NARUTO milik Masashi Kishimoto, saya tidak mengambil keuntungan apapun dalam penulisan fanfiksi ini | AU | OCs | OoC? | masih berhubungan dengan fanfic Hikimawasu, Pertemuan Takdir, Setsunai Koi Monogatari (+ Koi Monogatari), Daijoubu?, Hitorimono, Hana, Pengharapan Semu, Permainan Nasib (urut secara timeline) | tidak bertema baik, segala keburukan bukan untuk ditiru |
.
.
.
LOT
.
.
.
"Urgen. Urgen. Dari tempat kejadian melapor ke kantor pusat—"
Helikopter AgustaWestland AW101 dari Departemen Kepolisian Metropolitan Tokyo mengudara stabil di atas sebuah gedung bertingkat area akademi. Gemerisik radio dua arah beradu dengan kebisingan dari baling-baling helikopter serta dengung sirene dari sejumlah mobil Mazda RX-8 yang menjadi kendaraan para officer. Satu per satu aparat polisi berseragam biru tua berlarian dari mobil dan bergerak sigap menyerbu gedung.
"Melaporkan kondisi terkini dari tempat kejadian perkara. Seorang tersangka yang diburu polisi masuk ke sebuah gedung di Asahi-cho, Fuchu-shi, Tokyo. Satu perwira polisi wanita dijadikan sandera saat berusaha meringkusnya di toko serba ada terdekat. Tiga orang saksi telah menjadi korban tikaman."
Untuk sementara Tayuya hanya bisa menurut ketika ia digelandang sang tersangka dengan satu lengan terpiting di belakang punggungnya. Rok sepan seragam korps polwan dan sepatunya yang bertumit tinggi cukup membuatnya kewalahan untuk berjalan cepat mengikuti dorongan sang tersangka pada pundaknya. Napasnya semakin putus-putus lantaran dipaksa mendaki anak tangga melingkar di sisi belakang gedung.
"Tersangka bertindak seorang diri, berusia sekitar 30 tahun, laki-laki. Tersangka menggenggam sebilah pisau yang tampak seperti pisau survival, memakai kemeja hitam, celana hitam, topi hitam, dan sarung tangan. Tersangka menuntut agar didatangkan seorang perwira senior untuk menggantikan sandera."
Merasa telah terkepung akibat sirene yang terus mendengung, sang tersangka yang tengah gugup justru membawa Tayuya menuruni tangga yang menuju bagian depan gedung. Dinding kacanya yang bening memungkinkan Tayuya untuk sejenak mengamati keadaan di pelataran gedung yang sudah dipenuhi mobil-mobil patroli beserta para petugas yang bersiaga. Pun ia dapat menemukan Sasuke di antaranya.
"Lepaskan dia!"
Komando dari salah seorang polisi malah menjadikan sang tersangka geram. Pisau yang digenggamnya menyapa leher Tayuya, nyaris menggores kulit mulus sang polwan yang tanpa cela. Tak lama langkahnya terhalang di tengah tangga ketika pasukan polisi mengepung di anak tangga teratas sekaligus di bawah.
"Gunakan akal sehatmu! Jangan bertindak konyol!"
"Jangan mendekat!"
Sang tersangka bukannya patuh, malah muak mendengar anjuran polisi lainnya. Tayuya kian kehilangan celah untuk membebaskan diri. Terengah-engah, ia dapat merasakan dinginnya permukaan pisau yang menyentuh kulit lehernya. Rambut merah jambunya yang semula tergelung rapi kini sedikit terurai dan terlihat agak basah karena peluh. Sasuke menatap tajam ke arahnya namun tidak berpindah dari posisi.
"Bebaskan sandera secepatnya! Jangan menambah catatan kejahatanmu!"
Jeda cukup lama tanpa pergerakan berarti, sang tersangka memandang waswas ke kiri dan kanannya di mana sekumpulan officer itu tampil ragu-ragu untuk mendekat. Sekarang Tayuya yang dibuat gemas.
"Dame dame!" sergahnya gusar seraya merebut pisau-kelangsungan-hidup dari tangan sang tersangka.
Mendengar suara kerasnya, sekelompok polisi itu berduyun-duyun untuk berkumpul di lantai bawah dan membentuk formasi barisan, tidak ketinggalan pria tinggi yang semula berperan sebagai tersangka. Ia lantas melangkah angkuh menuruni tiap anak tangga hingga tempatnya berdiri merapat dengan mereka.
"Kalau hanya dengan mengatakan 'angkat tanganmu' atau 'serahkan dirimu' sudah bisa membuat kriminalis menyerah pasrah, siapa yang butuh polisi!" hardiknya tegas hingga suaranya menggema.
Masih dengan air muka yang terkesan dingin, ia merapikan poni miringnya yang hampir menutupi mata.
"Jika insiden ini betul-betul terjadi, aku pasti sudah tewas terbunuh!"
"Maafkan kami!" Banjaran akademisi calon polisi pria itu serempak membungkuk hormat ke arahnya.
"Kebanyakan pengepungan dalam insiden semacam ini tidak sempat direncanakan sehingga dijalankan secara impulsif. Jadi untuk membujuk kriminalis yang tuntutannya tidak memungkinkan untuk dipenuhi, dengan mempertimbangkan bagaimana gentingnya kejahatan mereka akan dapat membahayakan para sandera, teknik negosiasi intelektual dan rasional sebaiknya dikuasai. Berikan pengertian kepada mereka bahwa melukai sandera hanya akan memperberat hukuman atas kejahatan yang telah mereka lakukan."
"Interupsi!"
Perhatian para pelaku simulasi seketika beralih kepada Sasuke. Pria tegap berambut gelap yang berbalut celana biru tua dan kemeja lengan panjang warna biru muda—salah satu setelan resmi sang instruktur. Pendamping utama dari barisan calon akademisi yang selama enam bulan ke depan akan dibimbingnya.
"Silakan, Uchiha Kyoukan." Tayuya mempersilakan dengan suara lantang.
"Hokumon Buchou sudah menerapkan teknik itu beberapa saat yang lalu dan terbukti tidak berhasil, bahkan Buchou sendiri yang menghentikannya. Bagaimana bisa Buchou menetapkannya sebagai teknik yang sepatutnya dikuasai oleh para calon polisi kita. Menurut pengalaman saya, tidak dibutuhkan teknik khusus ketika terlibat dalam insiden yang sebenarnya."
Terdengar desisan bisik-bisik yang mengisi kesenyapan sebelumnya, terlebih dari deretan peleton calon akademisi. Mereka yang belum pernah terjun langsung ke tempat kejadian perkara masih meraba-raba untuk membandingkan teori Hokumon Tayuya sang Kepala Departemen Penerimaan Akademisi Baru dengan milik Uchiha Sasuke yang merupakan salah satu kyoukan—instruktur di akademi kepolisian ini.
