

Tidak sebentar kami saling saling melihat dengan satu artian yang... uh, membuatku tidak enak. Kiba-sama bungkam, tidak mengeluarkan kata apapun tapi dari matanya saja sudah membuatku takut. Dia marah!

"Kkungg..."

"Baka."

Kedua kalinya dia menyebut itu—dan nadanya bilang kalau dia serius sekali.

... Kiba-sama menyebutku bodoh...

Aku beranjak—dan tanpa mengangkat kepala aku pergi keluar kamar. Kurasa aku tidak berani menghadapinya dahulu—ekspresinya barusan benar-benar membuatku ciut.

Eh, apa aku boleh menangis?

—Kiba-sama, sapu tangan itu lebih penting dariku, ya? O, itu 'kan pemberian dari pacarmu. Aku merusaknya; ya, ya, aku memang bodoh.

.

.

.

Konflik majikan-peliharaan memang kedengaran biasa apalagi bagi yang sudah hidup bersama cukup lama. Bumbu, katanya. Tidak sehat suatu hubungan kalau tidak ada turun-naiknya begini—kata-kata manusia yang pernah kudengar beberapa kali.

Bumbu apanya. Bumbu yang pahit iya. Kami memang beberapa kali bertengkar tapi tetap saja tidak enak. Sejak kejadian tarik-tarikan tadi siang, Kiba-sama pergi lagi sore ini dan ya, aku sudah merindukannya!

Sekaligus merasa bersalah.

Oh, dan merasa takut kalau-kalau dia tidak akan memaafkanku.

Ya, aku memang peliharaan yang manja. Aku ingin Kiba-sama sekarang! Aku ingin dia datang padaku dan mengelus kepalaku lagi. Terlebih, aku ingin tahu apa dia memaafkanku?

A-aku boleh menangis tidak?

Tidak, tidak! Tidak boleh! Aku adalah anjing ninja yang kuat, yang tidak bisa dilemahkan hanya oleh secuil perasaan. Aku harus bisa menyelesaikannya segera, ya 'kan? Oh, harus!

Kuikuti bau Kiba -sama yang agak samar. Kutelusuri jalan-jalan di mana aku bisa terus menemukan jejak baunya. Aha, firasatku sudah pasti. Dan itu juga didukung kenyataan.

Ya, lagi-lagi, aku menemukannya di rumah keluarga Yamanaka. Tapi agak berbeda; aku tidak mendapatinya di bangku depan seperti pagi itu. Mereka di bagian belakang rumah, di pekarangan yang ditumbuhi macam-macam bunga, warna-warni dan buanya macam-macam bercampur jadi satu.

Oh, itu Kiba-sama. Dia sedang... berkebun? Oh, bersama Ino. Aku hanya memandangnya dari jauh—dari seberang jalan seperti seorang penguntit malu-malu.

"Begini, tahu. Ah, bukannya kau sudah kuajari?"

Kiba-sama menyeka keringat pada pelipisnya; tangan masih menggenggam sekop kecil. "Salah, ya?"

"Akarnya harus tertimbun sempurna. Kalau menyembul di tanah begini jadinya rusak, dong," Ino mengerucutkan bibirnya. "Sini, kucontohkan lagi."

Majikanku berdiri memperhatikan, sementara Ino membungkuk untuk menanam bibit yang ia maksud. Kulihat dengan jelas; Kiba-sama memperhatikannya lekat-lekat. Tuan, Ino juga tidak akan kabur, kok, tidak perlu kau lihat sampai sebegitunya.

H-hei, dan bahkan tanganmu lari ke keningnya, mengusap lembut dengan punggung tanganmu, bagian itu yang terlihat berkilau karena peluh yang menetes dan memantulkan sinar panas musim semi.

"Kau keringatan."

Ino berdiri tegak balik menatapmu. "Hei, kau lebih keringatan dariku," ia menepuk pipimu manja. "Mana sapu tangan yang kuberikan kemarin? Sini, biar aku yang lapkan, hihi~"

Wajahmu langsung berubah. Duh, Kiba-sama, maafkan aku!