Tayuya masih tergeming dengan mulut terkatup rapat. Jika dibandingkan dengan dirinya yang sepanjang kariernya lebih banyak duduk di kantor divisi sidik jari atau menjadi instruktur di Akademi Kepolisian Nasional, Sasuke yang seorang mantan Detektif Inspektur memang lebih sering terjun ke lapangan. Ia mengakui pengalaman Sasuke dalam hal ini melebihi ilmunya, tetapi dengan menyanggah teorinya di hadapan banyak pasang mata membuat dirinya merasa dipermalukan oleh suaminya yang pongah itu.
"Kriminalis yang membangun pertahanan dan merintangi upaya polisi untuk membekuknya biasanya merasa bingung berada di tengah hiruk-pikuk." Sasuke menambahkan segenap tanggapannya, belum cukup hanya dengan menentang teori sang istri tercinta.
"Dia akan berpandangan bahwa semua orang yang ada di sekitarnya adalah musuh dan mereka ada di sana untuk menangkapnya, sehingga dari sinilah dia dapat melakukan penyerangan atau penawanan terhadap aparatur maupun sipil untuk dijadikan sandera. Salah satu cara untuk membuka hati mereka adalah dengan berkata apa adanya—jika tuntutannya memang tidak dapat dipenuhi, maka ungkapkan kenyataannya. Setelah itu silakan bernegosiasi dengan waspada tanpa perlu menghakimi dosanya."
Tepuk tangan membahana riuh setelahnya. Tayuya mendesis jengkel sembari menggigit bibir dalamnya. Saat mayoritas orang di sana menganggap Sasuke keren dan memberikan tatapan penuh kekaguman, lebih-lebih para calon polisi wanita, hatinya justru meraung ingin membalas pria minim ekspresi itu. Agaknya ia dapat mencium alasan Sasuke begitu memojokkannya selain bentuk profesionalisme dari seorang instruktur yang berkewajiban menyalurkan ilmunya kepada para akademisi gemblengannya.
"Ini bukanlah permainan! Ini adalah pelatihan formal!" Perkataan keras Tayuya sontak menghentikan tepukan, mengembalikan keheningan dalam sekejap, "Terima kasih Uchiha Kyoukan atas ilmu barunya."
Tayuya setengah hati mengatakannya. Akademi kepolisian mungkin mampu menempanya dari sesosok berandal bermulut kotor menjadi pribadi yang lebih pantas untuk disukai. Kendati demikian, ia kesulitan menghilangkan wataknya yang tidak mau kalah apalagi dari seorang laki-laki. Ia pun acap kali ingin selalu ditinggikan, menunjukkan betapa melangit arogansinya. Bahkan ia berharap dipandang layaknya laki-laki juga, dari sisi stamina atau kekuatan fisik. Dan Uchiha Sasuke dengan entengnya meremukkan citranya.
Dengan rupa garang ia mengalihkan atensinya kepada barisan peleton yang masih mengenakan setelan jas di masa pengenalan ini. Wajah-wajah baru yang terlihat penuh semangat, berbeda dengan dirinya dulu yang datang ke sini dengan terpaksa. Jika mengingatnya, terkadang ia tidak percaya dapat bertahan hingga saat ini, apalagi sampai menikmati profesinya kini.
"Simulasi ini adalah puncak dari kegiatan orientasi untuk para akademisi baru. Persiapkan diri kalian untuk pelatihan yang sesungguhnya. Silakan bubar dan pergilah ke gimnasium sekarang juga!"
"HAI!"
Para calon polisi muda itu berbondong-bondong menuju lapangan olahraga indoor begitu membubarkan diri. Selain pembagian seragam, akan ada pembekalan tambahan sebelum mereka menjalani pelatihan.
Mereka belum tentu dapat bertahan sampai upacara penerimaan yang nantinya dihadiri oleh Inspektur Jenderal dari Tokyo Metropolitan Police Department. Beberapa calon akademisi terkadang menyerah di tengah karantina lantaran tidak betah dengan kehidupan asrama yang tanpa ponsel serta serangkaian hiburan lainnya. Belum lagi porsi latihan-latihan pembinaan fisik yang dinilai berat, di antaranya lari keliling lapangan setiap harinya, padahal itu semua bertujuan meningkatkan ketahanan tubuh mereka. Selain mengundurkan diri, calon akademisi tidak mustahil dikeluarkan secara paksa oleh para kyoukan.
Di awal, Tayuya pun merasa terkekang, apalagi Sasuke yang saat itu memiliki seorang kekasih. Sasuke rela menjadi pembangkang yang menyusup keluar pagar untuk mendatangi telepon publik terdekat. Fasilitas komunikasi umum yang disediakan di akademi hanya boleh digunakan untuk menghubungi orang-orang yang masih memiliki ikatan kerabat, terlebih orang tua. Sayang sekali perjuangannya sia-sia, hubungannya dengan sang kekasih merenggang hingga menyebabkan putus untuk kesekian kalinya.
Pesta pernikahan Hatake Kakashi, yang saat itu masih menjabat sebagai Inspektur Polisi Satu, kembali mempertemukan Sasuke dan Tayuya setelah dua tahun lulus dari akademi, menjalani bidang profesi masing-masing tanpa adanya komunikasi. Sasuke di divisi investigasi, sementara Tayuya sidik jari. Tapi Sasuke dan Tayuya memang bukan teman dekat ketika masih menjadi akademisi. Mereka terbagi dalam kyoujou yang berbeda, pun kelas antara calon polisi pria dan wanita dipisahkan, terutama asramanya.
Alergi alkohol menimpa Sasuke berkat kecerobohan Tayuya di resepsi Kakashi dan Shizune, membuat laki-laki yang kala itu berusia 22 tahun tersebut diharuskan opname beberapa hari. Hingga keduanya kembali bersua dalam goukon yang terpaksa mereka hadiri atas desakan kawan-kawan mereka. Acara yang semestinya menjadi klub kencan buta itu entah mengapa hanya menyisakan mereka berdua gara-gara absennya peserta lain. Lalu hidangan jamur misterius yang menyebabkan Sasuke teler lah yang mampu menyatukan mereka berdua. Bersatu dalam artian terhubungnya raga mereka menghadirkan nyawa lain yang kemudian mengumpulkan keduanya dalam satu ikatan yang lebih sah di mata hukum.