"I-itu..." kau menggaruk kepalamu, sekedar bahasa tubuh darimu yang sedang merasa tidak enak—bukan karena gatal yang sesungguhnya. "Maaf, ya. Akamaru menggigitnya. Sapu tangannya jadi rusak. A-aku tidak bermaksud apa-apa, tapi—ah, dasar anjing itu! Maaf lagi, ya? Aku akan marahi dia..." walau kudengar ada sedikit ragu untuk kalimat penghujung...

Ya, silahkan, Kiba-sama. Aku pasti akan membuat kau dan pacarmu bertengkar jadi aku pantas kau marahi.

Ino mengangkat alisnya. Aku deg-degan.

"Ahahaha, begitu ya? Ah, sudahlah, tak apa. Aku bisa memberikanmu yang baru kalau kau mau. Bukan hal yang besar koook, biasalah, kalau punya peliharaan kan memang suka seperti itu."

Kau diam. Alismu turut bergerak ke atas.

"Tidak perlu memarahi Akamaru, kok," Ino membungkuk lagi untuk membereskan tanamannya. "Kalian kan sudah bersahabat lebih lama daripada kau kenal aku. Jangan buat hubungan erat kalian jadi tidak enak cuma gara-gara benda itu."

...

—Aku mencintaimu, Ino! Ahaaa, kau baik sekali!

"O-oh..." Kiba -sama tampak salah tingkah lagi. "Kau mengerti? Terima kasih."

"Ya, ya, ya, tentu saja," Ino mengangkat bahunya sambil tersenyum cerah. "Yuk, sedikit lagi! Setelah ini kita makan, yuk? Ibuku katanya mau masak enak hari ini~"

"Oke!"

Senyum bahagia seorang majikan adalah hal terindah juga untuk peliharaannya. Um, apa aku terlihat seperti tersenyum sekarang?

.

"Maaf ya?" Kiba-sama mengelus puncak kepalaku penuh kasih sayang. "Maaf tadi aku meneriakimu cuma gara-gara sapu tangan. Aku—yah, terlalu galak. Kau mau memaafkanku, kan?"

"Woof! Woof!" aku menyalak senang, menjulurkan lidahku dan mengibas-ngibaskan ekorku dengan cepat, seraya menggerakkan kepala.

"Oke, oke, aku berjanji lain kali akan lebih baik membagi perhatianku. Kau cemburu pada Ino, 'kan?" ia meremas kepalaku dengan gemas.

"Woo—oof? Woof~"

Ah, itu cemburu ya namanya? Tapi, ya, masa bodohlah! Apapun asal tuanku senang~

Tapi—kurasa Ino itu anak baik! Dia ramah sekali dan sayang dengan Kiba-sama. Dia juga menyadarkan Kiba-sama dan membuat kami berdamai. Hm, baik, baik, kau bukan orang jahat. Kurasa aku mulai menyukai hubunganmu dengan tuanku tersayang!

tiga: cermin.

Hm, hari yang cerah. Apalagi untuk jalan-jalan begini. Anjing memang suka jalan-jalan, kan? Bersama majikan, tentunya.

—Dan majikanku tambah satu kali ini.

Yeah, aku harus mulai menerima kenyataan sekarang; kalau tiap kali jalan-jalan santai akan ada satu tambahan anggota. Ya namanya orang punya kekasih, mau bagaimana lagi?

Uhm, masih untung juga Kiba-sama mengajakku juga, ya? Awas saja kalau aku ditinggal lagi diam-diam (—apalagi dalam keadaan lapar!), kugigit lagi barang pemberian Ino padanya. Hm, tahu tidak? Barang di kamarnya sekarang tambah banyak. Bukan barang besar, sih. Paling-paling pakaian santai yang baru, atau setangkai bunga manis di dalam pot. Mengerti, 'kan? Aku tidak perlu menerangkannya, kurasa.