Mulanya Tayuya ingin menjadi orang tua tunggal yang bermaksud untuk tidak memberitahukan perihal kehamilannya kepada Sasuke, bahkan ke orang tuanya. Haruskah berterimakasih kepada Shizune yang membeberkan segalanya kepada Sasuke. Yang kemudian bersama sang suami Kakashi bertindak sebagai makcomblang dalam omiai yang melibatkan orang tua dari kedua belah pihak, hingga Tayuya mati kutu.
Sasuke dan Tayuya menjadi orang tua di usia 23 tahun. Namun karena pertimbangan ini dan itu, Tayuya meminta Sasuke untuk menceraikannya. Saat putra mereka berusia tiga tahunan, Sasuke kembali pada kekasih lamanya, Uzumaki Karin, dan mengukuhkan hubungan dalam pernikahan. Lebih kurang tujuh tahun Sasuke hidup di bawah atap yang sama dengan Karin. Apartemen mereka terasa sepi jika hanya diisi oleh dua kepala, ditambah kesibukan masing-masing; Sasuke selaku detektif yang jarang berada di rumah dan Karin yang berprofesi dokter spesialis penyakit dalam. Hanya sesekali putra Sasuke dengan Tayuya datang untuk menginap. Sampai keajaiban itu datang di tengah kegersangan rumah tangga Sasuke dan Karin; bayi laki-laki yang lahir di hari yang sama dengan kepergian Karin untuk selamanya.
Usia sang putra kedua hampir dua tahun ketika Tayuya bersedia menerima Sasuke kembali, sekitar dua tahun lalu. Mereka dipersatukan lagi sebagai keluarga meskipun Tayuya terlalu malas untuk mengganti marganya. Di pernikahan pertama karena ia tahu hanya untuk sementara, sedangkan yang sekarang ia terlanjur dikenal sebagai Hokumon Tayuya, enggan memperkenalkan diri ulang sebagai seorang Uchiha.
.
.
.
Tayuya menggulung lengan panjang kemeja putihnya hingga ke siku. Dasi biru tuanya pun tak luput ia kendurkan sedikit. Rasanya gerah sekali walaupun setelannya hanya berbalut veste tanpa blazer. Ia butuh mandi, tidak cukup jika hanya menggantinya dengan seragam bersih.
Melangkah lebar ke ruangannya, ia berlagak tidak menyadari adanya sosok yang mengekor padanya. Memasuki kantornya dengan tenang, ia membiarkan pria itu mengikutinya. Ia masih tak menghiraukan kehadiran orang lain di ruangannya manakala ia membuka loker pribadinya.
"Periksakan dirimu ke klinik."
"Aku yang lebih mengerti kondisi tubuhku."
Tayuya mengambil handuk kecil untuk menyeka keringat di wajah dan lehernya. Menghindari tatapan galak yang diarahkan padanya, ia menduduki kursi hitamnya yang bersandaran tinggi untuk mengaso.
"Kau sangat tahu kalau ini adalah momen yang paling ku tunggu sejak Senju Kouchou mengangkatku sebagai buchou, yang hanya datang setiap satu semester—enam bulan sekali saja. Jadi aku tidak mau peranku digantikan oleh orang lain, dan—oh ya, terima kasih sekali lagi," ujar Tayuya sarkastis di akhir.
Sasuke mendengus, Tayuya memang kepala batu. Kalau Tayuya tidak sedang mengandung anak kedua mereka, ia tidak akan mempermasalahkan meskipun wanita ini berlari 100 putaran di lapangan outdoor yang setara 40 kilometer, seperti yang ia terapkan kepada trainee bimbingannya setiap paginya selama empat tahun ia menjabat sebagai kyoukan. Sebagai instruktur akademi, ia tidak lebih senior dari Tayuya.
"Tayu—"
"Aku malas ke klinik akademi, nanti saja aku menemui Shizu-nee." Tayuya mengembalikan gesture tegaknya disertai tatapan serius, "Anda bisa pergi jika tidak ada yang perlu dibicarakan, Kyoukan."
Tayuya memang senang menguji kesabarannya, "Maaf telah mengganggu waktu Anda, Buchou."
Dengan itu Sasuke lekas meninggalkan ruangan Tayuya setelah merendahkan kepalanya singkat.
.
.
.
Malam ini lantai kayu dojo tampak mengilap tanpa tatami. Dua pemuda berpakaian biru tua berdiri berhadapan di tengah aula. Dengan siaga saling menatap mata lawan di balik penutup wajah yang berjeruji. Masing-masing dari mereka menggenggam sebatang shinai dengan dua tangan, sama-sama mengacungkannya ke arah lawan.
"Hajime!"
Pertarungan pun dimulai, serempak dengan seruan Sasuke yang berdiri di muka aula. Serangan mulai dilancarkan dan terus berbalas diiringi teriakan yang bersahutan. Sosok yang terlihat tambun mengincar strike di bagian kepala lawannya. Pertama mencoba masih dapat ditangkis dan dibalas serangan sang lawan. Pedang bambu terus beradu, menciptakan suara tak-tok yang menimpali teriakan keras mereka yang penuh gairah muda.
Berbeda dengan deretan pemuda yang duduk bersimpuh dengan punggung tegak di pinggiran aula, Sasuke hanya memakai kendogi dan hakama biru tuanya yang tanpa bogu—yang terdiri dari pelindung kepala hingga bagian vital di badannya. Sementara para akademisi yang belum mendapatkan giliran, mengenakan seragam kendo biru tua yang lengkap namun tanpa men—helm yang akan melindungi kepala selama pertarungan.
"Men!" Sasuke kembali berseru, "Ukon mundur, Sakon maju."
Pemuda yang terjatuh di lantai segera bangkit sembari mengelus pucuk kepalanya setelah membuka helmnya. Batok kepalanya baru saja menjadi korban pukulan, dan ternyata tenaga lawannya tidak ditahan sama sekali hingga membuatnya limbung. Sosok pemenang di tengah aula kembali mengambil kuda-kuda, memandang remeh terhadap lawan barunya yang serupa dengan pemuda sebelumnya.
"Tsuki!" Sasuke segera menghampiri sepasang pemuda di tengah aula setelah melihat Sakon kesakitan akibat mendapatkan tusukan di bagian leher, "Dis untuk Jirobo."
Pemuda tambun berambut oranye itu mendesah berat di balik men yang dibukanya, lantas duduk di sisi akademisi lain. Disusul oleh Sakon yang dipersilakan oleh Sasuke, dengan tangan terus mengelus leher.
"Teknik tsuki memerlukan keahlian tinggi serta pengaturan sasaran tusukan yang tepat, dan saya tidak ingat sudah menyatakan persetujuan kepada kalian untuk menggunakannya. Sampai saya memberikan izin, teknik ini akan tetap terlarang!"
Matanya yang segelap malam mengedar ke sekeliling, menyatakan betapa ia tidak suka ditentang. Saat itulah pandangannya menangkap kelebat tubuh tinggi semampai Tayuya di celah pintu dojo yang sedikit terbuka. Lambaian ringan diarahkan kepadanya setelah Tayuya sadar keberadaannya sudah ditemukan.
"Kidomaru! Kimimaro!" Sasuke menyebut nama akademisi yang menggantikan pertarungan di tengah aula. Sebelum menghampiri Tayuya, ia menyerahkan pengawasan terhadap latihan ke asistennya, "Saya masih akan kembali, Juugo Jokyou."
Asisten kyoukan bertubuh tinggi besar dengan rambut jingganya itu mengangguk hormat. Sepeninggal Sasuke ke luar dojo, Juugo berfokus pada sepasang akademisi yang telah siap dengan kuda-kudanya.
"Ada apa, Buchou?"
"Aku sedang tidak profesional, Sasuke. Maaf mengganggumu."
Sasuke mengernyit heran. Yang sudah-sudah Tayuya cukup meninggalkan pesan singkat ke ponselnya jika ada urusan pribadi di tengah jam kerja. Tidak biasanya pula Tayuya diam-diam mengintip latihannya di dalam dojo. Seharusnya juga sudah memasuki jam pulang Tayuya karena kegiatannya kali ini sekadar tambahan. Dikhususkan untuk para akademisi lama yang belum memenuhi syarat untuk diluluskan, atau sengaja tinggal lebih lama untuk semakin memantapkan diri. Terkadang pun ada calon polisi yang lebih memilih menambah porsi latihan selama akademisi lain memanfaatkan liburan di rumah masing-masing.
"Aku jadi rindu shinai-ku."
Sesaat Tayuya terlupa tujuan utamanya menemui Sasuke. Ia teringat bagaimana dirinya semasa SMA sangat jarang meninggalkan pedang bambunya. Menggunakannya untuk melawan para berandal yang memancing keributan dengannya. Ia adalah yankee yang tergolong sulit dikalahkan dulu. Tawanya nyaris pecah karena terbayang kembali bagaimana Kakashi, polisi yang sedang patroli kala itu, menjewer daun telinganya di tengah tawuran. Membuat geng berandal yang menjadi lawannya seketika tergeming.
Kalau tidak ada Nara Shikamaru, ketua kelasnya di SMA, yang bersedia menjamin kebebasannya, ia pasti sudah digelandang ke pos polisi terdekat untuk ditahan sampai orang tuanya datang sebagai penjamin. Lantaran dirinya juga, laki-laki yang cenderung menghindari konflik itu sempat terjun ke dunia berandal seperti dirinya. Shikamaru berhasil melindunginya yang saat itu terancam drop out menjelang kelulusan.
Pemalas genius itu pula yang memprovokasi ayahnya untuk membakar semua pedang bambunya. Tidak sampai di sana, karena Shikamaru juga yang membuat orang tuanya menggelandangnya secara paksa ke akademi ini. Secara tidak langsung Shikamaru yang telah berjasa mempertemukannya dengan Sasuke.
"Kalau kau masih ingin menonton sambil berdiri, ganti dulu sepatumu." Sasuke dengan cepat mengikuti alur Tayuya, "Aku tidak mau lagi mendengarmu mengeluh pegal lantas memintaku memijit kakimu."
"Haknya tidak runcing."
"Tetap saja itu tinggi."
Tayuya belum lama mendapati Sasuke yang seperti ini, yang menunjukkan perhatian padanya secara terang-terangan. Lebih tepatnya semenjak kembali menjadi sepasang suami istri, puncaknya setelah ia mengumumkan kehamilannya yang kala itu menginjak usia dua bulan. Di kehamilan pertama, ia dan Sasuke masih sama-sama muda, di saat saling beradu ego, pun belum terlalu mengenal dengan baik. Di samping senang, diperlakukan Sasuke dengan demikian manis membuatnya deg-degan sekaligus resah.
Apa Sasuke juga memperlakukan Karin dengan sama?
Sasuke dan Karin tujuh tahunan mengarungi bahtera rumah tangga. Sedangkan ia baru merasa benar-benar menikah dengan Sasuke sepanjang dua tahun ini. Belum lagi waktu yang dilewati Sasuke sebagai kekasih Karin, sejak keduanya masih remaja dan menjadi murid di sekolah yang sama. Semakin ia getol menghitung-hitungnya, semakin ia merasa tertinggal. Sampai kapanpun ia tidak akan sebanding dengan Karin, cinta pertama bagi Sasuke. Bahkan setelah Karin tiada pun ia masih saja merasakan kecemburuan.
"Sebenarnya aku ingin bertanya—apa kau masih lama?"
"Kira-kira satu jam lagi."
"Aku duluan saja kalau begitu." Tayuya mengutarakan maksudnya yang lain, yang sesungguhnya justru menjadi alasan pokoknya meminta waktu sang suami di tengah kesibukan, "Tapi aku akan ke Chiyoda dulu sebelum pulang, sudah janji pada Shizu-nee."
"Hm."
Bagi Tayuya, gumaman Sasuke dapat ditafsirkan sebagai ungkapan yang memintanya untuk berhati-hati.
"Sampai jumpa di rumah." Tayuya berbisik lirih dan mencuri kecupan singkat di bibir Sasuke sebelum ada yang memergokinya. Tanpa menunggu respons Sasuke, ia melangkah cepat ke kantornya untuk mengganti seragamnya dengan setelannya tadi pagi.
.
.
.
Tayuya mematut dirinya di cermin tinggi loker. Menyisir rambut panjangnya pelan-pelan dengan pikiran melanglang buana, lalu mengikatnya menjadi kunciran rendah di tengkuk. Seragamnya telah berganti dengan kemeja krem lengan panjang yang ia masukkan ke celana panjang ramping yang sewarna iris matanya; cokelat. Namun ia tak kunjung meninggalkan akademi meskipun telah berpamitan kepada Sasuke lebih dari setengah jam lalu.
Setiap Sasuke mengambil jam tambahan, entah bagaimana ia kerap merasa tidak tenteram. Untuk itu ia menunggu lebih lama dan berniat kembali ke tempat latihan Sasuke lebih kurang setengah jam lagi. Ia ingin memastikan apakah hal yang pernah terjadi masih akan terulang kali ini. Duduk di kursi kerjanya, ia melewatkan tiga puluhan menit hanya dengan melamun. Setelah merasa sudah saatnya, ia melangkah dengan harap-harap cemas ke dojo.
"Kalian sudah berlatih keras."
"Saara Sensei memang yang terbaik~!"