Kiba-sama sudah menyeret langkahnya keliling seperempat Konoha. Hei, tuan, mau kemana lagi kita? Aku lapar! Kurasa kalian harus singgah ke kedai secepatnya. Masa orang kencan tidak lapar, sih? Aku yang cuma jadi obat nyamuk dan ikut kalian keliling-keliling saja lapar, nih.

Uh, oh, kalian akhirnya berhenti.

Tapi bukan ke kedai.

... Toko pakaian?!

Kiba-sama, kalau kalian lama-lama di sini, jamin saja—akan ada baju pajangan yang kugerogoti nanti. Memang itu tidak akan membayar rasa laparku, tapi kurasa itu cukup ampuh untuk memperingatkan kalian bahwa dunia bukan cuma milik kalian berdua dan kau juga punya peliharaan yang harus kau beri makan, Kiba-sama!

Aku menunggu di dekat pintu depan saja sementara kalian masuk lebih jauh ke dalam. Mata si pramuniaga sudah mulai terarah padaku; mungkin dia akan memberikan teguran bahwa ini area bebas binatang.

Aku tidak mau peduli, ah.

"Bagus tidak?" Ino mengambil dua yukata dari pajangan paling sudut. Aku mulai tertarik untuk memperhatikan suasana kencan mereka.

Mata Kiba-sama bergulir memilih, antara yukata hijau dengan motif bunga besar putih dan yukata biru langit aksen garis-garis. Dia mengelus dagu.

Ino masih menunggu jawaban, dan dia menuju ke cermin di dekat tempatku bersantai menunggu. Dia meletakkan dua yukata itu bergantian di depan tubuhnya.

"Ini lebih bagus, sih," Kiba-sama menunjuk ke yang hijau. "Kau mau memakainya di festival musim panas nanti?"

Ino berpikir sebentar. Lantas, kepalanya berayun keatas-bawah dengan cepat. "Boleh juga. Hm, kupilih-pilih dulu, ya? Kau yang bayarkan, 'kaaaan?" Ino mengedip jahil.

"Heh, asal kau yang bayar makan setelah ini," Kiba-sama membalasnya, menjulurkan lidah mengejek.

"Laki-laki tidak boleh pelit!" balik Ino—ia menjauh lagi, sepertinya lanjut ingin pilih-pilih baju.

Dan kau mengakhiri perdebatan singkat itu dengan mengacak rambutnya. Ino tampak tidak terlalu peduli bahwa apa yang Kiba-sama lakukan tadi membuat tatanan rambutnya yang disatukan pada bentuk ekor kuda jadi sedikit berantakan.

Aku beralih perhatian ke cermin. Teringat waktu dulu pertama kali aku bertemu benda ini: mengira bahwa bayanganku di sana adalah musuhku. Kucakar dia, tapi dia balik mencakarku. Dia selalu mengikutiku, aku gerak ke sini, dia ikut. Aku tiduran, dia ikut juga. Baru aku tahu fungsinya setelah melihat Hana-sama merapikan rambutnya di depan situ.

Hm, anjing putih yang bersih. Telinga besar dengan garis kecokelatan membujur. Duduk manis menunggu tuannya. Aku anjing yang tampan dan penurut, 'kan?

—Jangan kau kira anjing tidak bisa memuji dirinya sendiri.

Kulihat terus ke cermin. Kali ini Ino datang lagi dengan pakaian baru.

Ah, tidak terlihat seperti yukata. Lebih berat dan tebal, menurutku. Putih gading, dengan motif sakura samar yang tidak tercetak nyata sebagai motifnya.

... Seperti pakaian wanita pada upacara pernikahan?

Oh.

Otakku mulai memikirkan hal-hal lain. Upacara pernikahan.

Kiba-sama dan Ino.

Wow.