"Hanya snack, kok. Karena soda dan alkohol dilarang, aku tidak membawakan minuman apapun untuk kalian. Bersantai dan bersenang-senanglah malam ini."
"Arigatou, Sensei~!"
Perempuan langsing berjas putih itu memang senang memanjakan para akademisi, terutama yang masih berlatih hingga petang. Sesekali Saara akan membawakan sekeranjang makanan ringan seusai latihan dan selalu tersenyum ramah, seperti saat ini. Dokter baru di klinik akademi, menawan dan masih muda.
Rambut panjang Saara yang berwarna merah selalu mengingatkannya pada Karin. Ia khawatir Sasuke akan beranggapan sama seperti dirinya. Apalagi Saara juga seorang dokter seperti Karin. Kira-kira apa yang dirasakan Sasuke ketika melihat Saara yang berambut merah mengenakan jas putih layaknya Karin.
Merupakan penyebab kegelisahannya akhir-akhir ini.
Ia menggigit bibirnya kuat-kuat saat Sasuke mendapatkan uluran sebungkus jajanan. Sasuke semestinya tidak menyukai kudapan manis, namun bungkusan itu tetap diterima dengan baik. Melihat keduanya berdiri bersama dan saling berhadapan seperti itu sanggup menggelitik kecemburuannya. Anehnya, pada saat yang sama ia mengakui keharmonisan mereka.
Saara yang manis akan sesuai jika menyandingi Sasuke, seharusnya memang bukan wanita keras seperti dirinya. Mereka dapat menjadi partner yang hebat, antara kyoukan yang dikagumi banyak akademisi dan sang dokter yang sangat dicintai. Namun tetap saja hatinya masih mengotot untuk tak lagi melepas genggamannya pada tangan Sasuke. Dilema melandanya.
.
.
.
"Lihat, dia masih sangat mungil, tapi dia betul-betul sehat, Tayu—detak jantungnya keras sekali."
Hatake Shizune mengakhiri perhatiannya pada layar USG karena Tayuya tak kunjung membalas. Helaan napasnya sebagai reaksi atas sikap Tayuya yang tak biasa. Istri Uchiha Sasuke itu tampak termenung dengan pandangan lurus ke langit-langit. Bahkan pergerakannya belum membuyarkan lamunan Tayuya.
"Kau sedang banyak pikiran?"
Tayuya sedikit terperanjat merasakan tepukan ringan di lengannya. "Sudah selesai?" tanyanya bingung.
Shizune tersenyum maklum dan menunjuk kembali ke layar agar Tayuya tahu apa yang sebelumnya ia katakan. Agaknya pertanyaannya—yang tidak ditangkap Tayuya itu—tidak memerlukan jawaban lagi.
Usai Shizune mendapatkan hasil cetak USG, Tayuya membetulkan celananya di bawah selimut tipis yang menutupinya sebatas paha. Memasukkan kemejanya kembali sebelum mengaitkan kancing celananya.
Baru sepuluh minggu, dan perutnya mulai menunjukkan perubahan. Padahal di kehamilan pertamanya dulu belum kelihatan menonjol di usia lima bulan sekalipun. Atau mungkin karena perutnya yang tanpa lemak, yang membuat kandungannya cepat menyembul.
Ia tidak serta-merta bangun setelahnya, mendudukkan dirinya pelan-pelan. Terkadang ia masih mudah pening jika memaksa lekas duduk dari posisi berbaringnya. Ditambah mual-mual yang hampir sepanjang waktu, tetapi ia mampu menyamarkannya dengan baik.
"Tadi Sasuke menghubungiku untuk memastikan apakah kau benar-benar datang menemuiku."
"Dia tidak percaya padaku, ya."
"Yang benar dia mengkhawatirkan kalian."
"Iyakah?" gumam Tayuya lebih ke dirinya sendiri.
"Setelah sejauh ini kau masih meragukannya?"
"Dari awal aku memang tidak bisa percaya sepenuhnya."
Tidak ingin memperburuk suasana hati Tayuya, Shizune bermaksud beralih topik tanpa menyinggung tentang Sasuke, sayangnya ia belum juga menemukannya.
"Jika Sasuke menelepon sejak sejam yang lalu, berarti kau tidak langsung kemari setelah pulang kerja? Aku jadi sedikit berbohong—tadi ku bilang kau sudah di sini."
"Neesan harusnya jujur saja."
Tayuya memasang sepatu hak tingginya yang tumpul, namun belum kelihatan akan segera bangkit dari ranjang. Badan dan kakinya mulai terasa pegal, ia butuh tidur secepatnya. Dilihatnya arloji di tangan kirinya, hampir pukul sembilan malam, Sasuke pasti sudah tiba di rumah. Padahal semestinya ia yang sampai di rumah lebih dulu. Ia jadi kehilangan nyali untuk sekadar merogoh ponsel dari dalam tasnya.
"Apa aku salah langkah, Neesan?"
"Apa yang kau sesali?" Shizune membawa kursinya untuk lebih dekat ke Tayuya. Ia bisa santai karena tidak ada lagi pasien yang lain. Untuk janjinya pada Tayuya lah ia masih di rumah sakit di jam pulangnya.
"Kalau saja aku bisa mengulur waktu lebih lama, pasti sekarang Sasuke dapat bersatu dengan pengganti Karin yang lebih tepat."
"Menunggumu selama dua tahun belum cukupkah untuk membuktikan kesungguhan Sasuke? Aku tidak percaya ada wanita lain."
Tayuya pun tidak tahu bagaimana perasaan Sasuke ketika melihat dokter berambut merah itu. Tetapi karenanya ia mengecap kembali rasa cemburu terhadap kenangan yang dimiliki Sasuke bersama Karin.
"Dia menikahiku lagi karena ingin menjalankan wasiat Karin, dia ingin istrinya pergi dengan tenang, dan juga demi putra tunggalnya bersama Karin. Dia bahkan menunggu lebih lama untuk bisa bersama Karin."
Ia takut kehilangan Sasuke jika ia menyerah pada kecemburuannya, namun di saat yang sama ia lebih takut jika kecemasannya terbukti. Ia ingin melindungi hatinya, tak mau terlalu jatuh cinta, agar apapun yang menjadi pilihan Sasuke tidak akan benar-benar menghancurkannya, tapi di waktu yang sama ia pun ingin semakin mencintai Sasuke hingga pria itu hanya melihatnya seorang tanpa ada celah untuk yang lain. Ia tak ingin melepas Sasuke untuk yang kedua kalinya, namun ada sisi dirinya yang bermaksud mengulang kebodohannya di masa lalu. Ia masih saja berpikir bahwa Sasuke tidak sungguh-sungguh menaruh rasa padanya, hingga tidak mustahil jika pria itu meninggalkannya demi perempuan lainnya.
"Kadang aku bertanya-tanya—apa aku baginya. Tapi mau bagaimanapun anggapannya tentangku, tidak dapat menyangkal kenyataan kalau aku hanya pengganti Karin. Dia dulu bahkan rela melepas kariernya yang gemilang di kepolisian hanya demi Karin, agar dia bisa meluangkan lebih banyak waktu untuk Karin. Jadi di mana tempatku, di sudut hatinya yang mana dia meletakkanku—atau malah tidak pernah ada?"
Detektif Inspektur, reserse senior Tokyo MPD, divisi investigasi satu. Bahkan gelar detektif baru Sasuke dapatkan setelah menyandang pangkat inspektur selama dua tahun. Senior Inspektur Polisi, satu atau dua langkah lagi untuk menjadi Superintenden. Namun Sasuke melepaskannya begitu saja demi Karin. Sasuke pun rela menjadi karyawan biasa, sampai Kakashi mengirimnya ke akademi sebagai instruktur.
"Aku jadi merasa gampangan, Neesan. Sepertinya memang lebih tepat jika saat itu aku tidak usah pikir panjang untuk menikah dengan Shikamaru setelah dia melamarku. Waktu itu Karin masih ada, dan jika tahu aku sudah bahagia bersama pria lain, dia tidak mungkin berpesan agar aku kembali pada Sasuke."
"Tapi kau tidak mencintai Shikamaru seperti kau mencintai Sasuke. Lagipula Sasuke kembali pada Karin karena menuruti harapanmu, Tayu. Kalau dulu kau bertahan, aku yakin kau akan jadi satu-satunya. Saat itulah kau sudah salah langkah, tapi kau tidak mendengar kami, kau hanya mau mendengar egomu."
"Dia bahkan tidak pernah sekalipun menyatakan suka, mana bisa aku egois dengan tidak melepasnya."
"Ku pikir dia bukan pria yang mudah mengungkapkan isi hatinya. Apa kau tidak bisa merasakannya dari tindakannya padamu?"
Mati rasa jika Tayuya tidak mampu merasakannya, namun ia takut saat itu hanya sangkaannya semata. Lantaran rasa sukanya yang terlalu besar, ia tidak mau menganggap Sasuke juga membalas perasaannya, jika sebenarnya tidak benar adanya. Terkadang ia juga butuh kepastian melalui kata-kata agar ia tidak mengira bahwa itu hanya ilusi—sesuatu yang menjadi angan-angannya, padahal sejatinya kepalsuan. Ia pun khawatir masih belum bisa membedakan antara cinta dengan sekadar perhatian yang berlandas tanggung jawab. Dan mengapa ia masih saja mencintai Sasuke setelah pria itu pernah bersama yang lain.
"Kau sungguh menyesal menerimanya kembali? Apa itu artinya kau juga menyesali kehadiran bayi kalian yang kini kau kandung? Ke mana perginya Tayuya yang girang dua minggu lalu."
Tayuya tersenyum hambar, "Kalau saja aku tidak buru-buru memberitahu Sasuke dan keluarga besar kami, mungkin aku bisa—"
Shizune menepuk pipi Tayuya dengan cukup keras, "Kau melantur—mood-mu sedang tidak keruan. Apa kau sudah sadar sekarang? Jika sudah, sebaiknya kau cepat pulang dan jangan mampir lagi, dari tadi isi tasmu bergetar terus."
Tayuya berterima kasih disertai bungkukan dalam sebelum meninggalkan ruangan Shizune. Karenanya Shizune mengulur kepulangan, jadi sudah sepatutnya ia tidak membuang waktu Shizune lebih lama.
"Sakit apa kau?"
Tayuya mengangkat kepalanya yang semula tertunduk sembari dipijitnya pelan sepanjang koridor dari ruangan Shizune. Suara berat dan terkesan malas-malasan itu sangat dikenalnya. Tetapi ia tidak yakin pertanyaan itu ditujukan kepadanya. Ia melihat ke kanan lalu ke kiri sebelum ia terlanjur malu dianggap besar kepala. Dan ternyata dirinya saja yang sedang menunggu lift.
"Aku bicara padamu, Nyonya Hokumon."
"Apa aku harus sakit setiap kali mendatangi rumah sakit?" Tayuya menggerutu sembari memasuki lift yang pintunya ditahan oleh Shikamaru untuknya. Jika Shikamaru sudah pulang berarti sekarang jam sembilan malam atau lebih, dan ia belum juga membuka ponselnya.
"Kau kan mantan preman yang sakit-sakitan."
Tayuya mendecak sebal. Rasanya ia ingin menjambak ikatan rambut bak nanas itu. Benar kata Shizune, mood-nya sedang tidak menentu. Padahal ia tahu itu hanya gurauan.
"Berandal tidak sama dengan preman, dasar—"
"Kali ini apa?" potong Shikamaru, "Kalau bisa cari julukan baru, selain—ketua kelas rambut nanas, rusa ceking bau pesing, nanas pemalas, ijuk busuk, tikus sialan bau sampah, cecurut tak berguna—"
Tayuya nyaris ternganga. Di samping jenius, ternyata pria ini punya ingatan kuat. Itu semua buah dari mulut berbisanya semasa remaja dulu, saat ia masih memberandal di SMA, dan Shikamaru teman sekelasnya.
"Aku dari Shizu-nee." Tayuya sedang malas berbasa-basi.
"Maksudmu, Shizune Sensei?"
"Hm." Tayuya yakin otak encer Shikamaru mampu mencerna dengan tangkas, "Sudah terlalu tua, ya? Anak sulungku saja mau 15 tahun, dan sekarang sudah satu SMA."
Meski demikian, ia belum dewasa sepenuhnya. Ia merasa sangat kekanakan, apalagi seharian ini. Ia malu pada usianya. Dan ia tidak bisa menjadikan moodswing akibat kehamilannya sebagai kambing hitam.
"Bagaimana denganmu?" Mendapati Shikamaru tidak merespons, membuat Tayuya kurang nyaman, "Ku kira akan segera mendapat undangan pernikahanmu setelah kau mengenalkan Nona Haruno waktu itu."
"Tidak harus buru-buru, kan."
Tayuya terkekeh pelan. Padahal ketika melamarnya di usianya yang sudah 33 tahun—saat pertama kali ia bertemu kembali dengan Shikamaru setelah kelulusan SMA, di rumah sakit ini, saat ia harus opname karena demam berdarah—Shikamaru mengajaknya lekas menikah, kalau bisa sebelum usianya 35 tahun.