Itu memang hitungannya masih lama. Mereka baru mulai pacaran dan setahuku Kiba-sama bukanlah orang yang suka terburu-buru. Ia akan menikmati semuanya dengan santai meski ia orangnya cukup berisik.

Sekitar beberapa tahun lagi, mungkin?

Mereka menikah. Oh, wow. Wow. Mereka pasti sudah sangat dewasa dan aku mulai tua—untuk hitungan usia anjing, pastinya. Walaupun untuk anjing ninja, waktunya akan lebih lama dari anjing biasa. Tapi ya tetap saja, kami punya batas tertentu.

Aku seperti melihat bayanganku dimasa tua lewat cermin itu. Aku akan terlihat ringkih dan tidak bisa lagi ikut lebih banyak misi bersama Kiba-sama. Aku akan banyak menghabiskan waktuku di rumah.

Sementara Kiba-sama? Dia akan menikah dan memulai hidup barunya bersama Ino. Punya keluarga sendiri untuk diurusi dan ditanggung. Aku? Aku bertekad hanya akan menghabiskan hidupku untuk mengabdi pada Kiba-sama.

Terdengar menyeramkan. Aku jadi tidak ingin menatap cermin itu lagi.

"Kkung..." tanpa sadar aku bersuara. Kalau aku takut begini, pasti aku akan mengeluarkan suara macam begitu.

"Kau kenapa, Akamaru?" Ino yang lebih dahulu menyadari. Dia memegang sebuah yukata sebelumnya, yang hijau. Mungkin dia memang berniat beli yang itu. "Kiba-kun, dia lapar ya? Kelihatannya lemas begini?"

Ino membungkuk mengelus punggungku, Kiba-sama mendekat.

"Sudah yuk, aku beli yang ini saja. Cari makan untuk kita dan Akamaru, kasihan dia lapar, tuh," Ino berdiri.

"Aku yang bayarkan," Kiba-sama meminta yukata itu dari tangan Ino.

"Ahahaha, oke, terima kasih! Baiklah, aku yang akan bayar makan siang. Makan siang untukmu juga, Akamaru!" dia berseru senang.

"Wooof!" ohooo, makan siang! Akhirnya!

Kau baik dan pengertian juga, Ino. Ah, kau cantik lagi.

—Hei, hei, tenang saja; ini bukan pujian yang terjadi karena dia akan memberiku makanan disaat aku kelaparan begini. Benar, kok—aku memujinya sungguhan. Dia cantik dan memang cocok dengan tuanku yang tampan! Hohoho~

"Woof, wooffff!"

Aku menunjukkan kesenanganku dengan menyalak 'manis' pada Ino yang kemudian dengan gemas mencubit bulu-bulu di pipiku. Dia mengerti sekali aku sedang antusias dengan makan siang, sepertinya ya?

Masa depan yang di cermin, nanti saja ya beri kejutan padaku! Aku sedang senang menatap masa sekarangku bersama Kiba-sama—dan seorang gadis manis yang sedang memainkan telingaku di depan cermin ini, Ino!

.

.

.

| t b c |

.


A/N: halo semua~ /:D/ KibaIno pertamaku, nih~ satu pairing Ino lainnya yang aku suka selain SaIno~~

Dan—yeah, ini birthday fic spesial buat Suu~ XD happy birthday ya Suu, semoga selalu diberkahi dan dikasih yang baik-baik oleh Tuhan, aamiiin~ :3 hehehe, sebenarnya sama Suu ini baruuuu banget yah kenalnya—tapi udah bisa jadi temen heboh bareng fufufufu, seneng deh punya temen baru kayak Suu X3

like I said in the first, ini twoshot, minna~ total prompt yang dipake ada 6, pas kugabung jadi satu, rasanya kepanjangan banget, 6ribuan kata rasanya tuh, jadi mending dipecah aja jadi twoshot. ide dasarnya dari Suu, dan prompt2nya itu aku yang ngembangin, jadi ini bisa disebut fic collab juga, hehehe~

feedback, minna-sama? :3