"Dia masih muda," imbuh Shikamaru seakan mampu membaca pikiran Tayuya hanya dari kekehannya.
"Kau keburu jadi kakek-kakek, dan saat itu dia akan mencari daun muda." Tayuya mencebikkan bibirnya.
"Mendokusai." Shikamaru berdengus, "Terlalu merepotkan memikirkan masa depan yang belum pasti."
.
.
.
Shikamaru enggan membangunkan Tayuya yang tampak pulas di jok penumpang mobilnya. Berlagak tak mendengar getaran nyaris tanpa jeda yang berasal dari dalam tas Tayuya, ia malah memberhentikan mobilnya di rest area tol. Melanjutkan perjalanan pun ia belum tahu tempat tinggal Tayuya yang baru.
Ia menyandarkan punggungnya yang agak kaku, pandangannya sulit teralih dari wanita di sebelahnya. Tapak tangannya bergerak lambat-lambat menyingkap poni miring Tayuya agar ia dapat memandang wajah damainya dengan lebih jelas. Tayuya yang biasanya garang pun ternyata bisa terlihat semanis ini.
Telapak tangannya lekas berpindah ke mukanya sendiri dan mengusapnya dengan kasar tatkala muncul sepintas keinginan untuk mengecup bibir Tayuya. Bagaikan terjebak di tubuh remaja kasmaran, ia jadi kehilangan sikap tenangnya. Ditariknya napas dalam-dalam sembari memejamkan matanya rapat-rapat. Menunggui Tayuya yang sedang terlelap terbukti berefek buruk, sungguh menguji keteguhan batinnya.
.
.
.
Lewat tengah malam Tayuya berhasil tiba di rumahnya. Rupanya Sasuke belum tidur dan menyambut kepulangannya dengan muka masam. Ia tidak punya waktu untuk meladeni kekesalan Sasuke, badannya terasa tidak sehat. Ia butuh wastafel segera.
"Kencanmu menyenangkan?"
Sepertinya tidak perlu menjelaskan pada Sasuke bagaimana ia bisa menumpang di mobil Shikamaru. Ia sudah menyetop taksi dan hampir duduk ketika Shikamaru menawarkannya tumpangan. Jika biasanya ia pantang diperintah, tadi ia menurut begitu saja saat Shikamaru memintanya masuk ke mobil hitamnya.
Entah saking lelahnya atau cara menyetir Shikamaru yang terlampau santai, ia jadi keenakan tidur bak dibius total sebelum mengatakan alamat barunya. Begitu terbangun ia hampir terlonjak menemukan jarum jamnya nyaris membentuk garis vertikal.
"… Ya."
Berarti kecemasannya sia-sia. Percuma Sasuke tetap terjaga hanya untuk memastikan Tayuya baik-baik saja. Tidak satu pun pesan atau panggilannya direspons, dan nyatanya Tayuya sedang bersama pria lain.
Sasuke menulikan telinganya saat Tayuya muntah-muntah. Ia merebahkan tubuhnya dan mematikan penerangan di kamarnya, tidak memedulikan Tayuya yang masih berada di dalam kamar mandi. Ketika ia merasakan Tayuya bergabung di tempat tidur dengan membawa aroma gel pereda pegal, ia miring memberikan punggungnya untuk sang istri.
.
.
.
"Sekolah barumu lebih dekat kalau dijangkau dari apartemen. Apa kau ingin ditemani tinggal di sana, Zen?"
Ketika Sasuke memutuskan untuk membeli sebidang rumah berlantai dua di Chofu-shi ini, ia memang lebih mempertimbangkan jarak dengan Akademi Kepolisian Nasional dan sekolah lama putra mereka. Bagusnya rumah baru mereka juga cukup dekat dengan kediaman orang tua Tayuya. Tetapi setelah si sulung Zen mengawali masa SMA di Tokyo Metropolitan Hibiya High School yang ada di Nagato-cho, Chiyoda-ku, ternyata lebih mudah dicapai jika tinggal di apartemen mereka yang berdiri di pinggiran Chuo-ku.
Mungkin niat Tayuya terdengar mulia di telinga lugu sang putra. Tetapi bagi Sasuke yang masih terbawa kekesalan tadi malam, Tayuya justru tengah mengail pertengkaran dengannya. Ia menggigit roti isinya dengan geram, memaksa sarapannya untuk tetap masuk walaupun ia tengah kehilangan nafsu makan.
"Mama kerjanya jauh kalau dari apartemen, kecuali Mama kembali ke kepolisian bukan di akademi."
Sekali waktu Tayuya memang cukup berjalan kaki jika pergi dari apartemen pemberian Sasuke ke kantornya yang berada di Kagumigaseki, Chiyoda-ku. Sedangkan dari hunian barunya, tidak sampai setengah jam ia bisa sampai ke akademi yang ada di Asahi-cho, Fuchu-shi, dengan menggunakan transportasi umum.
"Tidak masalah, Zen."
"Yang penting juga dekat dengan tempat kerja ex-calon-Papa."
Sasuke bahkan terlihat tidak sudi untuk membalas tatapan nanar Tayuya selepas ia mengutarakan unek-uneknya. Tanpa diperjelas pun ia mengerti maksud Tayuya. Tinggal di apartemen hanya bersama Zen tidak ada bedanya dengan memintanya pisah ranjang. Jika teringat semalam, ia tidak heran jika Tayuya mengusulkannya. Rumah sakit tempat Shikamaru bekerja berada di Nagato-cho juga. Ditambah jadwal Tayuya bertemu Shizune yang memungkinkan bagi istrinya bersua juga dengan sang mantan tunangan.
"Aku jijik padamu, Uchiha Sasuke." Tayuya mendesis tajam. Jika mengingat bagaimana ia tidak hanya berbagi hati dengan wanita lain, adakalanya ia memang merasakannya.
Sasuke menunjukkan senyum miring yang janggal, "Bersyukurlah kau tidak akan melihatku lagi nanti."
Tayuya terbeliak. Dalam sekejap dadanya bergemuruh takut. Ia tak ingin mengakui betapa lemahnya hatinya, namun ia tidak mau jika Sasuke benar-benar meninggalkannya.
"Mulai hari ini ada pelatihan di gunung, dua hari satu malam. Anda lupa, Buchou?"
Penjernihan yang dilakukan Sasuke belum mampu untuk menenangkan Tayuya. Ia mendadak ketakutan dan teramat menyesal dengan ucapannya yang keji. Andai saja ia dapat menariknya kembali, ia harap Sasuke tak akan pernah mendengarnya. Tetapi sama halnya dengan waktu, ucapan mustahil ditelan lagi.
"Kalau kalian ingin ribut, cari tempat lain. Jangan mengganggu makanku, dan jangan merusak memori Kenshi."
Sasuke mini itu berucap dingin, namun tidak mampu menutupi kesedihannya melihat kedua orang tuanya beradu mulut untuk pertama kali di depannya. Selama ini ia hanya tahu kalau mereka baik-baik saja dan selalu tampil mesra. Buru-buru ia meninggalkan meja makan dengan menggendong adik laki-lakinya yang baru masuk TK. Setelah pamit seadanya, ia menyisakan keduanya yang saling bungkam.
.
.
.
"Walaupun sekarang masih musim semi, kalian sudah bersiap dengan kemungkinan terjadinya hujan?"
"HAI!"
Tayuya melakukan pemanasan kecil dengan peregangan badan sederhana selama para akademisi mulai berdatangan ke bus yang akan mengangkut mereka ke gunung. Dari yang membawa tiang bendera, sampai yang bergotong royong menggotong perlengkapan ekstra yang akan mereka butuhkan nantinya.
Ia sudah mengenakan pakaian mendaki yang lengkap dengan jaket, juga ransel gunung di punggungnya, sama halnya dengan setelan para pemuda tersebut.
Mereka adalah gabungan akademisi yang tinggal kelas dari beberapa kyoujou lama yang diserahkan kepada Sasuke. Berada dalam bimbingan Sasuke sebelum akademisi baru melalui upacara penerimaan. Yang belakangan menyita waktu Sasuke dengan kelas-kelas tambahan yang cukup meresahkan Tayuya.
"Ini bukanlah darmawisata. Camkan itu selama kalian mendaki Hakkoda-san."
"Hakkoda-san? Nama orang?"
"Siapa itu?"
"Seperti judul film lawas."
Tayuya mendengus kesal mendengar kasak-kusuk para calon polisi pria tersebut. Ia tidak bisa percaya kalau mereka bahkan belum tahu perihal medan yang akan mereka datangi. Memangnya apa saja yang telah diajarkan oleh instruktur Uchiha Sasuke sampai hal sederhana seperti ini bisa luput. Dasar kyoukan tidak becus. Haruskah ia mengadukannya pada sang kepala akademi agar memecat pria itu secepatnya.
"Yang dimaksud oleh Hokumon Buchou adalah Hakkoda-sankei."
"OH~!"
Akhirnya mereka mengerti setelah sang kyoukan bergabung bersama mereka dan meralatnya, walaupun penyebutan Tayuya sebenarnya juga tidak keliru.
Tayuya mendecih samar, namun tetap teguh pendirian, "Hakkoda-san adalah pegunungan vulkanik yang terletak di sebelah selatan kota Aomori di Prefektur Aomori. Dari Tokyo, berarti kita akan melakukan perjalanan ke utara. Berdasar pengalaman, akan tiba setelah delapan sampai sembilan jam perjalanan."
Mendapati mereka menyimaknya dengan sungguh-sungguh, ia pun menambahkan, "Sebelum Perang Rusia-Jepang, tepatnya tanggal 23 Januari 1902, sekelompok prajurit dari Tentara Kekaisaran Jepang berbaris melintasi Hakkoda-san dalam badai salju hebat untuk melakukan perjalanan ke mata air panas Tashiro yang ada di Hakkoda-san. Pada akhirnya mereka hilang. Menurut catatan, 199 dari 210 orang dinyatakan meninggal. Insiden ini menjadi bencana terbesar di dunia dalam sejarah pendakian gunung."
"Menakutkan…."
"Kita bisa meneladani peristiwa tersebut dari sisi pengingat untuk lebih berhati-hati. Aku yakin kalian tahu apa yang harus kalian lakukan agar tidak berakhir sama seperti mereka. Sekarang bersiaplah!"
"HAI!"
Sasuke menahan lengan Tayuya tatkala sang buchou bersiap menaiki bus menyusul pada akademisinya yang seluruhnya adalah laki-laki, "Sebaiknya Anda tetap tinggal, Hokumon Buchou."
"Saya sudah terbiasa memimpin pelatihan gunung, Uchiha Kyoukan. Bahkan sebelum Anda bergabung di akademi ini, saya membimbing lebih dari satu kelas setiap tahunnya. Setelah menjadi buchou, berarti saya akan menjadi pengawas untuk semua kelas."
Sasuke tahu, dan itu sebelum Tayuya hamil. Ia tidak meragukan ketahanan Tayuya, tetapi jika sekarang beda cerita. Wanita ini memang gemar mengujinya.
"Barangkali akan berbahaya untuk sekarang."
"Saya sudah mempersiapkannya dengan baik." Tayuya menunjuk ransel besarnya yang penuh. Sesaat ia melihat kilat marah Sasuke disertai katupan rahang yang mengeras. Ia malah bersorak dalam hati, puas.
"Ini akan menjadi perjalanan yang berat untuk seorang wanita."
"Tidak ada yang perlu dikhawatirkan, Uchiha Kyoukan." Tayuya masih bersikeras, tak sedikitpun gentar menemui tatapan menusuk Sasuke, "Selama ini saya menjalankan tugas dengan lebih baik dibandingkan polisi laki-laki kebanyakan. Anda tinggal menganggap saya sebagai seorang pria juga."
"Itu mustahil, Buchou. Saya hanya bisa melihat Anda sebagai seorang wanita." Sasuke membalas dengan tegas, "Izinkan saya untuk jujur—perempuan hanya akan menjadi penghambat dalam pelatihan kali ini."
Tayuya terperangah. Ia terpancang di tempat, sementara Sasuke memasuki bus dengan santainya. Pun Juugo selaku asisten kyoukan sempat memandang ngeri ke arahnya sebelum mengekor sang instruktur.
"Ano ... kami pamit, Buchou." Juugo yang biasanya tampil tenang pun kini minta diri dengan takut-takut.
Bahkan setelah bus melaju menyisakan dirinya seorang di pelataran akademi, Tayuya masih mematung linglung dengan hati mendongkol, "Penghambat—?!"
Di tengah perjalanan, Sasuke menyembunyikan senyum membaca pesan dari Tayuya;
Jangan mati di sana!
Aku akan membalasmu, awas kau!
Tetapi perlahan sudut bibirnya menukik turun mengingat Tayuya akan lebih leluasa bersama Shikamaru jikalau ia berada jauh dari jangkauannya. Memang mereka berdua yang semestinya bersatu dari awal.
.
.
.
.
.
Kangen banget sama SasuTayu~ terutama Sasuke, saya rindu nistain (?)
Entah apa ini, niatnya nulis sedikit kok jadi panjang dan gak ada juntrungannya, au ah, sumber inspirasinya masih sama ^/_\^
[20160517]
